Jeanette yang sedikit mabuk, merasakan sentuhan yang begitu lembut di tubuhnya. Ia sebagai seorang wanita dewasa, sangat menginginkan dan membutuhkan sentuhan itu.
"Ahhh ...," sebuah des sahan keluar dari bibir Jeanette ketika pria itu memberi ciuman di lehernya.
Dalam keadaan ruang yang gelap, dengan pencahayaan seadanya, Jeanette terus menggeliat. Sentuhan di tubuhnya yang kini telah polos tanpa sehelai benang pun, membuatnya terbuai.
Pria yang sudah dikuasai oleh gair rah yang belum pernah dirasakannya, kini membuka kaki wanita itu lebar. Ia memasukkan tombak kebanggaannya, yang sebelumnya tak pernah ia gunakan. Meskipun terasa sulit di awal, namun akhirnya ia mampu menembusnya.
Teriakan wanita itu dan rasa hangat yang menjalar saat tombak miliknya memasukinya, membuat ia menyadari kalau ia baru saja mendapatkan jackpot. Meskipun belum pernah berhubungan dengan wanita manapun, tapi ia bisa membedakan mana wanita baru, mana yang bekas.
Ia mulai menggerakkan tubuhnya maju mundur, hingga kini keduanya merasakan kenikmatan yang luar biasa. Mereka saling bercumbu dan memuaskan has srat mereka, dan belum memikirkan apa yang terjadi setelah ini.
Keduanya mencapai puncak dan sang pria mulai menyemburkan benih miliknya ke dalam gua penampungan. Nafas keduanya memburu, dan sang pria yang menghirup harum rambut dan tubuh wanita itu, kembali merasakan miliknya tegang.
Ia mendekatkan wajahnya pada wajah wanita itu, kemudian mengambil ciuman yang dalam. Ia memberikan lum matan dan sesekali memasukkan lidahnya. Balasan dari sang wanita membuatnya kembali bernaf su, hingga ia kembali mengungkung wanita itu di bawahnya dan mengulangi kegiatan panas mereka sekali lagi.
Malam itu, menjadi malam panjang yang panas bagi keduanya. Mereka tidak tahu bahwa di depan mereka telah menunggu hal yang tak terbayangkan.
* Flashback On
"Kak, ayolah!" Jesslyn terus merajuk dan meminta pada kakaknya itu agar ikut dengannya. Ia akan merayakan pesta ulang tahun bersama teman-temannya dan baru akan diijinkan oleh kedua orang tuanya kalau Kakaknya itu turut menemani.
Jeanette yang sangat menyayangi Jesslyn pun akhirnya mengabulkan permintaan adiknya itu. Ia tak tega jika Jesslyn harus merayakan ulang tahunnya yang ke 25 hanya dengan diam di dalam kamar tidurnya.
Kedua orang tua mereka sangat sibuk, terutama Mom Gemma yang merupakan direktur di sebuah rumah sakit di Kota Berlin. Ayah mereka, Dad Marcello, adalah seorang pengusaha yang terbilang cukup sukses di kota itu. Oleh karena pekerjaan kedua orang tua mereka, bisa dikatakan mereka cukup beruntung bisa hidup sangat berkecukupan.
Mereka pun segera berganti pakaian, namun Jeanette menautkan kedua alisnya ketika melihat pakaian yang dikenakan oleh adiknya itu.
"Ganti pakaianmu, Jess," ucap Jeanette.
"Ini sudah sangat pas untuk acara ulang tahunku, Kak. Ayo cepat! Kita akan terlambat."
"Tapi aku harus menghubungi Hansen dulu," Jeanette mengingat suaminya yang saat ini masih berada di kantor.
"Aku sudah menghubungi Kak Hansen dan mengatakan kalau aku meminjam kakak untuk malam ini. Ayo Kak!!" Jesslyn terus saja menarik Jeanette agar masuk ke dalam mobil.
Mobil mereka sampai di sebuah klub besar yang ada di kota itu. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Jesslyn mem-booking lantai dansa di klub tersebut untuk menjadi area acara ulang tahunnya.
"Jangan masuk ke sana, Jess!"
"Ahhh kakak kolot sekali sih! Aku hanya merayakan ulang tahunku, Kak. Ayolah cepat. Apa kakak ingin membuatku malu?" Jeanette akhirnya ikut masuk karena ia tak ingin terjadi apapun pada adiknya itu.
Suara musik yang begitu memekakkan telinga dan cahaya lampu warna warni yang sangat menyakitkan mata, membuat Jeanette sedikit menyipitkan matanya dan menutup telinganya.
"Kak, aku akan menghampiri teman temanku," Jesslyn langsung meninggalkan Jeanette seorang diri dan berlari menghampiri teman temannya.
Jeanette yang bingung pun akhirnya duduk di meja bartender agar ia bisa mengawasi Jesslyn yang berada di lantai dansa dengan mudah.
Acara berlangsung biasa, namun memang disertai dengan acara minum dan berjoget. Tiba tiba saja Jesslyn mengambil mic dan mulai berbicara.
"Kalian lihat, di sana ada kakakku. Ia adalah kakak terbaik yang kumiliki. Ia bahkan menemaniku merayakan ulang tahunku ini. Bagaimana kalau kita bersulang untuknya. Ayo kak, angkat gelasmu!" teriak Jesslyn.
Seorang bartender memberikan gelas berisi minuman pada Jeanette. Ia yang tak pernah meminumnya pun merasa ragu.
"Minum! Minum! Minum! Minum!!!!" teriak semua tamu yang matanya mengarah pada Jeanette.
Akhirnya, Jeanette menegak minuman tersebut karena ia tak ingin mengecewakan adiknya. Namun, adiknya itu kembali berulah dengan memintanya untuk minum lagi dan lagi, hingga akhirnya kepala Jeanette mulai terasa pusing.
"Kak, kamu tidak apa apa?" Tanya Jesslyn.
"Ahhh, Aku tidak apa apa," ucap Jeanette yang setengah sadar dan menggoyangkan tangannya beberapa kali di depan wajahnya.
"Mana bisa kita pulang begini, Kak. Aku akan membuka kamar untukmu, beristirahatlah di sana."
Jesslyn meminta seorang karyawan klub untuk membawa Jeanette ke dalam 1 kamar, sementara ia akan kembali berdansa dan berjoget bersama teman temannya.
Di sisi lain,
"Ayolah, Ax. Jangan katakan padaku kalau kamu takut," ucap Mark memanas manasi Axton yang kini berada di antara 2 pilihan.
Saat ini Axton sedang bersama sahabat sahabatnya. Mereka sedang merayakan keberhasilan kontrak kerja sama mereka dengan salah satu perusahaan besar di Negara Jerman itu.
"Kamu tinggal pilih Ax, bekas atau baru," ucap Gilbert.
Axton mulai berpikir. Jika ia memilih bekas, ia merasa jijik karena tidak tahu sudah berapa banyak wanita itu dilahap oleh pria, tapi jika ia memilih baru, maka hal itu akan menjeratnya dalam. Ia tak ingin bertanggung jawab pada wanita manapun, karena itulah ia tak ingin menikah.
"Bekas saja!" Jawab Axton pada akhirnya. Setidaknya ia tak perlu bertanggung jawab, demikian pikirnya.
"Wowww, dia mencari yang berpengalaman!" goda Gilbert.
Axton pun dibawa ke depan sebuah ruangan di mana sudah tersedia seorang wanita di dalamnya.
"Di balik pintu ini, ada seorang wanita yang cantik, mulus, dan sudah memiliki suami. Ia pasti sudah berpengalaman," pemilik tempat itu memberikan penjelasannya.
"Sudah memiliki suami?" tanya Axton tak percaya.
"Ya, tapi hubungannya dengan suaminya tak baik. Mereka sedang dalam proses perceraian. Ia bahkan harus bekerja di tempat ini untuk menghidupi ketiga anaknya," pemilik tempat itu terpaksa berbohong karena ia memerlukan uang untuk biaya pengembangan klub nya itu.
"Whattt??? 3 anak. Udah los tuh kayaknya Ax," ujar Mark tertawa.
Axton yang sedikit canggung pun akhirnya masuk ke dalam dan ceklekkk ... pintu itu dikunci dari luar.
"Sialannn kalian!!" teriak Axton.
"Nikmati Ax karena besok kita akan kembali ke Indonesia."
Suasana kamar terlihat temaram dengan lampu seadanya, bahkan bisa dikatakan gelap. Axton samar samar melihat seorang wanita yang sedang tertidur dan sedikit meracau tak jelas. Ia semakin mendekat dan ia bisa melihat rambut panjang wanita itu tergerai. Ia bisa menghirup harum wanginya, yang tiba tiba saja membuat jiwa kelelakiannya seakan meronta. Axton tak pernah seperti ini.
"Baiklah, sekali ini saja," gumam Axton.
* Flashback Off
🧡 🧡 🧡
Jeanette mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa dingin. Ia ingin menarik kembali selimut, namun ia mulai menyadari bahwa saat ini ia tak berada di rumah.
Ia duduk dan melihat bahwa di sampingnya kini sedang terlelap seorang pria yang sama dengannya, polos tanpa sehelai benang pun. Tanpa membersihkan diri, Jeanette memunguti pakaiannya dan memakainya dengan cepat. Namun ia melakukan semuanya dengan perlahan agar pria itu tak terbangun.
"Aku harus pergi, ya aku harus pergi. Tak ada yang boleh melihatku di sini. Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan," gumam Jeanette sambil meringis.
Meskipun inti tubuhnya terasa sakit, ia terus memaksa dirinya untuk pergi dari sana. Hatinya gelisah dan rasa bersalahnya begitu besar. Ia sudah memiliki suami, tapi ia malah menghabiskan malam pertamanya dengan seorang pria asing.
Ya, Jeanette belum pernah berhubungan intim sama sekali dengan Hansen. Bukan karena Jeanette tidak mau, tapi karena itu memang keinginan pria itu. Ntah mengapa dan Jeanette tak ingin mencari tahu.
Hansen adalah sahabatnya, mungkin karena hubungan itu, membuat Hansen sedikit canggung bila melakukan hubungan bersama dirinya. Namun tetap saja saat ini Jeanette merasa sangat bersalah pada suami sekaligus sahabatnya itu karena telah melakukan hubungan satu malam.
Ia mengambil tas miliknya dan menuju pintu. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk melihat apakah ada orang di sana. Tak ada, aman! Maka Jeanette segera keluar dari sana dan mencari taksi. Ia harus segera kembali ke rumahnya. Suaminya pasti saat ini sedang mencari dirinya. Ia bahkan tak mengingat tentang Jesslyn, adiknya.
*****
Jeanette bernafas dengan lega karena suaminya tak ada di rumah. Ia segera membersihkan dirinya dan membuang pakaiannya semalam. Ia ingin melupakan dan menganggap semuanya tak terjadi, bahkan tak ingin mengingatnya.
Hingga sore hari, Hansen belum juga kembali. Beberapa kali ia melirik jam di pergelangan tangannya dan beberapa kali juga ia mencoba menghubungi, namun tetap tak ada jawaban.
"Ke mana dia?" gumam Jeanette mulai khawatir.
Ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya, Jeanette langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Ia tersenyum melihat suaminya, meskipun hatinya saat ini sangat gelisah.
Hansen menyerahkan tas miliknya pada Jeanette, kemudian langsung masuk ke dalam rumah tanpa berbicara apapun pada Jeanette.
"Han, kamu habis dari mana?" tanya Jeanette.
"Tentu saja bekerja, apa kamu kira aku bermain?!"
Degggg
Ntah mengapa Jeanette sedikit merasa tersindir. Apa suaminya itu tahu apa yang telah terjadi dengannya semalam. Jeanette pun mengatupkan bibirnya.
Setelah meletakkan tas milik Hansen di ruang kerja, Jeanette langsung menemui suaminya. Ia menyiapkan pakaian tidur milik Hansen.
Ceklekk
Pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan sosok Hansen yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang.
"Apa kamu sudah makan? Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu," ucap Jeanette.
"Aku tak lapar. Aku ingin tidur," Jeanette merasa ada perubahan pada diri suaminya itu. Biasanya Hansen akan ramah padanya karena bagaimana pun juga, mereka telah bersahabat selama 2 tahun.
"Baiklah. Istirahatlah. Aku akan membereskan makanannya."
Jeanette keluar dan kembali ke ruang makan. Ia membereskan semua makanan yang telah ia siapkan. Jeanette bisa memasak segala jenis makanan. Ia yang dulunya hidup di luar, menjadi seorang petualang di alam, mengharuskan dirinya mampu melakukan apa saja.
Saat ia kembali ke kamar tidurnya, ia mendengar Hansen sedang berbicara di ponsel. Dengan perlahan Jeanette masuk karena ia tak ingin mengganggu.
"Baiklah, aku akan menemuimu besok," ucap Hansen, yang kemudian memutus panggilan tersebut.
Hansen meletakkan ponselnya di atas nakas, persis di sebelahnya. Ia kemudian kembali berbaring.
"Han, ada apa denganmu?" tanya Jeanette.
"Aku tidak apa apa. Jangan menggangguku. Aku lelah."
Jeanette menghela nafasnya pelan. Ia tak akan bertanya banyak pada suaminya itu. Bahkan saat ini hatinya masih merasa sangat bersalah dengan apa yang telah ia lakukan.
Jeanette menoleh ke arah suaminya yang kini tidur dengan membelakangi dirinya. Pernikahan mereka bagaikan masakan tanpa garam, serasa hambar.
Dulu, ia menerima pernikahan tersebut karena ia memang menaruh hati pada Hansen. Ketika pria itu tiba tiba mengajaknya menikah, tanpa ragu ia langsung menerimanya dan menganggap bahwa Hansen adalah jawaban dari doa doanya yang ingin membuat kedua orang tuanya bahagia.
Namun, Pria itu tak pernah menyentuhnya dengan alasan bahwa ia belum bisa melakukan dengan Jeanette yang sudah ia anggap sebagai sahabat. Jeanette yang berpikiran positif pun tak mengapa. Ia berusaha sebaik mungkin menjadi istri, hingga sampai hari ini Hansen tak pernah menyentuh dirinya.
Keesokan paginya, Hansen yang baru saja selesai mandi, keluar dari sana dengan menggunakan sebuah handuk sebatas pinggang. Ia berjalan ke arah wardrobe dan melihat di dalam sana pakaian kerjanya telah siap. Jeanette memang selalu melakukannya.
Tiba-tiba saat ia sudah membuka handuknya dan ingin memakai celana, Jeanette masuk ke sana. Ia melihat milik suaminya, ya ini pertama kali baginya.
Plakkk
Sebuah tamparan dengan suksesnya mendarat di pipi Jeanette, "Kenapa kamu d sini? Tutup matamu dan keluar!!"
Jeanette memegang pipinya. Untuk pertama kalinya, Hansen menampar dirinya. Sebelumnya, Hansen tak pernah melakukan kekerasan padanya. Diam diam, Jeanette menganggap bahwa ini semua adalah karma yang harus ia tanggung karena telah mengkhianati suaminya. Ia menerima dan tak akan marah pada Hansen. Ia hanya memejamkan mata sambil terus mengelus pipinya. Ia pun bergegas keluar dari sana.
*****
"Nikmat?" tanya Mark dengan penasaran.
Axton, Mark, dan Gilbert, kini berada di bandara. Mereka akan segera kembali ke Indonesia karena pekerjaan mereka di Berlin sudah selesai.
"Menurutmu?" Axton bertanya balik.
"Tentu saja nikmat. Bahkan aku setiap minggu melakukannya. Aku menganggap itu sebagai pengisi baterai dalam tubuhku," ujar Mark.
Gilbert melihat ada perbedaan dalam diri Axton. Sejak tadi pagi mereka bertemu di hotel, tak ada senyuman di wajah sahabatnya itu. Ia ingin bertanya namun ia mengurungkannya. Kini ia hanya menjadi pendengar saja pembicaraan antara Mark dengan Axton.
Axton memindai sekeliling, seakan mencari sesuatu. Namun ia tak menemukan apapun. Kini ia berkutat dengan ponselnya dan menghubungi Zero, agar pria itu nanti menjemputnya di bandara.
Setelahnya, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan ia kembali merasakan sebuah kalung yang ia letakkan di sana. Tadi pagi saat terbangun, kalung itu berada dalam genggamannya. Sebuah kalung dengan inisial JA di atasnya.
"Siapa kamu sebenarnya?" gumam Axton pelan.
🧡 🧡 🧡
1 bulan berlalu, Jeanette terus berusaha memahami Hansen yang belakangan ini mulai menjauh darinya. Suaminya itu jarang pulang ke rumah, tanpa pemberitahuan dan tanpa alasan yang jelas.
Jeanette tak ingin terlalu curiga karena ia sangat yakin pada Hansen yang ia kenal adalah sahabatnya yang sangat baik dan menghargai wanita.
Hari ini, ia akan mengunjungi adiknya, Jesslyn. 2 hari yang lalu, Dad Marcello dan Mom Gemma pergi ke Indonesia untuk menemui sahabat mereka di sana. Secara khusus mereka menghubungi Jeanette untuk melihat dan menjaga Jesslyn karena adiknya itu tak mau ikut dengan berbagai alasan yang tak jelas.
Jeanette masuk ke kediaman orang tuanya. Ia menyapa penjaga keamanan yang berada di depan. Matanya sedikit memicing ketika melihat sebuah mobil yang sangat ia kenali.
"Hansen? Mengapa mobilnya ada di sini?" gumam Jeanette.
Ia segera masuk ke dalam rumah. Tak ada siapapun di ruang tamu, begitu pula di ruang keluarga. Ia pergi ke paviliun belakang tempat para pelayan biasa berada jika pekerjaan di rumah utama sudah selesai.
"Bi, di mana Jesslyn?" tanya Jeanette.
"Tadi saya lihat Non Jess masuk ke dalam kamar tidurnya, Non," jawab pelayan lain yang tadi melihat Jesslyn.
"Baiklah. Oya, siapkan makan siang ya. Aku akan makan siang di sini bersama Jesslyn."
"Baik, Non."
Jeanette masuk kembali ke rumah utama. Ia naik ke lantai atas, menuju ke kamar tidur Jesslyn. Dari luar, ia mendengar suara suara yang membuat tubuhnya gemetar.
"Tidak, tidak mungkin!" ucapnya. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas nya dan menghubungi suaminya.
Air matanya mengalir begitu saja ketika mendengar suara dering ponsel yang sangat ia kenali, berasal dari dalam kamar tidur adik kesayangannya.
Ia memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu. Ia menghapus air matanya dan menghela nafasnya. Ia akan mencoba bersikap biasa.
"Jess!" panggil Jeanette sambil membuka pintu kamar tidur Jesslyn.
Sepasang manusia tanpa pakaian, sedang berada di atas tempat tidur, sedang saling menghangatkan. Tiba tiba saja rasa sesak menghinggapi Jeanette, pandangannya kabur dan kepalanya pusing. Ia segera mencoba mencari pegangan.
"Kak! Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?!" teriak Jesslyn yang langsung menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut.
Melihat adik dan suaminya dalam satu kamar, satu ranjang, dan saling menghangatkan, membuat Jeanette memutar tubuhnya dan menutup pintu. Ia sudah cukup melihat kenyataan dan kebenaran tentang sesuatu. Selang 30 menit kemudian, Jesslyn turun dari kamarnya bersama dengan Hansen.
"Maaf Kak, kami lama. Kami harus menuntaskan dulu apa yang tertunda," ucap Jesslyn tanpa rasa bersalah sama sekali.
Hansen bahkan terus berada di belakang tubuh Jesslyn, tanpa keinginan mendekati Jeanette dan menjelaskan ataupun meminta maaf. Namun tiba tiba pria itu berkata,
"Aku mencintai Jesslyn."
Duarrr
Hati Jeanette seakan diremas dan diremukkan. Sakit, itu yang kini ia rasakan.
"Kalau kamu mencintainya, mengapa kamu menikahiku?" tanya Jeanette.
"Aku sudah berhubungan dengan Jesslyn sejak lama. Aku menjadi kekasihnya setelah 1 bulan kamu mengenalkannya padaku. Mengenai pernikahan kita, saat itu aku sedang bertengkar dengan Jesslyn dan aku marah. Karena itulah aku ingin membuatnya marah juga," jawab Hansen.
"Jadi, kamu menggunakan aku sebagai alat untuk membuatnya marah dan sakit hati? Kamu jahat, Han!"
"Tapi selama ini aku tidak menyentuhmu kan? Aku tidak merusakmu. Aku mencintai Jesslyn dan aku tak akan bisa mencintai siapapun selain dirinya."
Hansen membuat Jeanette jatuh, sejatuh jatuhnya. Ia telah membuat dirinya mencintai pria itu, tapi kini ia seakan dihempaskan begitu saja.
Jeanette seakan tidak dapat berpikir. Ia beranjak dari sana dan meninggalkan kediaman keluarganya. Saat ini ia hanya merasakan sakit karena merasa dikhianati oleh adik dan juga sahabatnya, bahkan sejak sebelum ia menikah.
"Bodoh! Kamu bodoh sekali, Jean!" Jeanette memukul kepalanya dan mulai menjauh dari kediaman orang tuanya. Ia memerlukan ketenangan saat ini.
*****
Beberapa hari berlalu, sebuah surat cerai berada dalam genggamannya. Hansen kini tepat berada di hadapannya dan menyerahkannya tanpa melihat ke arahnya. Jeanette hanya perlu membubuhkan tanda tangannya saja di sana, maka keduanya akan secara resmi berpisah.
"Kamu tidak bisa melakukan ini, Han," ucap Jeanette.
"Bisa, buktinya aku telah menyelesaikannya. Kamu hanya perlu menandatanganinya saja."
"Tidak, aku tidak mau!"
"Kamu harus mau."
"Tidak!!"
Hansen terlihat mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah itu, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Baiklah, ayo ikut denganku," ajak Hansen.
Jeanette akhirnya mengikuti Hansen. Mata Jeanette menyipit ketika melihat ke mana Hansen membawanya.
"Untuk apa kamu membawaku ke sini? Apa kamu ingin mengembalikanku secara langsung pada kedua orang tuaku?" tanya Jeanette.
"Turunlah dulu. Aku akan menjelaskan semuanya di dalam."
Saat Jeanette masuk ke dalam rumah, telah nampak kedua orang tuanya dan juga orang tua Hansen. Jesslyn juga melihat ke arah Jeanette dengan tatapan yang terlihat merendahkan diri kakaknya.
"Dad, Mom," sapa Jeanette pada orang tua dan juga mertuanya.
"Duduklah," ucap Dad Marcello.
Jeanette duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya, sementara kedua orang tua Hansen duduk di sofa samping. Hansen yang baru masuk setelah memarkirkan mobilnya, langsung duduk di sebelah Jesslyn.
"Dad ...," ucap Jeanette yang merasa bingung.
Hansen meletakkan surat perceraian mereka di atas meja dan memberikan bolpoin kepada Jeanette.
"Tanda tanganilah di depan mereka."
"Han, aku tidak mau bercerai!" ungkap Jeanette.
"Aku akan memaafkan semua kesalahanmu," lanjut Jeanette.
"Tanda tangani surat itu, Jean," ucap Dad Marcello tiba tiba, membuat Jeanette merasa bingung.
"Dad, aku tidak mau bercerai dengannya."
"Kalian harus bercerai karena Hansen akan menikah dengan Jesslyn secepatnya," ucap Mom Gemma.
"Mom?!"
"Aku sedang hamil, Kak. Kami harus secepatnya menikah atau anakku akan lahir tanpa seorang Ayah."
Duarrr
Kenyataan lain yang sungguh menyakitkan kembali hadir. Jeanette melihat ke arah kedua orang tuanya, ke arah mertuanya, dan juga pada Hansen dan Jesslyn.
"Sudah cepat tanda tangani, aku tak ingin cucuku lahir di luar pernikahan," ucap Mom Lena.
"Apakah kalian juga menginginkan aku bercerai dengan Hansen?" tanya Jeanette.
"Kami tidak terlalu peduli akan hal itu, yang terpenting saat ini adalah cucu kami. Kamu sudah setahun menikah dengan Hansen, tapi kamu belum bisa memberikan kami cucu," ungkap Mom Lena lagi.
"Cucu? Bagaimana aku bisa memberikannya pada kalian kalau Hansen tak pernah menyentuhku? Ia malah sibuk menyimpan benihnya pada adikku."
"Jean!" teriak Mom Gemma.
"Jean, tanda tangani saja surat itu, maka semuanya selesai. Kita tidak ingin memperpanjang masalah ini lagi. Lagipula bukankah Hansen juga tak merugikanmu?" ucap Dad Ruben.
Jeanette melihat ke arah mereka semua, kini tak ada lagi rasa bersalah dalam dirinya karena telah mengkhianati Hansen. Yang tinggal hanya kebencian pada semua yang ada di sana.
*****
Pulang dalam keadaan kecewa, membuat air mata terus keluar dari mata Jeanette. Ia tak menyangka bahwa keluarganya tak ada yang membela dirinya atau bahkan mengijinkannya mempertahankan rumah tangganya.
Bruggg
Tanpa sengaja, Jeanette yang tengah tak fokus pun menabrak pembatas jalan dan tak sadarkan diri. Ia dibawa oleh orang di sekitar menuju klinik terdekat. Matanya mengerjap dan ia bisa mencium aroma obat obatan, namun ia mendengar 2 orang sedang berbicara di dekatnya.
"Jaga dia, Sus. Saat ini pasien sedang hamil muda."
🧡 🧡 🧡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!