"Mbak Nina! Nanti kalau aku lulus sekolah nikah sama aku ya."
"Astaghfirullah!!"
"Mbak kenapa mbak?" tanya Ozil bangkit dari pencucian nya di sumur.
"Kamu tu masih kecil, sekolah aja dulu." balas Nina yang sedang memandikan Zidan, anak lelakinya yang berusia 8bulan itu.
Ozil cengengesan kembali ke aktifatas mencuci nya.
"Aku dah gede mbak! Sama mbak Nina aja gedean aku. Aku juga udah sunat. Udah gede!" tegas Ozil masih dengan meneruskan aktifitas mencuci nya.
Astagfirullah, kenapa dengan anak ini? Baru juga kelas 3 SMK, sudah seharusnya mikirin gimana bisa lulus ujian, ini malah nambah ujian kesabaran. Ya salaaamm.
"Kamu tu masih sekolah Oz." Nina kembali mencoba menyabuni zidan anak nya. Bocah itu aktif banged lonjak-lonjak nggak karuan Nina sampai harus memegangi bawah ketiak nya. Alhasil nggak berhasil nyabunin.
"Kan Ozil bilang kalau dah lulus tadi kan?"
"Ya udah! Kamu lulusin aja dulu."
"Berarti mau mbak?"
"Astagfirullah." pekik Nina sabar. Entah untuk siapa itu, Ozil? Atau Zidan yang melonjak-lonjak dari mandi nya padahal dia belum sanggup untuk menapak dengan kedua kaki nya.
"Adek Zidan, diem! Kek gini ibuk nggak bisa mandiin kamu."
Ozil yang masih sibuk nyuci baju di embernya, beranjak mendekat, memegang bawah ketiak Zidan dengan kedua tangan nya tepat di atas tangan Nina, membuat Nina sedikit terkejut.
"Mbak yang sabunin, biar aku yang pegang." tanpa menjawab, Nina langsung menyabuni anaknya, mengguyur tubuh Zidan dengan air hangat kuku.
Ozil menatap intent kaka iparnya yang ada didepannya itu.
"Mbak kek gini kita dah kek pasangan suami istri loh, kerja sama mandiin Zidan." Ozil nyengir.
Entah harus bersikap seperti apa lagi Nina saat ini.
"Mau ya mbak?"
"Astagfirullah Ozziiilll."
Nina adalah janda kaka kedua Ozil yang meninggal 8bulan lalu. Ozil Ozura Putra adalah anak bungsu dari 3 bersaudara dari pasangan Bahdim dan Ana. Anak pertama bernama kedhira sudah menikah dan beranak 3 tinggal di kota Magelang. Anak kedua Ozan yang baru dua tahun yang lalu menikahi Nina.
Flashback
Di sebuah klinik bersalin,Nina sedang berbaring di brangkar kusus bersalin. Dengan kaki yang menekuk ke atas. Seorang bidan mengecek bagian intim Nina.
"Udah buka'an 6 mbak." ucap bu bidan,
"Jadi aturan nya begini ya mbak Nina, kita akan menunggu jalan lahir sampai pembukaan sempurna. itu buka'an 10 ya. Selama itu mbak Nina nggak boleh ngeden.
Nggak usah kuatir pipis atau pup. Karena itu hal yang wajar. Malah yang bener ya begitu. " terang Bu Bidan menjelaskan.
"Aturan ngedennya sama kayak mau pup ya mbak Nina, jadi jangan di kerongkongan sampai bersuara kayak di sinetron itu. Tapi di sini, di perut. Pokok nya sama kayak ngeden mau ngeluarin pup itu ya mbak Nina. " Jelas bu Bidan lagi meneruskan.
"Dok! Ini kayak nya aku mau ngeden dok." Nina panik merasakan adanya dorongan dari dalam.
"Tenang mbak Nina. Tarik nafas,lalu hembuskan. Jangan panik! Tarik nafas, hembuskan, tarik nafas, hembuskan." instruksi bu Bidan sambil menyontohkan.
Nina mengikuti arahan bu Bidan.
"Bener! Begitu mbak Nina, setiap kali di rasa ada dorongan langsung lakukan seperti itu ya. " pesan bu Bidan lagi.
"Ini suaminya mana mbak Nina? Belum datang ya?"
"Iya bu Bidan, masih di jalan." ibu mertua Nina yang menjawab.
"Ohh, ya udah! Nggak papa, ini di luar juga masih hujan deras. Nanti langsung suruh masuk aja ya, biar nemenin istrinya yang lagi berjuang lairan."
Ozan suami Nina yang sedang bekerja dan mendapat panggilan jika istrinya akan melahirkan, meminta ijin pulang.
Siang itu hari Jum'at, jam 14.30. Hujan begitu deras mengguyur kota jogja. Dengan memacu motor nya maksimal, Ozan mencoba sesegera mungkin untuk bisa sampai di klinik bersalin tempat istrinya, Nina akan melahirkan. Jarak dari tempat kerja nya di wilayah Sleman sampai klinik skitar 40menit dengan kondisi jalan lancar tanpa hujan.
"Udah buka ' an 10 mbak Nina. Udah bisa ngenden. Ayo mbak." bu bidan memberi instruksi.
Nina mulai mengeden, selain karena memang ada dorongan dari dalam, juga dia ikut ngeden. Namun si bayi masih belum mau keluar, Sekali lagi Nina mengenden, dengan di semangati bu bidan dan asisten nya, juga ibu mertuanya yang masih setia menemani.
Ozan semakin memacu laju motor nya perasaan nya terasa tak enak. Info terakhir yang dia dapat, Nina sudah buka'an 6. Itu artinya sebentar lagi debay bakal melihat dunia. Dia harus ada di sana saat jagoan kecil nya menghirup udara dunia untuk pertama kali nya.
Siang itu jalanan cukup licin, mengingat hujan cukup deras mengguyur bumi tak menyusutkan keinginan pengguna jalan untuk melakukan perjalanan. Begitu pun dengan Ozan. Namun Ozan malah terjebak macet,dengan jalan dua arah itu,Ozan mencoba menyalip-nyalip dengan motor matik nya untuk memangkas jarak macet kendaraan. Hingga sampai dia di barisan ke dua dari biang pembuat kemacetan panjang. Yang ternyata sebuah truk tronton yang melaju perlahan.
Ozan melongok ke depan memastikan aman untuk menyalip tronton yang hampir memenuhi setengah badan jalan itu. Ozan mulai menarik gas motor nya.
"Sedikit lagi mbak Nina! Udah kelihatan kepalanya loh! Ayo mbak!" Bu Bidan menyemangati Nina yang menjeda menarik nafas sebentar.
"Mas Ozan... Mas Ozan belum datang buk?" Tanya Nina di tengah-tengah perjuangannya.
"Sabar Nina, jangan mikirin Ozan dulu. Yang penting sekarang anakmu lahir. Ya?" Ucap Bu Ana mencoba menenangkan Nina yang mulai cemas di tengah perjuangan hidup dan mati melahirnya sang jabang bayi.
Ternyata perjuangan melahirkan lumayan juga. Menguras semuanya. Nina sudah kelelahan namun dia harus tetap berjuang. Sekali lagi, dengan kekuatan penuh. Nina mengeden bersamaan dengan dorongan yang dia rasakan dari dalam.
Mata Ozan membulat baru setengah tronton yang dia lewati dari arah berlawanan muncul bus pariwisata yang melaju kencang. Ozan mencoba membelokkan arah stang motor nya. sayang, jalanan yang diguyur air hujan begitu licin hingga membuat roda motor nya selip dan
BRUUUUAAAAAKKKKK!
CEEKKKIIIIIITTTTTT!
BRRUUUUUAAAAKKKK!
Tubuh Ozan terpental menghempasnya di aspal jalanan dengan darah segar yang merembes dari tubuh nya. Benturan nya begitu keras hingga helm yang dia kenakan terlepas dari kepala nya. Dia masih tersadar, air mata nya mengalir menyatu dengan hujan dan darah. Hingga nafasnya terputus oleh takdir.
"MASS OZAANN!!" Teriakan Nina bersamaan dengan suara bayi yang keluar dari jalan rahimnya.
"OOWEEE.... OOOOWEEE..."
Suara tangisan bayi kecil di sambut dengan suka cita. Satu kehidupan pergi dan digantikan oleh kehidupan yang lain nya.
"Alhamdulillah..."
Bersambung.
Mohon dukungan nya ya para reader dengan
Like
Komen
Fav
Vote
Gift
terima kasih
"Adek nya laki-laki mbak Nina, selamat ya?" Ucap Bu bidan memberi selamat menunjukkan bayi yang masih terlihat putih berlemak dengan suara tangisan merdu nya memenuhi ruangan.
"Di stimulasi dulu ya dedeknya." Kata Bu bidan lagi meletakkan sang bayi di atas perut Nina. Kepala bayi itu bergerak kesana kemari mencari niple ibunya.
Air mata Nina tak terbendung lagi. Rasa syukur dan bahagia menyambut kelahiran putra pertama nya dengan sang suami yang hingga kini masih belum datang. Hujan sangat lebat di luar sana. Mengguyur kabupaten kota Bantul hingga sore tiba.
"Mas, kita sudah jadi orang tua sekarang. Cepatlah datang dan lihat anakmu yang tampan ini." Lirih Nina mengusap tubuh bayi yang masih belum di bersihkan itu.
Awan kelabu masih menggelayung di langit. Rintikan air hujan yang bercampur warna merah darah itu, membasahi jalan yang makin padat karena kecelakaan antara motor dan bus pariwisata.
Bau anyir menyeruak, suara klakson terdengar, beberapa pengendara bahkan ada yang melambat laju kendaraannya dan berhenti untuk melihat ada apa? Ada pula Orang yang turun ke jalan mengkondisikan lokasi kecelakaan.
Mobil polisi dan ambulan tampak sudah terparkir, tak jauh dari tubuh Ozan yang sudah tergeletak tak bernyawa itu para tim medis mendekat dengan tandu mereka untuk mengangkut korban laka lantas ke rumah sakit terdekat.
Hari semakin gelap hujan tak selebat sebelumnya, hanya rintikan tak beraturan yang masih jatuh. Suara Guntur terdengar bersahutan di kejauhan. Di ruang perawatan bidan, Nina mulai gelisah dan cemas.
"Buk, mas Ozan kok belum datang ya? Ini udah jam 8 malam loh."
"Sabar Nina, mungkin lagi ada apa gitu di kantornya. Coba ibuk nanya dulu sama Adek mu ya?" Ibu mertuanya, Ana keluar dari ruang perawatan meninggalkan Nina yang sedang belajar menyusui Zidan.
Anak laki-laki nya di beri nama Zidan putra Ozna. Ozna sendiri adalah penggabungan dari nama Ozan dan Nina. Tak lama setelah sang mertua keluar dari kamar, ibu Nina datang bersama adiknya Dila.
"Waahh, cucu bunda sudah lahir."
"Kok bunda sih Bun? Nenek lah." Protes Dila ikut mendekat pada kakaknya.
"Ozan mana Nin?" Tanya bunda nya mengusap kepala Zidan yang masih menyusu itu.
"Nggak tau bun, kok belum datang. Udah dari siang bilang otewe tapi kok nggak nyampe-nyampe." Jawab Nina dengan raut cemas dan Khawatir.
"Mungkin ban motornya bocor Nin, atau berteduh dulu, kan hujan tadi." Ucap bunda memberi pikiran positif pada Nina yang terus gelisah.
"Iya buk, tapi kok nggak kasih kabar ya?"
"Sabar Nina." Kata Bunda menguatkan, " cucu nenek sudah mimik nya? Gendong nenek ya?"
Dengan riang gembira bunda mengambil Zidan dari gendongan Nina. Menimang-nimang dan menciumnya berkali-kali. Zidan .kecil menggeliat kegelian.
"Zidan belum di azani berarti ya?"
"Udah Bun tadi sama Ozil."
"Eehh, tadi di jalan mirip mas Ozil ya Bun? Yang kita papasan di lampu merah." Ucap Dila pada bundanya.
"Iya Nin,, tadi ibuk lihat di jalan mirip Ozil gitu, wajahnya juga sedih."
"Di jalan mana Bun?"
"Jalan ke kota..." Belum sempat selesai Bunda bersuara, datang ibu Ana dengan wajah cemas dan gelisah.
"Nin, kamu yang sabar ya."
"Kenapa buk? Mas Ozan mana?"
"Ozan.... Ozan... Kecelakaan Nin." Tangis ibu mertua Nina dengan suara parau."Ozan kecelakaan Nin. Pas mau jalan ke sini."
Dunia Nina serasa berhenti berputar. Berita yang tiba-tiba datang membuatnya tak mampu menopang tubuhnya. Dada Nina serasa nyeri, tubuhnya sangat lemas. Wajah Nina berubah pucat, dan pikiran melayang entah kemana. Nafas Nina memburu.
Tampak ketegangan di raut wajah semua orang. Bunda pun terlihat sangat terkejut dan cemas. Apalagi melihat Nina yang makin pucat dan lemas.
"Nin..."
"Nina.... Yang sabar nak."
Suara yang sayup Nina dengar menghilang perlahan, dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
***
Nina tersadar, aroma minyak angin menguar di penciuman Nina. Matanya mengerjab, tubuh masih terasa lemas. Pijatan lembut di telapak tangan dan kakinya semakin menyadarkan Nina.
Ia ingat lagi, berita yang mengabarkan Ozan kecelakaan hingga suaminya itu tak kunjung datang. Nina menangis, air mata nya meluncur begitu saja. Deras dan menganak sungai di pipi.
"Bun, mbak Nina sudah sadar."
"Nina! Kamu nggak papa nak? Yang sabar ya. Kami semua mendampingi mu. Heemm??" Suara lembut bunda nya menguatkan.
Tangis Nina semakin pecah.
"Mas Ozan mana buk?" Parau Nina dengan linangan air mata berusaha bangun dari tidurnya.
"Ozan masih di rumah sakit, Nin."
"Mas Ozan nggak papa kan buk? Nggak luka kan? Dia baik-baik aja kan buk?" Tanya Nina runtun dengan suara yang semakin parau.
"Iya, Ozan nggak ngrasain sakit nak. Dia udah tenang. Kamu jangan sedih ya, ada Zidan yang masih kecil, kasihan dia.. huummm?" Tutur Bu ana mengelus punggung Nina dengan sabar. Walau dirinya sendiri pun juga tak mampu membendung air matanya.
Tangis Nina berubah menjadi Raungan panjang yang semakin pilu. Ia tau maksud sang mertua yang mengatakan sudah tenang dan tak sakit. Itu artinya, Ozan suaminya telah pergi. Meninggalkan dirinya dan Zidaan.
Hari yang seharusnya menjadi sambutan kebahagiaan atas lahirnya cucu yang selalu di nanti. Berubah menjadi tangisan pilu. Nina yang bahkan jahitan di jalan rahim nya belum sepenuhnya kering, tetap berusaha tegar memandikan tubuh yang suami.
Satu guyuran membasahi tubuh yang telah kaku itu. Di susul dengan guyuran lain nya. Ozil ikut memandikan jenazah kakaknya, menatap pilu pada wanita yang berusaha tegar itu meski tubuhnya terus berguncang menahan tangis.
Berulang kali Nina mengusap pipi nya yang basah. Sesekali ia mendapat usapan lembut di punggungnya dari sang mertua agar lebih kuat menghadapi jenazah suami nya yang terbujur kaku.
"Mbak.." sebut Ozil sembari menyucikan jenazah sang kakak."Kalau nggak kuat mbak Nina di dalem aja nemenin Zidan."
Nina menggeleng, "Kami udah saling janji Oz, akan memandikan siapapun yang lebih dulu meninggal. Ini juga wujud baktiku padanya." Ucap Nina dengan suara parau yang makin hilang karena kebanyakan menangis.
Hingga Ozan selesai di kafani pun Nina masih setia menunggui membacakan bacaan ayat-ayat pengantar suaminya tidur dalam keabadian.
Hanya saat Zidan menangis minta di susui saja Nina beranjak dari depan jenazah suaminya. Lalu kembali lagi meski dengan memangku Zidan. Nina juga ingin, agar Zidan tau, dan merasakan pernah di sisi ayahnya walau sebentar.
Bersambung....
Mohon dukungan nya ya para reader dengan
Like
Komen
Fav
Vote
Gift
terima kasih
"Mbak Nina, minyak zidan abis ya?" teriak Ozil dari ruang tamu,
"Masih kok." balas Nina dari dapur, Nina berjalan menuju ruang tamu di mana Ozil yang baru saja memandikan Zidan mengelap bocah sepuluh bulan itu dengan handuk.
"Mana? Ini habis!" Ozil menunjukan botol minyak baby yang kosong.
"Bukan yang itu Oz, tadi mbak abis beli kok, coba cari di meja bawah tv, tadi belanjaan mbak taruh sana." ucap Nina di ambang pintu dapur dengan sotil di tangannya.
"oo yang kantong kresek item itu apa?"
"Heeemm." Nina kembali ke depan kompor saat dirasanya Ozil sudah menemukan yang dia cari.
Sayup Nina mendengar Ozil yang sedang mengajak bicara Zidan, entah apa yang dijawab dengan celotehan tak jelas khas bayi. Nina tersenyum mendengarnya. Mungkin karena Ozil pun masih sama bocahnya, jadi gampang saja bagi pria berumur 18tahun itu menjadi teman Zidan.
Nina membalik ikan yang dia goreng, saat Ozil dan Zidan muncul dari pintu penghubung dapur rumah.
"Bunda! Zidan dah ganteng dan wangi....." seru Ozil menirukan suara bayi melangkah mendekat dengan menggendong Zidan.
Nina menoleh dan berjalan mendekat.
"Mana anak ibuk yang ganteng?" Ucap Nina mencium pipi Zidan.
"Heeemmm... wangi ternyata. beneran ganteng." Sambung Nina disambut celotehan Zidan.
"Om Ozil juga sudah ganteng bunda, cium juga donk." seloroh Ozil menirukan gaya bicara bayi melihat ponakannya dicium pipinya oleh Nina.
"Heeeeee eeeeemmmmhhh..." dengus Nina mencubit pipi Ozil dengan sangat gemas dan geram.
"Aawww... Sakit!! Mbak Nina pelit!" cibir Ozil manyun.
"Udah main di depan sana! Ibuk masih goreng ikan nih. nanti kena minyak. "
"Iya bunda." jawab Ozil dengan gaya bicara bayi. Lalu ngeloyor dengan menggendong Zidan yang terus berceloteh entah apa.
Nina sudah siap menggoreng ikan, lalu membuat sambal. begitu selesai, Nina membuat teh, dia berjalan sebentar ke teras di mana Zidan dan Ozil sedang bercengkrama.
"Oz, kamu mau teh nggak?"
"Mau Mbak."
"Oke. bentar ya."
"Pake gula aren ya mba, jangan gula pasir." seru Ozil dari teras.
"Iya Oz, siap."
Tak lama Nina keluar dengan dua gelas teh, satu agak lebih pekat, itu punya Ozil karena bercampur dengan gula Aren. Nina letakkan nampan berisi teh itu di atas meja teras. Bermain sebentar dengan Zidan, sembari minum teh.
"Jalan-jalan sore yok mbak."ajak Ozil tiba-tiba.
Nina melihat jam, masih pukul setengah Lima sore.
Yah, jalan sebentar nggak papalah, nyenengin Zidan bentar. pikir Nina.
"Ayookk deh." ucapnya menyetujui.
"Yeesss... Kencan sorreee...." seru Ozil menggendong Zidan. Nina mendelik, Ozil nyengir.
"Kunci bunda! kunci!" Ozil mengalihkan perhatian.
"Heeeee eeemmmmmhhhhhzzzz" dengus Nina pelan mengambil kunci motor di belakang pintu.
"Nih." Melempar kunci motor pada Ozil lalu menutup pintu rumah.
"Kursi rotannya mbak." Ozil menstater motor matik nya.
"Buat apa?"
"Ya buat duduk Zidanlah."
"Nggak usah, biar mbak pegangin aja Zidan ditengah."
"Jangan mbak, Kasian Zidannya." cegah Ozil
Nina menatap penuh tanya,
"Ya kalau di depan kan zidan jadi bisa liat-liat jalan mba." Kelit Ozil beralasan.
"Nggak usah, lebih aman kalau aku pegangin." Nina mengambil Zidan dari gendongan Ozil yang sudah nangkring di atas motor itu. Lalu membonceng di belakang.
"yah, nggak jadi dipeluk deh." keluh Ozil bergumam pelan.
"Apa Oozz??" melongok ke depan.
"Nggak mbak." langsung memgegas motornya.
"Jalann!!" seru Ozil semangat.
Ozil membawa motornya pelan, sambil bertegur sapa dengan tetangga dan penduduk kampung yang mereka kenal.
Ternyata teman Ozil banyak, bahkan dia kenal bapak-bapak yang nongkrong di pos ronda dan di warung deket sungai besar. Bahkan anak-anak kecil pun kenal dengannya.
"Ternyata kamu femes ya Oz." ucap Nina ditengah perjalanan pulang karena sudah mendekati magrib.
"Woooo yooo jelas! Ozil, siapa yang nggak kenal?"Sombongnya,
Nina mencibir.
"Dunia aja kenal sama Ozil!"
Nina makin mencibir.
"Nggak percaya mbak?"
"Tanya aja sama pecinta sepak bola, pasti pada kenal Ozil."
"Ck. itu mah mesut Ozil!"
"Hahaha... Zidan juga banyak yang kenal loh mbak."
"Iya deh percaya."
"Malah lebih femes dari Ozil."
"Iyaaaaa... iyaaaa.."menjawab dengan malas.
"Mbak yang kasih nama Zidan kemarin siapa?"
"Kenapa?"
"Penasaran aja kenapa Mbak Nina kasih nama Zidan."
"Mas Ozan yang minta."
"Heeeemmm....." Ozil manggut manggut."Zinadin Zidan. Nama pemain bola itu mbak."
"Iya."
"Pelatihnya madrid."
"Heemmm..."
"Aku juga ngidolain Zidan mbak."
"Zidan yang mana?" walau rada kesal Nina tetep ladenin juga ocehan Ozil.
"Yang pemain bola lah mba, masa anak embak."
Nina terkekeh.
"Pegangan mbak! Aku mau ngebut!"
"Ozil! Ini dikampung! jangan kebut kebutan ahh"
"Udah mau magrib mbak."Ozil beralasan. "Angin senja nggak bagus buat Zidan." sambungnya.
"ya jangan ngebutlah Oz."
"OZILLL!!" suara seruan dari pemotor yang lewat, dua gadis yang sepertinya seumuran dengan Ozil.
"Woooooiiiii...." balas Ozil.
Nina menoleh kearah dua gadis yang udah lewat itu.
"Temen sekolah mu Oz?" tanya-nya
"Bukan. Temen karang taruna." jawab Ozil santai.
"Ckckck. temenmu dimana-mana ya?"
"Emang waktu gadis mbak Nina nggak ikut karang taruna?" tanya Ozil penasaran.
"Nggak. cuma ikut mudamudi aja."
"Pantesan temennya dikit." ledek Ozil terkekeh.
Nina mendengus. "cepetan pulang. katanya magrib." kesel juga Nina di ejek Ozil temennya dikit.
Sampai dirumah, bapak dan ibuk bersiap hendak kemasjid.
"Oz, buruan! tadi Nisa sama Karim datang mau ngajak bareng ke masjid, katanya hari ini mulai ngajar ngaji." ucap ibu melihat anak bungsunya baru pulang,
Ozil turun dari motor.
"Nisa sama karim-nya mana buk?" tanyanya.
"Udah duluan. Kamunya ditungguin lama." balas ibuk seraya melangkah dengan mengangkat mukenanya agar tak menyentuh tanah.
"Ya kan belum masuk magrib buk."
"udah buruan sana."ucap ibuk.
"Mbak Nina dirumah sendirian nggak papa?" tanya Ozil menoleh kearah Nina.
"Nggak. santai aja. lagian ibuk sama bapak juga nanti balik kan?"
"Iya, ati-ati dirumah ya." ucap bapak mulai melangkah keluar halaman di ikuti ibuk. "buruan Zil." seru bapak lagi.
Ozil masuk kedalam mengambil sarung dan pecinya tak lupa memakai koko, dia keluar sambil mengancingkan baju kokonya.
"Nggak wudhu dulu kamu Oz?"
"Enggak di masjid aja."sahutnya,"Aku tinggal ya mbak." serunya keluar halaman rumah.
Nina sendirian dirumah hanya bertemankan Zidan. Keluarga pak Bahdim memang bukan termasuk keluarga yang religius, namun rajin ke masjid dan mengikuti kegiatan sosial dikampung. Tak heran bila banyak yang mengenal.
Waktupun berlalu, malam itu Nina sedang menidurkan Zidan, tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk.
Tok
Tok
Tok
"Siaapa?" tanya Nina melongokkan kepalanya.
"Ozil mba." jawab suara dibalik pintu.
"Ada apa Oz?" Nina menutup dadanya seusai menyusui Zidan.
"Zidan dan tidur belum?" suara Ozil lagi dibalik pintu yang masih tertutup.
"Udah."
"Keluar bentar bentar mba." pinta Ozil
Nina melirik jam, pukul sembilan malam.
"Mau ngapain Ozil malam-malem gini nyuruh keluar?"gumam Nina.
___€€€___
readers kuh mau kasih semangat donk biar Othor semangat Nulis.
like dan komen
makasih
salam____
😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!