NovelToon NovelToon

Kembar Jenius Si Mantan Playboy

KJSMP. PERKENALAN.

Novel ini adalah sekuel dari Aku Bukan Pemuas R4njang. Mengambil cerita dari salah satu tokoh yang bernama Walls Diamond.

Dia adalah seorang pemuda yang slengean, tidak pernah serius. Namun, Wall's Diamond memiliki otaknya yang sangat jenius. Dirinya adalah hacker yang kemudian diangkat sebagai ahli IT di perusahaan sang kakak sepupu, yang tak lain bernama Arjuna Satria.

Namun, Arjuna membebaskannya. Sebab, perusahan di negara adidaya yang memiliki ratusan gedung pencakar langit telah meminang penemuan Wall's dan memberinya jabatan sebagai salah satu Presdir di sana.

Alat itu, adalah penangkal System peretasan. Perusahan yang memiliki alat ciptaannya itu akan aman dari hackers sehebat apapun. Apalagi jika Walls langsung yang memantaunya.

Sebab kejeniusannya itulah, dalam usia 24 tahun, Walls Diamond telah menduduki peringkat teratas hacker dan ahli IT yang di perhitungkan dunia.

"Ku kira kau hanya tau paha dan dada wanita saja," cibir Arjuna kala mereka bertemu di salah satu negara dengan harga menginap hotel termahal.

Tentu saja ia bisa bicara seperti itu kepada sang sepupu. Sebab, selama Walls kuliah tak sekalipun pemuda itu tanpa wanita. Walls adalah player kelas kakap. Bisa di bilang Casanova kecil.

Sepertinya tak ada wanita yang mampu menolak pesona seorang Walls Diamond. Kecuali ...

Seorang wanita yang ia temui kala itu di bandara.

Pada saat itu, di bandara internasional sebuah negara besar terkemuka.

"Kita akan kemana?" gumam Rose Brania, seorang wanita muda yang cantik, memiliki pengetahuan dan skill sebagai seorang dokter bedah. Namun, karena suatu hal ia kabur dari negara tersebut bersama dengan Mona Boncabee.

"Apa kau tidak memiliki rumah untuk pulang Rose?" tanya Mona, sang sahabat senasib sepenanggungan yang segera di jawab dengan gelengan oleh Rose.

"Baiklah, kita sama. Aku juga tidak memiliki rumah saat ini. Karena aku tidak mungkin kembali ke rumah lama. Mereka taunya aku sudah mati ketika aku memilih menikah dengan Max," ucap Mona berkata sendu sembari menundukkan wajahnya. Mereka berdua adalah korban dari kegilaan Mad Max.

Max, adalah suami psikopat Mona yang juga seorang ketua gangster. Namun, kakak sepupu dari Walls yaitu Arjuna telah mengalahkannya. Sementara, Max telah menyisakan segenggam trauma pada kedua wanita cantik ini. Tak terkecuali pada Rose. Dimana kala itu, Rose bermaksud menyelamatkan nyawa Mona dari kebiadaban siksaan Max.

"Sudahlah, kita juga memiliki modal yang cukup. Aku sudah menarik tunai di tiga tempat. Sementara itu, card-nya aku biarkan tenggelam di ATM terakhir. Aku yakin mereka tidak akan bisa melacak kita," jelas Rose pada Mona yang lebih tua dua tahun darinya. Sementara, Rose baru menginjak usia 25 tahun.

"Kau pintar Rose!" puji Mona dengan senyumnya. " Kita bisa tinggal bersama dan saling menyayangi sebagai saudari," ucap Mona lagi yang kali ini di sambut dengan pelukan oleh Rose.

"Kita ke negara I saja!" seru keduanya serempak.

 Sementara itu, di bandara SH, negara I.

"Kau keren Bang! Aku baru saja tiba di bandara, mungkin beberapa jam lagi akan segera sampai ke rumah sakit, " jelas Walls Diamond, seorang hacker muda berwajah tampan dengan rambutnya yang pirang. Ia berbicara melalui 𝘩𝘦𝘢𝘥 𝘴𝘦𝘵 yang melekat dengan manis di caping telinganya. Dirinya baru saja tiba di tanah air, dimana ia dilahirkan di negara tropis ini.

"Baiklah, sampai ketemu di rumah sakit 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘣𝘢𝘥𝘶𝘯𝘨!" seru Arjuna di seberang telepon.

"Ayo cepat!" seru Walls pada asisten yang membawakan barang-barangnya. Dirinya sudah tak sabar untuk melihat keponakan kecilnya yang baru saja lahir.

Tiba-tiba ...

BRUAGH!

"Aww ...!" pekik seorang wanita yang terpental karena tabrakan dengan pemuda itu.

"Maaf, No–na." Walls pun seketika terkesiap ketika ia hendak membangunkan wanita yang ditabraknya hingga jatuh.

Rose yang baru saja mengalami perjalanan panjang, sehingga masih jetleg. Ia pun mendongak dengan raut wajah kesal.

"Astaga! Kau membuat bajuku kotor!" pekik Rose seraya mendelikkan matanya kearah pemuda di hadapannya ini. Ketika ia mendapati pakaiannya yang terkena tumpahan kopi Starbek.

"Bos! Anda tidak apa-apa?" tanya seorang pria yang menjadi asisten pemuda yang berambut pirang dengan warna mata 𝘰𝘤𝘦𝘢𝘯 𝘣𝘭𝘶𝘦 𝘪𝘵𝘶.

"𝘐'𝘮 𝘰𝘬𝘦, 𝘞𝘪𝘭𝘭," ucap Walls tetap tak memindahkan pandangannya pada hasil maha karya sang pemilik semesta di hadapannya. Karena, Rose sangat cantik dengan kealamian pada wajahnya.

𝘠𝘰𝘶 𝘢𝘳𝘦 𝘴𝘰 𝘱𝘳𝘦𝘵𝘵𝘺, 𝘸𝘰𝘮𝘢𝘯. 𝘏𝘢𝘪𝘪𝘴, 𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨, 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘭𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘯𝘵𝘪𝘬. 𝘉𝘪𝘣𝘪𝘳 𝘵𝘪𝘱𝘪𝘴 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘪𝘶𝘳𝘬𝘢𝘯. Walls menelan air liurnya sendiri, jakunnya turun naik seiring pikiran liarnya ketika memandangi wajah Rose yang cantik.

"Maaf, Nona. Lain kali jika mau minum kopi sebaiknya sambil duduk. Kan lebih enak," ucap Walls tentunya dengan seulas senyum manis memikat sebagai jurus andalannya. Namun, Rose semakin menatapnya horor.

𝘊𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘫𝘶𝘨𝘢, 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘨𝘢𝘭𝘢𝘬. 𝘏𝘦𝘮𝘮 ... 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘳𝘪𝘬. Batin Walls.

𝘋𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘴𝘶𝘮! 𝘋𝘪𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬-𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬. 𝘒𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘫𝘢𝘳! Umpat Rose dalam hati. Kemudian Mona menarik tangan Rose Brania, mengajaknya untuk menjauh segera. Karena ia tau jika Rose mulai tersinggung saat ini. Akan tetapi Rose tetap tak bergeming.

"Apa itu masalahmu! Kau seharusnya menggunakan matamu saat berjalan!" kilah Rose dengan berapi-api.

"Hei, Nona manis. Horor banget sih! Sejak kapan manusia jalan menggunakan mata? Bukankah seharusnya dengan kaki? Iya 'kan Will?" tampik Walls bahkan ia mengajak Will untuk mendukungnya.

"Itu kan hanya kiasan! Dasar bule mesum!" gemas Rose.

"Hei, atas dasar apa kau memberi julukan itu? Tapi, Aku sangat tersanjung." Walls tersenyum seraya mengedip nakal. Membuat Rose bergidik , sementara Mona menahan tawanya.

"Dasar gila!" Gumam Rose langsung meninggalkan Walls. Ia menggamit tangan Mona kemudian berjalan dengan cepat.

"Terimakasih atas pujiannya Nona cantik! Semoga kita bertemu lagi!" teriak Walls membuat Will menutup wajahnya karena malu akan kelakuan majikannya ini.

"Kita pasti akan bertemu lagi cantik," gumam Walls sambil melihat punggung Rose yang menghilang di balik tikungan koridor.

Sejak saat itulah, seorang Walls Diamond memiliki hanya satu target wanita saja. Karena baginya Rose itu pribadi yang unik karena tidak terpesona pada ketampanan. Bahkan, Wall's sempat berpikir apakah rating ketampanan pada dirinya menurun sehingga pesonanya tak lagi berkilau.

"Bagaimana mungkin Bos?" tanya Will heran. Ia sengaja menguping gumaman dari Bosnya itu. Kenalan saja tidak apalagi tukar nomer ponsel, lalu bagaimana bisa bertemu lagi? Begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran Will Smurf. Asisten dari Walls Diamond.

_____

"Kau perhatikan ini." Walls menunjukkan layar ponsel canggihnya itu, dimana di sana menunjukkan semacam 𝘎𝘗𝘚. Sebuah pergerakan tengah terbaca dengan jelas.

"Kau tau Will, aku telah menempelkan alat pelacak pada tas nona yang cantik tadi. Jadi, mulai saat ini aku akan memantau pergerakannya. Bahkan aku dapat mendengar apa yang ia bicarakan jika nona tadi mengenakan tas tersebut." Walls menjelaskannya sambil senyum-senyum sendiri. Tatapannya menerawang jauh ke depan.

𝘈𝘥𝘶𝘩𝘩, 𝘣𝘰𝘴 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘨𝘪𝘭𝘢 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘒𝘢𝘭𝘰 𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘭𝘪𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘤𝘢𝘬𝘦𝘱 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪. 𝘒𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘳𝘨𝘦𝘵 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘯𝘰𝘯𝘢, 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘪𝘢𝘱𝘭𝘢𝘩! batin Will seraya menggelengkan kepalanya. Karena selama mengikuti Walls selama enam bulan. Will melihat belum sekalipun bosnya itu gagal dalam hal mengejar wanita.

Walls meskipun masih muda tapi sudah sangat ahli dan mahir dalam menaklukkan hati wanita.

"Tenang saja, Will. Nanti temannya akan kuberikan untukmu. Bukankah dia juga cukup seksi," goda Walls pada asistennya itu. Membuat Will sumringah seketika.

Ya, mau tak mau. Will mengikut saja apa aksi gila dari Bos-nya ini.

Sebelum aku, pindah ke negara Clinton. Aku harus mendapatkan Rose Brania!" ujar Walls dengan senyum penuh arti setelahnya.

KJSMP. Jerat Cinta Si Anak Badung

"Aakhh! Brengsekk!" maki Rose di depan cermin pada wastafel sebuah hotel bintang lima.

"Berani sekali anak itu menjeratku seperti ini! Dia pikir dapat memiliki hatiku dengan cara seperti ini, hah! Apa dia pikir, dirinya sudah menang dan berhasil!" marah Rose Brania sambil terus menggosok seluruh tubuhnya dengan spon berbusa.

"Kalian, pria adalah mahluk brengsekk! Kenapa ...? Apa kau pikir aku akan takluk padamu setelah ini! Tidak akan!" Rose semakin kencang menggosok beberapa tanda merah yang tersebar di setiap lekuk tubuhnya. Stempel kepemilikan itu, justru mengingatkan padanya kejadian semalam.

...*Flashback*...

"Bule mesum! Apa yang sudah kau lakukan padaku!"

Buk. Buk. Buk!

Rose terus memukuli tubuh polos di sebelahnya tanpa ampun menggunakan guling. Sebab, hanya benda itulah yang ada di dekatnya. Sementara dirinya amatlah geram dan emosi. Bagaimana tidak jika dirinya bangun tidur di kamar mewah sebuah hotel serta dalam keadaan tanpa busana. Lebih parahnya lagi, pria bertubuh atletis yang ada di sebelahnya ini adalah pria yang sangat menyebalkan. Pria yang sudah sembilan puluh sembilan kali ia tolak.

Namun, entah apa yang ad di pikiran si playboy gila itu. Ia menjebak Rose dengan aroma terapi yang berefek memberi rangsangan pada libido. Sehingga, Rose Brania tanpa sadar bergumul panas dengan-nya di dalam kamar hotel.

Kala itu, Rose hendak melamar pekerjaan sebagai pengawas binatu. Di hari ia di tes, Walls yang telah bekerja sama dengan pihak hotel mengerjainya. Rose di beri tugas untuk mengganti seluruh seprai dan juga gorden kamar yang di pesan oleh Walls.

GREP!

Walls menangkap pukulan kesepuluh dari Rose Brania. Dimana guling itu hampir mendarat di wajahnya yang tampan.

"Hei, apa kau ingin menghancurkan wajah ku yang tampan ini?" ucap Walls dengan senyum menggoda. Membuat wanita di hadapannya ini semakin muak.

"Kan, susah ku katakan. Aku tidak akan membiarkan kau menolak ku untuk yang keseratus kali. Apapun, akan ku lakukan untuk mendapatkanmu." Walls berkata seraya menatap mata Rose lekat dengan satu tangannya mencekal lengan ramping Rose.

"Kau! Aku semakin membencimu!" ucap Rose penuh penekanan. Kedua matanya tajam menyorot ke dalam tatapan Walls yang lekat. Pria yang jago IT dan seorang master of hacker yang di perebutkan oleh beberapa negara itu, hanya menyeringai tipis menanggapi kekesalan Rose. Wanita, yang sudah dikerjainya agar dapat ia tiduri. Walls, terpaksa menipu dan merekayasa suatu panggilan pekerjaan agar Rose masuk ke dalam jebakannya. Dia sungguh terobsesi pada wanita ini.

"Aku ingin membersihkan tubuh. Dua jam lagi akan berangkat ke kantor. Kau, istirahat saja. Aku akan menjemputmu jam satu siang nanti."

Cup!

Walls melabuhkan ciumannya pada kening Rose. Seakan wanita itu diam saja ia perlakuan seperti ini. Walls pikir, ia telah memenangkan wanita yang telah diincarnya selama dua bulan ini. Selama itu juga ia terus mengutarakan perasaannya. Ungkapan cinta yang selalu di tolak mentah-mentah oleh Rose. Tak perduli bagaimana pun cara Walls mengungkapkan perasaannya itu. Rose, telah memutuskan untuk tidak akan pernah berhubungan lagi dengan pria manapun di dunia ini. Sebab, perlakuan Mad Max padanya meninggalkan bekas trauma yang begitu mendalam. Dan, perlakuan dari Walls semakin memperbesar rasa traumatik itu.

"Aku membencimu, bahkan sampai di dua kehidupanku!" pekik Rose seraya menghapus kasar bekas ciuman Walls pada keningnya. Kedua matanya menyorot tajam pada pria yang telah menidurinya itu.

"Kenapa? Bahkan, kau sudah tidak virgin lagi. Lalu, apa masalahnya? Aku tidak perduli siapa pria yang pertama kali menjamahmu. Satu hal yang pasti, kau adalah wanitaku saat ini!" ucap Walls penuh penekanan. Setelah itu ia turun dari atas kasur. Meraih pakaiannya yang berserak di atas karpet. Bahkan dengan sangat santai dan tenang ia mengenakan celananya di depan Rose. Tentu saja, wanita itu memalingkan wajahnya yang sudah semerah tomat masak.

Walls terkekeh kecil, ia sangat suka wanita polos macam Rose. Meskipun, dirinya baru mengetahui bahwa incarannya ini bukanlah gadis lagi. Justru, hal itu bukanlah masalah, Walls jadi merasa tidak terlalu berdosa.

Walls berbalik, dan Rose mengambil tas miliknya lalu merogoh sesuatu dari sana. Setelah mendapatkan apa yang dicari. Rose, segera menggulung tubuhnya dengan selimut. Ia pun turun dari tempat tidur dengan cepat dan menghampiri Walls. Bahkan, Rose melupakan rasa sakit dan perih di area pribadinya itu.

Crep!

"Awh!" teriak Walls yang merasakan sesuatu menancap di bokongnya. Ia pun sontak menoleh kebelakang. Benar saja, ia mendapati wanita bak dadar gulung tengah menyeringai dengan jarum suntik di tangan kanannya. Seketika, pandangan Walls perlahan mulai kabur. Tungkainya seketika lemas tak bertulang.

"Satu, dua, ti ... ga ...!"

Brukk!

Walls, sukses tersungkur di depan pintu kamar mandi. Pria itu pingsan, sebab Rose telah memasukkan obat bius melalui jarum suntik. Rose selalu membawa alat injeksi khusus itu kemana pun ia pergi. Untuk berjaga-jaga, sebenernya. Karena, cairan yang disuntikkan ke tubuh korban mampu membuat seseorang yang mendapatkan bius darinya akan tidur seharian.

...*Flashback end*...

Rose melangkahi raga Walls yang masih tertidur. Menghapus air matanya kasar. Karena lagi-lagi, ia mendapati tindakan dan perlakuan yang tidak senonoh dari seorang manusia berjenis laki-laki. Kenapa nasibnya selalu begini? Belum lagi luka dan sakit hatinya sembuh atas perlakuan Mad Max padanya. Kini, seorang pria yang lebih muda tiga tahun darinya justru melecehkannya secara terang-terangan.

"Apakah aku begitu hina sehingga tak satupun kudapati tindakan yang menganggap ku terhormat. Membuat pandangan ku terhadap kaum kalian berubah lebih baik. Aku semakin tidak mempercayai mahluk seperti kalian, seumur hidupku!" Rose meninggalkan hotel tersebut dengan sebuah luka menganga di dalam hatinya.

"Rose! Kau kemana saja? Tidur di mana semalam? Kau bahkan mematikan ponselmu!" sambut Mona dengan cecaran pertanyaan ketika ia mendapati sahabatnya itu masuk ke dalam kontrakan mereka.

"Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang kita harus pergi dari sini!" ujar Rose, sambil lalu masuk ke dalam kamarnya.

"Aku ingin pergi dari kota ini, kalau perlu ke luar negeri sekalian," jelas Rose sambil merapikan pakaiannya dan memasukkan ke dalam koper kecil.

"Apa! Kenapa? Darimana kita punya uang?" bingung Mona.

"Aku akan menerima tawaran dari Nyonya Megan, untuk menjaga ibunya di LA."

"Apa kau yakin?"

"Kau mau ikut atau tidak!"

Mona mengangguk cepat, mana mungkin ia membiarkan Rose pergi sendiri. Mona yakin, sahabatnya ini tengah menyembunyikan sesuatu.

Rose dan Mona pun memutuskan pergi ke luar negeri hari itu juga. Nyonya Megan telah mengirimkan tiket pesawat agar keduanya sampai dengan segera. Megan Albania. Telah berhutang budi pada Rose, sebab ibunya yang saat itu terkena serangan jantung mendapat pertolongan pertama sehingga tidak sampai terserang stroke. Kala itu mereka bertemu di sebuah makan tempat Rose dan Mona bekerja.

Keesokan harinya, Walls bangun sambil memegangi kepalanya yang sakit. "Aku dimana? Aku siapa?"gumamnya yang macam orang linglung. Tiba-tiba ...

Klekk!

Pintu kamar hotel terbuka dari luar.

"Bos!" teriak Will, langsung menghampiri Walls yang duduk dalam keadaan bertelanjang dada. Sementara bagian bawah tubuhnya hanya tertutup dengan handuk.

"Apa yang terjadi, Bos? Kenapa anda masih di dalam kamar ini?" heran Will. Pandangannya mengedar ke sekeliling kamar. Tidak ada tanda-tanda jika wanita itu juga berada di tempat ini.

"Aku, aku salah, Will," lirih Walls seraya memijat pangkal hidungnya.

"Baru sadar, Bos? Sepertinya anda telat!" tukas Will. Sejak awal ia telah menentang ide dari Walls, tetapi Bosnya ini begitu keras kepala.

"Cari dia Will! Cari wanita ku!"

"Nanti saya cari di pasar Bos!"

"Kok, di pasar?"

"Ya, kali aja ada yang jual!" jawab Will kesal.

Blukk!

"Akh!"

"Bos, kejam!" Will mengusap keningnya yang terkena lemparan sandal hotel.

...Bersambung...

KJSMP. Hiro Dan Milea

Enam Tahun Berlalu.

"Terimakasih, Dokter Rose. Anda sangat membantu masyarakat kecil di desa ini. Kami sangat bersyukur jika anda masih berkenan untuk terus praktek di klinik ini," ucap seorang pria paruh baya yang penuh wibawa.

"Tapi, saya harus kembali ke kota. Kedua anak saya akan bersekolah di sana," jawab Rose berat. Memang, menjadi dilema baginya ketika masyarakat desa ini membutuhkan bantuannya, sementara kedua anak kembarnya juga membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan intelegensi mereka. Di desa ini belum ada sekolah yang mampu menunjang IQ kedua anak kembarnya itu.

"Tapi, Dokter--" Pria paruh baya yang merupakan pemilik dari klinik merasa tak memiliki hak juga jika harus menahan kepergian Rose Brania. Desa mereka sudah terlanjur bergantung dengan kehadiran sosok dokter cantik yang pandai dalam bidang medis terutama bedah ini. Juga, dedikasinya yang tinggi. Rose, membantu sesuai ilmu yang ia miliki. Sengaja memilih klinik kecil di sebuah desa yang juga kecil. Karena, di kota besar dokter yang memiliki kemampuan sepertinya sudah banyak.

Dengan keberadaannya, setidaknya masyarakat di desa ini tidak perlu terlalu sering ke kita jika hanya untuk berobat. Rose yang memiliki pengetahuan umum dan juga ilmu bedah mampu menangani segala penyakit kecuali jika harus operasi maka ia akan menyarankan ke rumah sakit besar di kota.

"Maaf, Tuan Bradley. Saya ingin mendampingi anak-anak saya di masa pendidikan mereka. Saya harap anda memaklumi, jujur saja sebenernya saya juga berat," ucap Rose yang hampir menitikkan air mata. Mengingat ada beberapa pasiennya yang berangsur membaik ketika menjalani perawatan dengannya.

"Saya faham, keluarga adalah yang utama. Apalagi, si kembar hanya memiliki anda sebagai orang tua mereka. Saya harap, kami mendapat pengganti dokter yang sebagus anda. Juga, semoga anda dan si kembar sukses di kota. Saya harap kalian menemukan kebahagiaan," ucap Tuan Bradley tulus. Pria itu sedikit tau bagaimana susah senangnya Rose membesarkan anak kembar seorang diri. Memang ada, Mona sang sahabat yang membantunya. Namun, bagaimanapun. Semua itu tetaplah bukan hal yang mudah untuk di lakukan sendirian.

"Terimakasih, atas pengertian anda. Saya pamit." Rose akhirnya keluar dari klinik tesebut. Klinik yang telah membesarkan namanya di desa itu. Sehingga, dari ujung ke ujung tidak ada yang tidak tau tentang sepak terjangnya. Kebetulan, di desa itu, Rose adalah salah satu dokter yang di andalkan. Semua karena kepiawaiannya dalam pengobatan dan juga tindakan bedah kecil.

"Ma, Dede mana? Aku mau ajak ke swalayan buat beli camilan," ucap Hiro, bocah laki-laki dengan wajah tampan menggemaskan. Terlihat lebih dewasa dari usianya yang masih terbilang balita. Namun, hal itu tidaklah mengurangi keimutan darinya.

"Biasanya juga ada di kamar, paling lagi gambar manga," jawab Rose. Sekilas ia menatap putranya itu lalu melempar senyum, setelahnya kembali menatap ke layar laptopnya lagi. Sebab, jika putranya itu tidak di gubris maka Hiro akan melarang nya untuk membuat novel online lagi.

"Ma, Dede gak ada lho!"seru Hiro yang kini tau-tau sudah ada di hadapannya lagi. Rose, segera menutup laptopnya. Lalu, menatap wajah tampan putranya itu dengan senyum.

"Apa kamu, udah nyari Milea ke dapur? Mungkin, lagi sama aunty Mona tuh!" ujar Rose membuat mulut bocah imut di hadapannya ini membentuk huruf O.

"Kamu tuh, kayak gak tau aja kalo adiknya suka banget masak selain gambar," Rose mencubit gemas kedua pipi chubby putranya itu. Ia pun terkekeh tatkala Hiro mendengus kesal.

"Jangan suka nyubit pipi aku! Aku kan bukan anak bayi!" rengek, Hiro justru semakin membuat Rose gemas bukan main.

Cup! Cup! Cup!

"Mama!" pekik Hiro, kemudian bocah Lima tahun itu pun berlari mengejar Rose yang meledeknya dengan menjulurkan lidah. Hiro, semenjak ulang tahunya yang kelima sudah tidak mau lagi jika di cium. Kecuali jika dirinya yang meminta dan itu pun hanya di kala mau tidur malam saja.

Menurut, Hiro dirinya itu adalah laki-laki dewasa yang harus melindungi mama dan juga adik perempuannya. Milea, asik kembar perempuan yang hidup satu ari-ari ketika dalam rahim Rose lima tahun yang lalu.

"Mama ... Abang!" pekik Milea ketika Hiro dan Rose mendekatinya. Saat ini Milea tengah berada di depan kompor dengan cara naik ke atas kursi. Gadis kecil berambut ikal yang di kuncir dua itu tengah mengaduk saus pasta dengan spatula kesukaannya yang berwarna magenta. Berikut juga apron lucu bergambar kupu-kupu.

"Kami, lagi buat apa, Dek? Kenapa wanginya enak sekali?" cecar Hiro yang ikut mendorong kursi untuk melihat apa yang tengah di masak oleh sang adik. Sementara itu, Mona hanya menggeleng sambil senyum-senyum melihat aksi kedua anak kembar itu. Sejak tadi, Milea melakukan semuanya sendirian. Mona hanya membantu sedikit, dan kini ia tengah membuat minuman serta mencuci buah yang akan di buat salad.

"Tentu saja makanan kesukaan, Abang. Makaroni saus tuna dengan topping Mozarella," ucap Milea menirukan cara bicara chef yang mempunyai acara sendiri di televisi. Acara kesukaannya yang selalu ia tonton bersama dengan engan Mona.

"Baiklah, kalau begitu cepat. Abang sudah lapar. Kau lihat kan, perut sampai kempes begini," tunjuk Hiro pada perutnya yang rata. Jangan lupakan bibirnya yang mengerucut ke depan.

"Ck, ya sudah tunggu sana. Jangan dekati aku. Nanti bisa gak selesai!" usir Milea yang membuat Hiro kembali mendengus. Ia pun turun dari kursi dan duduk di meja makan sebelah sang mama. Rose kembali sibuk dengan layar laptopnya.

"Serius banget sih, Bu dokter, eh Author!" sindir Hiro, seraya membekap mulutnya lantaran kelepasan.

"Kenapa? Ini kan juga demi masa depan kalian berdua. Dengan begini, Mama akan tetap bisa bekerja dari rumah sambil mengawasi kalian. Sekaligus, membagi informasi dan pengetahuan mengenai ilmu medis dan pengobatan melalui sebuah tulisan," tutur, Rose menjelaskan. Membuat putranya itu sontak terdiam. Wajahnya bahkan berubah sendu.

Kening, Rose seketika berkerut melihat perubahan ekspresi putranya itu. "Hiro, akan berlatih lebih keras lagi agar mendapatkan beasiswa itu. Sehingga, Mama tidak perlu pusing memikirkan biaya sekolah untukku. Abang, juga akan memenangkan hadiah dari turnamen agar, Dek, Milea juga bisa sekolah di tempat yang terbaik," tutur Hiro membuat sudut hati Rose seketika menghangat.

"Bagaimana pun, kalian berdua adalah tanggungjawab, Mama. Mengenai beasiswa dan kejuaraan turnamen. Itu semua adalah bonus, sebuah prestasi yang harus di usahakan dengan sekuat tenaga. Mama akan tetap bekerja keras demi masa depan kalian berdua," Rose memajukan tubuhnya, demi melabuhkan kecupan di kening Hiro.

"Adek juga akan berusaha sekuat tenaga, agar dapat memenangkan lomba Chef cilik di kota nanti!" ujar Milea penuh semangat. Tentu saja, Rose segera meraih kedua anak imutnya itu kedalam pelukannya. Bayi-bayinya ternyata telah tumbuh besar dan dewasa lebih cepat.

______

"Kenapa aku harus terpilih menjadi salah satu juri di sana?" kesal Walls. Rasanya malas sekali tampil di depan publik apalagi jika di liput oleh media.

"Tentu saja anda terpilih, Bos. Perusahan anda adalah salah satu promotor dari turnamen tersebut. Lagipula, publik ingin tau bagaimana wajah dari Presdir salah satu perusahaan besar di United State Of Wakanda ini," jelas Will sang asisten yang semakin terlihat parlente di usianya yang semakin matang. Sangat berbeda dengan Bos-nya yang tetap saja masih suka seenaknya itu. Hanya saja, Walls kini tidak pernah lagi bermain dengan wanita. Sampai Will mengira jika roket milik bos-nya itu mengalami kerusakan permanen.

...Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!