NovelToon NovelToon

Mr. Mafia Meet Juragan Jengkol

Malam Kelabu

Darla Marques ialah wanita dengan sejuta pesona. Dia baik, cantik, dan tentu saja mandiri. Berdiri di atas kakinya sendiri. Dan merintis bisnis makanan dari nol tanpa campur tangan keluarganya.

Sejak kecil Darla tinggal bersama bibi dan pamannya di Indonesia. Kepergian orangtuanya di masa lampau membuat Darla semakin bersemangat meraih mimpinya menjadi seorang pengusaha. Karena hidup sebatang kara tak menjadikan Darla patah arang. Setelah menyelesaikan studi di jurusan akuntansi Darla memutuskan menetap di Los Angeles. Hendak mengumpulkan pundi-pundi kekayaan di negeri paman Sam itu.

Darla memilih menjadi penjual semur jengkol. Lunna' sepupunya mengatakan semur jengkol buatannya sangat lah enak. Tak mau membuang kesempatan emas. Lantas Darla memasak dan menjual makanan khas Indonesia itu dari rumah ke rumah. Karena enak dan mengugah selera, semur jengkolnya sangat diminati di LA. Dalam kurun waktu satu tahun bisnis yang digeluti Darla berhasil memperkerjakan seratus karyawan sekaligus.

Meski pun begitu di balik kesuksesan Darla. Kisah cintanya tak semulus jalanan tol. Sejak dulu ia menaruh hati pada seorang pria yang rentang umurnya sangat jauh darinya. Siapa lagi kalau bukan Eslin, bodyguard bibinya sewaktu dia masih kecil dulu.

Akibat kehilangan kedua orangtuanya membuat Eslin menaruh rasa iba pada Darla. Pria itu memberikan Darla perhatian selayaknya seorang ayah. Akan tetapi Darla malah menaruh rasa suka pada Eslin. Sejak dini perasaan suka itu tumbuh perlahan di palung hatinya menjadi sebuah rasa cinta. Beranjak dewasa Darla pun mengutarakan perasaannya pada Eslin namun apa yang didapatkan tak sesuai ekspetasi Darla. Dengan lantang Eslin menolaknya.

"Kau gila atau apa?! Sadar lah Darla, aku tidak pantas bersanding denganmu, lagipula aku sudah menganggapmu sebagai anakku!" seru Eslin kala itu.

Darla yang sudah dibutakan cinta tak perduli dengan penolakan Eslin. Malah dia semakin tertantang. Ingin memiliki Eslin seutuhnya. Walaupun sikap Eslin padanya berubah dratis tak seperti dahulu kala. Darla sakit? Ya, tentu saja. Namun ia tak gentar sekalipun dalam memperjuangkan cintanya. Anggap saja dia pengemis. Ya, benar itu, pengemis cinta!

Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik, Darla selalu mengirimkan pesan kepada Eslin. Tapi Eslin tak membalas satupun pesan darinya. Hingga di suatu hari, Darla mendapatkan kabar mengejutkan bahwa Eslin sudah menikah.

Jedar!

Bak petir di siang bolong. Luka di hati Darla semakin mengangga lebar. Ingin mencoba melepaskan bayang-bayang wajah Eslin tapi tetap saja tak bisa. Yang ada nafasnya semakin sesak seperti ada bongkahan gunung menghimpit paru-parunya seketika.

Dan hal itu membuat Darla terjatuh, merembet ke usahanya. Berbulan-bulan Darla meratapi kemalangan cerita cintanya. Dia berusaha move on dan mencoba mengikhlaskan Eslin. Namun entah setan apa yang bersemayam di otak Darla. Dia bertekad ingin memisahkan Eslin dan istrinya.

Di suatu hari Darla datang ke mansion Eslin bergaya bak pelakor masa kini. Mengatakan pada Esmeralda bahwa telah menjalin hubungan bersama Eslin.

"Esmeralda tau kah kau? Aku dan Eslin pernah tidur bersama. Apa kau masih mau memiliki hubungan dengan pria yang mengingkari janji suci pernikahannya?" kata Darla seraya menyeringai tipis.

Lagi dan lagi semesta tak berpihak padanya. Eslin menyangkal perkataan Darla dengan berkata jujur dan tentu saja Esmeralda lebih mempercayai Eslin.

"Cukup Darla!!! Kau keterlaluan! Kau seperti seorang jal@ng! Aku sudah memiliki istri dan anak. Bisa kah kau melupakan aku! Jangan pernah mengusik keluargaku! Jika kau masih menganggu istriku, aku tidak akan segan-segan membuat hidupmu menderita j@lang!!!" murka Eslin kala itu membuat hati Darla semakin remuk redam.

Setelah kejadian itu bukannya renggang, hubungan Eslin dan Esmeralda malah semakin erat. Hingga pada akhirnya pasangan suami istri itu memiliki tiga orang anak sekarang. Darla berang, dengan tidak tau malu semakin mendekati Eslin. Walaupun Eslin menolaknya secara terang-terangan.

Apa Darla menyerah? Oh tidak! Berbagai macam cara ia lakukan untuk memisahkan Eslin. Tapi selalu saja gagal. Hingga tepat malam ini. Di sini di bar Lounge Paradise Darla akan kembali melancarkan serangannya.

Bunyi dentuman musik mengalun-alun di telinga Darla. Sedari tadi, dia mengirim pesan kepada Eslin bahwa dia membutuhkan bantuan untuk pulang ke apartment sebab mobilnya mogok.

"Hei Pacito, ini rahasia antara kita, bisa kah kau menabur ini nanti!" Darla menyodorkan serbuk berwarna putih kepada pria berkepala plontos dihadapannya.

"Haha, oke, jangan lupa imbalannya, kirimkan aku semur jengkol buatanmu besok siang!" Pria itu berseru cukup nyaring.

Membuat pria berwajah sanggar dan memiliki sorot mata tajam melirik Darla sekilas. Pria itu duduk sekitar dua meja dari tempat duduk Darla. Seringai tipis terukir diwajahnya. Sedari tadi bola mata berwarna abu-abu itu tak melepaskan pandangan matanya dari Darla.

"Itu mah gampil, aku akan memberikanmu secara gratis, kau mau berapa box?" tanya Darla tersenyum angkuh.

"Lima!"

Darla mengangguk kemudian ekor matanya tanpa sengaja melihat Eslin celingak-celinguk di ujung sana sepertinya sedang mencari dirinya.

"Pacito, cepat lakukan tugasmu. Dan aku meminta tolong padamu memesan kamar VIP, ingat jangan sampai orang lain tahu." Darla berbisik di telinga si pemilik bar. Mendengar hal itu Pacito tersenyum tipis lalu berjalan cepat meninggalkan Darla duduk sendirian di meja.

Selepas kepergian Pacito. Darla beralih menatap Eslin yang masih mencarinya di tengah keramaian.

"Eslin!!!" panggil Darla sembari menjentikkan jariya ke udara. Begitu mendengar suara Darla, Eslin berjalan cepat menuju mejanya kemudian menarik tangan Darla.

"Ayo, pulang! Mengapa kau di bar ini, Darla! Nyonya Lily akan marah padamu, jika tau kau ada di sini!"

Seketika Darla menahan tubuh Eslin. "Tunggu, minum lah dulu, Eslin. Tenanglah Aunty tidak akan tau aku ada di sini, lagipula dia sedang sibuk dengan cucu-cucunya."

Dengan tergesa-gesa Pacito datang dari arah depan sembari membawa dua gelas minuman kemudian meletakkan pesanan Darla di atas meja.

Eslin mendengus kasar. "Ck! Sudah lah aku malas minum, Esme melarangku!"

"Bisa kah kau tidak menyebut namanya!" Darla mulai tersulut emosi kala sebuah nama yang dia benci terucap dari bibir Eslin.

"Apa salahnya dia istriku! Sudah lah Darla, ayo! Aku tidak punya banyak waktu!"

"Oh, please Eslin. Just one shot, oke?" Darla menyodorkan minuman di sisi kanan kepada Eslin dengan menampilkan mata puppy eyesnya.

"Oh God! Setelah itu kita pulang!" Mau tak mau Eslin menuruti perkataan Darla. Karena baginya Darla sudah dia anggap sebagai putri kandungnya. Dia tak mau Darla kenapa-kenapa. Mengingat Darla tak memiliki orangtua lagi. Lily' mantan majikannya dulu juga pernah memintanya menjaga Darla.

Darla membalas dengan mengangguk dan tersenyum tipis. Tak lupa ia mengambil minuman miliknya dan meneguk minuman mocktail itu hingga tandas.

"Sudah, ayo sekarang kita–" Perkataan Eslin menggantung tatkala bunyi ponselnya berdengung.

"Tunggu sebentar, kau tunggu di sini, Esme meneleponku!" Tanpa mendengar balasan Darla. Eslin berlalu pergi hendak mengangkat teleponnya.

Darla memberengut kesal melihat kepergian Eslin. "Si@lan! Mengapa dedemit itu selalu saja mengganggu Eslin! Hehe tapi tenang saja Darla, sebentar lagi Eslin akan jatuh ke pangkuanmu..." desis Darla pelan sambil melihat punggung Eslin menghilang di ujung sana.

Detik selanjutnya. Kepala Darla serasa pusing dan penglihatanya mulai menggelap.

Bruk!

*

*

*

Esok harinya. Darla menggeliat sejenak saat merasakan tangan yang besar dan berurat melingkar di perutnya. Dengan mata terpejam dia menyentuh tangan tersebut. Dahi Darla berkerut samar mengapa tangan Eslin sangat besar. Secepat kilat Darla membuka kelopak matanya, kemudian menoleh ke samping.

Deg.

Darla membeku melihat sepasang mata berwarna abu-abu menatap tajam ke arahnya. Rahang tegas yang kokoh, dan bulu-bulu halus menghiasi pipi pria yang nampak asing itu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Ha!!!" Darla mendorong dada pria itu dengan kuat. Matanya bergerak ke segala arah. Ia panik bukan main mendapati dirinya tak memakai pakaian sama sekali alias bertelanj@ng bulat. Darla mempererat selimut yang menempel di tubuhnya. Gurat kebingungan nampak jelas diwajahnya.

"K-au ka-u si-apa?!" Darla bertanya dengan terbata-bata.

Pria itu membalas dengan menyeringai tipis.

"Hei, kau tuli atau apa?!" Nafas Darla memburu saat pria yang memiliki tato di sekujur tubuhnya malah menyenderkan kepalanya di headboard tempat tidur.

Lantas pria itu enggan menyahut kemudian melayangkan tatapan dingin ke arah Darla yang sedang mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian semalam.

Brak!!!

Bunyi dentuman pintu mengagetkan Darla. Lily yang baru saja masuk ke dalam kamar berjalan cepat menghampiri Darla.

Plak! Plak!!

"Mulai detik ini kau bukan keponakanku Darla! Namamu hanya Darla! Aku malu memiliki keponakan sepertimu!!!" pekik Lily berapi-api membuat Darla tercengang.

Darla menyentuh pipi sebelah kanannya kemudian menatap sendu bibinya. "Apa maksud Aunty!?"

"Tanyakan pada dirimu sendiri! Aku tidak mau memiliki keponakannya yang menjadi pelakor dan seorang j@lang!!!" Lily menatap Darla dan pria asing itu secara bergantian. Jejak kemarahan terlihat jelas di muka Lily. Dia teramat kecewa dengan sikap Darla yang selama ini tidak diketahuinya.

Dada Darla bergemuruh kuat. Ia ingin membela diri. Tapi semua tertahan di kerongkongannya.

"Hei kau, pria asing aku berikan wanita j@lang ini padamu! Dan kau Darla jangan pernah menampakkan wajahmu dihadapan keluargaku!" seru Lily bergegas keluar dari ruangan.

Visual

Pria Misterius

Selepas kepergian Lily. Tanpa sadar Darla menitihkan matanya. Apa dia tidak salah mendengar? Auntynya memutus tali kekeluargaan. Apa yang telah terjadi sejak malam. Apa yang dia lewatkan? Pikirannya berkecamuk mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Bukan kah seharusnya dia bersama Eslin, mengapa pula rencananya selalu gagal total.

Hening!

Baik Darla maupun pria asing itu bergeming di tempat tidur tanpa mengeluarkan satu patah katapun.

Darla masih mencoba mencerna ucapan Auntynya barusan. Apa mungkin ini hanya mimpi? Atau hanya halusinasi. Tidak mungkin kan Auntynya mengucapkan kalimat barusan yang membuat dunianya berhenti berputar. Apa ini prank? Tidak! Jelas Darla tau perangai Auntynya tak suka melakukan sesuatu yang membuang-buang tenaga.

"Kau dengar itu, sekarang kau milikku." Suara bariton itu membuyarkan lamunan Darla.

"Aku bukan milikmu!" seru Darla membuat pria itu melebarkan matanya.

"Kau berani melawanku?!" Pria itu mencengkram rambut Darla seketika.

"Argh! Lepaskan aku!" Darla mengibas cepat pergelangan tangan pria itu dengan kuat.

"Cih, j@lang! Dengar kan aku! Kita harus ke gereja, sepertinya aku tidak sengaja menabur benih di dalam tubuhmu!" Sang pria beranjak cepat hingga menampakkan tubuhnya yang polos. Darla tergugu sembari memalingkan muka ke samping.

'Menikah? Benih?' Batin Darla mengamati sprei berwarna putih itu. Mencari kebenaran apa dia benar tidur bersama pria yang dia tak ketahui identitasnya itu.

Deg.

Lagi dan lagi, jantung Darla berdetak lebih cepat tatkala noda merah nampak jelas di sprei itu.

'Apa?! Tidak mungkin! Ini pasti bekas saos sambal ABC atau apa? Tidak!' Darla mendoktrin dirinya sendiri bahwa tak ada apa pun yang terjadi di antara ia dan pria asing itu. Cukup lama Darla menatap jejak kemerahan yang menempel di kain itu sampai pria asing itu kembali membuka suara.

"Kau tuli?" Ternyata pria asing itu sudah memakai celana jeans dan kaos berwarna hitam. Sedari tadi dia memperhatikan gerak-gerik Darla dengan seksama.

"Aku tidak mau! Jelaskan padaku apa yang telah terjadi semalam?! Dan kau siapa!? Mengapa aku bisa bersama denganmu!?" teriak Darla. Entah mengapa Darla merasa pria dihadapan sangat berbahaya. Belum lagi aura yang menguar dari tubuh pria itu membuat bulu kuduknya merinding. Ia merasa seperti mangsa yang sudah masukan jebakan ke dalam singa.

Satu alis pria itu terangkat. "Kau akan ingat nanti, hafalkan namaku di otak bodohmu itu namaku James Vardy," ucapnya sembari menyambar arloji di atas nakas.

"James Vardy..." ucap Darla lirih mengulangi perkataan James barusan.

"Aku tidak pernah mengulangi perkataanku, aku tunggu 5 menit dari sekarang di lobi." Sebelum James memutar gagang pintu. Dia menatap dingin ke arah Darla membuat nyalinya seketika menciut.

Selepas kepergian James, Darla berteriak histeris di kamarnya. Melampiaskan segala kekesalan dan kecemasan yang merasuk hatinya. Setelah puas berteriak, dengan cepat Darla memakai pakaian dan bergegas keluar dari kamar. Ia hendak menemui Pacito ingin meminta penjelasan karena yakin pemilik bar itu pasti tau kejadian semalam. Sebab sedari tadi Darla tak ingat apa pun.

Sesampainya di lobi Darla kebingungan saat mendapatkan informasi dari waiters yang berkerja di bar mengatakan Pacito pergi ke luar pulau.

"Whats?! Pulau apa? Cepat katakan–"

"Hei kau! Sudah lebih dari lima menit aku menunggumu!" James mendekat sembari menatap tajam ke arah waiters dihadapannya. Mendapatkan tatapan itu waiters nampak ketakutan dan gelagapan.

"Maaf, Tuan." Waiters membungkukkan badan kemudian berlalu pergi meninggalkan Darla dan James.

"Kau bukan siapa-siapa bagiku! Pergi sana kau! Kalaupun aku hamil! Aku bisa menghidupi sendiri anak ini!" murka Darla.

Sudah habis kesabaran Darla sebab James benar-benar tipikal pria yang sangat dia hindari. Pria setinggi 185 cm itu sangat kasar, pengatur dan bossy. Itu lah sikap James yang membuat Darla mengucapkan kalimat barusan dengan enteng. Padahal sebenarnya Darla tak mau memiliki anak karena dia belum siap menjadi seorang ibu. Namun tak terbersit dipikiran Darla akan mengugurkan anaknya kelak. Sebab benih yang tumbuh diperutnya tak bersalah sama sekali.

Alih-alih menjawab perkataan Darla, James malah menyeringai tipis kemudian melirik seseorang di ujung sana.

"Argh! Siapa kalian? Lepaskan aku!" Darla terkejut melihat dua orang pria memegang kuat tangannya. Dengan sigap Darla melayangkan kaki jenjangnya bermaksud melawan dua pria berperawakan tinggi dan besar itu. Bukannya berhasil melancarkan serangan malah Darla kesusahan mengangkat kakinya sebab heels yang di pakai menyulitkan dirinya untuk bergerak.

"James! Bantu aku! Siapa mereka?! Katakan pada mereka lepaskan aku!" Darla mendengus melihat James hanya menontonnya saja tanpa berniat membantu.

"Bawa dia ke dalam mobil, kita ke gereja terdekat siapkan helikopter satu jam dari sekarang." James berucap cepat membuat Darla terpaku di tempat.

"Oh my God! Lepaskan aku! Tidak mau, aku tidak mau menikah denganmu! Kita tidak saling mengenal! Lepas!!!" jerit Darla membuat sebagian orang di bar memusatkan perhatian pada Darla.

*

*

*

James dan Darla sudah selesai melangsungkan pernikahan di gereja. Saat ini keduanya berada di dalam mobil hendak ke suatu tempat. Di sepanjang jalan Darla menatap lurus ke depan, tatapan matanya kosong seperti tak bernyawa.

Sebelum mengucap janji suci pernikahan dia begitu nelangsa saat mendapatkan kabar bahwa dirinya sudah bukan lagi bagian dari keluarga Marques ataupun Andersean. Jadi sekarang Darla benar-benar seorang diri. Dengan terpaksa pula ia menyetujui menikah bersama James. Pria yang tak dia ketahui asal-usulnya itu. James mengancam akan membeberkan video pergulatan mereka semalam ke sosial media jika dirinya tak mau menikah dengan dirinya.

Di sini lah Darla sekarang merutuki kebodohannya sendiri. Dia ingin berteriak dan menangis tapi percuma saja. Banyak hal yang ingin Darla tanyakan pada James namun ia urungkan tatkala melihat tatapan dingin James.

Darla dapat menebak jika James bukan lah orang sembarangan. Sebab mobil yang dia kendarai sekarang sangat lah mahal belum lagi di belakang mereka ada lima buah mobil berwarna hitam mengikuti mereka sedari tadi. Darla tak tahu kemana tujuannya saat ini, tapi yang jelas jauh dari pusat kota.

Darla melirik James sekilas sedang menatap lurus ke depan. Ia menarik nafas pelan kemudian mengambil ponselnya hendak mengatakan pada karyawannya agar memasak semur jengkol tanpa kehadirannya dan meminta mereka berkerja seperti biasa.

"James, apa masih lama? Aku lapar..." ucap Darla lirih sebab sudah satu jam berlalu namun mobil tak kunjunv berhenti.

James hanya melirik dingin Darla. Tatapan pria itu membuat Darla gelagapan. Tanpa sadar Darla meneguk ludahnya berulang kali. Bohong jika dia tak takut.

Hening kembali. Hanya terdengar deru mobil membelah jalanan perkotaan. Darla tak berani mengucapkan satu patah katapun. Dia menahan perutnya yang sudah berdemo sedari tadi.

'Lunna, mengapa kau sangat sibuk, aku membutuhkanmu...' Darla berucap di dalam hati sebab sedari tadi Lunna susah sekali dihubungi.

Dia tahu jika Lunna sekarang tengah disibukkan dengan mengurus anak-anaknya, tapi bisa kah Lunna menyempatkan diri untuk membalas pesan darinya. Dahulu jika Lunna membutuhkan dirinya Darla dengan cepat akan menemani Lunna. Dada Darla begitu sesak teringat dirinya saat ini benar-benar sendirian. Tak ada lagi yang bisa dijadikannya tempat untuk bersandar sekarang. Darla menarik nafas panjang sembari mengigit bibir bawahnya.

"Keluar!" ucap James tiba-tiba ketika mobil berhenti tepat di mansion yang megah dan mewah.

James Vardy

Tanpa banyak kata Darla menuruti perkataan James. Sesampainya di luar dia berdiri di dekat pintu mobil, mengedarkan pandangan ke segala arah melihat mansion besar dan megah bergaya klasik itu dengan seksama. Nampak para pria berstelan jas hitam bertengker di depan pintu utama seperti menyambut kedatangan Tuannya.

"Long time no see, Mister." Pria tua yang memakai setelan jas berwarna putih hitam membungkukan badan dihadapan James.

"Hmm," balas James tanpa menatap lawan bicaranya. Dia berjalan dengan gagah menuju pelataran mansion. Seketika kakinya terhenti tatkala Darla masih bergeming di tempat.

James menoleh, melayangkan tatapan dingin, mengintimidasi Darla. "Hei, kau! Masuk!!" bentaknya.

Lagi dan lagi Darla berusaha meredam dadanya yang bergemuruh kuat. Ketika mendapatkan perlakuan kasar dari James. Darla malas berdebat sebab tenaganya sudah tersisa 1 persen. Ia merengut kesal sembari mengikuti langkah kaki James.

"Siapa dia Tuan?" tanya pria tua yang tadi menyambut James.

"Dia, pelayanku!" sahut James dengan menampakkan ekspresi merendahkan membuat mata Darla melebarkan mata dengan sempurna.

'Si@lan! Awas saja kalau aku sudah selesai makan, akan ku keluarkan semua tenagaku!" batin Darla sembari menatap dingin James pula.

"Oh, i see, dia akan ditempatkan di mana Tuan?" tanyanya lagi.

"Terserah, tapi sepertinya dalam waktu beberapa bulan dia akan hamil." Ayunan kaki James terhenti di sofa yang memanjang di ruang tengah.

Pria tua itu tak menampilkan ekspresi terkejut sama sekali malah melayangkan tatapan menyelidik pada Darla. Darla keheranan dengan sikap pria tua itu. Apa dia kaki tangan James, entah lah yang pasti pria tua itu sedang menilai dan mengamati penampilannya sekarang.

Detik selanjutnya pria tua itu beralih menatap James yang tengah menyenderkan kepalanya di sofa. "Baik, Tuan. Serahkan semua kepada saya, apa Nyonya besar perlu di beri tahu?" Dengan hati-hati pria tua itu bertanya sembari mengambil teko di atas meja kemudian menuangkan air ke dalam gelas.

"Tidak usah. Tidak penting ibu tahu, dia masih di Rusia, Kan?"

"Masih Tuan." Pria tua itu menyodorkan gelas kepada James. Dengan cepat James menyambar gelas tersebut dan meneguknya hingga tandas.

"Good, lakukan tugasmu, Grey. Aku mau beristirahat, jelaskan pada wanita ini apa saja yang akan dia lakukan di mansion." James bangkit berdiri sambil melayangkan tatapan dingin pada Darla.

"Hei kau! Jangan membuat keributan di mansionku! Ingat kau istri sekaligus pelayanku sekarang!"

"Tapi–"

Sebelum Darla protes secepat kilat James melenggang pergi meninggalkan Darla dan Grey di ruangan. Selepas kepergian James, Darla menghentak-hentakkan kakinya ke lantai sembari menyumpah serapah James.

"Pria gila! Pria psyco, siapa juga yang mau menjadi istrinya! Argh! Ceraikan saja aku sekarang ha?!" teriak Darla membuat Grey menutup telinganya seketika.

"Nona, lebih baik anda diam. Apa nona tidak takut dengan Tuan James," ucap Grey menatap serius Darla.

"Takut? Memangnya dia siapa?!" tanya Darla seraya melipat tangannya di dada lalu mengangkat wajah angkuhnya

Satu alis Grey terangkat. Matanya memicing melihat keberanian Darla seakan meremehkan Tuannya. Rasa tidak suka nampak jelas di wajah pria paruh baya itu.

"Anda benar-benar tidak tau, siapa James Vardy?" tanyanya ingin memastikan.

Darla menggeleng menandakan dia benar-benar tidak tahu. Lagi pula Darla bukanlah golongan kelas atas walaupun Auntynya adalah orang yang disegani di Los Angeles. Darla jelas berbeda mungkin karena tak memiliki orangtua lagi membuatnya menarik diri untuk tidak mencampuri urusan Aunty dan keluarganya.

"Sepertinya tugasku sangat lah banyak, baik lah kita ke ruang belakang dulu. Saya akan menjelaskan pada anda, siapa James Vardy." Mendengar perkataan Grey, Darla hanya mengangguk saja. Sebab dia juga penasaran siapa James mengapa sepertinya sangat penting dan dihormati Grey.

Dengan langkah gontai Darla mengekori Grey dari belakang sembari sesekali melihat para maid yang diperkerjakan di mansion melayangkan tatapan tidak suka padanya.

'Mereka kenapa sih? Aneh sekali, apa semua orang di mansion ini jahat! Cih, mengapa aku seperti masuk ke penjara!' Darla berdecak kesal sejenak. Di sepanjang langkah Darla melihat furniture mahal dan ukiran klasik menghiasi interior mansion. Sedikit terkesima karena hiasan yang nampak memanjakan matanya.

"Tunggu sebentar. Duduk lah di sini." Grey mempersilahkan Darla duduk di kursi kayu yang menghadap ke arah taman belakang. Darla duduk kemudian mengambil posisi badan senyaman mungkin. Sementara Grey pergi ke ruang lain hendak mengambil sesuatu.

Lima menit pun berlalu. Grey kembali dengan menenteng i-pad. Melihat kedatangan Grey, Darla menegakkan tubuhnya seketika. Lalu berkata,"Hmm, Tuan, aku haus, boleh kah aku meminta minum."

Grey menarik nafas pelan. "Sebelum anda meminta, anda harus membaca peraturan di mansion ini," katanya membuat Darla meneguk air ludahnya lagi karena dia benar-benar kehausan.

"Tapi aku benar-benar haus..." ucap Darla lirih tapi masih bisa di dengar oleh Grey.

"Haus?" Bunyi derap langkah kaki dari belakang mengalihkan pandangan Darla dan Grey. Melihat kedatangan James. Grey kembali membungkukan badan.

"Maaf, Tuan karena membuat keributan." Grey mendekati James kemudian melayangkan tatapan tidak suka pada Darla.

James mendengus pelan kemudian mengangkat satu jari telunjuknya ke udara. "Dengar kan aku, jika kau mau minum tunggu aba-aba diriku, paham?!" katanya dengan menatap Darla dingin.

Rahang Darla mengeras seketika mendengar perkataan James barusan. Apa dia gila? Minum saja harus di atur-atur benar-benar kaku seperti robot. Tanpa aba-aba Darla beranjak dari kursinya, menghampiri James, lalu berkata," Dengar ya James Vardy yang terhormat, tidak semua orang bisa kau atur-atur ha! Kau pikir kau siapa?! Suamiku? Cih! Kau itu pria arogan dan jelek yang pernah ku temui!" Darla menunjuk-nunjuk wajah James dengan menatap tajam.

James berdecih sesaat kemudian berkata,"Ternyata kau punya nyali juga, karena aku sedang berbaik hati minum lah sepuasmu hari ini, Grey antarkan dia ke dapur, perlakukan dia sebagai seorang babu, karena dia memang babu!"

"Kau!!!" teriak Darla membuat James mencengkram dagunya seketika.

"Berani sekali kau denganku!" James melototkan matanya menatap sengit seakan ingin menguliti Darla sekarang jua.

"Argh! Lepas!" teriak Darla.

James menghempas kasar dagu Darla hingga menyebabkan tubuhnya terhuyung ke belakang sesaat. Secepat kilat Darla menahan tubuhnya agar tak terjatuh ke lantai.

"Grey! Cepat lakukan tugasmu, aku mau pergi, nanti malam aku tidak mau ada satupun kesalahan." James merapikan sesaat stelan jasnya kemudian berlalu pergi.

"Pria gila!!!" jerit Darla lagi dan lagi. Ingin sekali dia melayangkan bogeman di tubuh James tapi mengingat dirinya di sarang buaya Darla mengurungkan niatnya.

"Nona, jaga etika anda, jika masih mau melihat matahari!" Grey mulai tersulut emosi tatkala Darla kembali menyumpahi Tuannya.

Darla tergugu, melihat pancaran mata Grey sangat tajam dan dingin. "Maaf, aku tidak bermaksud, hm sudah lebih anda menjelaskan padaku siapa Tuanmu itu." Suara Darla terdengar merendah. Walau bagaimana pun Grey lebih tua darinya.

"Hm, kita ke dapur dulu, saya tidak mau anda pingsan, karena akan merepotkan saya nantinya."

Darla mengangguk patuh.

*

*

*

Setelah selesai menuntaskan keinginan minumnya. Darla dan Grey kembali ke ruang semula hendak mendengarkan latar belakang James Vardy dan apa saja yang harus Darla kerjakan selama tinggal di mansion.

Mata Darla berkedip pelan tatkala mendapat sebuah informasi jika James Vardy adalah seorang mafia yang terkejam dan terkenal di Rusia. Dengan susah payah Darla menelan ludahnya. Belum lagi peraturan yang dibaca Grey membuat matanya terbelalak.

"Anda harus menyiapkan pakaian James sebelum dia terbangun di pagi hari, lalu memasak makanan untuknya jika dia meminta, kemudian anda bisa membaca peraturan makan dan minum di buku ini. Semuanya ada di sini." Grey menyodorkan sebuah buku bercetak tebal kepadanya.

Darla melonggo sesaat kemudian memijit keningnya. Belum di baca saja sudah membuat kepalanya pening.

"Apa Tuanmu itu tidak memiliki istri? Maksudku pacar atau pasangan?" tanya Darla. Jika dilihat-lihat James tampan dan mempesona walaupun di matanya Eslin lebih berkharisma dan terlihat menggoda.

Mendengar perkataan Darla, raut wajah Grey berubah drastis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!