NovelToon NovelToon

Dendam

Part 1 Hari yang menyenangkan

Pagi yang cerah, seperti suasana hati Aisah. Ibu yang selalu sigap dan cepat tanggap ini, selalu aktif setiap saat.

“Bangun sayang, nanti terlambat lho!” ujar Aisah sembari menarik kain selimut yang menutupi sebagian tubuh putri sulungnya itu.

“Aduh, Ma! Ayu masih ngantuk nih.”

“Ayo sayang, nanti terlambat lhoh.”

Mesti terdengar jelas di telinga Ayu, namun dia tetap tak mau membuka kedua matanya, rasa kantuk masih dapat mengalahkan panggilan Mama tercintanya.

Setelah membangunkan putrinya, Aisah langsung menuju kamar suaminya, dan mencoba untuk membangunkan suaminya yang masih tertidur dengan nyenyak nya.

“Ayo bangun Mas, udah siang, nanti terlambat lhoh.”

“Bentar lagi sayang, masih ngantuk.”

“Kalau kang Mas nggak bangun, nanti jangan salahkan Isah kalau terlambat ya?”

“Ah, masa Istri tercinta kang Mas langsung sewot, kalau bangunin suami itu yang sabar dong sayang.”

“Isah capek lhoh, nggak anak nggak Papa sama doang, susah kalau di bangunin,” ujar Isah, sembari berjalan menuju kamar putrinya yang masih tertidur.

Melihat putrinya masih tertidur dengan nyenyak, Aisah melakukan berbagai macam cara, agar suami dan putrinya segera bangkit dan berkemas untuk tugas kesehariannya.

Di saat Aisah telah duduk sendiri di meja makan, maka satu persatu anggota keluarga pun bermunculan, dan duduk tenang menikmati hidangan yang telah di sajikan di meja makan.

Semua tampak tenang dan diam, mereka sama-sama menikmati masakan yang telah di buat oleh tangan lembut Aisah.

“Masakan Mama pasti enak dan paling mantap nggak ada tandingannya deh!” ujar Ayu memuji masakan Aisah.

“Yang mujinya siapa?”

“Ya putrinya lah Pa, kalau orang lain, nggak bakalan.”

“Kenapa?”

“Karena masakan Mama nggak boleh di promosikan di seluruh daerah ini!”

“Loh, kok gitu sih?” tanya Aisah ingin tau.

“Karena aku nggak mau berbagi rasa dengan mereka, hehehe!” jawab Ayu sembari terkekeh.

“Kamu ya, kalau giliran ngomong, pasti paling pintar,” ujar Aisah seraya menyisir rambut putrinya itu.

“Ya udah, aku berangkat ya Ma, Pa! assalamu’alaikum.” Ujar Ayu seraya melambaikan tangannya.

“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan sayang!”

“Iya, Ma,” jawab Ayu sambil berlari menghampiri mobilnya.

Setelah Ayu berangkat, suaminya pun menyusul, Rinaldi yang bekerja sebagai di rektur Bank, selalu di siplin dalam bertugas, dia tak pernah terlambat mesti sekali pun. Hal itu sengaja di lakukan Rinaldi, agar karyawannya juga mengikuti kedisiplinan dirinya.

Di saat semua orang telah pergi, Aisah pun juga ikut berangkat ke kantor. Seperti suaminya, Aisah juga menanamkan jiwa disiplin pada dirinya.

Sementara itu si kecil Arif, berangkat bersama Aisah ke sekolah, karena Arif masih kecil dan duduk di bangku SD.

Mereka adalah keluarga yang tertib dan menjunjung tinggi disiplin, baik di dalam rumah mau pun diluar.

Di sekolah, Ayu yang masih duduk di kelas satu SMA, dia memiliki hobi menari. Hampir setiap kali ada acara perlombaan menari, atau sejenisnya, Ayu selalu dapat menampilkan kebolehannya dan hasilnya Ayu selalu mendapatkan nilai pertama.

Hal itu membuat Rinaldi dan Aisah menjadi senang, Aisah bahkan membayar guru pelatih untuk putrinya, agar Ayu lebih mahir lagi dalam mengembangkan bakatnya menjadi seorang penari.

Siang itu Kenedi datang berkunjung kerumah Ayu dan hal itu sudah menjadi kebiasaan Kenedi sedari kecilnya, karena antara Ayu dan Kenedi masih terbilang saudara dekat. Mesti demikian, benih-benih cinta sebenarnya sudah lama tertanam di lubuk hati keduanya.

Karena hubungan mereka sangat baik, apa lagi Kenedi sudah lama bergaul di rumah itu, Rinaldi dan Aisah mengizinkan hubungan mereka berdua.

Bersama Kenedi, Ayu merasa begitu nyaman sekali, apa lagi Kenedi seorang anak pengusaha Garmen yang terkenal, tentu semua kebutuhan Ayu selalu saja diturutinya.

Kenedi yang berhati baik dan lembut, tak sekali pun menaruh rasa marah apa lagi mencurigai gerak gerik Ayu yang di sekolahnya agak sedikit tomboi.

Namun meski demikian Ayu tetaplah seorang wanita yang harus di lindungi dari orang-orang yang tak bertanggung jawab.

“Tok, tok, tok! assalamu’alaikum.” Sapa Kenedi mengucapkan salam.

Wa’alaikum salam,” jawab Aisah dari dalam.

Mendengar seseorang mengucapkan salam dari luar, Ayu langsung saja berlari menghampiri pintu, walau saat itu Ayu tau kalau Mamanya sudah duluan menghampirinya.

“Hep! Ini bagian ku!” ujar Ayu sembari mengibas-ngibaskan tangannya kearah Aisah.

Melihat sikap Ayu yang telah mendahuluinya, Aisah tak mau tinggal diam, dengan cepat di pegangnya gagang pintu, agar Ayu tak bisa membuka pintu untuk Kenedi kekasihnya.

“Mau saya laporkan pada kekasih Mama?”

“Nggak non,” jawab Aisah seraya membungkukkan separuh badannya.

“Jangan pernah berlagak di hadapan saya, karena ini adalah bagian saya!”

Sambil berlagak seperti orang sedang ketakutan, Aisah pun mundur dan bersembunyi di balik pintu.

Lalu, Ayu membukakan pintu untuk pangerannya dan mempersilahkan dirinya masuk kedalam.

“Silahkan masuk tuan,” ujar Ayu sembari membungkukkan sebagian tubuhnya dengan tangan di ayunkan kearah samping.

“Terima kasih, lain kali kalau kedatangan tamu jangan biarkan dia menunggu dengan lama, bikin capek tau!” jawab Kenedi seraya memukulkan bunga yang dipegangnya ke pundak Ayu yang sedang membungkuk.

“Widih! Bunganya pada rontok semua!” ujar Ayu yang melihat bunga yang dipukulkan Kenedi berjatuhan ke lantai.

“Ya ampun, kok bisa rontok ya!” jawab Kenedi yang kemudian mengumpulkan bunga itu berdua.

“Drama udah selesai, semua kembali pada keadaan normal,” ucap Aisah yang kembali keluar dari persembunyiannya.

Suasana tampak begitu menyenangkan saat itu, baik Aisah, Kenedi dan Ayu, ketiga langsung menikmati makan siang bersama.

“Gimana kuliah mu nak?” tanya Aisah sembari menyendok nasi ke piringnya.

“Alhamdulillah, berjalan dengan baik Ma.”

“Oh, syukurlah. Gimana keadaan Mama mu saat ini Ken?”

“Mama sedang sakit saat ini, Ma.”

“Sakit, sakit apa? kemaren aja Mama lihat Mama mu sehat kok.”

“Mama terpeleset di kamar mandi Ma, untuk ada Bi Yuli yang mengetahuinya, jadi Mama cepat mereka bawa kekamar.”

“Ada yang terkilir?”

“Pinggang Mama, katanya masih terasa sedikit nyeri.”

“Nggak di bawa kerumah sakit, nanti bahaya lho.”

“Kata Papa emang begitu, tapi Mama menolaknya.”

“Ah, dari dulu Mama mu selalu begitu, nggak mau patuh pada perintah suaminya, padahal kalau sakit, kan orang terdekatnya juga yang sibuk.”

“Iya juga sih,” jawab Kenedi pelan.

“Kak Ken, nanti anterin Ayu ya?”

“Anterin kemana sayang?”

“Ayu mau ke mall.”

“Ngapain kesana? Buat uang Kak Ken habis nantinya.”

“Widih jadi kekasih kok pelit banget?”

“Nah, gitu kan Ma, baru di bilangin begitu aja langsung ngambek deh.”

“Ayu, barang kali Kak Ken belum punya uang, untuk mengajak mu belanja ke moll, lain kali aja kan bisa, nggak mesti harus sekarang dong.”

“Kak Ken, kita pergi ke mall ya, aku mau beli sesuatu!” rengek Ayu pada kekasihnya itu.

“Ya udah, sana siap-siap, nanti Kak Ken antar kamu ke mall, tapi ingat jangan minta yang macam-macam.”

“Hah, Kak Ken, mau ngantar Ayu ke mall?”

“Iya, sana berkemas-kemas.”

Mendengar kesanggupan Kenedi yang bersedia mengantarkan Ayu ke mall, gadis belia ini pun melompat-lompat kegirangan.

Bersambung...

\*Selamat membaca\*

Part 2 Kejadian naas

Dengan cepat Ayu pun berkemas-kemas, dandanan seadanya membuatnya tampak sedikit elegan.

“Semakin hari kau tampak semakin cantik sayang,” puji Kenedi padanya.

“Ah, Kak Ken, bisa aja.”

“Sumpah! Kakak nggak bohong kok.”

“Namanya orang muji, mana ada yang nggak pakai embel-embel di belakangnya.”

“Jadi maksudnya Kak Ken berbohong gitu.”

“Terserah, itu hak otoritas kakak, mau berbohong atau pun jujur.”

Sembari tersenyum manis, Kenedi hanya memandangi wajah Ayu dengan lirikan matanya yang tajam.

Tak terasa mereka berdua pun tiba di sebuah mall, sembari memarkirkan kendaraan, Ayu telah duluan turun dan berlari kearah mall tanpa harus menunggu Kenedi terlebih dahulu.

Seperti biasa di dalam Gedung yang bertingkat empat itu, Ayu mulai menjalari semua pakaian yang mana dia suka, sementara itu Kenedi hanya berdiri saja di depan kasir. Setelah selesai berbelanja, Ayu langsung mengantar semuanya ke kasir.

Setiap kali Ayu berbelanja, tak sedikit Kenedi mengeluarkan uang, namun pria itu tak pernah mengeluh, Kenedi hanya tersenyum sembari mengeluarkan uang jutaan untuk kebutuhan kekasihnya itu.

“Udah siap belanjanya?” tanya Kenedi dengan suara lembut.

“Sebenarnya sih, belum!”

“Ayu mau beli apa lagi sayang?”

“Aku mau beli alat kosmetik, Kak. Sebab yang kakak belikan hari itu udah habis dan masih bersisa sedikit lagi.”

“Ya udah, kamu pilih aja sana, biar kakak nunggu di sini.”

“Tapi aku maunya, sama Kak Ken.”

“Sebenarnya Ayu mau beli yang mana sih?”

“Ayolah kita kesana dulu!” ajak Ayu sembari menarik tangan Kenedi.

Kenedi tak menolak sedikit pun, walau Ayu memaksa dirinya, bagi Kenedi asalkan Ayu merasa puas, tak ada masalah baginya.

Hari itu adalah hari ulang tahun Ayu yang ke lima belas, tanpa sepengetahuan Ayu, Aisah dan Kenedi membuat acara kejutan untuk merayakan hari jadi Ayu.

Sebelum Ayu tiba di rumah, rencananya kejutan itu udah di persiapkan, tapi naas, ketika Aisah, Kenedi dan Arif pergi mencari atribut untuk memeriahkan hari bahagia itu, mereka bertiga pun mengalami kecelakaan.

Mobil yang di kendarai Kenedi menabrak pembatas jalan dan terpental hingga beberapa meter dari tempat kejadian.

Mobil itu pun hancur, Kenedi, Aisah dan Arif yang masih berada di dalam mobil tak bisa di selamatkan lagi, ketiganya meregang nyawa di dalam mobil tersebut.

Ayu yang mendengar kabar kecelakaan itu, langsung mendatangi lokasi kecelakaan, Rinaldi yang saat itu telah datang duluan, hanya tampak menangis sembari memeluk istri beserta putra kecilnya.

Begitu juga dengan keluarga Kenedi, kedua orang tuanya juga tampak hadir menangis pilu serta meratapi kepergian putranya yang begitu tragis sekali.

Ketika Ayu datang, semua telah berubah, jalan yang tampak ramai dengan kendaraan yang lalu Lalang, saat itu hanya ramai dengan penduduk sekitar yang ingin menyaksikan kejadian itu.

Tak ada yang dapat di ucapkan oleh Ayu saat itu, lidahnya terasa kelu dan kedua kakinya tampak gemetar. Rinaldi yang melihat kedatangan putrinya, langsung berlari untuk memeluk gadis lembut itu.

“Apa yang terjadi Pa?” desah Ayu dengan suara lirih.

“Mereka bertiga udah pergi nak,” jawab Rinaldi dengan pelan.

Ayu yang menyaksikan sendiri Kenedi, Mama dan Adiknya terbujur kaku bersimbah darah, tak kuasa menahan perasaan itu, hingga akhirnya dia pun tak sadarkan diri.

Rinaldi begitu terkejut, saat melihat Ayu terjungkal ketanah, Rinaldi menjerit histeris seraya memeluk tubuh putrinya.

“Sabar Pak, anak Bapak hanya pingsan aja kok,” ujar salah seorang pria yang berada di tempat kejadian.

“Benar putri saya hanya sekedar pingsan?”

“Benar Pak.”

Mendengar penjelasan dari pria itu, Rinaldi langsung menggendong putrinya menjauh dari kerumunan.

“Bangun sayang, bangun! Jangan tinggalkan Papa sendiri nak,” ujar Rinaldi sembari memeluk tubuh Ayu yang tampak lemah.

Di saat itu, beberapa orang warga datang sembari membawakan minuman untuk Ayu yang masih pingsan.

Semenjak hari itulah hidup Rinaldi bagaikan terombang ambing, dia tak lagi punya tujuan hidup, karena separoh hatinya telah hilang.

Hampir setiap hari Rinaldi hanya bermenung dan menangis sedih, bukan hanya itu saja, Rinaldi juga sering keluar malam dan pulang pagi hari, itu pun dalam keadaan mabuk.

Ayu sering menangis melihat keadaan itu, bukan hanya kehilangan Mama dan adik tercintanya, tapi saat itu Ayu juga sudah kehilangan Papa yang di jadikan pelindung untuk jiwanya yang labil.

Semuanya telah hancur dan porak poranda bersama waktu yang terus berlalu silih berganti. Saat itu bukan hanya Rinaldi yang sudah kehilangan kendali, Ayu juga terjerumus pada pergaulan bebas.

Dua orang teman wanitanya sering mengajak Ayu pergi ke diskotik untuk menghilangkan rasa jenuh di hatinya, bersama Nita dan safa, Ayu mencoba mengkonsumsi benda-benda terlarang yang setiap saat di suguhkan keduanya pada Ayu.

Seperti Papanya, Ayu juga pulang kerumah dalam keadaan mabuk dan teler, melihat putrinya sudah terjerumus ke jurang yang dalam, Rinaldi kembali bangkit dan mencoba untuk kembali membenahi hidupnya yang telah hancur.

Walau Rinaldi terus berusaha, namun semuanya telah terlambat, karena pagi itu pihak kantor datang bersama orang Bank untuk menarik semua pasilitas kantor yang di manfaatkan oleh Rinaldi beserta keluarga.

Penyesalan memang selalu datang terlambat, di saat semuanya telah hancur, Ayu putri Rinaldi juga di berhentikan dari sekolahnya, karena ketahuan membawa pil ekstasi kedalam kelas. Saat itu tak ada yang perlu di sesali lagi, semuanya telah terjadi.

Di tengah malam Rinaldi masuk kedalam kamar Ayu, dia melihat wajah putrinya begitu pucat, Rinaldi pun menangis histeris. Air matanya tak dapat untuk di bendung nya, ulah karena kelalaiannya Ayu jadi korban.

Setelah kehabisan harta benda dan kehilangan apa yang di banggakannya, saat itu Rinaldi sadar kalau dia terus larut dalam kemalangan itu, maka Rinaldi juga akan kehilangan putri satu-satunya, untuk itu Rinaldi mengambil keputusan yang tepat.

Dengan sisa uang tabungannya, Rinaldi membeli sebidang tanah di pedesaan dan membangun rumah kecil di sana.

Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Rinaldi mencoba merawat putrinya yang sedang mengalami depresi berat akibat kecanduan.

Di sela-sela kesibukannya dalam merawat Ayu, Rinaldi mencoba bercocok tanam pada sebidang tanah yang dia beli.

Di saat cinta Rinaldi hancur, cinta Ayu juga kandas di tengah jalan, perjalanan hidup keduanya tak jauh berbeda dengan Ravi, pria yang riang itu tampak menjadi seorang pemurung. Sudah hampir dua tahun dia kehilangan orang yang dia cintai.

Sovia, gadis indo yang akan dia nikahi tiba-tiba saja menghilang di malam pertunangannya. Cincin yang melingkar di jari Ravi membuatnya begitu sulit untuk melupakan gadis cantik itu.

“Kamu ada dimana sayang, kenapa tiba-tiba saja menghilang tak tau rimbanya, Abang mesti mencari dimana, uhuk..huk!”

Rasa sedih yang di alami Ravi begitu mendalam, Sovia yang telah lama menjadi pujaan hatinya, tak lagi menampakkan diri setelah hari pertunangan mereka.

Bersambung...

\*Selamat membaca\*

Part 3 Menjalani hidup baru

“Kamu yang sabar nak, mungkin Allah sedang menguji keimanan mu saat ini,” ujar Nanda pada putranya itu.

“Iya Bu, “ jawab Ravi sembari tersenyum tipis pada Ibunya.

“Yang penting kita telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari keberadaan Sovia, tapi karena Allah belum mempertemukan kalian, yeah, kamu mesti tetap bersabar.”

“Menurut Ibu, mungkin nggak kira-kira, Sovia pergi dengan pria lain?”

“Entahlah nak, tapi Ibu yakin kalau Sovia tidak seperti itu orangnya, karena selama ini, dia selalu memperlihatkan kelembutan dan kebaikannya sama kita.”

“Aku yakin pasti ada yang nggak beres dengan hilangnya Sovia.”

“Ibu juga merasakan hal yang sama, nak. tapi bukankah keluarga Sovia juga telah mencari keberadaan anaknya?”

“Benar Bu, tapi hasilnya tetap nihil.”

“Aneh, tiada angin dan tiada pula hujan, tiba-tiba saja dia menghilang di malam itu, padahal ketika Ibu tanya dia di dalam kamar, Sovia merasa senang tuh, bahkan dia berjanji pada Ibu akan tetap menjaga mu sampai kapan pun.”

Mendengar cerita Nanda, hati Ravi bagai teriris-iris, luka yang belum sembuh, saat itu mulai mengeluarkan darah kembali. Bukan hanya tenaga yang terkuras untuk mencari keberadaan Sovia akan tetapi Ravi juga kehabisan uang untuk hal tersebut.

Pagi itu, Ravi bersama teman-temannya, mendatangi kantor polisi, untuk menanyakan hal yang menyangkut hilangnya Sovia. Namun hingga saat itu polisi belum bisa menemukan barang bukti tentang menghilangnya kekasih Ravi itu.

“Kami juga sudah berusaha Dek, namun hingga saat ini, kami belum menemukan sedikit petunjuk pun tentang hilangnya saudari Sovia.”

Mendengar keterangan dari polisi, tersebut, hati Ravi menjadi sedih, karena hingga saat itu sudah masuk bulan kedua semenjak hilangnya Sovia.

Kelima orang teman Ravi yang selalu setia menemaninya, merasa prihatin sekali, mereka selau bergerak untuk membantu Ravi dalam mencari keberadaan Sovia.

“Ravi, kau yakin kalau Sovia itu nggak memiliki kekasih lain, selain kamu?” tanya Ihsan.

“Mana saya tau San,” jawab Ravi sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Berarti, kita semua harus menyelidikinya terlebih dahulu, pada keluarga Sovia, agar kasus ini segera selesai.”

“Sebenarnya memang seperti itu, Ren. Tapi masalahnya sekarang ini, apakah kedua orang tua Sovia nggak marah pada kita kalau hal ini kita tanyakan pada mereka.”

“Iya, juga ya,” jawab Reno sembari mengernyitkan kedua alisnya.

“Kalau menurut ku, kita selidiki aja kasus ini pelan-pelan, tanpa harus memberi tahu siapa pun, nanti kalau kita udah menemukan titik terangnya, baru kita laporkan ke polisi.”

“Ya, aku setuju!” kata Revan dengan kepolosannya.

“Baiklah untuk sementara waktu biarlah hal ini kita selidiki aja dulu bersama.”

“Ok.” Jawab kelima orang teman Ravi yang begitu setia mendampingi Ravi baik dalam suka maupun duka.

Namun, sejauh manapun Ravi berusaha untuk terus menyelidikinya, dia selalu saja mendapatkan kendala diluar keinginannya, seakan-akan ada sekenario yang secara tidak langsung melarang Ravi untuk terus bergerak.

“Katanya, mau menyelidiki kasus ini sendiri, tapi kok masih tidur nak?” tanya Nanda yang mendapati Ravi masih tertidur pulas di kamarnya.

“Tadi malam aku keluar Bu, tapi aku merasakan ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.”

“Jangan-jangan mereka itu salah seorang yang selama ini telah menculik Sovia.”

“Ibu, jangan berfikiran negatif dulu kenapa sih?”

“Ibu nggak berfikiran negatif nak, tapi kita kan harus waspada, siapa tau setelah Sovia, mereka juga mengincar nyawamu.”

Mendengar ucapan Ibunya, Ravi jadi berfikir ulang kembali, Ibunya benar, siapa tau Sovia menjadi korban penculikan selama ini, dan mereka juga mengincar Ravi untuk di jadikan target kedua mereka.

Semenjak malam itu, Ravi pun jarang keluar rumah, bahkan saat kelima orang temannya datang pun Ravi berusaha untuk menolak mereka.

Revan heran, karena Ravi jauh berubah dan terlihat lebih banyak menutup diri ketimbang bicara pada siapa pun. Mesti semenjak hari itu Ravi tetap bertugas sebagai seorang guru yang baik, namun dia tak pernah mengungkit masa lalunya bersama Sovia.

Memang terasa begitu sulit untuk di jalani, tapi Ravi harus tetap tegar, karena kalau Ravi berbuat sesuatu, pasti nyawanya yang dalam bahaya.

Hal itupun telah di laporkan Ravi ke polisi, namun tak ada jawaban tentang laporannya itu. Sehingga keluarga Ravi hanya bisa diam dan tutup mulut.

Kejadian itu sebenarnya membuat Ravi dan keluarganya merasa terancam. Karena hampir setiap hari ada saja orang-orang yang menutup wajahnya datang menghampiri rumah Ravi.

Malam itu, saat seluruh keluarga sedang tertidur dengan pulas, tiba-tiba rumah Ravi di datangi oleh seseorang, Ravi bersama keluarganya berusaha untuk diam. Sebenarnya ingin sekali Ravi menemui orang yang meneror keluarganya tersebut, namun Ayah dan Ibunya selalu melarang.

Bagi Nanda, hal itu akan membahayakan jiwa Ravi sendiri, itu sebabnya Nanda melarang Ravi untuk keluar rumah.

Diamnya keluarga Ravi membuat kasus itu semakin hening tak bergeming, sehingga keluarga Ravi bisa bebas melenggang keluar rumah dan tak ada lagi ancaman untuk mereka yang disayanginya.

Tak terasa, dua tahun sudah berlalu, semenjak kejadian itu, Ravi pun mulai melupakan wajah Sovia, mesti terasa sulit namun dia harus mampu untuk melakukannya.

Disekolah, Ravi terlihat seperti pria dingin, tak seorang wanita pun yang di lihatnya bisa membuat hidupnya bisa melupakan Sovia, mesti setiap harinya Ravi selalu mendapat pujian dari wanita yang berada di sekitarnya.

Di saat kekosongan hati telah membelenggu dirinya sendiri, Ravi mencoba untuk bisa kuat, seperti halnya dengan Ayu yang separoh hidupnya telah hancur.

Setelah beberapa bulan di rawat oleh Papanya, Ayu pun dinyatakan sembuh dari ketagihan obat yang di alaminya, hati Rinaldi menjadi senang, karena putri satu-satunya mulai menampakkan perubahan.

Seperti gadis yang lainnya, Ayu juga tampil biasa, dia bahkan tak lagi memikirkan Kenedi yang selama ini telah menjadi bagian dalam hidupnya.

“Masa depan menanti mu putri ku!” ujar Rinaldi pada Ayu.

Ayu pun tersenyum bahagia, senyum yang sudah lama tak pernah di lihat oleh Rinaldi, kini terkuak lebar di hadapannya.

“Besok Papa akan mendaftarkan mu kesekolah yang baru, apakah kau mau nak?” tanya Rinaldi pada Ayu.

“Terserah Papa aja," jawab Ayu singkat.

“Mulai hari ini, kita harus belajar hidup sederhana nak, karena Papa udah nggak punya apa-apa lagi untuk kau banggakan.”

“Aku mengerti Pa,” jawab Ayu pelan.

“Ayo habiskan makanan mu, dan segeralah tidur, karena esok Papa akan mengantarkan mu kesekolah.”

“Baik Pa,” jawab Ayu sembari menyudahi makanan yang ada dihadapannya.

Keesokan harinya, Ayu bersama Rinaldi mencoba mendaftar di SMA Pertiwi. Karena hanya sekolah itu yang letaknya agak sedikit dekat dari tempat tinggal mereka, mesti demilkian, Ayu harus mencari rumah kos untuk tempat tinggalnya.

Ayu tak mempermasalahkannya, gadis polos itu menerima dengan lapang dada apa yang di sarankan oleh Papanya tersebut.

Bersambung...

\*Selamat membaca\*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!