Seorang gadis bernama Sabhira Irani sedang mengekori ayahnya yang hendak berangkat untuk bekerja.
"Ayah, hari ini aku ingin pergi ke festival jajanan di pasar besar itu. Tapi aku tidak mau naik kendaraan umum. Malas sekali kalau harus desak-desakan. Belum lagi nanti minyak wangi yang aku pakai, akan kalah dengan keringat mereka yang ikut menempel di bajuku. Jadi ... boleh kan kalau aku pinjam motor vespa Ayah?" tutur Sabhira, tangannya menggelayut manja pada lengan sang ayah.
"Kamu yakin bisa mengendarainya? bukankah terakhir kamu pakai, malah terjun ke danau pinggir kota? Sekarang ingin mengendarainya lagi? Apa kamu belum kapok, hem?" cecar ayahnya memborong banyak sekali pertanyaan. Mengingatkan kembali kejadian yang menimpa Sabhira beberapa tahun yang lalu. Membuat gadis itu bingung untuk menjawabnya bagaimana.
"Tapi Ayah ... sekali ini dan terakhir deh. Tolong aku Ayah. aku ingin pergi ke sana." Sabhira merengek layaknya anak berusia lima tahun yang ingin meminta mainan di tukang abang-abang dorong.
"Terserah kamu lah. Kalau sampai terjadi apa-apa, Ayah lepas tangan dan kamu harus belajar tanggung jawab atas kesalahanmu sendiri," ucap ayahnya dengan nada tegas. Pria paruh baya itu tidak mau mengambil pusing dengan tingkah kekonyolan anak gadisnya.
"Dengar kata Ayahmu. Kami sudah berusaha mencegah supaya kamu tidak mengendarai vespa lagi. Tapi kalau kamu kekeuh, ya sudah selebihnya tanggung sendiri," sahut wanita paruh baya yang baru saja menghampiri mereka sambil membawakan tas kerja milik suaminya. Dan wanita itu adalah ibu kandung Sabhira.
"Hufft!" Helaan napas yang terdengar lesu pun dikeluarkan oleh Sabhira. Gadis itu memang masih bersikap kekanak-kanakan. Terlebih usianya baru menginjak delapan belas tahun.
"Ayah berangkat dulu ya," pamit pria itu pada keluarganya.
"Iya, dah Ayah." Sabhira berbalik badan lalu pergi ke kamarnya dengan langkah gontai.
"Hati-hati di jalan Ayah!" seru sang istri sambil melambaikan tangan. Lalu menoleh ke arah anak gadisnya yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ia pun menghela napas sambil menggelengkan kepala, kemudian pergi ke dapur untuk membuat hidangan.
"Datanglah ke festival jajanan. Hanya dibuka khusus hari ini. Banyak diskon menarik dan juga ... ada grand prize nya juga loh! buruan ke sini!"
Suara iklan di televisi yang terdengar hingga ke dalam kamar, membuat Sabhira ketar ketir dan tidak sabar ingin segera ke sana. Gadis itu terus mondar mandir sambil menggigiti kuku jarinya.
"Ah!" Bagai ada sebuah cahaya yang berkelebat di depan matanya. Sebuah ide cemerlang pun muncul. Sabhira keluar dari kamar sambil mengendap-endap, lalu pergi ke dapur memastikan kalau ibunya masih sibuk memasak.
"Huh, aman." Sabhira mengusap dadanya seraya menghembuskan napas lega. Gadis itu segera mencari keberadaan kunci motor vespa kesayangan ayahnya itu.
Sabhira mencari ke semua laci dari lemari yang ada di ruang keluarga sampai ke kamar orang tuanya. Matanya berbinar ketika menemukan kunci yang ia cari. Gadis itu pun segera keluar dari rumah menuju garasi.
Rolling dor yang menutup garasi itu, ia angkat kuat-kuat. Sebab pintu tersebut jarang sekali di buka. Sehingga air hujan yang mengakibatkan karat pada setiap sudut lipatannya membuat pintu menjadi sulit dibuka.
"Hah! hallo vespa. Kita ketemu lagi, kali ini aku akan mengajak mu jalan-jalan ke kota," kata Sabhira yang berbicara pada vespa berwarna tosca yang terparkir rapih di garasi tersebut.
Gadis itu mulai naik ke atasnya, lalu memasukkan kunci motor dan menyalakan starternya. Tak lupa memakai helm cepak berwarna kuning terang untuk melindungi kepalanya. Sang ibu yang mendengar suara motor pun bergegas keluar meninggalkan ikan yang sedang di gorengnya.
"Sabhira!" teriak sang ibu namun tidak dihiraukan sama sekali oleh anak gadisnya itu.
Sabhira menaikkan standar motornya lalu melajukan vespa keluar dari garasi. Ia sangat bersemangat sekali. Sepanjang jalan mulutnya tidak henti-hentinya bersenandung dan menyanyikan lagu India yang menjadi kesukaannya.
Saat tengah asik bernyanyi. Tepat di persimpangan jalan dari arah yang berlawanan, mobil sedan berwarna hitam melaju cukup cepat. Sabhira terkejut dan hendak menarik rem di tangannya.
Namun ternyata rem tidak berfungsi lagi. Mobil sedan itu pun sudah berhenti mendadak, sementara Sabhira yang kelimpungan berusaha menghentikan motor vespa ayahnya itu.
Brak.
Sabhira berhasil menabrak bagian depan mobil. Terlebih bagian bemper mobil serta lampu sorot sebelah kanannya hancur. Penumpang yang ada di dalam mobil pun turun, dia merasa kesal karena Sabhira menghancurkan mobil mahal miliknya.
Sementara itu, Sabhira menangis karena terpental ke aspal. Bagian kaki serta dadanya terasa sakit.
"Hei kamu!" bentak seorang pria yang telah berdiri dihadapannya. Sabhira menghentikan tangisannya dan menengadah melihat wajah menyeramkan yang ditunjukkan oleh pria itu. Namun gadis itu tidak bisa menghentikan isakan tangis yang membuat napasnya tersendat-sendat.
"Berhentilah menangis. Dasar cengeng! cepat berdiri dan ganti rugi kerusakan mobilku!" sarkas pria itu. Menyilangkan tangannya di dada menunggu gadis yang ada di depannya berdiri.
Sabhira melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya sejenak, ia harus berdiri dan mengahadapi pria yang sedang sangat marah padanya.
"Heh orang kaya! apa matamu buta? kau bahkan tidak melihat aku juga terpental ke aspal. Kalau saja motor vespa ku tidak blong remnya. Maka kejadian ini tidak akan terjadi," kata Sabhira tidak mau kalah. Namun pria itu tertawa menyeringai.
"Kau tidak sadar apa yang kau ucapkan barusan. Kalau saja rem motormu tidak blong, maka kejadian ini tidak akan terjadi. Dan itu sudah membuktikan kalau kamu itu bersalah. Cepat ganti rugi!" timpal pria itu dengan kedua tangannya kini dimasukkan ke dalam saku celana.
"Tidak! aku tidak mu ganti rugi!" sergah Sabhira memberi sorot mata menantang pada pria itu.
"Cih! sudah salah masih tidak terima. Apa orang tuamu tidak pernah mengajarkan arti dari tanggung jawab hah? atau jangan-jangan memang otakmu saja yang bebal!" sarkas pria itu lagi. Sabhira semakin tidak terima.
"JANGAN PERNAH BAWA-BAWA ORANG TUAKU!!" teriak Sabhira tepat di depan wajah pria itu.
Pria itu terdiam, sorot matanya pun semakin tajam. Dia adalah Barun Praya. Pengusaha muda yang bergerak di bidang tekstil. Sayangnya perusahaan miliknya saat ini sedang dirundung masalah karena ada situs yang menyebarkan rumor kalau dirinya seorang homo alias penyuka sesama jenis. Saham yang dijual dipasaran sangat anjlok, dilihat dari sepanjang sejarah dunia bisnisnya. Kepalanya berasa ingin pecah, ketika mengingat hal itu tidak kunjung mendapat jalan keluar.
Setelah cukup lama saling terdiam dan hanya berperang dalam tatapan mata, Tanpa berpikir panjang Barun akhirnya angkat bicara.
"Menikah denganku atau mengganti kerusakan mobil sebesar satu milyar?" tawar Barun dengan sengaja.
"Tidak! kedua pilihan itu tidak ada yang menguntungkan ku!" tolak Sabhira dengan tegas.
"Baik, kalau begitu. Ikut denganku ke kantor polisi!" sahut Barun lagi.
"Oke, aku memilih menikah denganmu saja kalau begitu." Sabhira akhirnya mengalah, karena ia tidak punya uang sebanyak yang Barun minta.
To be continue ...
...----------------...
Assalamualaikum semuanya, gimana kabarnya hari ini? awal bulan harusnya ceria dong hehe. Author mau minta dukungan kalian untuk karya terbaru ini. Caranya gampang kok cukup favorite, like, komen, vote dan juga hadiah. Terima kasih sebelumnya. Wasaalam 😊
Barun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana kemudian mulai mencari nama seseorang di kontak lalu memanggilnya.
"Hallo, cepat antarkan mobil lain yang ada di rumah ke tempat saya berada sekarang. Nanti alamatnya akan saya share location."
Panggilan pun diputus oleh Barun. Sementara Sabhira merumat-rumat jari tangannya. Raut wajah gadis itu tampak sangat resah dan juga gelisah. Niatnya ingin pergi ke festival jajanan, eh malah terjebak pada kejadian yang tak terduga olehnya. Apa ini bagian dari karma karena mengabaikan nasihat kedua orang tuanya?
Tak lama berselang, sebuah mobil sedan berwarna silver berhenti di depan mereka.
"Mobilnya yang lain? apa pria ini orang kaya?" Sabhira bertanya-tanya dalam hatinya.
"Ikut aku." Barun berjalan ke arah mobil sedan berwarna silver itu lalu membuka pintu penumpang yang berada di samping kemudi. "Masuk ke dalam," lanjutnya mempersilahkan Sabhira dan memberi kode menengokkan kepalanya, raut wajahnya masih datar.
"Tapi motorku bagaimana kalau aku ikut denganmu?" tanya Sabhira yang tidak ingin sang ayah ikut memarahinya.
"Biarkan saja. Nanti ada orang suruhanku yang akan memperbaikinya. Memangnya kalaupun mau kau naiki kembali, apa kau yakin nyawamu akan selamat setelah ini?" jawab Barun. Matanya mendelik tajam membuat Sabhira bersusah payah menelan ludahnya.
Sabhira pun akhirnya melangkah dengan hati yang meragu. Terpaksa, ia masuk ke dalam mobil Barun.
Pintu pun sengaja di tutup lebih kencang oleh Barun, membuat Sabhira spontan menutup kedua telinganya.
"Ada apa dengannya? apa dia tidak sayang kalau pintu mobilnya rusak?" Sabhira bermonolog dengan perasaan yang juga ikut kesal.
Gadis itu langsung diam ketika Barun masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi, sebelahnya.
"Cepat katakan, dimana rumahmu?" tanya Barun yang mulai mengoperasikan persneling lalu menjalankan mobilnya.
"Untuk apa ke rumahku? aku sudah memberimu jawaban. Jangan buat orang tuaku semakin kepikiran," jawab Sabhira dengan ketus. Rupanya gadis itu masih terbawa emosi sampai ia tidak bisa berpikir jernih.
"Kau ini bodoh atau polos sih?" sarkas Barun, suaranya tiba-tiba meninggi. Sabhira semakin kesal dan tersulut emosi. "Kau pikir menikah yang kau maksud itu diam-diam?" Barun menggelengkan kepalanya. "Walau aku tidak percaya dengan sebuah pernikahan, tapi setidaknya kali ini aku akan menemui orang tuamu dan memintamu untuk menikah denganku," pungkas pria itu kemudian.
Sabhira terperangah sekaligus bingung harus tersentuh atau pun meradang. Pernikahan yang akan dilaluinya tanpa di dasari dengan cinta, membuatnya semakin dirundung kekhawatiran.
Seketika ingatannya kembali pada masa lalunya, dimana mendiang sahabatnya harus meninggal mengenaskan karena dipukul oleh suaminya, yang notabene nya pernikahan mereka itu di dasari oleh cinta. Itulah kenapa Sabhira begitu sangat khawatir.
"Cepat katakan!" bentak Barun yang merasa geram karena Sabhira tiba-tiba terdiam cukup lama.
"Apa sebaiknya kita kenalan terlebih dahulu? aku sendiri bahkan tidak tahu namamu siapa, bagaimana aku bisa berakting di depan kedua orang tuaku?" kelakar Sabhira yang berusaha untuk membuat Barun bisa meredam amarahnya.
"Barun Praya," jawab pria itu singkat.
"Jadi aku harus panggil kamu sebutan apa? Pak, Tuan, Om, Kakak, Mas, Ayang?"
tanya Sabhira dengan wajah yang tanpa ada rasa bersalah.
"TUAN! kau mengerti?" Suara Barun yang tiba-tiba meninggi lagi membuat Sabhira mendadak diam.
"Ba-baik Tuan Barun Praya ... namaku Sabhira Irani, senang berkenalan denganmu!" seru Sabhira dengan senyum sumringah. "Rumahku tidak jauh dari sini kok. Tinggal lurus, lalu ada pertigaan belom kanan dan perempatan lurus lagi. Nah di sebelah kanan, gerbang berwarna putih. Itulah rumahku."
Barun mendengarkan dengan baik dan mengingat apa yang dikatakan Sabhira barusan walau dirinya sedang fokus menyetir.
...----------------...
Setelah lima belas menit perjalanan dari tempat kejadian perkara yang dilakukan oleh Sabhira, mobil yang dikendarai Barun tiba di depan rumah yang diyakini adalah rumah gadis yang duduk disebelahnya itu.
"Yakin ini rumahmu?" tanya Barun. Matanya melihat ke sekeliling area luar pagar yang sepi, hanya ada beberapa orang berlalu lalang di sekitarnya.
"Iya, ayok turun!" ajak Sabhira sambil berusaha membuka seatbelt yang ia pakai.
Karena takut Sabhira melarikan diri, Barun segera ikut turun dari mobilnya saat gadis itu telah menutup pintu mobil miliknya itu. Sabhira pun membuka gerbang rumahnya.
Barun terkejut ketika mendapati sebuah rumah panggung sederhana tempo dulu yang khas dengan aksen tradisionalnya. Pria itu mematung di depan gerbang. Walaupun rumah itu terlihat seperti bangunan lama, tapi halaman rumahnya sangat luas sekali.
"Tuan, ayok masuk! kok jadi bengong sih!" ajak Sabhira. Sementara Barun tersentak ketika tangan gadis itu menarik lengannya.
"Ibu ... aku pulang." Sabhira dengan kebiasaannya selalu berteriak ketika masuk ke dalam rumah membuat Barun menghela napas panjang.
"Sabhira, mana motor ayahmu? kenapa Ibu tidak mendengar suaranya? Kamu nih ya, itu motor lagi rusak. Remnya pun hanya berfungsi sewaktu-waktu saja. Sekarang ... " ucap ibu Sabhira yang tiba-tiba menghentikan omelannya ketika melihat seorang pria yang berdiri tepat di samping anak gadisnya itu. Wanita paruh baya itu datang dari dapur yang kebetulan sejak kedatangan anaknya, baru selesai membuat hidangan. Ia pun berjalan menghampiri mereka.
Barun yang juga mendengar celotehan yang dilontarkan oleh ibu Sabhira itu perlahan tahu akan sifat gadis yang berdiri disebelahnya. Ceroboh dan petakilan.
"Sabhira, siapa pria ini? kenapa kamu pulang bersamanya? lalu motor ayahmu mana?" cecar sang ibu. Namun Sabhira hanya menggarukkan kepalanya sambil tersenyum meringis.
"Kenalkan Ibu, saya Barun Praya. Kekasih Sabhira Irani yang sore ini akan menikahi anak Ibu. Saya sudah terlanjur mencintai dan bercumbu dengannya, maka dari itu saya harus segera menikahinya sebelum anak gadis Ibu ini hamil," papar Barun membuat napas ibu Sabhira tertahan mendadak. Sabhira yang ikut terkejut mendengar ucapan Barun, emosinya bergemuruh. Ingin rasanya ia merobek-robek mulut pria itu.
PRAT!! Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi mulus Sabhira. Reflek sebelah telapak tangannya pun mengelus pipi yang terasa panas.
"Ibu tolong, jangan sakiti kekasih saya. Kalau sampai Ibu membuatnya menangis, saya tidak segan melarang Sabhira untuk bertemu dengan Ibu setelah ini. Permisi!" Barun menarik tangan Sabhira untuk pergi dari hadapan wanita paruh baya itu.
Entah sejak kapan air mata Sabhira keluar dari kelopak matanya. Barun pun membawa gadis itu masuk ke dalam mobil. Begitupun dengan dirinya. Kemudian mobil dijalankan, pergi dari sana.
Sepanjang jalan, Sabhira terus terisak dengan tangisannya. Baru kali ini ia melihat sang ibu marah hingga bermain tangan, memberi tamparan untuknya. Disisi lain, Barun yang merupakan dalangnya membuat rasa benci di dalam hati Sabhira begitu kuat.
"Ish!" rintih Sabhira sambil memegangi dada bagian atasnya. Napasnya yang terasa sesak membuat rasa sakit yang tadi sempat hilang kini terasa kembali.
Barun yang menyadari hal itu langsung menancapkan pegal gas mobilnya menuju rumah sakit yang tak jauh dari tempatnya sekarang. Pria itu hampir saja tidak ingat kalau saat kecelakaan tadi, tubuh Sabhira mengalami benturan yang cukup keras.
To be continue ...
Setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit, dokter pun berpendapat kalau benturan yang di alami oleh Sabhira tidak bersifat fatal. Hanya luka lebam dan nyeri saja.
Kini Sabhira tengah menunggu di tempat pengambilan obat. Sementara Barun sedang melakukan panggilan telepon yang cukup jauh dari tempat Sabhira berada.
"Bagus. Lakukan dengan baik. Saya akan ke sana satu jam lagi," ucap Barun yang kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Pria itu kembali menghampiri Sabhira seraya memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana.
Baru saja Barun duduk, nama Sabhira dipanggil.
"Biar aku saja. Kau tunggu sini! Ingat jangan coba-coba untuk kabur," kata Barun dengan nada yang penuh penekanan. Sabhira terbelalak mendengar perkataan Barun.
"Iya kau tenang saja," sahut Sabhira dengan santai sambil menyandarkan punggung nya di kursi.
Perawat itu memberikan obat salep dan juga antibiotik pada Barun. Kemudian pria itu menghampiri Sabhira kembali.
"Ayok kita pergi!" ajak Barun, lalu Sabhira pun berdiri. Keduanya jalan bersamaan menuju tempat parkir dimana mobil Barun berada.
...----------------...
Sepanjang perjalanan, Sabhira hanya terdiam sambil melihat ke luar jendela. Barun yang menyadari itu hanya membiarkan gadis yang duduk di sebelahnya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Satu jam kemudian, mobil yang dikendarai Barun telah sampai di depan lobby sebuah hotel bintang lima. Sabhira terkejut ketika melihat banyak wartawan yang telah berkumpul di sana.
"Sedang apa mereka semua? apa di hotel ini sedang ada selebritis yang menginap lalu konfrensi pers?" Sabhira bertanya-tanya, lalu menoleh ke arah Barun yang tersirat bahagia.
Ya, sebentar lagi publik akan tahu kalau dirinya bukan seorang pria yang seperti diberitakan situs yang tidak bertanggung jawab itu. Pria yang sedang memainkan perannya sebagai pria normal pada umumnya.
Namun sayangnya pertanyaan Sabhira beberapa menit yang lalu hanya dianggap angin lalu olehnya. Barun pun melepas seatbelt nya kemudian turun dari mobil dan menutup pintunya kembali.
Begitu pun dengan Sabhira yang baru saja melepas seatbelt nya. Akan tetapi saat dirinya membuka pintu, nyaris saja terkena bagian aset milik Barun. Hal itu membuat Sabhira mengulum bibirnya menahan tawa.
"Damn! kau hampir membuat asetku terluka Sabhira!" kata Barun, menahan amarah.
"Ya maaf," sahut Sabhira dengan santai layaknya nyonya besar yang turun dari mobil lalu menutup pintunya kembali.
Barun menarik napas dalam supaya amarahnya cepat meredam. Pria itu meraih tangan Sabhira lalu melingkarkan ke lengannya. Senyuman pun terbit dari kedua sudut bibirnya ketika mulai melangkah dan para wartawan itu bergegas menghampiri keduanya.
Raut wajah Sabhira masih tampak bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya.
"Tuan Barun bagaimana langkah Anda untuk mengembalikan para investor kembali?"
"Lalu apa Anda yakin kalau wanita ini bisa mengembalikkan nama baik Anda lagi?"
"Iya, iya, bagaimana pula kalau mantan kekasihmu tau?"
"Apa Tuan Barun benar-benar normal seperti pria pada umumnya?"
Sampai di sini Sabhira mulai paham. Kenapa Barun sangat ngotot meminta menikah dengannya. Bahkan sampai berbohong pada ibunya Sabhira, walau akhirnya gadis itulah yang menjadi sasaran amarah wanita paruh baya itu.
"Untuk Nona sendiri, diusianya yang masih sangat muda sudah siap menjadi istri dari Tuan Barun yang banyak disukai para wanita? apa Anda tidak takut kalau suatu hari nanti Tuan Barun akan selingkuh?"
Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang dilontarkan oleh para wartawan itu. Sebenarnya Sabhira sangat risih mendengar pertanyaan tadi.
"Seberapa kaya sih yang katanya Tuan Barun ini? pertanyaan mereka sangat meresahkan sekali." Sabhira bertanya dala hatinya.
"No comment, kalian nanti lihat saja resepsi pernikahan kami sekitar satu jam lagi. oke? terima kasih." Barun segera membawa Sabhira masuk ke dalam.
Sedangkan di dalam lobby, asisten Barun menyambut kedatangan mereka lalu mengajak keduanya pergi ke salah satu kamar di hotel itu. Sabhira ingin melepaskan tangannya, namun Barun berusaha untuk menahannya.
Setibanya di kamar, Barun dan Sabhira di persilahkan untuk segera bersiap. Tapi sepertinya petugas make up serta yang mengantar baju pengantin mereka belum ada di sana. Dengan santainya Barun masuk ke dalam kamar, sedangkan Sabhira mendadak jadi patung ketika pintu telah tertutup rapat kembali.
"Tuan Barun, ada yang ingin aku tanyakan padamu," ketus Sabhira. Gadis itu memberanikan diri menghampiri Barun yang duduk di sofa.
"Apa?" tanya pria itu santai.
"Apa benar kamu pria 'normal'? lantas yang dimaksud wartawan mantan kekasihmu itu? seorang pria atau wanita?" cecar Sabhira yang begitu sangat penasaran. Gadis itu ikut duduk di sofa menghadap pria yang kini tengah mendelik tajam kepadanya.
"Menurutmu, apa aku terlihat seperti pria yang 'tidak normal'? Barun bertanya balik, mengangkat dua jari kedua tangan ketika menyebut kata tidak normal.
"Oh tidak, tidak. Aku hanya ingin dengar langsung darimu saja. Sebab banyak berita yang tidak benar pun sampai tayang di televisi. Benar-benar aneh," kata Sabhira yang tidak memberi kesempatan pada Barun untuk memotong perkataannya.
"Dan bagiku kau jauh lebih aneh dibanding semua itu," timpal Barun seraya berdiri lalu pergi ke kamar mandi.
"Kau!!" Sabhira terpancing emosinya kembali. Barun memang pria yang menyebalkan baginya.
Oh Tuhan kenapa aku harus bertemu dengan pria macam itu? Bisakah Kau memberiku pria baik dan romantis?
Sabhira bermonolog lalu menyatukan kedua telapak tangannya, melengkungkan alisnya serta raut wajah yang penuh harap.
Sepuluh menit berlalu, suara bel kamar berbunyi. Sabhira segera membuka pintunya lalu tampak tiga orang wanita memakai kaos seragam.
"Permisi, apa benar ini kamar Tuan Barun dan Nyonya Sabhira Irani?" tanya salah satu wanita itu.
"I-iya benar," jawab Sabhira terbata.
"Siapa Sabhira?" tanya Barun tiba-tiba berada di belakang gadis yang akan dinikahinya dan hanya mengenakan bathrobe sehingga dada bidangnya bisa sedikit terlihat dari celahnya. Ketiga wanita yang ada didepan mereka terpana akan sosok Barun yang bisa dibilang perfect man dari segi ketampanan dan juga postur tubuh yang aduhai sangat pria sekali.
"Permisi Tuan, kami dari make up artist yang akan me-make over kalian untuk acara pernikahan sore ini," jawab salah satu dari ketiga orang wanita itu juga mewakili Sabhira.
"Oh, ya sudah silahkan masuk." Barun dan Sabhira mundur ke belakang untuk memberi jalan pada mereka supaya bisa masuk ke dalam. Setelah itu dua orang yang membawa pakaian khusus pengantin pun langsung memberikannya pada sepasang calon pengantin itu.
Proses yang paling lama pun akan segera dimulai, yaitu memberi dempulan pada wajah Sabhira. Berhubung wajah gadis itu sangat natural dan juga mulus, perias itu tidak terlalu banyak memoleskan make up pada wajahnya. Sehingga dapat memberi kesan cantik, anggun dan berkelas. Terlebih pakaian yang dipakai Sabhira sangat elegan sekali.
Setelah itu, kedua calon mempelai pun telah siap untuk keluar kamar menuju ballroom hotel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!