NovelToon NovelToon

Langit Jingga Di Ujung Samudra

Bab 1. Kejadian Menyedihkan

"Dok, denyut nadi pasien mulai menurun." Ujar salah satu perawat yang bertugas memantau monitor yang memantau tanda vital Zahra.

"Saya ngantuk banget, Sus." Ucap Zahra pelan. Mata wanita yang memang hanya di bius setengah badan saja itu, mulai terlihat sayu.

"Tetap bersama saya ya, Bu." Ucap perawat itu. Bunyi monitor mulai membuat tenaga medis yang ada di ruangan itu semakin sibuk.

Seorang bayi laki-laki berhasil di keluarkan dari perut Zahra, meskipun tak ada suara tangisan seperti biasanya, ketika bayi baru lahir.

Seorang bidan langsung menerima bayi malang itu, dan langsung memasukkannya ke dalam inkubator yang sudah tersedia di sana. Karena memang bayi itu harus dilahirkan sebelum waktunya.

Para team medis yang ada di ruangan itu tidak lagi memperdulikan bayi yang sudah di bawa keluar dari dalam ruangan, dan memilih fokus pada Zahra yang kini tidak lagi sadarkan diri.

"Kesehatan Ibu Zahra menurun, Dok." Ucap bidan yang kini sedang mendorong inkubator tempat di mana bayi Zahra dan Riyan berada.

Riyan hanya melirik sedih pada bayi malang yang sedang berada di dalam inkubator, lalu melangkah cepat masuk ke dalam ruang operasi.

"Jenis kelamin bayinya apa, Sus?" Tanya Meisya dengan mata berbinar.

"Perempuan, Bu." Jawab suster tersebut, lalu mendorong inkubator itu menuju ruangan khusus.

Meisya berniat mengikuti suster tersebut, namun, saat melihat Zahra sudah di dorong keluar dari dalam ruang operasi, ia menghentikan langkahnya dan memilih mengikuti brangkar Zahra bersama Riyan dan keluarga lainnya.

"Anak Riyan perempuan, Tante." Bisik Meisya.

"Tapi kata dokter kemungkinannya kecil karena mereka hanya berfokus menyelamatkan Zahra. Riyan meminta team medis memprioritaskan Zahra dari pada bayi nya." Ujar Eliana sedih.

Meisya mengusap lembut punggung Eliana.

"Mei yakin Riyan sudah memikirkan hal ini dengan baik, Tan. Dan itu pasti tidak mudah." Ucap Meisya, dan di angguki oleh Eliana.

Beberapa saat kemudian, brangkar di mana Zahra tengah terbaring, sudah tiba di dalam ruangan khusus yang ia tempati beberapa hari ini. Dan semua alat-alat medis yang ada di dalam ruangan itu, mulai beroperasi sebagai mana mestinya. Riyan memindahkan tubuh istrinya itu, dengan hati-hati ke atas ranjang yang sudah tersedia di dalam ruangan.

"Bu, tolong periksa putra Riyan ya. Walau kemungkinannya kecil, tapi kata dokter bayi itu masih dalam keadaan hidup saat lahir." Ujar Riyan membuat Meisya mengerutkan keningnya.

"Tapi kata bidan tadi anak kamu perempuan, Yan." Ucap Meisya menimpali. Ia yakin tidak salah dengar kala menanyakan alat kelamin bayi.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Meisya segera keluar dari ruang perawatan Zahra, dan melangkah cepat menuju ruangan khusus bayi. Ia sudah menjadi seorang dokter kandungan di rumah sakit ini selama beberapa tahun, jadi tidak sulit baginya mencari ruangan di rumah sakit besar ini.

"Sialan! Aku temukan, akan ku bunuh kamu." Kesal Meisya.

"Di mana bidan yang bertugas membawa bayi dokter Riyan?" Tanya Meisya cepat saat sudah tiba di dalam ruangan khusus bayi.

"Dia sedang berada di ruang bersalin, Dok. Kakaknya meninggal setelah melahirkan." Jawab perawat yang sedang bertugas di dalam ruangan itu.

"Terus bayinya dokter Riyan di mana?" Tanya Meisya lagi.

"Di sana, Dok." Jawab suster tersebut ketakutan. Terlebih saat ini, tidak hanya mantan dokter kandungan yang ada di sana, tetapi juga pimpinan rumah sakit sekaligus pemilik, sudah melangkah cepat masuk ke dalam ruangan itu.

"Astagfirullah, Tan. Ini bukan bayi Riyan." Ujar Meisya. Ia membaca dengan seksama satu lembar tanda pengenal yang menempel di box kaca.

Seorang suter yang terlihat kebingungan bercampur khawatir, ikut beranjak dari meja kerjanya, lalu melangkah mendekati inkubator tempat bayi pemilik rumah sakit berada.

"Antar saya keruangan bersalin itu!" Perintah Eliana dengan wajah tidak bersahabat. "Bang, hubungi Kean sekarang juga. Katan padanya untuk segera mencari tahu perawat itu." Pinta Eliana pada Kenan.

Kenan pun segera melakukan perintah istrinya itu, dan langsung menghubungi Kean yang ternyata sudah berada di dalam ruang rawat Zahra.

"Di mana jenazah pasien yang baru saja melahirkan?" Tanya Eliana saat ia dan Meisya telah tiba di depan ruang persalinan.

"Jenazah dan bayi nya baru saja di bawa pulang, Bu." Jawab suster yang sedang berjaga di sana.

"Cepat cari tahu di mana alamat mereka sekarang juga!" Tegas Eliana bercampur kesal.

"Tante..." Meisya mengusap punggung Eliana agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang.

"Ya Allah, berat banget cobaan ini, Mei." Lirih Eliana mulai terisak sambil menutup wajahnya dengan tangan.

Meisya terenyuh. Ia lantas menarik tubuh wanita paruh baya itu masuk ke dalam pelukannya.

"Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umat-Nya, Tante." Ucapnya pelan.

Beberapa saat kemudian, tubuh Eliana yang terus bergetar sudah berpindah dalam pelukan Kenan. Laki-laki yang selalu menjadi sandaran untuk Eliana dalam keadaan apapun itu, ikut merasa sedih atas ujian yang menimpa mereka hari ini.

"Kita yang lalai, Sayang. Sejak awal, kita tidak terlalu memikirkan bayi itu dan hanya berfokus pada kesehatan Zahra. Allah menegur kita dengan cara seperti ini, agar di lain waktu, kita bisa menghargai pemberian dari-Nya." Ujar Kenan.

"Aku nyesal banget, Bang. Kasian bayi itu." Ucap Eliana masih sambil terisak pilu dalam pelukan suaminya.

Beberapa saat kemudian, Kean yang tadinya berada di dalam ruang perawatan Zahra, kini sudah berada di ruangan yang sama dengan Eliana dan Kenan.

"Maaf atas kelalaian ku, El." Ucap Kean penuh sesal. "Dia memang perawat di sini, namun hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di rumah sakit ini. Itu pun karena kakaknya juga mejadi salah satu pasien di sini." Sambungnya menjelaskan.

"Kean, tolong suruh siapapun untuk datang ke rumah mereka. Tolong bawa kembali bayi kecil itu. Bayi itu membutuhkan perawatan intensif." Pinta Eliana memohon.

Kean tertunduk.

"Mereka tidak kembali ke alamat semula. Entah di mana mereka sekarang, orang suruhan ku masih sedang berusaha mencarinya." Jawab Kean sedih.

Mendengar jawaban dari Kean, Eliana kembali menangis sedih dalam pelukan Kenan.

"Apa yang harus kita lakukan, Bang? Bagaimana cara kita menjelaskan pada Zahra, jika bayi yang ia jaga dengan taruhan nyawanya, diambil oleh orang lain." Tangis Eliana masih terus memenuhi ruangan itu, membuat laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu ruangan, kembali membalik tubuhnya menuju ruangan di mana istrinya sedang berusaha untuk bisa kembali. Setelah mengetahui kebenaran menyedihkan yang ia alami hari ini, ia bahkan tidak lagi memiliki semangat untuk melirik ruang khusus bayi di mana seharusnya putranya berada.

Bab 2. Kehidupan Sang Pewaris

"Benar-benar tidak becus!" Bentak Amar. Suaranya menggelegar di dalam ruangan mewah itu, namun, kesedihan jelas terlihat di manik tajamnya kala menatap sebuah peti berisi mayat wanita yang begitu ia cintai.

Andini, Perawat yang beberapa jam yang lalu sudah masuk dalam daftar pencarian orang, tertunduk ketakutan di dalam ruangan mewah yang ada di dalam salah satu kapal pesiar milik seorang bangsawan asal malaysia.

"Apa hak kamu membunuhnya, ha!" Bentak laki-laki itu lagi, membuat wanita cantik yang masih mengenakan seragam serba putih itu, semakin ketakutan. Andini hanya bisa terdiam sambil menunduk dalam. Ia ketakutan.

"Selain tidak becus, apa sekarang kamu juga sudah menjadi bisu? Kalian apakan uang ratusan juta yang aku sediakan selama beberapa bulan ini, sehingga tidak bisa merawat putraku dengan baik!" laki-laki yang masih belum menyadari jika bayi yang ada di dalam inkubator itu bukanlah putranya, masih terus membentak penuh kekesalan pada Andini. "Wanita bodoh itu bahkan telah meninggal sebelum mempertanggung jawabkan kebodohannya padaku." Sambungnya masih dengan nada penuh kekesalan, meskipun hatinya bagaikan di sayat sembilu, sakit. Kala mengingat wanita yang pernah ia cintai sudah tidak lagi berada di dunia yang sama dengan dirinya.

"Pastikan putraku selamat. Jika tidak, kalian akan ikut tenggelam di dasar laut bersama inkubator itu!" Ancam Amar. Ia lalu melangkah keluar dari dalam ruangan yang ia sediakan khusus untuk putranya tersebut. "Oh iya, setelah tiba di Malaysia, kamu harus segera menghilang dari hadapan ku. Aku tidak ingin kebodohan keluarga mu, ikut menular pada putraku." Sambungnya dengan tatapan menghina.

Setelah kepergian Amar, barulah Andini bisa mengangkat wajahnya yang tertunduk dalam. Ia pikir, setelah kepergian sang kakak karena karena pendarahan saat persalinan, ia bisa masuk ke dalam keluarga bangsawan itu dan hidup penuh kemewahan seperti sang kakak. Namun, kini saat melihat wajah menyeramkan Amar, niatnya yang begitu menggebu ingin menikmati kehidupan mewah dalam keluarga Amar, menghilang bagaikan debu yang diterbangkan oleh angin. Entah kemana angin membawa keinginannya yang begitu menggunung ingin masuk ke dalam keluarga besar Amar. Laki-laki yang menikahi kakak nya secara sirih itu, bahkan menatap dirinya bagaikan seonggok sampah yang tidak berguna.

Beberapa saat kemudian, Andini beranjak dari sofa mewah yang ia duduki, lalu melangkah mendekati inkubator di mana putra pemilik rumah sakit tempat dirinya bekerja selama bertahun-tahun, berada.

"Aku tidak ingin meminta maaf atas apa yang sudah aku lakukan padamu. Lagi pula, setelah ini hidupmu akan benar-benar bahagia. Kamu akan menempati tempat yang diimpikan banyak orang." Ucap Andini, seakan sedang mengajak Bayi mungil yang ada di dalam inkubator itu, berbicara.

Beberapa saat kemudian, serang dokter yang bertugas memastikan bayi yang ada di dalam inkubator itu baik-baik saja, melangkah perlahan masuk ke dalam ruangan di mana Andini serta peti mayat dan bayi itu berada. Ia mulai memeriksa layar yang memonitor seluruh alat vital bayi itu. Nafas lega berhembus dari mulutnya. Meskipun terlahir prematur, bayi ini cukup sehat dan tentu saja akan baik-baik saja. Memang membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkannya.

"Bagaimana, Dokter?" Tanya Andini.

"Bayinya cukup sehat. Meskipun belum memilki kekuatan seperti bayi pada umumnya, namun, untuk ukuran bayi yang terlahir prematur, hasil ini cukup baik." Jawab dokter itu. "Kamu seorang perawat, kan?" Tanya nya kemudian. Kali ini, tubuhnya yang membungkuk di depan layar, sudah kembali tegak dan menghadap ke arah Andini.

"Iya, Dok. Kakak saya berharap, saya bisa ikut menjadi bagian untuk merawat keponakan saya. Tapi sepertinya, Pak Amar tidak menginginkan hal tersebut." Jawab Andini.

"Untuk hal satu ini, saya tidak bisa ikut campur. Maafkan saya." Jawab dokter laki-laki itu. Ia lalu berpamitan keluar dari dalam ruangan, meninggalkan Indira bersama bayi mungil serta dua orang pengawal yang mengikutinya tadi.

Andini menarik nafas berat. Ingin memaki, namun ia terlalu takut untuk melakukan hal itu. Tapi melihat sikap arogan yang ditunjukan Amar tadi, membuatnya ingin memaki laki-laki itu.

Entah apa yang di harapkan sang kakak pada laki-laki seperti itu, sehingga begitu ikhlas mengorbankan diri hanya agar keturunan Amar terlahir selamat ke dunia.

***

Di dalam ruangan lain yang ada di dalam kapal pesiar yang terus melaju pelan d perairan, seorang laki-laki tersedu. Ia menggenggam erat selembar foto seorang gadis yang sedang memamerkan senyum terbaiknya. Bayangan masa lalu tentang gadis yang pernah mencuri hatinya itu, kembali melintas di benaknya. Indira, cintanya yang terhalang restu.

"Bodoh!" Gumam Amar sambil semakin mengeratkan genggamannya pada satu lembar foto tersebut. "Aku memang tidak menginginkan kamu sebagai pendamping hidup, tapi bukan berarti kamu akan pergi selama-lamanya gadis bodoh." Ujarnya lagi.

Kali ini matanya sudah berkaca. Ada semacam bongkahan besar yang membuat dadanya sesak hari ini. Melihat inkubator yang berisi bayi yang begitu memprihatinkan, juga satu buah peti berisi mayat serang wanita yang pernah singgah di hatinya, membuat Amar seakan kesulitan bernafas.

"Ngga apa-apa, Tuan. Anggap saja, bayi yang akan saya lahir kan nanti, sebagai hadiah agar nanti, bisa membuat Tuan terus mengingat tentang saya."

Suara lembut menenangkan jiwa kembali terngiang di telinga Amar. Membuat putra pemilik banyak perusahaan besar di Negeri Jiran itu, semakin tersedu.

Kalimat menyedihkan namun, menenangkan jiwa diucapkan dengan begitu bersemangat oleh wanita yang kini sudah terbujur kaku di salah satu ruangan di dalam kapal miliknya ini, kembali melintas begitu saja di dalam benaknya.

"Bodoh!" Ucapnya samar nyaris tak terdengar.

Beberapa saat kemudian, ia kembali melangkah keluar dari dalam kamar khusus untuk dirinya, lalu memerintahkan beberapa orang yang ada di sana, untuk memindahkan peti mayat Indira ke ruangan lain. Selain agar tidak mengganggu putranya, ia pun ingin menghabiskan sedikit waktu menatap mayat istri keduanya itu. Meskipun tidak bisa merubah kenyataan rumit yang sedang menimpanya, paling tidak ia bisa puas melihat Indira untuk yang terakhir kalinya.

Benar kata orang jika penyesalan paling berat akan dirasakan setelah orang yang dicintai itu, sudah pergi jauh. Seharusnya, ia tetap membuat Indira berada di Kuala Lumpur, dan memastikan sendiri bagaimana perkembangan kesehatan wanita itu.

Bab 3. Bagaikan Ditelan Bumi

Empat hari telah berlalu setelah kejadian penculikan itu. Zahra masih belum membuka matanya, beruntung kondisi kesehatannya mulai membaik. Di dalam ruangan tempat Zahra dirawat, Riyan sedang menatap bayi kecil yang terlihat begitu tenang dalam lelapnya. Sesekali bayi yang terlihat begitu menggemaskan dan cantik itu, menggeliat pelan membuat Riyan enggan mengalihkan tatapannya dari bayi mungil nan cantik itu. Pikirannya mulai berkelana pada bayi malang yang entah berada di mana.

"Apa yang harus Riyan lakukan, Bu?" Tanya Riyan pada wanita yang kini sedang berdiri di sampingnya, yang juga tengah menatap bayi perempuan cantik yang sedang terlelap di dalam box bayi.

"Apalagi? Tentu saja kita harus merawat dan membesarkan bayi ini dengan baik. Karena hanya dengan cara itu, kita tidak akan merasa malu meminta pada Allah untuk selalu menjaga dan melindungi putramu di manapun berada." Jawab Eliana yakin.

"Bukan masalah itu, Bu. Bagaimana Riyan menceritakan hal ini pada Zahra. Riyan tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan padanya tentang bayi ini." Ujar Riyan.

"Zahra tumbuh di sekeliling orang-orang yang bukan darah dagingnya. Ayah yakin dia akan menyayangi bayi ini seperti menyayangi anaknya sendiri." Kenan menimpali pembicaraan. Laki-laki itu lalu menoleh menatap ke arah ranjang di mana menantunya sedang terbaring tak sadarkan diri.

"Assalamualaikum."

"Waalikumssalam." Jawab Kenan dan Eliana bersamaan.

Sepasang suami istri itu lalu menoleh ke arah pintu, dan mendapati Kean serta keluarga kecilnya sudah berada di ambang pintu kamar perawatan Zahra.

"Loh kok Nana ada disini. Bukannya sedang berbulan madu?" Tanya Eliana sambil melangkah menuju empat orang yang masih berdiri di ambang pintu.

"Bulan madunya masih bisa direncanakan lain waktu, Aunty." Jawab Riana. Wanita itu melangkah masuk dan mendekat ke arah Eliana, kemudian menyalami punggung tangan adik ayahnya itu.

"Kabar duka ini sudah mengganggu honeymoon kalian ya." Ucap Eliana sendu.

"Ga sama sekali, Tante." Jawab Fikri menimpali. Laki-laki itu pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan istrinya. Menyalami punggung tangan sepasang suami istri paruh baya yang ada di dalam ruang rawat itu, takzim.

"Terimakasih ya, Nak." Ucap Eliana.

Riana dan Fikri mengangguk bersamaan.

Setelah menyalami punggung tangan Eliana dan Kenan , sepasang pengantin baru itu lantas melangkah menuju samping ranjang di mana Zahra sedang terbaring dan belum sadarkan diri.

Riana mengulurkan tangannya, lalu menggenggam tangan Zahra yang masih terpasang selang infus, lalu mengusapnya lembut.

"Bahkan gadis sebaik dan se-patuh kamu pun, masih diberikan ujian sebesar ini. Bagaimana dengan ku, Ra?" Gumam Riana seakan sedang bertanya pada wanita yang masih menutup mata di hadapannya.

Fikri yang juga ada di situ, segera menarik tubuh Riana dan mendekapnya dari samping.

"Sejatinya, Allah tidak akan salah memilih untuk memberikan takaran ujian pada umat-Nya. Jika pun nanti kita diberi ujian yang berat, itu berarti kita mampu melewatinya. Begitupun yang sedang dialami Zahra dan Riyan saat ini. Mereka adalah orang yang terpilih, karena Allah yakin mereka kuat menjalani ini semua. Jika Allah yakin akan kekuatan umat-Nya, mengapa kita harus ragu?" Jelas Fikri.

Riana mengangguk mengerti, walau di dalam hatinya ia tetap merasa sedih atas apa yang tengah menimpa adik sepupunya ini. Ia lalu melangkah menuju box bayi yang juga berada di dalam kamar itu.

"Aku tahu kamu kuat, dan pasti bisa melewatinya. Segeralah pulih, kamu punya tanggung jawab untuk membesarkan seorang bayi yang tak berdosa, agar kelak di manapun putra mu berada, akan senantiasa dirawat oleh Allah." Ujar Fikri setelah Riana sudah tiba di samping box bayi.

Tidak lama Fikri berdiri di samping ranjang Zahra, ia lalu melangkah menuju sofa yang ada di dalam ruangan itu dan bergabung bersama Riyan dan dua laki-laki paruh baya lainnya.

"Sudah sampai mana pencarian wanita itu?" Tanya Kean pada keponakannya.

Riyan menggeleng.

"Riyan sudah mendaftarkan gambar serta identitas yang tertinggal di rumah sakit, namun, wanita itu bagaikan di telan bumi." Jawab Riyan. "Gio dan Meisya juga sudah mendatangi alamat yang lama, namun, rumah itu kosong. Kata orang-orang di sekitar, pemiliknya sudah lama meninggal, dan anak-anaknya sudah tidak pernah lagi mendatangi rumah itu. Terakhir kabar, kakak dari perawat itu menjadi Tenaga Kerja Wanita di Malaysia, dan menikah di sana. Wanita itu yang meninggal setelah melahirkan bayi di hari yang sama dengan Zahra." Jelasnya lagi.

Kenan memijit keningnya. Setelah berpuluh-puluh tahun, ini pertama kalinya ia kesulitan menemukan seseorang. Di hadapan Kenan, Kean menarik nafas yang terasa begitu berat.

"Apa kita tidak perlu mencari tahu ke Malaysia?" Tanya Fikri memberi saran.

Riyan menggeleng.

Wanita itu sudah lama memutus kekeluargaan dengan suaminya di Malaysia. Hubungan mereka tidak sah di mata hukum, karena lelaki yang menikahinya sudah berkeluarga. Untuk itu, dia memilih kembali ke Indonesia." Jawab Riyan.

"Kita tunggu aja. Daftar pencarian orang sudah di tayangkan di seluruh stasiun televisi. Kalaupun dia akan bersembunyi, mau sampai kapan?" Ujar Kenan sedikit kesal. Bukan kesal pada orang lain, tetapi pada dirinya sendiri yang merasa tidak berguna menangani hal ini.

Di samping Kenan, Eliana mengusap lembut punggung suaminya itu agar tidak terus emosi. Karena jika masalah dihadapi dengan emosi, bukannya mendapat jalan keluar, pasti hanya akan bertambah besar.

"Yang membuat bingung saat ini, apa Riyan harus menceritakan kenyataan itu pada Zahra, atau menyimpan kisah ini sendiri.

"Jangan melakukan itu. Kamu harus menjelaskan semuanya, tapi memang harus menunggu Zahra benar-benar sembuh dulu." Jawab Kean tegas.

"Benar, Nak. Jangan membuat sesuatu yang nantinya akan menjadikan kepercayaan Zahra padamu berkurang. Sesakit apapun itu, kamu harus menjelaskan kebenarannya. Tapi ya itu, lihat kondisinya terlebih dahulu." Rianti menimpali.

***

"Riyan..."

Masih di ruangan yang sama, Riana yang sudah kembali ke samping ranjang dan tengah duduk di sana, memanggil adik sepupunya. Jemari Zahra yang kini menggenggam tangannya, membuat Riana terkejut.

Pembicaraan di sofa, terhenti. Semua orang yang tengah duduk di sana, menoleh ke arah ranjang di mana Riana berada.

"Zahra bergerak.." Ucap Riana sambil menunjukan jemarinya yang sedang di genggam cukup erat.

Tanpa menunggu lama, Riyan segera beranjak dari sofa, lalu melangkah cepat menuju ranjang di mana istrinya terbaring.

"Ra..." Riyan membungkuk di depan wajah Zahra.

Sedangkan Kean yang juga ada di sana, ikut mendekati ranjang dan memeriksa layar yang ada di samping ranjang itu. Memastikan jika benar-benar ada kemajuan.

"Alhamdulillah. Dia sudah baik-baik saja." Ujar Kean. "Jangan di paksakan dulu, sebentar lagi pasti akan sadar." Sambungnya memperingati keponakannya yang sedang membungkuk di depan wajah Zahra.

***

*Note Author

Maaf beberapa bulan ini aku ga konsisten update nya. Sebenarnya kisah Jingga saat balita, akan nyambung di novel TAKDIR CINTA RIANA, dan untuk novel LANGIT JINGGA DI UJUNG SAMUDRA ini, hanya akan menceritakan kisah Langit, JIngga dan Samudra setelah mereka dewasa. Tapi karena ada sedikit masalah dengan novel TAKDIR CINTA RIANA, aku buat nyambung disini aja biar lebih jelas alurnya. Jadi yang belum baca KITA BUKAN MADU boleh mampir dulu, karena ini sekuelnya.

Terimakasih 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!