Pernikahan Neraka.
Pesta megah dengan bertabur sinar lampu, membuat malam semakin terkesan penuh sukacita. Bunga-bunga tampak berjajar rapi, membiarkan suasana malam kian mewah dan glamor. Lampu-lampu bohlam berjajar sempurna seolah tengah menjadi tim sukses penghias gedung tempat berlangsungnya pesta pernikahan.
Gihana Atmadja, gadis Dua puluh empat tahun itu, duduk dengan anggun di pelaminan, bersama sang suami, Tirta Rahardja, lelaki berusia tiga puluh enam tahun.
Kesenjangan usia yang terpaut dua belas tahun, tak membuat Hana maupun Tirta tampak tak cocok. Justru Tirta terlihat jauh lebih muda dari usianya, efek dari rajinnya merawat tubuh dan menjaga pola makan.
Jatuh cinta pada seorang pangeran bermarga Praja Bekti, membuat Hana mengalami patah hati tak berkesudahan. Alih-alih dapat meraih cintanya, Hana justru dijodohkan langsung oleh sang pangeran, dengan laki-laki yang tak dikenal Hana.
Terbawa patah hati berat, disertai dengan putus asa, Hana mengiyakan perjodohan tanpa pikir panjang. Ia bahkan tidak tahu, bahwa pria yang duduk disampingnya itu, memiliki kebencian tak berujung pada wanita cantik, akibat masa lalu yang kelam.
Paras yang cantik, dengan mata sipit, bibir mungil, alis bak bulan sabit, hidung mancung, serta kulit yang seputih pualam, membuat Hana menjadi pusat perhatian. Jangan lupakan dengan tubuhnya yang jenjang dan bentuknya yang memiliki lekukan sempurna, membuat Hana tampak cantik paripurna. Terlebih, gaun violet pas badan yang melekat pada tubuhnya, membuat Hana semakin menawan.
Putri cantik nan semata wayang Daniel Atmadja itu, tidak menyadari bahwa ia telah berada diambang pintu neraka pernikahan. Sosok Tirta bukan orang baik, juga bukan orang jahat. Dia memiliki kepribadian yang sangat unik.
"Jangan hanya diam dan tampak tertekan diatas pelaminan, Hana. Kau ingin semua tamu mengira bahwa aku telah membuatmu tertekan?" Tanya Tirta dengan suara dingin.
Tatapan mata tirta, tajam menghunus tepat pada manik mata Gihana yang terasa panas. Ia tak tahan lagi. Bagaimana tidak? Bahkan setiap bertemu, Tirta selalu dingin pada Hana. Hana pikir, Tirta memang setajam itu mulutnya. Entahlah, Hana pasrah andai nanti ia harus menerima makian dari lelaki itu.
"Aku, aku sudah tersenyum sejak tadi." Jawab Hana, dengan suara tenang dan tampang cuek. Sayangnya, kalimatnya itu justru memancing kemarahan Tirta.
"Akan aku habisi kau malam ini, jika kau berani mendebatku. Kau memang pengantinku malam ini, nona Hana. Tapi ingat, aku pun tak Sudi menjadikanmu sebagai istri, andai bukan tuan muda Praja yang meminta." Tukas Tirta kemudian.
"Kalau begitu, itu sama saja kau dengan orang bodoh, yang mau-mau saja dijodohkan dengan orang lain yang tak kau kenali sebelumnya." Tandas Hana dengan nada penuh cibiran.
"Andai aku tak berhutang Budi pada tuan Kara, aku tak Sudi menuruti semua ini."
"Kau adalah pria tampan paling bodoh yang pernah aku temui."
"Jaga bicaramu! Aku tak segan-segan membungkam dirimu dengan banyak darah nanti!" Tirta berseru dengan nada penuh penekanan.
Udara sekitar terasa kian dingin, hingga menusuk sampai ke tulang-tulang. Hana serasa tak sanggup lagi dibuatnya. Sayangnya, ia tak memiliki pilihan untuk mundur. Hana sudah terlalu frustasi dengan jalan hidupnya, serta kisah cintanya yang menyedihkan.
Diam-diam Hana mematung, mengutuk suaminya sendiri dalam hati. Menyumpah serapah Tirta di dalam hati juga bukanlah hal yang buruk. Hana pasrah bila harus menjalani takdir hidupnya.
Pembicaraan mereka terhenti, akibat beberapa tamu undangan yang menghampiri pelaminan. Sontak saja si Tirta memasang mode manis dan menyambut kehadiran tamu dengan penuh sukacita.
Tirta tersenyum menawan dengan aura pengantin yang kuat. Topengnya benar-benar berhasil tertutup dengan sempurna. Begitulah menurut Hana sekarang.
Baru saja tamu undangan turun dari pelaminan, Hana dan tirta kembali duduk, Keduanya saling diam, dan tatapan Tirta kosong memandang ke arah para penyanyi yang menghibur para tamu undangan.
Hana yang merasa ada kesempatan, ia menatap paras menawan Tirta dari samping, sedikit menikmati pemandangan segar dan memanjakan mata.
Pembawaan wajah tirta yang lembut, nyatanya sangat bertolak belakang dengan karakternya yang luar biasa kasar. Entah apa jadinya nanti, Hana hanya berharap ia bisa menaklukkan hati Tirta. Setidaknya itulah harapan yang tersisa. Tak ada lelaki yang hingga kini mendekati Hana, meski Hana sudah sangat cantik.
Alis tebal dengan mata sipit dengan tatap tajam, rahangnya yang kokoh dan bibirnya yang sensual, serta hidungnya yang mancung, membuat ketampanan Tirta semakin sempurna.
Sayang seribu sayang, bagi Hana hati Tirta tak setampan wajahnya. Mendapati kenyataan ini, Hana hanya bisa mendesah dalam hati.
"Jangan terlalu lama menatapku, Hana. Jangan sampai kau benar-benar menjatuhkan hati pada pria iblis sepertiku. Percayalah, hidupmu akan penuh derita jika sampai terjebak rasa padaku." Ucap Tirta tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya. Tentu saja Hana syok bukan kepalang.
"Ap- apa maksudmu?" Tanya Hana dengan tergagap karena terlalu syok.
"Jalani saja pernikahan ini seperti pernikahan pada umumnya. Hanya saja sebagai saranku, jangan sesekali kau berani menjatuhkan hatimu pada pria sepertiku. Aku tak berani menjamin, bahwa pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang berhasil." Jawab Tirta datar.
Hana hanya bisa mematung di tempatnya. Ia sudah tak peduli sama sekali, bahwa ia masih menjadi pusat perhatian para tamu.
"Jika niatmu menikahiku hanya karena balas budi, harusnya kau mengurungkan saja. Aku bahkan tak tahu apa-apa tentang masa lalu dirimu, dan juga kebobrokan dirimu. Jadi, mengapa kau tega melibatkan perasaan orang lain untuk balas budimu itu?" Tanya Hana pelan.
"Nyonya Gihana Rahardja yang terhormat, Itulah mengapa aku mengingatkan dirimu, agar kau tak jatuh cinta padaku."
"Kalau begitu, setelah turun dari pelaminan nanti, ceraikan aku. Aku tak Sudi hidup dengan lelaki yang berniat mempermainkan pernikahan." Tandas Hana dengan memalingkan wajah, menatap asal para tamu undangan yang tengah menikmati sajian pesta.
Malam ini, Hana seolah tak suka dengan banyaknya menu yang terlihat menggoda indera perasa.
Tirta terkekeh penuh ejekan.
"Siapa disini yang mempermainkan pernikahan? Jika kau berniat berpisah denganku saat pernikahan belum genap berusia sehari, bukankah itu artinya kau yang mempermainkan pernikahan?"
Hana terjebak oleh kalimatnya sendiri.
"Sumpah demi tuhan, aku membencimu, Tirta Rahardja. Kau lelaki tua bujang lapuk yang harusnya bersyukur mendapatkan gadis sepertiku." Ucapnya dengan angkuh, mencoba menandingi keangkuhan suaminya.
"Silahkan. Mari kita buktikan, siapa yang beruntung mendapatkan siapa." Ungkap Tirta kemudian.
"Baiklah. Jika memang kau tetap berniat untuk mempermainkan pernikahan ini, kita berpisah saja setelah turun dari pelaminan. Aku tak mau membuat ayah dan ibuku syok karena putrinya dipermainkan di kemudian hari." Ucap Hana dengan penuh penekanan.
Tirta tertawa renyah, seolah memperlihatkan pada tamu undangan, bahwa ia sangat menikmati menjadi pengantin baru diatas pelaminan.
"Sayangnya tak semudah itu. Bahkan aku sudah mengeluarkan banyak biaya untuk pernikahan ini, Gihana. Bukankah seharusnya aku berhak untuk meneguk manisnya sari madu dari tubuhmu yang sintal dan menggoda itu?"
Kalimat Tirta, berhasil membuat Hana syok setengah mati. Wanita itu tak tahu saja, bahwa Tirta suka dengan dirinya yang tertekan ini. Hana hanya tidak tahu, bahwa Tirta tak sejahat yang ia pikir. Tirta memang suka mempermainkan emosi lawan bicaranya.
**
Hai, ketemu lagi sama Istia. Jangan lupa vote dan kasih ulasan, bintang 5, ya. jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen juga. Terima kasih.
Malam pertama menyakitkan
Malam bersambut bintang dan bulan yang menggantung indah di langit ibukota. Segar udara malam hari masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Namun siapa sangka, ini adalah malam yang menjadi penderitaan bagi seorang pengantin mempelai wanita, yang baru memasuki kamar hotel untuk bulan madu.
Tirta Rahardja.
Lelaki itu berjalan tegap tanpa peduli, apalagi berniat mengandeng tangan istrinya. Gihana yang harusnya bergelayut manja di lengan suaminya, kini hanya berjalan di belakang suaminya dengan raut wajah datar.
Hana merasa takut setengah mati, saat membayangkan Tirta telah mengoyak kelembutan dirinya. Pasca ancaman Tirta tadi, Hana ingin mundur saja. Hanya saja, ia tak bisa mengecewakan orang tuanya, Dita dan Daniel.
Bunyi klik pintu yang baru terbuka, menyadarkan Hana, bahwa ia tak bisa lagi mundur. Apa pun yang akan terjadi di depan nanti, andai sesuai dengan bayangannya, Hana sudah pasrah.
"Aku akan mandi. Tunggulah sebentar jika kau ingin membersihkan diri. Sebaiknya kau buka dulu mahkota dan pakaianmu yang merepotkan itu." Ucap Tirta dingin, sambil menunjuk gaun violet yang Hana kenakan.
Tak menjawab, Hana memilih diam dan duduk di meja rias, membuka satu persatu asesoris yang menempel pada rambut dan tubuhnya. Perhiasan mahal hadiah dari sang Oma, Dewi, juga ikut andil menghias Hana.
Tirta berlalu ke kamar mandi, dengan decakan kesal setibanya di sana. Baru kali ini, ia diabaikan wanita, setelah ia dulu pernah dikhianati mantan kekasihnya hingga Tirta trauma untuk kembali menjalin kasih dengan wanita mana pun yang berparas cantik.
Usai mandi, Tirta keluar kamar mandi, mendapati Hana yang sudah mengenakan piyama handuk dengan rambut terurai. tanpa kata, Hana bangkit dari bibir ranjang yang ia duduki tadi, dan berlalu ke kamar mandi.
Setelah keduanya sudah sama-sama mandi, Hana mendapati Tirta tengah duduk di jendela, seraya memandangi langit malam. Hana tak peduli, dan lebih memilih merebahkan tubuhnya diatas ranjang, dan bersiap hendak tidur.
Tirta tak akan terkejut lagi. Sikap Hana sudah Tirta perkirakan sebelumnya. Lelaki itu masih asyik menyesap rokok, yang ia selipkan diantara jari tengah dan telunjuknya. Tatapannya masih terfokus pada langit, dengan kedua kakinya yang ia topangkan pada kusen jendela.
"Aku tahu kau belum tidur, nyonya Rahardja. Bangunlah, kau memiliki kewajiban untuk melayani suami mu ini. Kau tak ingin jika sampai seluruh keluarga besarmu dan keluarga Praja Bekti tahu, bukan, tentang perilaku dirimu di malam pertama pernikahan?" Ucap Tirta tiba-tiba.
Hana yang tadinya memejamkan matanya, sontak saja refleks membuka matanya lebar-lebar.
"Apa mau mu sebenarnya, Tirta? Aku diam dan lebih memilih untuk tak mendebatmu, tapi kau justru memancing emosiku. Apa kau waras?" Tanya Hana setelah dirinya bangkit.
Tirta menyudahi acara merokoknya. Seleranya sudah hancur karena Hana meladeni kalimatnya, dengan nada dingin. Tentu saja Tirta merasa bahwa egonya sebagai lelaki, tergores sudah.
Lelaki itu membuang puntung rokok ke lantai, menggilasnya dengan kaki hingga bara apinya padam seketika.
"Aku ingin kau melayaniku malam ini. Aku menagih hakku sebagai suami." Ungkap Tirta dengan suara datar.
"Kau berkata bahwa kau membenciku, sama sekali tak sudi untuk sekedar melirikku. Tapi lihatlah sekarang, kau justru memintaku memenuhi kewajiban diriku sebagian istrimu, dengan meminta dilayani. Huh, lucu. Kurasa kau perlu ke psikiater besok." Jawab Hana penuh cibiran.
Tirta hanya diam tak menanggapi, dan lebih memilih untuk menatap Hana lekat. Di tanamnya lekuk wajah Hana di dalam memori ingatannya.
Hana, adalah wanita cantik yang menjadi istri Tirta pertama kali. Namun siapa sangka, Hana juga berhasil membuat Tirta mengingat masa lalunya yang menyakitkan, akibat pengkhianatan mantan kekasihnya di masa lalu yang kini jasadnya telah menyatu dengan tanah.
"Dan kurasa, malam ini kaulah psikiater yang sesungguhnya untukku." Jawab Tirta garang.
Lelaki itu lantas menghampiri ranjang dengan gerakan cepat, mengungkung tubuh istrinya di bawah kendalinya, sebelum kemudian Tirta mencumbu Hana dengan gerakan kasar dan penuh tuntutan.
Hana nyaris berontak dan menendang Tirta, namun sayang, sepertinya takdir memang tak berpihak padanya. Malam ini, kedua insan sepasang suami istri itu menapaki kenikmatan firdaus dunia yang tak tertandingi.
Decit ranjang hotel berukuran king size tampak mewarnai kesunyian malam ini. Semesta seolah bersorak akan kekalahan Hana dibawah kendali suaminya.
Sebuah fakta membuat Tirta kini tersenyum iblis ke arah Hana. Sejenak permainan terhenti, dan Tirta menatap Hana yang melelehkan air mata.
"Apa yang kau tangisi? Kau menyesali malam ini? Akan aku pastikan, kau juga akan menikmati malam ini, Hana. Kau menungguku untuk menjamah tubuhmu dan menuntut lebih dariku. Wanita nakal sepertimu, tak ubahnya seorang ****** di mataku." Ucap Tirta.
"Hentikan kalau begitu. Kita sudahi saja semuanya." Jawab Hana. Suaranya terbata-bata dan hendak pergi, tapi Tirta mencengkeram tangan Hana kuat-kuat.
"Kau sudah tak lagi gadis!" Tandas Tirta.
Pria itu lantas kembali menggauli istrinya dengan gerakan lebih kasar, membiarkan Hana menjerit ditengah heningnya malam. Jeritan Hana, tak ubahnya seperti bahan bakar paling ampuh untuk menyulut gairah pria tiga puluh enam tahun itu.
Di usia yang sudah memasuki pertengahan tiga puluhan, tentunya Tirta yang hidup di ibukota, telah bebas pergaulan. **** adalah kebutuhan biologis yang sering Tirta lampiaskan pada siapa pun yang dikencaninya. Uangnya tak pernah habis hanya untuk menyenangkan wanita.
Tentu malam pengantin dengan Hana, sudah tak asing lagi bagi Tirta untuk menjelajahi sejengkal demi sejengkal tubuh istrinya itu.
"Henti . . . Hentikaaan . . . ." Lirih Hana sambil mengiba.
Alih-alih iba, Tirta justru tertawa miring, dan membalik tubuh istrinya, agar membelakanginya. Dan permainan kasar kembali terulang, dengan tangis Hana yang pilu menyayat hati.
'Tidak. Ini bukanlah yang aku inginkan. Ya Tuhan, aku mohon hentikan semua ini. Aku tak sanggup lagi. Tubuhku sudah remuk tak berbetuk. Tolong aku, tuhan. Hentikan suamiku.'
Batin Hana berbisik dalam tangis.
Hingga sebuah erangan panjang dari Tirta, terdengar di telinga Hana yang tak berdaya. Wanita itu bahkan sudah kehilangan seluruh kain yang menutupi tubuhnya sejak Tirta mencumbunya dengan kasar tadi.
Baru saja Hana hendak beranjak dengan tubuh bergetar, Tirta kembali menghujamkan tubuh intinya pada Hana. Hana tak berdaya, dan ia terpaksa pasrah.
Malam pertama yang Hana impikan bisa Hana lalui dengan romantis, nyatanya kini justru penuh luka batin dan fisik. Tirta sangat kasar memperlakukan dirinya. Bukan sekali, melainkan berkali-kali.
Air putih milik Tirta yang tadi Tirta tumpahkan ke dalam tubuh Hana, Kini ditumpahkan kembali, berkali-kali. Hana tak habis pikir dibuatnya, mengapa dirinya harus terjebak dalam situasi sulit macam ini.
"Lain kali, aku akan membungkam mulutmu dengan lebih sadis dari ini. Ini tak seberapa, bila kau tahu itu. Tidak heran lagi. Semua wanita cantik memang bermulut tajam dan lebih patut diperlakukan layaknya binatang. Aku benci wanita cantik!" Ucap Tirta, setelah berkali-kali ia menggauli istrinya.
Pria itu lantas ke kamar mandi, memakai pakaiannya dan pergi entah kemana dengan langkah cepat. Yang jelas, ia meninggalkan istrinya, Hana yang sudah seperti binatang yang terluka.
**
Part selanjutnya, tentang masa lalu Tirta, ya. Penyebab Tirta benci dengan wanita cantik.
Sebuah nasihat
Suara riuh musik disertai dengan gemerlap lampu warna-warni, membuat suasana malam di sebuah tempat hiburan malam, kian terasa memekakkan telinga. Para kaum kupu-kupu malam dan lelaki hidung belang yang haus belaian, berbaur dan saling menawarkan diri.
Ada banyak wanita yang merasa haus akan uang, mulai menjajakan diri untuk di tukar dengan segepok lembar kertas berwarna merah dan biru. Masing-masing dari mereka, saling menonjolkan kelebihan tubuh vital mereka masing-masing. Tak ada malu. Tak ada harga diri. Tak ada nilai yang tersisa.
Seorang lelaki yang menyandang status sebagai pengantin baru, seharusnya bermalam dengan sang istri. Alih-alih bermalam dengan mereguk manis madu pernikahan di lama pertama, Tirta justru mendatangi tempat hiburan malam untuk melampiaskan kekesalannya yang tanpa sebab.
Ya. Dia adalah Tirta Rahardja. Pengusaha sukses yang berada di bawah naungan perusahaan Praja Bekti. Perusahaan Rahardja berdiri, atas sokongan dari Kara. Itulah sebabnya Tirta tak berani berulah ataupun membantah setiap usulan yang diberikan Kara, maupun Aksa, putra Kara.
Tirta datang tidak untuk mengunjungi, ataupun mencari wanita malam untuk melampiaskan hasrat kelelakiannya. Ia datang hanya untuk mengunjungi teman lama yang selalu mendengar keluh kesahnya.
Ronnie, adalah teman Tirta yang paling setia. Pertemanan mereka cukup dekat dan sudah terjalin sejak keduanya berada di bangku sekolah menengah atas.
"Hai Sobat. Kau sepertinya tengah dilanda masalah. Oh, hei?" Mata Ronni yang tadinya hangat, kini berubah menjadi penuh keterkejutan, saat ia mengingat sesuatu. "Bukankah ini malam pertamamu? Apa yang kau cari di tempat seperti ini, sementara ada daun muda di kamarmu?" Tanya Ronnie lagi dengan mata melotot sempurna.
"Emosi itu datang lagi. Aku benci wanita cantik yang penuh kepalsuan." Ungkap Tirta seraya duduk di sofa sambil bersandar, dan memejamkan matanya.
Mendengar ungkapan Tirta, Ronnie hanya bisa berdecak sebal.
"Kau ini. Sepertinya kau perlu ke psikiater untuk memeriksakan kejiwaanmu. Kau tahu, Tirta. Kau sudah melewati batas normal menurutku. Kau, aku pikir kau ini abnormal."
Tirta membuka matanya. Lelaki itu mengingat percakapan panasnya tadi bersama Hana. Hana juga tadi menyuruhnya untuk ke psikiater. Bukankah ini semakin membuat kadar kebencian Tirta pada Hana, juga semakin bertambah berkali lipat?
"Aku benci apa pun yang menyerupai masa laluku." Ungkap Tirta.
Ronnie yang tadi hanya berdiri, kini ikut duduk di depan Tirta. Posisinya hanya terhalang meja bundar.
"Hei. Kau memang pernah bermasalah dengan mantan kekasihnya yang cantik jelita itu. Hanya saja, harusnya kau tak menempatkan kebencianmu itu, pada wanita yang berbeda, bung. Ingat, istrimu, putri Daniel Atmadja bukanlah Anita Darma yang jasadnya telah menyatu dengan tanah. Tentunya mereka adalah dua wanita yang berbeda, dengan karakter yang berbeda pula." Tandas Ronnie.
"Kau tak tau rasanya jadi aku, Ron. Aku bukan hanya dibohongi, bukan hanya dikhianati. Melainkan dulu Anita juga nyaris menghabisi aku, hanya karena ia mengincar hartaku. Semenjak aku tau karakter asli wanita itu, aku merasa krisis kepercayaan terhadap wanita." Ungkap Tirta.
"Lalu, bagaimana jika aku mengatakan bahwa Nona Gihana tak seburuk Anita? Kurasa ia wanita baik-baik. Apa kau tak khawatir, kalau-kalau nanti keluarga Tuan Kara tahu apa yang kau lakukan pada istrimu yang masih kerabat mereka?" Tanya Ronnie dengan serius.
"Dia tak akan berani mengadu sedikit pun pada keluarganya. Aku berani menjamin, ia akan tunduk, patuh dan takluk padaku." Jawab Tirta dengan gamang.
"Dulu, aku pikir aku akan hidup bahagia dengan wanita yang aku cintai. Tetapi kini aku bahkan menikah dengan wanita yang tak aku cintai."
"Lantas, bagaimana jika seandainya secara lambat laun, kau mencintainya? Dia sangat baik, kurasa." Kata Ronnie.
"Dia bukan wanita baik-baik. Kau hanya tak tahu saja, dia bukan lagi gadis." Ungkap Tirta santai.
"Hah?" Tentu saja Ronnie terkejut atas pengakuan Tirta. "Jadi, kau sudah menggaulinya?" Tanya Tirta lagi.
"Aku sudah menghabiskan banyak uangku untuk meminangnya, Ron. Jadi apa salahnya bila aku mencicipinya?" Tanya Tirta, tanpa rasa bersalah.
"Kau sudah mencicipinya, tapi kau memperlakukan wanita dengan buruk. Astaga, Tirta. Aku tak habis pikir dengan alur pikiranmu. Kau akan menyesal jika terus menjahati dia." Ungkap Ronnie karena gemas.
"Dia wanita yang bermulut tajam, Ron. Bahkan ia tadi sempat menyuruhku untuk ke psikiater. Andai dia bukan pengantinku, aku bersumpah akan membungkamnya seperti aku membungkam Anita Darma untuk selamanya,Tujuh tahun silam." Sahut Tirta.
Tatapan mata tirta mengelap, penuh dengan amarah. Kisah kelam di masa lalu, telah membuat tangan lelaki itu penuh dengan noda darah. Hanya Ronnie, dan Joshua yang tahu, tentang kematian tragis Anita ditangan Tirta.
Bahkan Kara sekalipun, tidak tahu tentang itu. Yang keluarga Praja Bekti tahu, Tirta jatuh miskin akibat kebangkrutan, dan Tirta mengalami depresi akibat ditinggal mati kekasihnya. Beruntung Joshua saat ini telah menetap di Texas, dan memilih tetap setia pada Tirta untuk merahasiakan tragedi itu.
"Kau benar-benar psikopat gila, Tirta. Kau tak punya hati. Kau harus mencoba untuk mengubur kenangan itu. Biar bagaimana pun juga, istrimu itu sangat butuh sosok lelaki yang bisa melindunginya, bukan justru membuatnya gila." Ucap Ronnie tak berdaya.
"Entahlah, Ron. Menatap Gihana, pembawaannya membuatku sangat membencinya." Tukas Tirta kemudian.
"Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Bagaimana jika seandainya, dia hamil setelah ini?" Tanya Ronnie kemudian.
"Dia tak akan hamil hanya karena sekali melayaniku. Lagi pula, aku tak terpikir untuk segera ingin memiliki anak. Aku lebih suka bersenang-senang dan menikmati kesendirian." Ungkap Tirta.
"Aku tak heran lagi. Kau memang memiliki kepribadian yang introvert sejak dulu. Hanya saja, kau tak pernah berpikir untuk masa tuamu. Siapa yang akan mengurusi dirimu dengan baik, jika bukan anak?" Tanya Ronnie kemudian.
Tirta bungkam. Selama ini, ia memang selalu menganggap semua wanita sama. Sedikit pun ia tak pernah melihat kebaikan yang tertanam dalam hati wanita lain selain Anita.
Semenjak tewasnya Anita, saat itu pula Tirta membekukan hatinya. Hidupnya berubah kelam dan penuh dengan kegelapan. Tak ada cahaya. Tak ada warna.
"Hidup terkadang memang lucu, Ron. Hanya saja, aku tak tahu pasti dengan bagaimana jalan hidupku. Tetapi aku sudah bertekad, untuk hidup sendiri saja. Tak ada lawan jenis yang bisa aku percaya selain mendiang ibuku." Ucap Tirta.
Tatapan Tirta yang tadinya menggelap, kini berubah menjadi sendu dan penuh emosi. Hatinya yang rapuh itu, membuat Ron mau tak mau iba. Hidup Tirta tak semudah yang terlihat. Ada banyak hal yang melatarbelakangi kejahatan yang dilakukannya.
"Terserah apa katamu saja. Hanya saja jika boleh aku menyarankan, jangan kau apa-apakan Putri tuan Daniel, jika kau tak mau berhadapan dengan Adi Prama dan Praja Bekti. Percayalah, jika mereka tahu, hidupmu tak akan baik-baik saja." Ujar Ronnie memberi tahu.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!