NovelToon NovelToon

POCONG BAPER

Bab 1. Kembar Indigo

Bab 1 - PB

Di sebuah ruangan dalam sekolah berlantai lima bernama SMA Pandai Sentosa, dua sosok manusia baru saja berpeluh ria memburu hawa nafsu. Sang wanita muda berusia dua puluh lima tahun telah memakai pakaian kembali setelah tadi berserakan. Sementara si pria berperut buncit hanya mengenakan celana kulot hitam panjangnya. Diraihnya satu batang cerutu sembari duduk di kursi empuknya.

"Jumat kliwon di tahun ini, kau sudah menentukan korbannya?" tanya si pria berusia lima puluh tahun itu.

"Saya sedang mencari data yang lahir di tanggal delapan, bulan delapan seperti permintaan Bapak. Dan sudah saya temukan." Wanita berparas ayu bertubuh semok itu duduk di pangkuan sang pria.

"Lalu?"

"Tania Laras Hanafi, murid kelas sebelas yang baru pindah kemarin." Wanita itu menunjukkan layar ponselnya.

"Hmmm, cocok. Bagaimana rencana kali ini?" tanya si pria.

"Basket adalah kesukaannya, maka dia akan berakhir menjadi bintang di lapangan basket tentunya." Wanita licik itu menyeringai dan disambut oleh senyum puas sang pria.

"Kanjeng Ratu akan suka ini," ucap si pria lalu ******* habis bibir kenyal nan seksi milik sang wanita.

***

Pukul setengah enam sore, hari mulai malam. Empat orang remaja terjebak di sebuah rumah tua yang ada di belakang sekolah. Di sekitar rumah itu di keliling kebun yang kini sudah ditumbuhi semak belukar dan beberapa jenis pepohonan lainnya layaknya hutan.

"Lari! Lari!" Fasya berteriak panik seraya menarik adiknya.

Para remaja berusia lima belas tahun itu berusaha keluar dari rumah tua yang ada di belakang sekolah mereka, SMP Taruna Sejahtera.

Namun, gadis muda bernama Dira tidak bisa mengalihkan pandangan dari kepala-kepala yang bergerak-gerak dan berdenyut denyut itu. Mereka melayang mengejar para anak remaja tersebut. Sampai teriakan seorang gadis ia dengar. Dira bergegas menuju asal suara.

"Ouch!" Disya terantuk ranting besar dan jatuh. Kaki kanannya masuk ke sebuah lubang dan terjebak di sana. Sontak saja Disya menangis.

"Tolong aku, Fas! Tolong aku!" Disya meraung-raung seraya menarik kakinya.

"Disya kenapa?" tanya Dira dengan panik.

"Lagi ngukur kedalaman itu lubang pakai kaki," sahut Fasya asal.

"Apaan, sih, Fas! Dira tuh nanya serius!" seru Dira.

"Elu liat kan si Disya nyusruk?! Ini semua karena elu sama Adam!" ketus Fasya.

"Yeeee, lagian siapa juga suruh ikut kita. Kan kalian juga yang kepo mau ikut!" sahut Dira.

"Udah, udah! Jangan pada berantem! Ini kaki aku gimana?" pekik Disya.

"Ayo, Dira bantu tarik!" Dira mencoba menarik kaki Disya dari lubang.

Sementara itu, Fasya tampak masih mencari sosok Adam yang belum juga tampak.

"Si Adam mana, nih? Masih mainan dia sama para kepala tadi?" ketus Fasya.

"Adam kan mau nganter si Putri pulang, ya masih di sana lah!" sahut Dira.

"Busyet tuh anak, ya. Jelas-jelas si Putri hantu, keluarganya juga pada gentayangan tinggal kepala doang, kenapa masih aja dibantuin, sih? Ganjen banget jadi cowok," keluh Fasya.

Pemuda itu lantas ternganga melihat sosok Adam yang datang dari kejauhan. Fasya mendadak kaku ketakutan, kakinya jadi lemas sekali. Napas anak muda itu seperti tercekik di tenggorokan. Dan ketika ia terbelalak, kepala-kepala itu melayang-layang di belakang Adam.

"Lari! Cepat! Lari!"

Suara Adam sekarang terdengar semakin dekat. Kepala-kepala itu mulai mengoceh melayangkan sumpah serapah. Suara kepala itu bahkan mengalahkan teriakan panik dari Adam. Mereka ribut menggumam, seperti paduan suara katak ketika hujan.

Mereka melayang semakin tinggi, sementara Fasya melotot ketakutan.

"Lari! Lari!" pekik Adam.

Dira masih berusaha menarik kaki Disya.

Gadis muda itu berteriak kesakitan menahan sakit. Dipaksanya kaki kanan itu mengangkat naik.

Kepala-kepala yang mengerikan dan menyala itu masih terbang melayang mengejar Adam. Semakin dekat. Semakin dekat. Suara gumaman mereka terdengar semakin keras di telinganya sampai rasanya suara-suara menakutkan itu seperti mengelilinginya. Angin menderu, bertiup kencang, seperti sengaja mendorong punggungnya. Kepala-kepala yang bergumam itu melayang semakin dekat.

Tiba-tiba, Genderuwo Lee Junior datang menghadang.

"Jangan ganggu mereka!" seru Lee.

"Alhamdulilah, untung Om Lee dateng," ucap Adam penuh kelegaan.

Namun, sosok genderuwo itu menatapnya tajam. Adam tahu kalau dia pasti sangat marah. Anak muda itu bergegas menuju ke arah Dira dan yang lainnya.

"Iya, iya, maafin Adam." Adam mundur beberapa langkah.

Tak lama kemudian, lima kepala yang terbang tadi kembali melayang pulang.

"Apa kata Bunda dan Yanda kalian kalau kalian terjebak di sini, hah?" Lee menatap tajam dengan mata merahnya.

"Maaf, Om Lee," sahut Dira.

Gadis itu serta yang lainnya menunjuk ke arah Adam.

"Kok, gue?" tanya Adam mengernyit.

"Lah, emang gara-gara elu, kunyuk!" Fasya menoyor Adam.

"Tapi, elu juga yang minta ikut penasaran, kambing!" Adam balas menoyor Fasya.

"DIAAAAAAAM!"

Dira berteriak dan spontan saja Adam dan Fasya terdiam.

"Kenapa bisa sampai ke sini?" tanya Lee.

"Aku mau nolong si Putri, Om." Adam tertunduk.

"Dan dia hantu," sahut Fasya melirik tajam.

"Dia minta ketemu diantar pulang dan ternyata, dia sama keluarganya masih gentayangan. Mana cuma kepala doang," ucap Adam.

"Putri memang hantu, dia dan keluarganya dibunuh saat perampokan. Semua mati terpenggal. Hanya Putri yang jasadnya utuh tetapi dikubur hidup-hidup. Sementara tubuh keluarganya dimutilasi lalu dibuang di tempat yang berbeda," ucap Lee menjelaskan.

"Perampokan sesadis itu? Dira nggak percaya," sahut Dira.

"Coba elu terawang, Ra! Kali aja emang sengaja dibunuh bukan karena perampokan," pinta Adam.

"Dira bukan Kak Anta sama Kak Raja, ya."

"Tapi waktu itu elu bisa nerawang," sahut Adam lagi.

"Dira aja masih nggak tau kenapa bisa gitu, vision itu tiba-tiba aja muncul," tukas Dira.

"Bisa nggak pada nolongin aku dulu, huhuhu." Disya menarik tangan Dira.

"Oh iya, kasian amat ini anak orang," ucap Dira. Ia lantas meminta Om Lee untuk membantu. Sementara Adam dan Fasya menarik tangan Disya.

Kaki Disya akhirnya bisa keluar dari lubang. Fasya dan Adam harus memapahnya karena kesulitan berjalan.

"Kok, kakinya Disya basah, ya? Mana rada-rada bau pesing," celetuk Adam.

Sontak saja semua mata tertuju pada Disya yang meringis.

"Hehehe, maaf aku ngompol. Habisnya tadi aku ketakutan," lirih Disya.

***

Keempat remaja tersebut pulang ke rumah. Adam memboncengi Disya karena kakinya sakit. Sementara itu, sepeda lipat Disya terpaksa diikat dan digendong di punggung Fasya.

"Ayo, buruan! Nanti Bunda kita pada marah loh! Mana udah azan magrib lagi," seru Dira.

"Elu enak sendirian, gue berat nih!" sahut Adam.

"Sama gue juga berat bawa ini sepeda," ucap Fasya menambahkan.

"Maksudnya Adam, aku berat gitu?" tanya Disya, gadis itu hampir saja menangis.

"Menurut elu, Dis? Enteng gitu?" Adam masih mencoba mengayuh.

Sampai pandangannya tertuju pada sosok perempuan di atas jembatan. Adam menghentikan laju sepedanya.

"Kok, berhenti?" tanya Disya.

"Itu, lihat tuh di sana!" tunjuk Adam.

"Pulang, Dam, ayo pulang! Itu setan!" pekik Disya ketakutan.

*****

Bersambung…

Bab 2. Tania Laras Hanafi

Bab 2 Pocong Baper

Saat ini, seorang gadis muda mengenakan seragam putih abu-abu, tengah berdiri di sebuah jembatan kecil yang berada di ujung kampung.

"Dam, mau ngapain?" lirih Disya.

"Gue mau cegah dia biar nggak bunuh diri," ucap Adam langsung turun dari sepedanya.

"Awww! Adam!" pekik Disya.

Sontak saja Dira dan Fasya menghentikan laju sepedanya dan menoleh ke arah Disya.

Seorang gadis berambut lurus yang dikuncir kuda itu, sedang menatap ke arah sungai di bawah jembatan. Pikirannya mulai kalut. Dia begitu putus asa. Gadis bernama Tania itu tak tahan lagi dengan perlakuan ayah tirinya yang genit.

Belum lagi ia merasa teman-teman di sekolahnya sangat menyebalkan. Tania merasa dirinya selalu dibicarakan negatif tanpa sepengetahuannya. Tania memang gadis yang sangat sensitif. Salah bicara sedikit saja, hatinya langsung kalut.

Kini, Tania merasa harus melepas semua hidupnya. Tak terasa bulir bening mengalir di pipi mulus gadis itu. Tania menyekanya. Dia menghirup oksigen sedalam-dalamnya dan mengembuskannya kasar.

Tekad gadis muda itu sudah bulat. Daripada dia harus merasakan kesedihan dan keputusasaan yang berlarut-larut, lebih baik Tania memilih mati saja. Rasanya dia tak akan sanggup lagi pulang ke rumah mendengar ocehan ibunya.

Gadis muda berparas ayu itu lantas naik ke atas pembatas jembatan. Sekilas, dia memandang ke arah sungai yang mengalir deras di bawah sana. Banyak bebatuan besar juga di sepanjang aliran sungai.

"Sakit nggak, ya, kalau kepala aku kena batu itu? Aku langsung mati apa bakal kejang-kejang dulu ya? Nanti kalau jatuhnya di muka gimana, ya? Muka aku hancur, dong." Tania memainkan jari jemarinya seraya menggigit bibir. Ia tampak ragu untuk melompat atau tidak.

Namun, di permukaan sungai itu, Tania malah melihat bayangan wajah tampan seorang lelaki muda berusia lima belas tahun yang berdiri di sampingnya.

"Kamu malaikat maut aku, ya? Kok, muda banget?" tanya Tania seraya terisak.

Adam mengernyit lalu bertanya, "Elu ngapain di sini?"

Tania memastikan lagi kalau pendengarannya tak salah. Gadis itu lantas menoleh. Mendapati Adam berada di sampingnya seraya menelisik dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kamu manusia?" tanya Tania.

"Bukan, Kak, gue memedi!" sungut Adam.

"Jadi, kamu hantu penunggu jembatan ini? Ya udah tungguin aku ya, aku mau terjun dulu." Akhirnya, Tania semakin yakin untuk mengakhiri hidupnya dan berniat terjun ke sungai itu. Tania memejamkan mata dan bersiap untuk melompat ke bawah.

"Elu mau bunuh diri?" tanya Adam.

Tania menoleh ke arahnya lalu mengangguk.

"Sayang amat hidup lu terbuang sia-sia gitu aja. Elu mau mati sia-sia gara-gara bunuh diri? Masih banyak loh, orang yang masih mau hidup dan jadi orang yang berguna demi keluarganya." Adam bertindak bijak dengan kata-katanya.

Tania mengurungkan niat untuk melompat ke bawah. Dia lalu menoleh pada sosok Adam yang berkulit bersih dengan mata agak sipit. Di dalam hati, Tania memuji ketampanan Adam. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Tania melihat Fasya, Disya, dan Dira sedang menatap ke arahnya. Gadis yang agak tomboi itu menelisik dengan saksama para remaja tersebut.

"Adam, ayo buruan pulang! Tarik aja dia kalau perlu seret aja bawa pulang. Biar nanti jadi pelampiasan kemarahan bunda!" seru Dira.

"Iya bentar!" sahut Adam.

"Jadi, kamu manusia?" Tania menunjuk Adam.

"Menurut elu? Gue masih nampak, woi! Elu mau mati, ya? Emang pahala elu udah banyak? Terus elu yakin setelah mati nggak masuk neraka?" tukas Adam dengan nada menyindir.

"Tapi hidup aku emang udah suram. Aku udah nggak bisa bahagia," ucap Tania.

"Halah, tai ledig! Definisi bahagia buat elu itu apa, sih? Cemen banget pikiran elu kalau sampai pengen bunuh diri, ckckck."

Tania tertegun menundukkan kepala.

"Coba sini tangan elu!" Adam meraih tangan Tania tiba-tiba.

"Elu liat di seberang sana dekat hutan kota itu! Udah banyak setan yang ngantri mau training elu sebagai setan baru. Elu bisa jadi setan penunggu jembatan ini atau kuntilanak hutan sana," ujar Adam.

Tania langsung berteriak ketakutan. Ia bersembunyi di belakang Adam setelah diperlihatkan para makhluk astral yang menyeramkan. Adam juga melambai pada salah satu kuntilanak yang bertengger di atas pohon dan sedang memasang bola matanya yang hampir copot. Kuntilanak itu lantas melambai balik ke arah Adam.

"Makanya kalau masih takut sama setan jangan sok siap jadi setan pakai mau bunuh diri, huh! Ayo, gue anter pulang!" ajak Adam.

Tania akhirnya menurut. Setelah sampai di hadapan Dira dan yang lainnya, Tania menyapa. Namun, Fasya malah menyentuh kaki Tania untuk memastikan kakinya menjejak aspal.

"Elu ngapain, Fas?" tanya Adam.

"Mau mastiin kalau dia bukan hantu," sahut Fasya.

"Dia manusia, kok," tukas Dira.

"Ya udah gini aja, sepeda lipat si Disya pinjemin dia dulu! Kita anter dia pulang. Rumah elu di mana?" tanya Adam.

"Di Jalan Flamboyan nomor sepuluh. Oh iya, nama aku Tania," sapanya seraya menjabat tangan ke empat remaja itu satu persatu.

"Halo, namaku Dira. Eh, Kak, itu bukannya rumah penyanyi Sandara, ya?" tanya Dira.

"Iya, dia mama aku." Tania melukis senyum di wajahnya meskipun mata cantiknya masih terlihat sembab.

"Wuidih, anak artis! Enak banget ya jadi kamu, jadi orang kaya mau apa aja tinggal gesek!" seru Disya.

"Kalau hidupku bahagia mana mungkin aku mau bunuh diri kayak tadi," sahut Tania.

Setelah mendengar keluh kesah Tania, mereka akhirnya pulang. Ada rasa lega di diri Tania setelah berkeluh kesah. Apalagi Adam dan yang lainnya sangat menyenangkan. Tania bahkan menceritakan kesukaannya pada olahraga basket yang ternyata digemari juga oleh Adam dan Fasya.

Semenjak pertemuan itu, mereka jadi berteman. Meskipun usia Tania dua tahun lebih tua dibandingkan para anak kembar tersebut. Adam malah menjalani Tania sebagai ratu baper karena sering kali marah dan menangis karena hal kecil atau malah tanpa sebab.

***

Hari itu, Tania melangkahkan kaki di sekolah barunya karena sudah tak tahan dengan perlakuan kawan-kawannya di sekolah yang lama. Saat berada di kantin, Tania mendapat tantangan dari Selly, teman sekolahnya yang juga tetangga Tania.

"Gue tantang elu besok tanding basket antar tim putri. Buat yang menang bebas minta apa aja dari yang kalah. Dan gue minta tas branded punya nyokap elu, gimana?" tantang Selly.

"Sel, dia masih anak baru kali," bisik Murni di samping Selly.

"Dia tetangga gue, kok. Bagi gue dia bukan anak baru," sahut Selly.

"Boleh, Sel, tapi kalau aku yang menang, stop ganggu aku dan stop sebarin gosip tentang mami aku," sahut Tania.

"Oke deal!" Selly melangkah pergi bersama dua temannya meninggalkan Tania.

"Aku nggak boleh kalah dari Selly," gumam Tania.

*****

Bersambung.

Bab 3. Kematian Tania

Bab 3 PB

Pukul dua siang, jam sekolah berdentang tanda semua mata pelajaran hari itu berakhir. Tania menatap sebuah lapangan basket di sekolahnya. Dahulu, lapangan ini masih kebun dan banyak ditumbuhi pohon karet karena dulu bangunan sekolah ini belum sebesar sekarang dan setiap tahun selalu saja ada pengembangan yang dilakukan pihak sekolah agar lebih luas dan terlihat modern.

Hari itu memang ada kegiatan ekskul basket. Namun, setelah jadwal basket tersebut selesai, Tania masih saja berlatih sendirian bahkan sampai menjelang magrib. Gadis itu masih menempa dirinya untuk menghadapi tantangan basket dari Selly.

Tania mencoba beberapa kali lompatan lay-up-nya hingga tangannya mampu menyentuh ring. Dia yakin dengan tinggi badannya yang cukup, dia mampu melakukan slam-dunk. Setelah beberapa kali percobaan, Tania akhirnya berhasil menyentuh dengan satu tangannya dan bergelantungan di ring itu.

Ketika kedua tangannya sempurna menggenggam ring besi tersebut, beberapa teman-teman sebayanya tampak terpukau. Selang beberapa detik, teman-teman menyorakinya. Selly yang masih ada di sana menatap dengan sinis seraya berkacak pinggang.

Akan tetapi, sesuatu yang mengerikan terjadi. Entah karena yang ditopang terlalu berat atau faktor lain, tiba-tiba saja ring itu ambruk dan langsung menimpa tubuh Tania. Suasana menjadi hening karena gadis itu langsung tewas saat itu juga. Seketika itu juga lantai lapangan basket digenangi cairan merah segar nan anyir. Kepala Tania membentur dasar lapangan dan punggungnya remuk kala tertimpa ring berbahan dasar besi tersebut.

Teriakan para siswi menggema di sekitar Tania. Beberapa panik dan beberapa sibuk mengambil gambar dan video. Di lantai lima ruang para guru, sosok seorang wanita berkacamata dengan tubuh sintal itu tersenyum menatap ke arah jendela, tepat menatap ke lapangan basket.

"Darah segar akhirnya mengalir, mensucikan tanah ini," lirihnya seraya tersenyum mengembang.

***

Karangan bunga berdatangan di kediaman rumah artis ternama bernama Sandara, artis berusia empat puluh lima tahun itu. Satu bulan lalu juga ramai penuh karangan bunga karena pernikahannya dengan seorang pria berusia tiga puluh tahun. Pria yang hanya memanfaatkan hartanya.

Bendera kuning menjadi latar para karangan bunga tersebut. Bertuliskan "turut berduka cita" atas kematian putri semata wayang Sandara, penyanyi dan bintang sinetron ternama di ibukota.

"Kami turut berduka cita ya, Bu," ucap Miss Hana selaku perwakilan sekolah SMA Pandai Sentosa pada Nyonya Sandara.

"Terima kasih, Miss Hana." Nyonya Sandara masih terisak, sesekali mengusap air mata di pipinya.

Sementara itu, sosok suami mudanya yang bernama Kevin, berdiri di sudut seraya menatap jasad Tania yang menunggu dibersihkan. Darah masih mengalir dari lubang telinga dan kepala belakang Tania meskipun dokter sudah menjahitnya. Diraihnya lintingan berisi mariyuana yang kemudian dia bakar dan hisap.

'Tania, Tania, kasian banget elu mati muda. Mana masih perawan, ckckckc. Coba elu gue cicip dulu kemaren kemaren biar ngerasain enaknya surga dunia,' batin Kevin seraya menyeringai.

Saat melihat Sang istri menuju ke arahnya, Kevin berbalik badan. Ia meraih obat tetes mata dari sakunya, lalu meneteskan ke dalam sepasang mata beriris agak hitam itu. Kevin berpura-pura sesenggukan meluapkan kesedihan palsu.

"Sayang, kamu sudah hubungi Ibu Dita?" tanya Sandara.

"Udah, katanya sih udah di jalan," sahut Kevin seraya terisak.

"Kamu pasti sayang banget ya sama Tania? Makasih, ya, sudah menjadi ayah yang baik untuk Tania." Sandara lantas memeluk Kevin.

Pria itu terlihat jengah dan tersenyum menyeringai. Di dalam hatinya, ia menyayangi Tania dengan nafsu. Putri Sandara jauh lebih cantik, muda, dan menggiurkan dibanding ibunya.

Tak lama kemudian, Dita yang diantar Raja datang. Di belakangnya ada si kembar Dira dan Adam. Perempuan cantik itu kini menjadi pemandi jenazah untuk yang berjenis kelamin perempuan. Dita membantu Ustaz Ridwan yang kerap memandikan jenazah pria bersama Raja.

"Ibu Dita!" Sandara memeluk Dita seraya menangis ketika menyambutnya datang.

"Saya turut berduka atas kematian Tania ya, Bu," ucap Dita.

"Terima kasih, Bu. Saya merasa gagal menjadi ibu karena tidak menjaga putri saya dengan baik," tukasnya sambil terisak.

"Ini semua bukan salah Ibu Sandara. Semua sudah takdir Allah. Kita harus ikhlas merelakan dan tetap mengirimkan doa buat Tania," ujar Dita.

Dita lantas menoleh ke arah Raja, "Ja, kamu sama Adam bantu angkat Tania ke tempat pemandian."

"Iya, Bunda." Raja bergegas menarik tangan Adam dan Dira yang sudah menangis di samping jenazah Tania.

Fasya dan Disya yang baru saja menyusul bersama Tasya juga ikut membantu.

"Suami saya titip salam, dia harus pergi ke Jepang nengok Anta sama suaminya. Sekalian cek restoran kami yang di sana," ucap Dita.

"Iya, Bu, terima kasih. Sampaikan salam balik saya untuk Pak Anan."

Setelah memandikan dan mengkafani tubuh Tania, proses pemakaman akan segera dilangsungkan. Tania akan dikebumikan di komplek pemakaman elit yang ada di Bukit Pelangi di perbatasan ibukota. Biayanya juga tak murah sekitar tujuh puluh juta rupiah. Harga yang fantastis hanya untuk sebuah pemakaman.

"Tante Silla, kok Dira nggak bisa lihat hantunya Tania, ya?" bisik Dira di samping sosok kuntilanak yang selalu menjaga Dita.

"Tante rasa arwahnya nggak ada di sini. Mungkin kalau pun gentayangan, dia tertahan di sekolah," bisik Silla.

"Eh, ngapain aku ikutan bisik-bisik, ya, mereka kan nggak pada bisa lihat aku." Tania mengikik mengeluarkan tawa khas sosok kuntilanak merah.

"Iya juga, ya, bisa jadi." Dira menatap Adam yang masih termangu melihat jenazah Tania yang sudah dikafani dalam bentuk pocong.

Meskipun terpaut tiga tahun, Adam merasa menyukai Tania yang selalu baik dan perhatian padanya. Adam akan merindukan sosok Tania yang kerap sedih, menangis, bahkan marah tanpa sebab.

"Sabar, Dam, ikhlasin Tania," lirih Fasya merangkul Adam.

"Gue cuma nggak habis pikir aja kenapa Tuhan nggak adil. Tania belum meraih cita-citanya sebagai pemain basket NBA," tukas Adam.

"Hush, nggak boleh bilang gitu. Kalau bunda elu denger elu ngomong begitu, habis luh ntar. Lagian cita-cita Tania kejauhan, masa jadi pemain NBA," sahut Fasya.

"Biarin sih, Fas, biar seneng si Tania. Kali aja kesampaian jadi pemain NBA di alam gaib," ucap Adam masih menatap datar pada Tania.

"Di alam gaib emang ada NBA, Dam? Terus ada perkumpulan olahraga apa lagi? Ada lapangan bola buat para pemain internasional yang udah mati, nggak?" tanya Fasya, si penyuka sepak bola itu.

"Elu aja sono duluan ke alam gaib! Nanti elu gentayangan balik ke sini terus cerita sama gue tentang alam gaib," ketus Adam.

"Dih, kunyuk! Elu aja sono duluan ke alam gaib!" Fasya melirik tajam pada Adam.

"Elu yang kambing! Huh, badan luh bau, Fas!" ketus Adam melepas rangkulan Fasya dan bersiap memutar tangan Fasya ke belakang.

"Adam! Fasya! Bisa tenang, kan?"

Meskipun suara Tasya terdengar pelan, tetapi nada ancaman yang ditekankan wanita itu pastinya membuat dua anak muda itu bertekuk lutut.

*****

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!