NovelToon NovelToon

Kekasih Beda Dunia

My Name Is Bayu

 2013, Desa Bangkalang, Jawa tengah

“Kau jangan begini. Kau boleh melakukannya tapi setelah kita menikah.” Bayu mengangkat tubuh wanita yang duduk di atas pangkuannya. Seenaknya saja dia duduk. Memangnya tidak ada tempat lain? 

“Kalau hanya duduk di pangkuanmu masa harus menikah dulu, itu terlalu lama,” protes wanita itu kecewa. Lantaran kehidupan di bangsa manusia memang banyak sekali peraturan yang tidak ia mengerti. “Kalau begitu, biarkan aku seperti tadi. Setelah itu kita menikah, bagaimana?”

“Ah, kau jangan bercanda!” ucap Bayu tak percaya.

“Aku serius,” jawab wanita itu menatapnya dengan sorot mata penuh keyakinan. Bayu begitu terlena dibuatnya. “Aku mau menikah denganmu.”

Mata Bayu langsung berbinar. Seakan cahaya di sekitar menjadi terang benderang.

“Ya sudah, sini!” Bayu menepuk-nepuk pahanya. Namun baru saja wanita cantik itu duduk di pangkuan, ia merasakan banjir di sekujur tubuhnya. Ternyata ada siraman rohani dari ibunda tercinta yang sedang berusaha membangunkannya dari alam mimpi. 

“Astaga banjir!”

“Mimpi basah kau, ya?” hardik Ibu dengan kedua bola mata yang menajam.

“Ya basahlah, Bu, bagaimana ceritanya aku tak basah. Ibu menyiramku satu ember. Nanti malam aku tidur di mana kalau begini?”

Benci sangat Ibu Julia melihat pemuda jaman sekarang. Sekolah tidak, kerja tidak, tapi doyan begadang dan suka bangun siang. Giliran ditegur, jawabannya mengejutkan; ‘iri, bilang bos!’ 

Pun sekalinya bangun, hanya mengisi perut. Setelah itu main setan gepeng lagi. Begitu seterusnya sampai gajah bertelur. Apa begini penerus anak bangsa? Bagaimana nasib bangsa ini jika pemudanya mirip seperti Bayu semua? Pasti akan terguncang-guncang negara ini.

“Bangun! Ini sudah jam sembilan pagi. Matahari sudah ada di atas kepala. Kalau kau ingin tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan wanita cantik; kau harus bangun pagi, mandi, sarapan, cari kerja. Jangan malah berhalu terus-terusan. Lama-lama kau bisa gila.”

“Iya, iya …,” jawab Bayu dengan nada malas. Remaja tanggung yang akan menginjak umur dua puluhan itu masuk ke dalam kamar mandi dengan menyampirkan handuk di bahunya.

Sementara Julia kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda. Wanita berumur lima puluh tahunan dan bertubuh gempal tersebut sedang membuat peyek untuk dititipkan ke warung-warung kelontong atau warung sayur dekat rumahnya. Biasanya, Julia akan menukar peyek produksinya itu seminggu sekali. Dan dibayar sesuai barang yang terjual.

Begitulah Aktivitas Julia sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga putra semata wayangnya. Lantaran suaminya tak pernah pulang lagi setelah beberapa tahun lalu tenggelam di perairan Selat Sunda. Pada saat itu, suaminya akan menuju ke Padang, tempat kelahirannya. Namun nahas, kapal yang ditumpanginya tenggelam ke dasar laut. Jasadnya pun tak bisa ditemukan. 

“Sudah mandinya?” tanya Ibu ketika Bayu menuangkan air minum teh tawar sari asli dari teko.

“Sudah, Bu.” Bayu menenggak teh itu hingga tandas tak tersisa. Lalu duduk di meja setelah mengambil peyek itu dari sorok atau yang biasa dikenal dengan sutil. 

“Begini, Pakde bilang ke Ibu kemarin. Kalau kau bingung mencari kerja. Lebih baik kau membantunya bekerja di bengkel,” kata Ibu, lantas mematikan kompor lalu duduk di depannya. “Bantulah Ibu mencari pemasukan. Lagi pula kau butuh uang untuk merokok. Masa lulusan SMK mesin, menganggur? Buat apa jenazahmu?”

Bayu langsung menyahut cepat begitu mendengar ucapan typo tersebut. “Ijazah, Bu! Ijazah!” 

“Ya, itu maksud ibu. Jangan kau keluyuran sama Tomi nanti ikut-ikutan pula menghisap ganja.”

“Apa salahnya, ganja kan daun; vegetarian.”

“Uwalah, semprul!” sembur Ibu. “Sudah sana, kau temuilah Pakdemu. Kau yang malas itu membuat beliau tak bisa ke mana-mana menunggumu datang.”

“Kalau Bayu belum bilang iya, jangan Ibu bilang setuju-setuju dulu. Kita butuh meeting sebelum mengambil keputusan yang bulat.”

“Alah, gayamu. Bangun saja harus disiram dulu.”

“Pergi dulu, Bu. Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam.”

Sesampainya Bayu di bengkel motor Pakde, mereka langsung membahas pekerjaan. Benar saja. Ibu memang membuatnya mau tidak mau harus bekerja di sana. Pada hari itu juga, Bayu langsung diberikan seragam dan langsung melayani beberapa orang yang akan menyervis motornya. Di sana, ada tiga teman yang lain yang Bayu kenal adalah teman sekampungnya. Yaitu Loreng, Kampleng, dan Halim. Bukan nama asli mereka memang, tetapi mereka memang biasa dipanggil seperti itu. 

Loreng karena memang kulitnya loreng; dulu semasa kecilnya, kulitnya dipenuhi dengan panu. Kampleng karena tubuhnya yang kampleng, alias tidak bisa gemuk. Kalau kita mengetahui artis Dede Sunandar, iya begitu kira-kira tampilannya. Dan Halim, adalah pemuda istimewa dengan suara sengau. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memahami maksud bicaranya. Namun mereka semuanya adalah termasuk pemuda-pemuda yang baik. 

***

Perhatian, semua nama tempat hanya fiktif.

Akibat Pergi Dalam Keadaan Tunggang Gunung

"Tidak bisa begitu dong, Bu. Ibu harus bayar. Ibu sudah satu bulan menunggak. Berapa yang Ibu punya sekarang?"

"Maaf sebelumnya, Mas. Tetapi saya benar-benar belum punya. Aduh, bagaimana ini ya?" jawab Julia yang tampak kebingungan dengan kolektor di depannya. Bayu memang sering melihat orang itu ke rumahnya. Namun untuk beberapa hari ini, kolektor itu datang lebih sering. Bahkan hampir setiap hari mendatangi rumahnya. Lantaran merasa penasaran, Bayu yang baru saja tiba, diam-diam memutuskan untuk menguping.

"Ada emas atau apa untuk jaminan, Ibu?"

"Tidak ada Mas, betul saya belum punya apa-apa. Kalau mau bawalah televisi itu," Julia menunjukkan TV tabung kuno untuk jaminan. "Hanya itu yang tersisa," sambungnya lagi.

"Paling kalau laku pun tidak seberapa TV itu, Bu. Itu sangat kuno. Tidak perlu saya perjelas 'kan, berapa jumlah hutangnya? Belum lagi ditambah biaya bunga keterlambatan."

"Tolong beri saya waktu lagi, Mas. Kalau sudah ada, nanti Mas saya hubungi."

"Benar?" tanya kolektor itu meyakinkan. "Kapan? Dari minggu kemarin jawaban Ibu Julia juga seperti ini. Tolong jangan berkelit, Bu."

"Maaf sekali lagi, Mas. Mudah-mudahan minggu depan saya sudah bisa menyicil lagi."

Pantas saja Ibunya sangat mengotot agar Bayu segera bekerja. Ternyata beliau mempunyai beban sebanyak itu sendirian. Seberapa tulinya dia terhadap Ibunya sendiri, sampai-sampai ia tak tahu menahu perkara sebesar ini? Bayu begitu terenyuh.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Julia berhasil meyakinkan penagih untuk memberikannya waktu lagi. Akhirnya penagih itu lagi-lagi pergi dengan tangan kosong.

"Loh, kau di sini?" terkejut Julia pada saat mendapati Bayu berada di balik pintu tengah.

"Ibu hutang apa? Sepertinya jumlahnya tidak sedikit?"

"Kau tidak perlu tahu. Yang penting kau bantu Ibu saja, ya." Julia menepuk-nepuk pundaknya.

"Tidak bisa, Bayu harus tahu. Memangnya, ibu hutang untuk apa?"

"Hutang ibu untuk membayar hutang-hutang Ayahmu, ijazahmu, untuk membelikanmu HP itu, dan semua yang harus dibayarkan dengan uang sewaktu kau sekolah," papar Julia yang membuat mata Bayu berkaca-kaca. "Bensin harus terus kau beli, jajanmu, rokokmu, semuanya? Kau pikir hanya menitipkan peyek itu di warung sudah mencukupi semua kebutuhan? Tidak, Yu."

"Tahu kau sekarang?" tanya Julia menegaskan.

Bayu mengangguk kemudian berujar, "Kenapa Ibu tidak pernah mengatakannya denganku? Tinggal berapa angsuran?"

"Banyak, ada dua puluh jutaan."

Deg!

Bayu buru-buru masuk ke dalam kamar. Mengangkat celengan berjengger merah tinggi-tinggi dan menjatuhkannya ke lantai hingga berbunyi nyaring. BRAKK!

Seketika Ibu berteriak. "Apa yang kau lakukan? Mana masih muda."

"Ibu pikir aku menjatuhkan diri dari plafon? Ada-ada saja," kata Bayu lalu memungut uang yang sudah berserak. "Ayo bantu aku, Bu!"

"Ya, ini lumayan sedikit meringankan," ujarnya.

***

Rasa sedih, kecewa dan menyesal membuat Bayu melangkahkan kakinya keluar rumah. Sedih lantaran melihat ekonominya yang hanya seperti-itu seperti itu saja dari dulu dan malah justru kian terpuruk. Kecewa karena tak bisa membantu Ibunya berbuat lebih dan menyesal telah menjadi beban keluarga yang tidak berguna. Melihat Ibunya dibentak-bentak oleh kolektor itu membuat ulu hatinya terasa panas. Seandainya bayu tak mengerti kaidah-kaidah kesantunan kepada sesama manusia, apalagi kepada orang dewasa, sudah pasti lelaki penagih hutang yang berperut buncit dan berketek bau itu sudahlah mati di tangannya.

Rumah Bayu memang masih berada di daerah agak perkampungan. Ladang perkebunan masih banyak di daerah sini. Semakin jauh dari jalan raya, rumah-rumah semakin berjarak satu sama lain. Pertanda ekonomi masih terbilang sulit. Sebagian besar masyarakat di sini adalah petani dan penghasil gula aren atau kelapa.

Bayu melangkah ke arah selatan. Kakinya terus saja melangkah melewati ladang-ladang luas lalu menuju ke bukit. Dari satu bukit ke bukit lainnya hingga nafasnya sangat tersengal-sengal. Namun ia tetap saja menanjak ke puncak bukit bertumbuhkan pohon-pohon besar dan tanaman liar--entah apa namanya. Mungkin bukit itu lebih pantas dikatakan alas roban. Entah berapa lama dia berjalan akhirnya sampailah Bayu di puncak paling tertinggi di antara yang lain.

Sebab apakah yang mendorongnya sehingga ia bisa sampai di bukit ini? Ini aneh, namun dia menyukainya. Puas rasanya melihat dunia yang membentang.

Di sana Bayu dapat melihat ladang yang ia tinggalkan tadi yang bentuknya sudah sangat kecil, tidak lebih besar daripada korek gas yang biasa dipantiknya untuk merokok.

Tidak ada niatan untuk terjun apalagi bunuh diri, Bayu hanya mencari sebuah ketenangan. Hatinya terasa sedikit lebih tenang melihat dunia terbentang dan langit yang berwarna senja kemerah-merahan.

Kalau dibayang-bayangkan; konyol sekali, jika hanya karena hutang lantas ia bunuh diri. Bunuh diri hanya membuat kita merugi. Sekelumit apa pun masalah, pasti akan berlalu. Begitulah semestinya kehidupan ini.

Awalnya matahari masih bersinar terbit memancar dari arah barat. Suasana begitu sangat menyenangkan. Angin terasa bersemilir seakan meniup-niup tubuhnya yang panas. Tetapi lama kelamaan saat ia menikmati senja dari atas bukit sana, senja berubah menjadi gelap. Matahari telah tenggelam sempurna. Suara azan tak terdengar lagi ditelinga. Itu artinya ia telah melangkah sangat jauh. Bayu bahkan mendadak linglung karena lupa dari sebelah mana ia datang.

Beginilah akibat manusia yang pergi dalam keadaan tunggang gunung atau sandekala. Apalagi saat dalam keadaan marah atau putus asa. Mudah sekali setan mengelabui mereka dalam keadaan seperti itu. Celakanya, kesusahannya adalah sebab yang dibuat sendiri. Pelan, Bayu meraba-raba jalanan yang sudah terlihat samar.

"Ya Tuhan, di mana aku?"

"Siapa pun, tolong! Tolong aku!"

"Tolong!"

Namun naas, tidak ada yang dapat mendengarnya terkecuali-- mungkin setan, hiii .... Bulu kuduk seketika meremang. Dunia yang tadi terlihat indah seketika menjadi sangat mencekam.

Bayu sempat berhenti sejenak. Ia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tidak salah lagi, ia memang telah tersesat di belantara yang maha luas ini. Yang mungkin saja ada banyak hewan buas seperti; harimau, macan, singa, ular, babi, anjing, dan macam-macam hewan melata lainnya. Panik, Bayu berlari sekencang-kencangnya mencari jalan.

Dan-- BRUG! Sraaaakk!

Satu kakinya tergelincir sempurna ke jurang tanpa disadarinya. Tidak terlalu tinggi memang. Tetapi terguling-guling dari atas sana cukup membuat seluruh tubuhnya begitu nyeri. Beberapa lama ia membiarkan dirinya duduk di sisa-sisa kesadaran, lantas Bayu bangun untuk kembali mencari arah jalan. Namun sepertinya lagi-lagi Bayu harus terkena sial. Sebab, ia tersandung benda yang dirinya sendiri tak tahu bagaimana rupanya. Yang pasti terasa keras dan tumpul di bagian ujungnya seperti-besi?

Dengan menggunakan sisa kekuatan yang ada, Bayu kembali berdiri, tapi bumi bagaikan terayun-ayun. Sekonyong-konyong ia berjalan. Sebelum akhirnya ia kembali terjerembap ke tanah.

Iblis Yang Mengikutinya Pulang

Ketika Bayu membuka mata, Bayu mendapati dirinya yang sedang tidur menelungkup di tanah. Lelaki itu bangun dalam masih keadaan linglung. Sementara itu, langit sudah berubah menjadi terang. Matahari sudah muncul dari arah timur. Bayu terkejut dan semakin kebingungan sekali.

Berarti sudah semalaman ia pingsan di sini. Pasti Ibu panik dan mencarinya. Tetapi sepertinya Bayu kurang yakin, apakah ia bisa pulang? Tubuhnya terasa sangat sakit dan pegal semua. Belum lagi perut nya yang teramat lapar karena sejak kemarin sore belum ada sesuap makanan pun yang masuk. Ke mana arah jalan pulang pun Bayu tak mengerti. Tetapi ia sangat bersyukur, tubuhnya masih utuh dan baik-baik saja kecuali luka akibat terjatuh. Ternyata Tuhan masih sayang kepadanya yang sering melupakan itu.

Bayu berusaha duduk lalu mengangsur sedikit tubuhnya untuk menyandar di pohon besar. Ia merenung, bagaimana caranya agar ia bisa pulang? Kalau begini keadaannya, Bayu tidak yakin apakah bisa turun dalam keadaan selamat. Ah, tetapi itu pikiran yang amat berlebihan sekali. Pasti aku selamat, pikirnya.

Namun sudah beberapa menit berlalu, kebuntuan tetap saja menghampiri. Tidak ada jalan lain kecuali memaksakan diri untuk turun bukit secara perlahan-lahan. Meskipun Bayu sendiri tidak tahu, ia akan sampai di mana ….

Baru sekitar dua meter melangkah, Bayu kembali tersandung. DUK!

“Astaga! Monyet!” umpatan kesal. Kenapa Bayu harus tersandung lagi di tempat yang sama dan karena benda yang sama? Lantas karena kesal, Bayu menendang benda yang sedikit menyembul dari dalam tanah itu dan—Duk!  

Benda itu sedikit lebih keluar dari yang terakhir kali ia lihat.

“Aww, sakit brengsek ….” 

Tapi kalau diperhatikan, benda itu mirip sebuah kotak besi. Lantaran karena penasaran, Bayu mencoba mencongkel benda itu dengan ranting kayu. Berusaha mencongkelnya sampai bawah, sehingga benda itu bisa terlihat keseluruhan. Lalu mengangkatnya dari dalam tanah itu. Benda itu adalah kotak besi berukuran kurang lebih dua puluh kali sepuluh senti.

“Wahah, jangan-jangan harta Karun, nih. Kaya mendadak, aku,” kata Bayu bergumam. Setelah membersihkan kotak itu dari tanah-tanah yang menempel. 

Terlalu senang membuatnya sedikit melupakan rasa sakit. Dengan segera, Bayu membukanya meskipun kesulitan. Ya, sangat keras sekali hingga ia terpaksa mengeluarkan tenaga dalam sampai urat-uratnya terlihat. Tetapi terlalu berharap membuatnya begitu kecewa, setelah kotak itu terbuka dengan sempurna, kotak itu hanya berisi sebuah patung batu seperti—putri raja, menggunakan sanggul dan berpakaian adat Jawa. Seperti itu kurang lebihnya.

“Ah, sial! Kukira ini harta karun. Ternyata hanya patung jelek tua hitam.” Bayu meletakkannya lagi ke tanah dan memutuskan untuk melanjutkan lagi perjalanan secara perlahan. Bayu turun ke arah utara, seperti dari mana awal ia berangkat, dengan patokan dari mana arah matahari terbit dan terbenam. Tetapi Bayu merasa tanah kembali berguncang-guncang. 

“Astaga, ini aku yang sedang pusing atau memang ada gempa?” 

Bayu berpegangan pada pohon sampai gempa itu berhenti. Dalam kebingungan saat ia melihat ke sekitar, namun tiba-tiba Bayu tersentak saat ia melihat sosok lain di belakangnya. Seketika mata Bayu membulat melihat sosok itu. Lututnya menjadi kaku dan sulit untuk di gerakkan. Tubuhnya merinding sekali. Seketika udara menjadi begitu dingin ia rasakan. Jangan-jangan, dia jelmaan ratu iblis, siluman ular, siluman macan atau—pikirnya macam-macam.

“Siapa kau?!” tanya Bayu kepada sosok wanita itu. Cantik memang, tapi pakaiannya sungguh sangat aneh sekali. Perempuan itu berwujud, bukan samar-samar seperti setan-setan yang terlihat di televisi. Kakinya yang beralaskan sepatu indah menapak tanah dengan sempurna.

“Aku Roro Putri Ageng,” katanya memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan. Tapi Bayu enggan menyambut. Ia masih bergeming dalam keterkejutan. 

“Aku tersesat di sini, jangan kau apa-apakan aku. Aku tidak berbuat jahat di daerahmu,” kata Bayu membela diri. Siapa tahu ratu itu menduga ia akan merusak atau mengusik tempatnya.

“Aku tidak ada urusan dengan tempat ini, aku hanya mengucapkan terima kasih karena kau membebaskanku dari hukuman.”

“Hukuman?” Bayu semakin tidak mengerti. 

“Iya, kau mengeluarkanku dari dalam kotak itu,” kata wanita itu sambil menunjuk kotak yang tadi, kemudian mengambilnya. "Hanya orang-orang tertentu yang dapat membebaskanku dari hukuman, dan kaulah satu-satunya orang itu,"

Tubuh Bayu semakin bergetar. Tapak kakinya seakan melayang tak menapak tanah. “Berarti, k-kau setan?” Bayu langsung berteriak kencang. "Pergi, kau setan! Pergi!” Bayu melempari wanita itu dengan tanah.

“Tidak, aku bukan dari golongan itu. Aku mohon hentikan perbuatanmu. Kau melukaiku.” katanya sambil menutup wajahnya agar tak terkena lemparan tanah.

Mana ada wanita cantik dalam bukit kecuali setan. Mana ada manusia jaman sekarang dengan pakaian seperti itu. Mana ada? Batinnya bergejolak. “Bohong, kau! Setan suka sekali menipu manusia.”

“Berhentilah kau melempariku!” Perempuan itu mengusap tubuhnya yang terlempar oleh tanah.

Bayu segera berlari sekuat tenaganya untuk menghindari wanita itu. Tetapi wanita yang dianggapnya setan tersebut malah mengikutinya di belakang. “Kau jangan mengikutiku, bodoh!” makinya amat kesal.

“Aku tidak tahu harus ke mana, aku ingin ikut denganmu. Ku mohon kau jangan pergi dulu.”

“Aku tidak mau diikuti oleh iblis sepertimu!”

“Aku bukan iblis, ayolah. Kau berhenti berjalan cepat, aku lelah.” wanita itu berhenti membiarkan Bayu meninggalkannya. Tetapi setelah jauh melangkah, Bayu kembali berhenti. Lelaki itu bersembunyi dibalik pohon untuk melihat diam-diam wanita yang ia tinggal. Wanita itu sedang berjalan perlahan dengan wajah kebingungan dan sesekali memeluk dirinya sendiri yang berpakaian sedikit terbuka bagian atasnya. 

Wanita itu berkulit kuning langsat, memakai sejenis kemban berwarna hitam. Bawahnya dililit jarik berwarna putih batik dan berselendang merah. Rambutnya disanggul dan memakai konde. Sama persis seperti patung yang dikeluarkannya dari kotak besi.

Atau dia artis yang sedang syuting film kolosal di bukit ini? Semacam film Wiro sableng misalnya?

Sebenarnya, Bayu sedikit tidak tega melihatnya. Apalagi pada saat wanita itu kelelahan dan duduk mengipas-ngipas tubuhnya sendiri dengan ujung selendangnya. 

Oh, Ya Tuhan … iblis jenis apa ini? Kenapa dia tidak menghilang atau terbang saja. Bukankah mereka mempunyai kekuatan?

Lantaran merasa kasihan, Bayu kembali mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Wanita itu mendongak dengan tatapan matanya yang begitu teduh. Ah, Bayu tak sanggup melihatnya. Ia takut tergoda.

“Aku yakin, kau kembali,” katanya mengawali pembicaraan. “Aku mohon, aku ingin ikut denganmu.”

Bayu tak merespons, dia diam saja.

“Kau masih tidak percaya kalau aku sama sepertimu?” tanya wanita itu lagi. “Bukannya kau tadi bisa memegang tanganku, aku bukan bayangan. Aku ini nyata. Hanya saja, aku bingung setelah aku bisa bangun lagi.”

Wanita itu memotong jalannya. “Ini ada di tahun berapa?” 

“Dua ribu tiga belas,” Bayu menjawab.

“Hah?!” katanya dengan mata membelalak sangat terkejut. Nafasnya terdengar sangat sesak. “Aku—aku lahir pada abad ke delapan. Tahun delapan ratusan.”

“K-kau!” lirih Bayu seperti tercekik. Ternyata—dia adalah seorang iblis nenek moyang tua bangka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!