NovelToon NovelToon

Dibuang Karena Hamil Anak Perempuan

Anak perempuan yang tak dianggap

"Papa," teriak Regina girang saat melihat kepulangan sang ayah. Regina Azahra adalah putri sulung dari pasangan Zafira Febriantika dan Refano Prayogo. Ia baru berusia 6 tahun.

Refano Prayogo adalah CEO perusahaan YG Group. Pernikahan Zafira dan Refano terjadi bukan karena cinta, melainkan perjodohan. Kakek Refano memiliki perjanjian dengan sahabatnya, kakek dari Zafira untuk menjodohkan cucu-cucu mereka. Awalnya Refano menolak perjodohan itu, tapi karena itu adalah permintaan terakhir sang kakek yang sedang sakit parah, alhasil Refano pun setuju. Sehingga terjadilah pernikahan mereka. Pernikahan yang hingga saat ini tidak pernah dipublikasikan sama sekali. Pernikahan yang dilakukan hanya di ruang emergency dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja, yaitu orang tua Refano dan Zafira. Sedangkan sang kakek dari Zafira, telah lebih dahulu pergi. Namun, demi menjaga janji mereka, kakek Refano tetap memaksa cucunya menikahi Zafira meskipun mendapat pertentangan dari orang tua Refano sendiri sebab mereka menganggap Zafira tak pantas bersanding dengan putranya yang sempurna, mulai dari tampan, mapan, dan berpendidikan. Sangat berbanding terbalik dengan Zafira yang meskipun ia juga seorang sarjana, tapi tetap saja dianggap rendah oleh kedua mertuanya.

Regina yang melihat kepulangan sang ayah pun segera merentangkan kedua tangannya, seakan tak pernah jenuh, berharap, satu kali saja ayahnya merentangkan kedua tangannya juga untuk menyambutnya ke dalam pelukannya. Tapi ... kali ini pun Regina harus kembali menelan kekecewaannya sebab lagi-lagi ayahnya mengabaikannya. Tak menganggapnya ada. Sakit, Zafira yang melihatnya saja sakit, apalagi putrinya. Hatinya hancur berkeping-keping. Sampai kapan suaminya akan mengabaikan anak-anaknya, batin Zafira.

Mata Regina sudah berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, Zafira yakin, sebentar lagi tangis Regina akan pecah. Tapi sebaliknya, Regina justru menahannya. Batin Zafira sesak. Ia tak menyangka, putrinya sekuat tenaga menahan kesedihannya. Mungkin karena sudah biasa, jadi ia sudah bisa mengendalikan kesedihan dan kekecewaannya.

Berbanding terbalik dengan Refina Azulfa, putri kedua mereka yang seolah-olah tak peduli ayahnya. Balita 3 tahun itu benar-benar tak mempedulikan keberadaan ayahnya. Mungkin karena telah terbiasa diacuhkan, tak dianggap sama sekali, sehingga tak ada sedikitpun rasa ingin berdekatan dengan sang ayah. Zafira hanya bisa menangis pilu dalam hati. Zafira bingung, sampai kapan Refano akan mengabaikan anak-anaknya? Tidakkah di hatinya ada sedikit saja rasa sayang untuk putri-putrinya? Miris, benar-benar miris. Nasib putri-putrinya memang semiris itu.

"Mas, mas kok tega banget sih sama Regina? Regina itu putri kamu lho mas, kenapa kamu kayak nggak peduli sama sekali sama Regina dan Refina? Apa salahnya menanggapi panggilan mereka meskipun hanya dengan satu kata ataupun satu pelukan? Bahkan hingga kini, kau tak pernah sekalipun menggendong kedua putrimu, kau ... kejam sekali, tahu nggak sih, mas," protes Zafira sambil merapikan pakaian yang baru saja Refano lepaskan dari tubuhnya. Mata Zafira telah memerah. Sakit, hancur, dan kecewa, itu yang ia rasa. Ia tak masalah tidak dianggap suami dan keluarganya, tapi jangan kedua putrinya. Bagaimanapun mereka merupakan bagian dari keluarga itu. Ada darah mereka yang mengalir di tubuh kedua putrinya, tapi mengapa mereka begitu tega tidak menganggap putri-putrinya.

"Sudah aku katakan berulang kali, yang aku inginkan itu anak laki-laki, bukan anak perempuan nggak guna seperti mereka!" sentak Refano dengan sorot mata tajam dan rahang mengeras.

"Mas, mau anak laki-laki ataupun perempuan itu sama aja. Mereka sama-sama anugerah dari Allah. Nggak pantas kamu menganggap mereka anak nggak guna. Seharusnya kamu bersyukur masih diberikan keturunan oleh Allah, bukannya bersikap pongah dan menghardik keberadaan mereka," sentak Zafira tak kalah murka.

"Kau berani melawan, hah!" desis Refano seraya mencengkram rahang Zafira membuat wanita yang tengah hamil 4 bulan itu meringis dengan nafas tercekat. "Semakin hari sepertinya kau makin berani melawan, hah? Apa karena kau adalah istriku jadi kau berhak untuk angkat bicara dan memprotes apa yang akan aku lakukan, hah!" sentak Refano sambil menyentak tangannya sehingga Zafira terhuyung ke belakang dan nyaris membentur dinding.

"Kau benar-benar laki-laki yang jahat. Aku menyesal menikah denganmu!" pekik Zafira dengan nafas memburu.

Plakkk ...

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Zafira membuat sudut bibir Zafira terluka dan berdarah.

"Kau pikir aku senang, hah? Kau pikir aku bahagia? Kau pikir aku tidak menyesal? Kau dan keluargamu itu hanya benalu yang tak tahu malu, ingin berbesan dengan orang kaya sampai menyodorkan anaknya yang tidak ada apa-apanya ini dengan keluargaku alih-alih ingin menepati janji sang kakek. Cih, kamu itu tak lebih dari jalaang pribadiku jadi jangan merasa bangga bisa menjadi istriku karena kau sedikit pun tak pantas menyandang status itu."

Hancur, entah berapa kali lagi Zafira harus merasakan kehancuran karena kekerasan verbal maupun fisik yang dilakukan Refano. Ingin rasanya ia pergi dari penjara keluarga kejam ini, tapi ia sedang hamil. Selain itu, bagaimana nasib putri-putrinya kelak? Ia tak memiliki kemampuan finansial yang cukup. Ia tak mungkin mempercayakan putri-putrinya pada keluarga kejam itu sebab mereka sekalipun tak pernah menganggap putri-putrinya sebagai anggota keluarga itu. Beruntung, Refano tidak pelit masalah keuangan jadi ia tak merasakan kesulitan lainnya lagi. Tapi, tetap saja semuanya terasa menyakitkan. Di samping itu ia tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya di kampung. Orang tuanya pasti ikut hancur saat tahu bagaimana putrinya diperlukan di rumah bak istana itu. Rumah itu memang seperti istana, tapi bagi Zafira, rumah itu adalah penjara. Sebab ia tidak memiliki kebebasan dan selalu hidup dalam tekanan di dalam sana.

...***...

"Fira, di depan ada teman-teman mama, cepat buatkan teh dan bawakan cemilan, sekarang juga," tukas Liliana, ibu mertua Zafira.

Zafira yang sedang ingin menyeduh susu itu Refina lantas mendongakkan kepalanya dan mengangguk, mengiyakan. Di sana padahal ada art, tapi ibu mertuanya justru lebih sering menyuruh-nyuruh Zafira untuk melakukan apapun itu.

"Fira buat susu Refina sebentar ya, ma," ujar Zafira yang ingin membuat susu untuk putrinya dahulu. Tapi Liliana justru mendelik marah.

"Kamu itu disuruh mertua ya harus nurut. Nggak usah banyak alasan. Buat susu kan bisa nanti. Cepat, buat tehnya sekarang. Awas lama!" ketus Liliana membuat Zafira menghela nafasnya.

"Bagaimana kalau saya aja yang buat tehnya, nyonya?" tanya Bik Mina, asisten rumah tangga di rumah itu.

"Yang saya suruh itu Zafira, bukan kamu," ketus Liliana. "Atau kamu aja buatin susu untuk si itu siapa anak kamu itu Fira ... ya gitu aja jadi Fira bisa buatin teh untuk tamu-tamu saya," pungkas Liliana yang entah memang tak tahu nama cucunya atau sekedar pura-pura saja. Sungguh, mendengar ibu mertuanya yang seperti tidak tahu nama cucunya sendiri membuat hati Zafira sakit. Putri-putrinya benar-benar tak dianggap oleh keluarga suaminya itu. Entah apa salah dan dosanya sehingga mereka begitu tega pada keturunan mereka sendiri. Aneh tapi nyata, inilah yang terjadi. Baik dirinya maupun putri-putrinya bagaikan orang asing di rumah besar itu. Padahal putri-putrinya bukanlah anak yang nakal. Bahkan mereka cantik-cantik dan pintar. Mereka juga anak yang baik, santun, dan ramah. Tapi sayang, kelebihan itu tak juga menarik perhatian baik suami, maupun kedua mertuanya. Yang mereka inginkan memang hanya anak laki-laki. Ya, hanya laki-laki, sehingga anak perempuannya tak pernah diterima di dalam keluarga itu.

Zafira mengusap perutnya yang sudah sedikit membukit. Meskipun mereka semua mengharapkan anak laki-laki, tapi ia tidak menuntut pada Tuhannya agar memberikan anak laki-laki. Ia serahkan dan pasrahkan segalanya pada sang Khalik. Mau laki-laki ataupun perempuan bayinya kelak, yang ia minta hanyalah agar bayinya dapat ia lahirkan dalam keadaan sehat tanpa satu kurang apapun. Terserah bila mereka tidak mau menerima bila lagi-lagi ia melahirkan seorang bayi perempuan, yang penting dirinya masih ada. Dirinya akan menerima anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan dirinya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan putri-putrinya, itu janjinya.

...***...

Halo kakak semua, ini novel baru othor. Mohon dukungannya ya! Jangan lupa kasi othor sajen, buat makin semangat ngetik. 😄😄😄

...***...

...HAPPY READING 🥰🥰🥰...

Rencana Liliana

Tak ingin membuat sang ibu mertua marah, Zafira lantas segera membuatkan teh dan menyiapkan beberapa makanan untuk tamu sang ibu mertua. Zafira juga meminta tolong Bik Mina untuk membuatkan Refina susu. Memang sudah kebiasaan Refina meminum segelas susu hangat sebelum tidur, baik itu tidur siang maupun malam. Karena ini sudah waktunya Refina tidur siang, jadi Zafira hendak membuatkan Refina segelas susu rasa madu. Namun, karena Liliana memintanya membuatkan teh dan makanan untuk tamu-tamunya, jadi dengan terpaksa ia meminta tolong Bik Mina untuk membuatkannya.

"Terima kasih ya, bik. Kalau Refi nanyain Fira, bilang aja Fira sedang sakit perut," tutur Zafira terpaksa berdusta sebab biasanya Refina baru tertidur setelah ia memeluk dan mengusap kepalanya.

Bik Mina tersenyum maklum. Ia sedikit banyak tahu kebiasaan anak-anak Zafira. Ia pun merasa iba dengan keadaan Zafira. Tapi sayang, ia hanyalah seorang pembantu rumah tangga, ia tak memiliki kuasa untuk membantu Zafira dan anak-anaknya.

"Nggak usah makasih-makasih segala kayak sama siapa saja," omel bik Mina sambil bersungut-sungut. Namun, setelahnya ia tersenyum. Ia sangat menyukai nyonya mudanya itu yang bukan hanya cantik, tapi baik, ramah, dan lemah lembut. Tapi sayang, kelebihannya tetap tidak membuat keluarga itu bisa benar-benar menerimanya. Majikannya terlalu pongah dan mengutamakan bibit, bebet, dan bobot sehingga mau sehebat apapun Zafira, mereka tetap tak bisa menerimanya hanya karena satu alasan, yaitu Zafira terlahir dari keluarga biasa saja. Bahkan orang tua Zafira tinggal di kampung membuat majikannya kian tak menyukainya.

Zafira tersenyum yang di saat bersamaan ia baru saja selesai menyiapkan teh dan camilan untuk tamu ibu mertuanya. Kemudian ia pun bergegas mengantarkan minuman tersebut untuk para tamu tersebut.

Setibanya di ruang tamu, Zafira pun segera menghidangkan makanan dan minuman tersebut sambil tersenyum ramah. Tapi berbanding terbalik dengan tatapan para tamu sang ibu mertua yang menatapnya dengan tatapan penuh menyelidik bahkan ada yang menatap dengan tatapan mencemooh.

"Dia art kamu jeng?" celetuk salah seorang teman Liliana.

Wajah Liliana sontak memberengut masam, "sebenarnya sih bukan."

Zafira yang baru saja hendak beranjak diam-diam mengulum senyum. Hatinya menghangat saat mertuanya tidak menganggapnya seorang art.

"Maksudnya?" celetuk wanita itu lagi dengan dahi berkerut.

"Dia itu menantu jeng Liliana, jeng." Timpal yang lain yang memang sudah mengetahui perihal siapa itu Zafira.

"Hah! Yang benar aja. Jadi dia istri putramu, Refano? Masa' selera putramu kayak gitu sih, jeng?"

Liliana mendengkus, "kata siapa dia selera Refano. Kalo bukan kakek Refano yang memaksa, mana mau anakku yang sempurna dengan perempuan kampung kayak gitu."

Zafira memang sudah berjalan menjauh, tapi suara percakapan itu masih cukup terdengar di telinganya. Mendengar kata-kata tersebut, perasaan hangat tadi tiba-tiba terhempas. Sakit. Bahkan setelah 7 tahun menjadi menantu di dalam keluarga itu, ia tetap saja dipandang rendah dan hina. Sehina itukah dirinya di mata orang-orang itu? Apakah dirinya memang tak pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Seandainya bisa, Zafira telah menolak perjodohan itu. Bahkan orang tuanya pun sempat menolak karena takut hal seperti inilah terjadi pada Putri mereka. Tapi karena keluarga mereka pun pernah memiliki hutang budi, mereka jadi tidak kuasa untuk menolak. Kakek Refano mengancam akan menagih hutang-hutang biaya perawatan ayahnya dulu. Dahulu, saat Zafira masih kecil, ayahnya pernah mengalami sakit jantung dan untuk mengobatinya dibutuhkan biaya yang besar. Lalu datanglah kakek Refano menawarkan bantuan. Ayah mereka tak menyangka, kakek Refano menggunakan hutang budi itu untuk membuatnya terpaksa menerima perjodohan itu. Tapi kakek Refano berjanji, Zafira akan bahagia menjadi bagian dalam keluarga itu. Tapi sayang, janji tinggal janji. Setelah kepergian kakek Refano, sikap asli mereka keluar. Mereka terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Zafira. Zafira yang tidak ingin keluarganya bersedih dan sakit jantung ayahnya kambuh pun terpaksa menerima segalanya dengan tabah. Ia tak pernah sekalipun menceritakan perlakuan keluarga itu pada orang tuanya dengan harapan perlahan hati suami dan mertuanya melembut dan mau menerima dirinya dengan hati yang tulus.

Tapi, hingga 7 tahun berlalu ternyata semua tak ada yang berubah. Dirinya tetap saja merasa seperti orang asing di dalam keluarga itu. Bahkan ibu mertuanya kerap memperlakukannya seperti seorang pembantu. Sampai kapankah ia mampu bertahan, ia tak tahu.

"Dia cantik sih, tapi gayanya itu ... Mana kusam banget," timpalnya lagi.

Zafira sebenarnya cantik. Tapi kesibukannya mengurus rumah tangga keluarga belum lagi kedua anak dan suaminya membuatnya tidak memiliki waktu untuk sekedar merawat diri. Ditambah ia sedang hamil, membuatnya mudah kelelahan, alhasil ia benar-benar tak sempat untuk mengurus dirinya sendiri sebab bila ia memiliki waktu luang, ia lebih memilih mengistirahatkan dirinya.

"Jeng, kayaknya Fira hamil anak cewek lagi tuh!" celetuk teman Liliana yang tahu keluarga itu menginginkan cucu laki-laki, bukan perempuan.

"Iya kah? Duh, bisa-bisa rumah ini jadi kayak tempat penampungan anak, udah kayak panti aja, kalo lagi-lagi anaknya perempuan."

"Iya, itu tuh perutnya melebar gitu, itu ciri hamil anak perempuan."

"Iya, bener. Aku dulu hamil Si Anca juga gitu. Emang kenapa kalau hamil anak perempuan?"

"Kami itu butuh penerus YG Group. Kalo lagi-lagi lahir anak cewek, bisa-bisa YG Group nggak ada penerus. Aku nggak mau kalau YG Group sampai jatuh ke tangan anak-anak saudara suamiku. Kamu tahu kan, YG Group itu perusahaan keluarga. Jadi harus ada penerus laki-laki kalau tetap mau mempertahankan perusahaan." Liliana menjelaskan.

"Jeng kok pusing-pusing sih, suruh nikah lagi aja. Jeng kan tahu, Saskia dari dulu suka sama Refano, tapi Refano malah selalu nganggap Saskia sahabat. Aku yakin, Saskia bisa mewujudkan keinginan jeng untuk punya cucu laki-laki. Lihat aja, kakak Saskia, Lidia, anaknya udah 3, laki-laki semua. Aku yakin, Saskia pun sama kayak Lidia, bisa kasi anak laki-laki yang banyak malah."

Sontak saja, kata-kata wanita paruh baya bernama Merry itu membuat mata Liliana berbinar. Ia lantas tersenyum lebar.

"Kamu benar juga, Mer. Bagaimana kalau kita jodohkan anak kita?" tukas Liliana seolah tidak merasa bersalah pada Zafira.

Degh ...

Hati Zafira seketika berdenyut nyeri. Ia yang tadinya hendak mengantarkan kue yang baru saja ia buat sontak menegang di tempat. Tubuhnya seketika kaku, ia tak menyangka, mertuanya bisa memiliki niat seperti itu.

...***...

"Ma, Minggu depan ada acara di sekolah Regi. Mama sama papa disuruh datang. Nanti Regi disuruh nyanyi, Ma. Kira-kira papa mau datang nggak Ma ya?" tutur Regina dengan wajah sendunya. Melihat sikap sang papa yang selalu acuh padanya membuat Regina ragu sendiri. Bahkan saat Regina ulang tahun pun, tak pernah sekalipun papanya memberikan ucapan selamat apalagi memberikan kado.

Hati Zafira bagai disayat-sayat sembilu. Perihnya merajam hati. Zafira menggigit bibirnya. Lidahnya kelu. Bahkan tangannya sudah bergetar dengan mata memanas.

Namun sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap bersikap tenang dan tersenyum. Ia mengusap lembut surai panjang putri sulungnya.

"Nanti mama coba tanya sama papa ya, papa sibuk nggak. Regina jangan sedih, papa kan sibuk kerja, sayang, bukannya nggak mau. Papa kerja cari duit untuk siapa, coba? Untuk kita semua, untuk beli susu Refi, untuk bayar sekolah Regi, untuk jajan, untuk belanja beras, sayur, ayam, daging, buah, dan lain-lain. Regi jangan sedih ya, sayang. Kan ada mama, mama pasti akan datang. Mama kan mau lihat putri cantiknya mama nyanyi. Refi pasti juga mau lihat kak Regi nyanyi kan, sayang?" Zafira menoleh ke arah Refina yang sedang bersandar di pundaknya.

"Iya ma, Lefi mau nonton kak Legi nyanyi. Kak, Lefi boleh ikutan nyanyi nggak? Lefi juga mau nyanyi. Mau nali juga," ujar Refina dengan mata berbinar.

"Yang boleh nyanyi cuma yang sekolah jadi Refi nggak boleh ikutan," sahut Regina membuat Refina memberengut masam.

"Yah, kan Lefi mau nyanyi juga kak. Lefi mau sekolah juga deh kalau kayak gitu, Lefi mau sekolah sama kak Legi boleh Ma?" tanya Refina dengan suara cadelnya yang tidak bisa mengucapkan huruf R.

Sontak saja tawa Zafira pecah mendengar permintaan Refina, belum lagi ekspresinya yang menggemaskan. Kemudian ia memeluk kedua putrinya dan mencium kedua pipinya gemas. Dalam hati ia berdoa, semoga suatu hari hati suami dan mertuanya melembut sehingga dapat menerima kedua putrinya yang lucu dan menggemaskan ini. Padahal apa kurangnya putri-putrinya, selain pintar, mereka juga memiliki kulit yang putih, mata bulat, bulu mata lentik, senyum yang menawan, hidung bangir, rambut panjang dan hitam. Bila Rambut Regina lurus, maka rambut Refina sedikit bergelombang, namun tetap terlihat indah, sesuai dengan parasnya.

Lagi-lagi, Zafira mengusap perutnya yang sudah sedikit membukit. Bolehkah ia berharap anak yang ia kandung laki-laki agar ia memperoleh kasih sayang keluarga suaminya? Tapi secepat mungkin Zafira menggeleng, tidak. Ia tidak akan meminta itu. Baik laki-laki ataupun perempuan, sama saja, mereka adalah anugerah yang Kuasa. Yang utama bukankah anaknya lahir sehat sempurna tanpa satu kurang apapun. Ya, hanya itulah yang akan ia minta pada Tuhannya.

...***...

...HAPPY READING 🥰🥰🥰...

Kegaduhan di pagi hari

Keesokan paginya, seperti biasa Zafira menyiapkan kebutuhan suaminya setelah terlebih dahulu menyiapkan sarapan untuk keluarga besar mereka. Selagi Refano mandi, Zafira pun menyiapkan segala kebutuhan Refano seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, ikat pinggang, dan jam tangan. Semua Zafira siapkan dengan senyuman tulus. Sebisa mungkin ia mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dengan tulus dan penuh bakti.

Tak lama kemudian Refano pun keluar dari kamar mandi dengan handuk biru menggantung di pinggangnya. Tetes-tetes air dari rambutnya yang basah mengalir di sepanjang pundak hingga ke punggungnya. Zafira yang telah siap dengan handuk kecil di tangannya pun segera menghampiri Refano dan dengan gerakan perlahan mulai mengelap rambut basah sang suami hingga tidak menetes lagi, kemudian dilanjutkan ke seluruh tubuhnya hingga tidak ada lagi bagian yang basah.

Ya, seperti itulah cara Zafira melayani sang suami. Ia memperlakukan Refano seperti seorang raja membuat Refano tanpa sadar sudah begitu bergantung pada Zafira.

Setelah selesai, ia pun mempersilahkan Refano berganti pakaian. Sedangkan Zafira, mempersiapkan yang lainnya.

"Mas, Minggu depan ada acara di sekolah Regina. Seluruh orang tua siswa yang sekolah di sana, diminta datang ikut berpartisipasi, mas bisa kan ikut datang? Regina sangat berharap mas Refan mau datang," tutur Zafira dengan lembut sambil memasangkan dasi di leher Refano.

Dengan wajah datar, Refano justru menjawab singkat tanpa pikir panjang lagi yang lagi-lagi membuat Zafira kecewa. Tapi Zafira bisa apa? Ia tidak bisa memaksa. Ia tak mau nanti anak-anaknya lah yang menjadi pelampiasan kekesalan Refano karena ia yang memaksa ayah dari anak-anaknya itu untuk datang ke sekolah.

"Aku sibuk." Jawab Refano sangat-sangat singkat. Tanpa menimbang sedikit pun.

"Tapi mas ... sekali ini saja. Fira ... "

Belum selesai Zafira menyanggah, Refano justru sudah menatapnya dingin dan penuh intimidasi membuat Zafira menunduk sambil memejamkan matanya. Ia menghela nafasnya, tidak adakah sedikit saja rasa cinta di hati suaminya itu untuk anak-anaknya? Batin Zafira bermonolog.

Melihat Zafira sudah menurunkan pandangannya, Refano pun mengarahkan tatapannya pada perut Zafira yang sedikit menonjol.

"Kapan waktunya pemeriksaan?" tanya Refano sambil menunjuk ke arah perut Zafira yang sedikit membukit dengan ujung dagunya.

Bukan, pertanyaan itu bukan sebagai bentuk perhatian dari Refano atas kehamilan sang istri. Bukan sama sekali.

Sebaliknya, Refano menanyakan itu untuk memastikan sesuatu, apalagi kalau bukan jenis kelamin sang anak.

Zafira tersenyum tipis, ia pikir Refano mulai memperhatikan dirinya dan calon anaknya.

"Emm ... 2 Minggu lagi, mas," jawab Zafira dengan tersenyum simpul. Hatinya menghangat, berharap sang suami mau mencintai anak yang sedang dikandungnya.

"Aku ikut. Sudah 4 bulan, sudah bisa USG, bukan?"

Deg ...

"Aku hanya ingin memastikan jenis kelaminnya." Ucapnya datar namun mampu mencabik-cabik sebongkah daging bernama hati milik Zafira.

"Mas, ini bukan zamannya lagi diskriminasi gender. Banyak anak perempuan yang besarnya jadi pemimpin, dari pemimpin perusahaan sampai negara. Bahkan kini banyak perempuan-perempuan tangguh yang lebih hebat dari laki-laki, jadi apa salahnya dengan memiliki anak perempuan. Toh anak kita pun pintar-pintar. Mas lihat saja anak kita, Regina di usianya yang baru 6 tahun, ia sudah pandai perkalian dan pembagian. Padahal ia baru kelas 1 SD. Refina ... meskipun baru berusia 3 tahun, tapi ia sudah bisa menulis dan membaca. Meskipun belum benar-benar lancar, tapi ia sudah bisa padahal ia hanya belajar di rumah. Bahkan ia sekarang sudah bisa berhitung dan menghafal doa-doa. Anak-anak kita itu anak-anak luar biasa, mas. Tak ada yang kurang dari mereka. Oh ya, hanya ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang dari ayahnya,. selebihnya tidak. Masih kecil saja mereka sudah bisa menunjukkan kelebihannya, apalagi bila kita mendidiknya dengan baik, menyekolahkan di tempat yang bagus, aku yakin, anak-anak kita akan jadi orang yang hebat dan sukses kelak."

Zafira menjelaskan uneg-unegnya. Zafira heran, mengapa suami dan mertuanya sungguh kolot dalam hal berpikir. Bukankah mereka orang-orang yang berpendidikan, tapi mengapa, mereka justru menanamkan stigma anak perempuan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan anak laki-laki. Setinggi-tingginya sekolah seorang anak perempuan, ujung-ujungnya masih kembali ke dapur dan menjadi ibu rumah tangga. Anak perempuan bagi mereka sangat merepotkan. Apa mereka tak berpikir, tanpa seorang perempuan, apakah akan ada laki-laki di dunia? Memangnya siapa yang hamil dan melahirkan selain perempuan. Bukankah zaman sekarang banyak seorang wanita yang bisa berperan ganda, selain sebagai ibu rumah tangga, tapi juga sebagai pekerja dan pemimpin. Tidak semua dokter laki-laki, tidak semua tenaga pengajar laki-laki, tidak semua pemimpin perusahaan laki-laki, tapi banyak dari mereka yang bergender perempuan. Jadi kenapa masih harus mengagungkan diskriminasi gender bila zaman sekarang perempuan pun serba bisa.

Mata Refano mendelik tajam membuat Zafira seketika gugup, "aku tidak membutuhkan penjelasanmu. Mau sehebat anak-anakmu itu, aku tak peduli karena yang aku inginkan hanya anak laki-laki. Dengar, ANAK LAKI-LAKI. Jadi kau tak perlu menjelaskan apapun mengenai anak-anakmu itu karena aku takkan pernah peduli. Paham!" desis Refano membuat tangan Zafira terkepal.

Praaaang ...

"YA AMPUN ANAK INI! FIRAAAA ... LIHAT APA YANG ANAK NAKALMU INI LAKUKAN! CEPAT KEMARI!?!" teriakan Liliana membuat seluruh tubuh Zafira menegang. Jantungnya berdebar.

"See! Itu yang kau sebut anakmu memiliki kelebihan? Ya, anakmu memang memiliki kelebihan, kelebihan membuat kekacauan, keonaran, dan kegaduhan," sinis Refano membuat hati Zafira kian sakit.

"Mereka juga anakmu, mas. Bukan hanya anakku!" teriak Zafira geram. Lalu ia pun segera berlalu menuju keributan yang sedang terjadi.

Saat berada di atas tangga, Zafira terbelalak lebar saat netranya melihat putri kecilnya sedang terduduk di lantai dengan dikelilingi pemecahan guci pajangan milik mertuanya. Zafira dapat melihat, gadis kecilnya itu sedang sesegukan karena ketakutan melihat tatapan tajam dari ibu mertuanya.

"Dasar anak nakal. Lihat, guci saya kini hancur berkeping-keping. Memangnya kau bisa ganti, hah? Ibu kalian itu hanya orang miskin, meskipun seluruh harta yang kalian punya dijual pun takkan sanggup mengganti guci kesayangan saya ini, tahu tidak kau!" sentak Liliana tanpa belas kasihan pada bocah kecil berusia 3 tahun itu.

"Refina ... Kamu tidak apa-apa, sayang?" seru Zafira panik. Disingkirkannya pecahan guci menggunakan kakinya. Untung saja ia menggunakan sandal, jadi kakinya tidak tertusuk pecahan guci itu.

"Ma-ma," cicit Refina dengan sesegukan. Mata Zafira panas, mengabaikan keberadaan mertuanya, Zafira segera memeriksa tubuh Refina dan menggendongnya ke kursi saat melihat ada pecahan kecil guci yang mengenai kakinya.

"Heh, menantu kurang ajar, berani sekali kau mengabaikanku. Dasar, tak tahu sopan santun!" sentak Liliana dengan wajah geramnya.

"Ma, kaki Refina luka, jadi Fira mau obatin kaki Refina dulu."

"Salah dia sendiri, mengapa tidak hati-hati sehingga membuat guci kesayangan saya pecah dan hancur berkeping-keping seperti itu," kesal Liliana dengan mata melotot membuat Refina meringkuk takut.

"Refi," pekik Regina sambil berlarian dengan mengenakan seragam sekolahnya. "Refi kenapa, ma? Oma kok marahin Refi sih? Lihat, kaki Refi kan sedang luka. Oma jahat, marah-marahin Refi," pekik Regina yang tidak suka adiknya dimarah-marahi.

"Dasar anak kurang ajar. Ini didikan kamu Fira, anak nggak tahu sopan santun. Berani marah-marah sama yang lebih tua," bentak Liliana murka.

"Mama nggak pernah ajarin Regi sama Refi marah-marah sama yang lebih tua, tapi Oma yang contohin suka marah-marah terus," sanggah Regina tak terima mamanya di salahkan.

"Regi," tegur Zafira agar Regina tidak berbicara seperti itu dengan Omanya.

"Dasar anak kurang ajar. Anak bandel kamu ya! Sepertinya kamu harus dikasi hukuman," sentak Liliana makin geram.

"Ada apa ini, ma?" tanya Refano yang segera menghampiri sang mama yang sedang berkacak pinggang. Sebelumnya ia melihat lantai di dekat tangga sudah berhamburan pecahan guci.

"Ini, anak perempuan miskin ini sudah berani kurang ajar sama mama. Mama negur adiknya yang nakal karena sudah memecahkan guci kesayangan mama,"adu Liliana pada Refano membuat laki-laki itu mengeraskan rahangnya.

"Ini yang kamu sebut anak pintar, Zafira? Dasar anak-anak nggak berguna. Cuma bisa buat kekacauan aja. Cepat minta maaf sama mama dan bereskan pecahan guci itu!" bentak Refano dengan mata melotot.

"Mas, Refina nggak sengaja mecahin guci itu, bukannya sengaja. Dia tadi hampir terjatuh dan tidak sengaja berpegangan dengan guci itu. Seharusnya kamu bersyukur, anak kita cuma luka sedikit, kalau sampai benar-benar jatuh, bagaimana?" jawab Zafira emosi.

"Kau masih saja berani menjawab ucapanku, hah! Dasar istri tak tahu diri!" sentak Refano sambil menarik rambut Zafira.

"Mas, lepas," teriak Zafira sambil berusaha melepaskan tangan Refano.

"Mama" teriak kedua bocah putri Zafira dan Refano itu. "Papa, lepasin mama!" teriak mereka tapi Refano mengabaikannya.

Tidak terima perlakuan sang ayah pada ibunya, Regina dan Refina pun bergerak. Mereka menarik-narik tangan Refano agar melepaskan cengkeramannya pada rambut Zafira, tapi karena terlalu kuat dan tenaga mereka pun tak sebanding dengan tenaga sang ayah, mereka pun kesulitan melepaskannya. Tak habis akal, Regina pun segera menggigit tangan Refano membuat laki-laki itu menjerit kesakitan dan menyentak tangannya hingga gigitan Regina terlepas. Tapi sesuatu di luar dugaan terjadi, karena sentakan itu cukup kuat membuat Regina terjatuh dan kepalanya membentur sudut meja hingga berdarah.

"Regina ... " pekik Zafira histeris.

...HAPPY READING 🥰🥰🥰...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!