Suara berisik terdengar dari rumah kecil minimalis, tepatnya di ruangan kamar mandi yang berukuran 1 meter kali 1 meter.
Suara gedoran pintu terdengar sangat nyaring dari luar, seorang pria sedang menikmati mandi pagi walaupun teriakan adik perempuannya yang memanggilnya memekakkan telinga namun tak membuat ia mempercepat membersihkan tubuhnya.
"Kakak, cepat! Aku sudah terlambat!" teriak gadis belia berusia 16 tahun.
Pria itu membuka pintu lalu berjalan santai sembari mengusap rambutnya dengan handuk.
"Lama sekali mandinya, padahal dekil aja!" ejek Sita. Ia masuk ke dalam kamar mandi sebelum kakak laki-lakinya itu memarahinya.
"Walaupun dekil begini, Kakak yakin akan bertemu bidadari!" ucap Dean sedikit berteriak.
"Mimpi!" balas Sita.
"Hei, kalian ini sudah besar tapi masih saja suka ribut. Apa tak malu dilihat para tetangga?" omel Nita.
"Sita yang mulai duluan, Bu," jawab Dean.
"Dean, kamu itu sudah dewasa dan pantas untuk menikah. Bersikaplah seperti kakak yang baik," ujar Nita.
"Aku sudah sangat baik, Bu. Buktinya aku selalu mengantar jemput dia sekolah," ucapnya.
Pintu kamar mandi terbuka, "Baik apanya kalau ujungnya minta traktir makan bakso depan sekolah!" celetuk Sita yang baru saja selesai membersihkan diri.
"Sita, kenapa cepat sekali kamu mandinya?" tanya Nita.
"Sudah terlambat, Bu. Semua gara-gara Kak Dean!" jawabnya dari kejauhan.
"Enak saja menuduhku," Dean membantah. "Cepat berpakaiannya, kalau tidak aku tinggal!" lanjutnya berucap.
"Iya, berisik!" teriak Sita.
Dean sudah berada di atas motor pembelian kedua orang tuanya 6 tahun yang lalu, ia tak mampu membeli barang bermotor itu karena gajinya tak pernah tetap dan sulit menabung.
Sita menghampirinya dengan merangkul tas ransel sekolah, tangan kanannya menenteng 2 bungkus kantong plastik berwarna kuning.
"Ini buat Kakak!" Sita menyodorkan satu kantong plastik.
Dean menerimanya dan menyangkutkannya di bagian depan yang biasanya selalu ada di motor matic.
"Kakak sudah berpamitan pada ibu atau belum?"
"Sudah dari tadi," jawabnya.
"Aku pikir Kakak lupa."
"Jangan banyak berbicara, cepat naik. Kakak sudah terlambat!" Dean memakai helmnya.
Sita duduk di bagian belakang.
Keduanya berangkat ke tempat tujuan. Dean mengantarkan Sita ke sekolah lalu ia menuju ke kafe.
Pukul 8 lewat 5 menit Dean baru tiba di kafe, ia membuka helmnya lalu berlari kecil memasuki tempat itu.
"Kamu datang terlambat lagi, Dean!" tegur seorang pria yang berusia 40 tahun.
"Maafkan saya, Pak Manajer!"
"Apa lagi alasan kamu kali ini?"
"Tidak ada, Pak."
"Tumben tidak ada, biasanya kamu selalu memberikan alasan yang berbeda tiap hari," sindir pria bernama Jimmy.
"Memang tidak ada, Pak."
"Karena kali ini kamu terlambat lima menit, jadi jam pulang kerja kamu pukul lima lewat dua puluh menit!"
"Baik, Pak. Saya akan pulang sesuai hukuman," ujar Dean.
"Bagus, kalau begitu silahkan mulai bekerja!"
"Iya, Pak!" Jimmy berlalu meninggalkan ruangan karyawan.
Dean memegang peralatan kebersihan, ia mulai membersihkan kafe yang akan dibuka 30 menit lagi. Dengan cepat ia melakukannya sebelum para pelanggan datang.
Dean selesai menyapu, mengepel dan mengelap meja sekaligus kursi.
Tamu pertama di pagi hari itu pun datang, seorang wanita muda dengan kulit putih bersih, tinggi 165 centimeter dan berambut pendek, duduk di meja nomor 7.
Teman Dean seorang wanita bernama Widya, menghampiri wanita itu dan menanyakan menu pesanannya.
Selesai memesan, Widya memberikan catatannya. Dean pun meracik kopi sesuai permintaan sang tamu.
Beberapa menit kemudian, Dean mengantarkan pesanan wanita itu. "Silahkan diminum, Nona!" ia menampilkan senyum terbaiknya.
Wanita muda itu menyesap kopi kemudian menyemburnya. Ia lantas menoleh kebelakang dan memanggil Dean. "Hei, kamu!" panggilnya.
Dean menoleh lalu berkata, "Nona memanggil saya?"
"Ya, kemarilah!"
Dean kembali menghampiri wanita itu. "Ada apa 'ya, Nona?"
"Coba kamu rasa!" menyodorkan wadah minuman dari plastik.
Dean tampak bingung.
"Cepat minum!" perintahnya dengan lantang.
"Baik, Nona!" Dean mencobanya tak lama kemudian ia semburkan.
"Bagaimana rasanya?"
"Sangat pahit, Nona."
"Aku minta pakai susu rendah lemak bukan seperti ini," ujar wanita itu.
"Saya minta maaf, Nona. Bagaimana jika saya buatkan yang baru?"
"Tidak perlu, kamu membuang waktuku saja!" Wanita itu beranjak berdiri.
"Nona, tapi harus bayar minumannya," ujar Dean.
"Apa kamu bilang? Aku harus membayar tagihan kopi yang sama sekali tidak sesuai pesanan ku," ucapnya tak senang.
"Ya, Nona."
"Aku tidak mau!" menekankan kata-katanya. Wanita itu pun berlalu meninggalkan kafe.
Pak Jimmy menghampiri Dean, "Masalah apa lagi yang kamu buat?"
"Saya lupa meletakkan susu, Pak."
"Itu artinya pelanggan tidak mau bayar kopi?"
"Ya, Pak."
"Gajimu dipotong sesuai harga kopi yang tak diminum wanita itu!"
Dean tertunduk lemas. Baru sehari menjadi barista, ia sudah terkena masalah.
Dean melangkah dan bergabung bersama teman-temannya kerjanya.
"Dean, wanita tadi pelanggan tetap kita. Kamu harus tahu kopi favoritnya," ujar Ikhsan.
"Aku benar-benar tidak tahu pesanan dia dan sudah meminta maaf. Apa salahnya dia membayar kopi yang tak sampai lima puluh ribu," keluhnya.
"Ya, karena dia benar dan kamu salah!" celetuk Widya.
"Dia mengendarai mobil mewah, harga segitu sangat kecil baginya. Kenapa sih' harus membebankan aku dengan membayar kopinya?" Dean menunjukkan wajah sedihnya.
"Sabar, Dean. Ini ujian!" celetuk Ikhsan, disambut tawa rekan kerja lainnya.
*
Dean pulang bekerja sesuai perjanjian waktunya dengan Manajer Jimmy.
Dean mengendarai motornya melewati jalan yang biasanya dilalui. Sita sudah pulang sekolah dan dijemputnya ketika ia mendapatkan jatah istirahat sejam.
Ditengah perjalanan menuju rumahnya, ban motor yang ia tumpangi bocor. Dean terpaksa mendorongnya sembari mencari bengkel terdekat.
Baru beberapa meter mendorong motornya, ia melihat seseorang yang sepertinya tak asing baginya. Wanita itu bertengkar dengan kekasihnya.
Dean sengaja memperhatikan keduanya dari jarak tak terlalu jauh.
Dean mendelikkan matanya ketika wanita itu ditampar oleh teman prianya. Dean lantas menepikan motornya lalu berjalan menghampiri pasangan kekasih itu.
Dean melayangkan tamparan juga di wajah pria itu membuat keduanya terkejut.
"Hei, kau siapa?" menarik kerah baju Dean.
"Aku hanya ingin membalas tamparan yang kau beri pada wanita ini!" Dean menunjuk kekasih pria itu.
"Kau tidak usah ikut campur, dia kekasihku!" menekankan kata-katanya.
"Masih kekasih saja kau berbuat kasar. Bagaimana jika menikah?" sindir Dean.
Pria itu melepaskan cengkeramannya membuat Dean terhuyung.
Wanita itu tak bisa melakukan apa-apa selain memegang wajahnya dengan mata berair.
Pria itu lantas memasuki mobilnya, lalu mencampakkan tas kekasihnya. Ia pun berlalu.
Wanita itu memungut tasnya lalu berjalan ke arah trotoar dengan wajah sendu dan frustrasi.
Dean lantas mengikuti langkah wanita itu dengan mendorong motornya, "Nona, kamu mau ke mana?"
"Pergilah!" usirnya.
"Nona, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian."
"Jangan pedulikan aku, pergilah!"
Dean tetap menuntun motornya mengikuti langkah wanita itu.
"Nona, di manakah rumahmu?"
"Untuk apa kamu menanyakan rumahku?"
"Aku akan mengantarmu pulang," jawab Dean.
"Mengantarkan aku pulang naik motor butut begitu? Aku tidak mau!"
"Hei, Nona. Walaupun butut tapi masih bisa dipakai," ujar Dean.
"Buktinya motor itu tidak bisa jalan," ucapnya.
"Ini aku lagi mau cari bengkel," ujar Dean.
Keduanya sudah berjalan sepanjang 500 meter, akhirnya bertemu bengkel.
"Nona, berhentilah!"
Wanita itu tak menggubrisnya dan tetap berjalan.
Dean membelokkan motornya ke bengkel. Ia sudah tidak peduli lagi dengan wanita itu.
Hampir sejam Dean menunggu ban motornya ditempel. Maklum, tadi cukup ramai.
Karena hari mulai gelap, Dean bergegas menghidupkan mesin motornya dan menyusuri jalan.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Dean melihat wanita itu duduk di pinggir trotoar tanpa alas kaki.
Dean menepikan kendaraannya ke arah wanita itu.
"Ayo aku antar pulang!"
"Aku tidak mau, jika aku ingin pulang ku bisa naik taksi atau menyuruh sopir menjemputku!"
"Nona, ini sudah malam kemungkinan akan turun hujan!" Dean menatap langit.
"Biarkan saja!" ketusnya.
"Nona, aku memiliki adik perempuan. Aku tidak ingin dia mengalami hal yang sama sepertimu. Jadi, mari ku antar pulang!"
"Berapa kali aku katakan, ku tak mau!" tolaknya.
"Ternyata kau sangat keras kepala!" Dean menarik ujung bibirnya.
"Iya, aku memang keras kepala. Pergilah!" usirnya.
"Baiklah!" Dean menghidupkan mesin motornya perlahan meninggalkan wanita itu.
Dean mengendarai dengan kecepatan pelan sembari melihat wanita itu dari kaca spion.
Tampak wanita itu di dekati 2 orang pria dengan gelagat mencurigakan. Dean lantas memutar laju kendaraannya kembali menghampirinya.
Dua orang pria itu menjaga jarak karena melihat kehadiran Dean. Ia pun kemudian turun lalu mendekatinya. "Sayang, kamu jangan merajuk lagi. Aku minta maaf!"
Wanita itu mengerutkan keningnya. "Kau bicara apa?"
Dean jongkok lalu mengarahkan wajahnya di telinga wanita itu kemudian berbisik, "Apa kau tidak takut dengan dua orang pria di belakangmu?"
Wanita itu dengan cepat menoleh, kemudian ia beranjak berdiri. "Ayo kita pulang!"
Dean menarik ujung bibirnya.
Wanita itu sekarang duduk di belakang Dean.
Setelah menjauh dari kedua pria tadi, Dean lantas bertanya, "Di mana rumahmu?"
"Jalan Cempaka."
"Bukankah itu perumahan mewah?"
"Ya."
"Apa pekerjaanmu di sana?"
"Maksudnya?"
"Nona bekerja 'kan di salah satu rumah mewah itu?"
"Kau pikir aku ini asisten rumah tangga!" kesalnya.
"Ya, tidak mungkin saja Nona sebagai salah satu pemilik rumah mewah itu.
"Aku memang tinggal di sana, walaupun rumah orang tua," ujarnya.
"Oh, pantas saja Nona tak mampu membayar secangkir kopi," celetuk Dean.
Wanita itu memukul punggung Dean dengan tas.
"Auww!" pekik Dean.
"Aku mampu membayarnya bahkan kau saja bisa ku beli!" ucapnya kesal.
"Nona, aku ini mahal. Kau tidak mungkin mampu membelinya," ujar Dean percaya diri.
"Benarkah? Kalau begitu aku tak mau membayar kopinya!"
"Jangan begitu, Nona. Harga kopi itu gaji setengah hari kerja," ucap Dean.
"Aku tidak peduli!"
Tak sampai 30 menit perjalanan, keduanya tiba di salah satu perumahan mewah.
Dean menghentikan motornya tepat di rumah berlantai 3 dengan pagar setinggi 2,5 meter.
Wanita itu membuka isi tasnya lalu menyerahkan 3 lembar uang berwarna biru. "Ini buat ganti kopi tadi!" menyodorkannya.
"Ini terlalu banyak," ucap Dean.
"Anggap saja karena kau sudah menolongku hari ini!"
"Begitu, ya." Dean menerima uang tersebut kemudian berkata lagi," Terima kasih!"
"Ya, sama-sama." Wanita itu hendak menekan tombol rumah.
"Nona, siapa namamu?" tanya Dean sedikit keras.
"Untuk apa menanyakan namaku?" balik bertanya.
"Siapa tahu kita bertemu lagi," jawab Dean.
"Aku berdoa semoga kita tidak pernah bertemu!" ucapnya sedikit keras.
"Nona, jangan berkata seperti itu. Siapa tahu kita berjodoh," ucap Dean diiringi senyum menggoda.
"Jangan mimpi, deh! Sudah sana pergi!"
"Namaku Dean!" tanpa di minta dengan percaya dirinya berkata.
"Aku tidak bertanya!"
"Ya sudah, sampai jumpa lagi, Nona!" Dean menghidupkan mesin motornya kemudian berlalu.
Pintu pagar terbuka, ia masuk ke dalam rumahnya yang di garasi terdapat 5 mobil mewah dengan harga rata-rata di atas 1 milyar.
Begitu menginjakkan kakinya di hunian mewah tersebut langkah kakinya berhenti ketika mendengar suara bariton pria.
"Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan nada dingin.
"Aku sedang menenangkan diri, Pa."
"Karina, sampai kapan kamu terus begini. Hura-hura, pergi ke sana kemari, bukannya bekerja tahunya menghabiskan uang!"
"Papa tak suka aku menghamburkan uang tapi membiarkan istri kesayangan belanja sesuka hatinya di mall. Kenapa dia tidak dilarang?"
"Karina, Mama Dina belanja bukan dari uang Papa tapi dari hasil usaha salon miliknya," jelas Dimas.
"Papa terus saja membelanya, aku ini anak kandung atau anak pungut?"
"Karina, kamu bicara apa. Papa tak membelanya memang kenyataannya seperti itu!"
"Aku bosan dengan kata-kata, Papa!" Karina menaiki tangga menuju kamarnya.
Dean mengendarai motornya di kegelapan malam yang minim penerangan ditambah hujan dengan lebat. Ia akhirnya berteduh di sebuah warung yang lagi tutup.
Dia tak sendirian berada di tempat itu tapi ada seorang pria tua lanjut usia yang pakaiannya basah.
Dean merasa iba lalu memberikan jaket ia gunakan kepada Pak Tua itu.
"Terima kasih, Nak!"
"Walau sedikit basah tapi semoga bisa mengurangi rasa dingin," ucap Dean.
"Iya, Nak."
Pria tua itu membuka bajunya lalu memakai jaket yang diberikan Dean.
Sejam kemudian, hujan berhenti. "Rumah Bapak di mana?"
"Tak jauh dari sini, Nak!"
"Bagaimana jika saya antar?"
"Tidak usah, Nak. Rumahmu masih jauh, kedua orang tuamu pasti mengkhawatirkan kamu," jawab Bapak Tua itu.
"Bagaimana dia bisa tahu, padahal aku sama sekali tidak mengajaknya mengobrol?"
"Mengobrol pun ketika menawarkan jaket selebihnya tidak ada. Kenapa bulu kudukku jadi merinding?"
"Bapak duluan, ya. Semoga kamu yang bermimpi menikah dengan seorang putri terkabul," ucap pria lanjut usia itu kemudian berlalu.
"Astaga, kenapa dia tahu pikiran halu aku?"
Dean yang diserang rasa takut bergegas menyalakan mesin motornya lalu melesat.
Sesampainya di rumah, kedua orang tuanya sudah menunggu di depan teras dengan perasaan gelisah.
"Itu dia, Bu!" ucap Lukman.
Nita melihat putranya dengan tersenyum bahagia, ia lalu mendekatinya.
"Kalian kenapa berada diluar?" tanya Dean.
"Kami sangat khawatir padamu, Ibu takut terjadi apa-apa denganmu," jelas Nita.
"Aku hanya terlambat pulang tiga jam saja, Bu."
"Tadi ada kakek tua yang mengatakan kalau Kakak dalam bahaya," ungkap Sita.
"Kakek tua pakai baju warna hitam celana panjang biru kusam," tebak Dean.
"Iya, Kak."
"Apa!" Dean kaget.
"Memangnya kenapa?" tanya Lukman.
"Kita bicara di dalam saja!" Dean memasukkan motornya ke dalam rumah. Kemudian ia menguncinya.
"Dean, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Nita penasaran.
"Tadi, aku berteduh di warung yang lagi tutup bersama seorang pria tua. Lalu aku memberikan dia jaket yang ku pakai, terus dia bilang kalau rumahku jauh dan kedua orang tuaku begitu khawatir," tutur Dean.
"Maksudnya Kakak, kakek tua itu tahu tentang keluarga kita?"
"Bukan, dia hanya tahu semua tentang aku!"
"Wah, sepertinya Kakak sudah melakukan kesalahan makanya ia tahu semua," ujar Sita.
"Kesalahan apa?" tanya Dean.
"Ya, aku tidak tahu. Coba saja Kakak ingat apa telah melakukan kesalahan atau tidak?"
"Aku hanya salah membuat kopi pelanggan."
"Coba ingat lagi!" pinta Sita.
"Aku benar-benar tidak tahu dan anehnya kakek itu tahu jika aku punya impian," ujar Dean.
"Memangnya mimpimu apa?" tanya Nita.
"Aku berharap menikah dengan seorang putri yang cantik dan kaya!" Dean membayangkannya sambil senyum.
Tiba-tiba gelak tawa Sita memecahkan suasana ruang tamu.
"Sita!" tegur Ayah lembut.
Gadis belia itu pun terdiam.
"Dean, kami harap kamu selalu hati-hati," nasehat Lukman.
"Iya, Yah."
"Mas, apa kakek tua yang kita tolong tadi ada hubungannya dengan kejadian yang dialami Dean?"
"Apa jangan-jangan kakek tua itu malaikat?" celetuk Sita.
"Ya, dia malaikat berwujud manusia," jawab Dean.
"Semoga saja apa yang dikatakan kakek tua itu tentang pernikahanmu benar adanya," harap Nita.
"Semoga saja, Bu."
"Jangan terlalu tinggi bermimpi, Kak. Kita ini orang miskin tidak mungkin dapat pasangan yang kaya raya," ujar Sita.
"Tinggal doa 'kan saja," ucap Dean. "Kan, kamu juga yang beruntung dapat kakak ipar cantik dan kaya raya," lanjutnya.
"Terserah Kakak saja, deh!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!