Malam Minggu pukul delapan, hujan deras tampak mengguyur jalanan ibu kota. Lalu lintas tersendat karena beberapa area tergenang oleh air yang lebih tinggi. Banyak motor yang menyelap-nyelip di antara deretan mobil yang tengah berhenti di lampu merah. Alana memandang jalanan yang basah dengan perasaan berbunga, setelah hujan perlahan mulai mereda menyisakan gerimis. Kemudian fokusnya teralihkan pada kue tart ulang tahun yang terbungkus rapi di motornya. Malam ini Alana berniat datang ke apartemen Edo- kekasihnya untuk memberi sebuah kejutan ulang tahun, sekaligus merayakan dirinya karena kemarin ia berhasil memenuhi target bulanan penjualan apartemen.
Edo dan Alana sudah bersama selama empat tahun ini. Edo yang baik hati dan perhatian, mengungkapkan perasaannya di sebuah taman kota saat itu. Sampai detik ini hanya ada nama Edo yang mengisi hati Alana. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu tak hentinya tersenyum bahagia, saat mengingat keromantisan yang Edo berikan padanya.
Tadi sore Alana menelpon Edo, jika ia hendak datang merayakannya keberhasilannya.
"Penjualanku memenuhi target. Managerku sangat senang, dan aku mendapatkan bonus besar bulan ini," ujar Alana saat itu.
"Aku ikut bahagia sayang," jawab Edo lembut.
"Bisakah kita merayakannya malam ini? Aku akan mentraktirmu," tanya Alana dengan harap.
"Aduh! Bagaimana kalau besok saja sayang. Kemarin aku baru bergadang di showroom, aku juga mengurusi beberapa berkas pembeli mobil. Rasanya hari ini aku lelah sekali. Aku ingin tidur lebih cepat malam ini."
Mendengar ucapan kekasihnya, Alana pun mengiyakannya namun pikirannya tetap saja berpendapat lain. Seperti ini, ia rela menerjang genangan air dan hujan demi menemui kekasihnya. Ia sengaja ingin memberikan surprise pada Edo, ia pikir meski merasa lelah Edo tak akan mungkin menolak kedatangannya. Alana kembali tersenyum kala membayangkan reaksi terkejut sekaligus bahagia sang kekasih saat melihat kedatanganya nanti.
"Alana kapan kau akan menikah? Usiamu bahkan sudah dua puluh lima, percuma cantik dan berkarier kalau tak laku juga?" Cibiran seperti itu kerap kali ia dengar dari tetangga, maupun teman kuliahnya dulu. Tapi, Alana tak pernah ambil pusing ucapan orang lain, baginya adalah memiliki Edo yang baik dan perhatian sudah lebih cukup. Toh lelaki itu pernah berjanji akan menikahinya, dan ia yakin suatu saat statusnya akan menjadi nyonya Edo.
Tiba di pelataran apartemen Edo. Alana segera memarkirkan motornya, lalu melepaskan jas hujan yang melekat pada tubuhnya. Lalu, Alana mengecek penampilan nya malam ini, tak juga ia merapikan rambut panjangnya yang sempat berantakan akibat memakai helm. Ia pikir malam ini ia sudah terlihat cantik, dengan pilihan gaun yang indah dan pas pada tubuhnya. Ia yakin Edo akan sangat senang melihat penampilan dirinya.
"Sempurna," ucapnya pada diri sendiri. Kemudian, Alana mengambil kue yang ia bawa. Sepanjang jalan Alana masih tersenyum, ia pikir malam ini Edo pasti akan melamarnya. Dan bulan depan ada reuni akbar, membayangkan ia datang bersama Edo sebagai pasangan yang sudah tunangan, tentu membuat hati Alana berbunga.
Alana menekan tombol sembilan di dalam kotak besi yang akan mengantarkan ia ke tempat Edo. Beberapa saat kemudian, lift pun terbuka dan ia telah sampai di lantai tempat Edo berada. Dengan hati riang Alana melangkah anggun.
Ia yang sudah beberapa kali berkunjung ke apartemen kekasihnya, tentu hafal dengan sandi apartemennya. Karena berniat memberi kejutan, Alana memang sengaja tak menekan bell pintu. Kini, Alana terlihat menekan beberapa angka sandi, hingga pintu berhasil terbuka secara otomatis.
Anehnya, ruang tamu Edo terlihat begitu gelap, hanya ada beberapa temeram lampu. Dengan langkah pelan, Alana masuk dan meletakkan kue di atas meja. Keduanya matanya memicing, otaknya berfikir kala selintas pikiran aneh terlintas, saat melihat blazer perempuannya yang tersampir di sofa. Belum sempat hilang keterkejutannya itu, Alana justru mendengar suara de sah and dan era ngan lirih dari dalam kamar yang ternyata pintunya tak tertutup dengan rapat. Dengan perasaan was-was Alana mendekati kamar itu dan membukanya.
Matanya terbelalak, tak percaya melihat pemandangan yang ada di depannya. Seorang lelaki yang tak lain adalah kekasih tercintanya, tengah asyik ber cum bu dan ber cinta dengan perempuan yang ia kenal, yang tak lain adalah Tisa, sahabatnya sendiri.
Alana menutup mulutnya, mendadak tubuhnya merasa lunglai. Melihat bagaimana bibir mereka saling bertautan sementara tubuh bagian bawahnya terus saling menyatu dan bergerak, tanpa peduli bahwa pintu kamar telah terbuka. Tubuhnya gemetar, rasa marah mehinggapinya, nafasnya memburu, kedua tangannya terkepal erat. Alana baru hendak berteriak lalu menampar keduanya, tapi belum sempat ia lakukan. Edo sudah menoleh pada Alana.
"A-alana?" ucap Edo dengan terbata-bata.
"A-alana?" ucap Edo dengan terbata-bata.
Edo terperangah mendapati kekasihnya tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajamnya. Ia langsung bangkit dari atas tubuh Tisa, dan buru-buru memakai pakaian kembali. Alana memalingkan mukanya, sesaat merasa jijik pada seluruh tubuh Edo. Sementara Tisa yang melihat Edo terengah kemudian bangkit, segera beringsut menutupi tubu telan jangnya dengan bantal.
"Berapa lama kalian melakukan hubungan ini?" desis Alana dalam nada kemarahan.
"Alana...."
"JAWAB! EDO! Kenapa kau mengkhianati ku! Dasar pengkhianat! Sialan!" Alana berteriak hingga suaranya terdengar melengking, tak peduli sekalipun perkataan kasar yang saat ini tengah keluar dari mulutnya.
"Alana tenanglah sedikit." Edo berusaha menenangkan Alana.
Namun, ia sama sekalian tak perduli ucapan Edo. Perempuan itu justru melangkah mendekati Tisa dengan tatapan tajam, seperti hendak me nguliti nya hidup-hidup.
"Bangun kau! Dasar pelacur!!"
Belum sempat Alana tiba di dekat Tisa, Edo langsung sigap menghalangi Alana.
"Alana! Berhenti, kita bisa biacarakan ini baik-baik!" bentak Edo yang berhasil membungkam mulut Alana. Perempuan itu terkejut mendapatkan kekasihnya kini berkata keras padanya, dan sialnya demi perempuan lain. Hal ini membuat Alana paham keadaannya kini.
Tisa bangkit dari ranjang dengan pelan, lalu memakai pakaiannya yang sempat teronggok di lantai. Alana terus menatapnya dengan marah.
"Alana sebenarnya kamu itu tidak perlu semarah ini," ucap Tisa santai.
"Apa??"
Tisa tersenyum mengejek Alana. "Kamu harus tahu. Edo adalah lelaki dewasa, tentunya membutuhkan kebutuhan dewasa. Namun kau justru memperlakukannya seperti anak SMA. Seakan-akan pacaranmu adalah cinta monyet. Dia seperti anak kecil saat bersama denganmu!"
"Tisa?!" tegur Edo pelan.
"Tidak! Dia harus mengerti Edo. Jika tidak semua orang harus tunduk padanya," ucap Tisa memandangi Alana sinis.
Alana menyentak nafasnya. "Itukah ucapan seorang perempuan yang merebut pacar dari sahabatnya? Ternyata aku sama sekali tidak mengenalmu, Tisa?"
Tisa tertawa kencang. "Ya memang tidak. Untuk apa kita saling mengenal!"
"Tapi aku benar-benar menganggapmu sa-"
Tisa melambaikan tangannya memotong ucapan Alana dengan cepat. "Kita tidak benar-benar menjalin persahabatan. Karena aku mendekatimu hanyalah untuk mengambil apa yang aku inginkan!"
Alana mengepalkan kedua tangannya. Lalu menarik nafasnya, sekuat tenaga ia masih mencoba meredam emosinya yang meluap. Sesaat ia mengalihkan pandangannya pada Edo yang tertegun di atas ranjang, sementara Tisa masih betah memandang nya dengan wajah sinisnya, tersenyum dengan bangga jika apa yang ia inginkan telah tercapai.
"Lalu apa penjelasanmu Edo? Kamu tau dia sahabatku dan kamu teganya mengkhianati ku?" cecar Alana.
Edo bangkit dari tempat duduknya.
"Berapa lama kalian menikamku dari belakang seperti ini?"
"Setahun!" tegas Tisa.
"Edo??"
"Hampir setahun Alana," jawabnya lirih seraya menoleh ke arah Alana.
"Kenapa?"
Edo mengacak rambutnya. "Tidak ada alasan. Tapi apa yang dikatakan Tisa memang benar adanya."
"Jadi masalahnya di ****? Karena aku tidak pernah memberikan hal itu, hingga kamu tega mengkhianati ku. Edo bukankah kamu prinsipku, kau nikahi aku maka aku akan dengan senang hati memberikannya padamu."
Edo mendekat dan membelai pipi Alana, tapi perempuan itu segera menepisnya. "Masalahnya aku belum siap menikah? Apalagi dengan perempuan seperti mu?"
"Kenapa denganku?" tanyanya dengan perasaan perih.
"Kamu memang cantik, tapi aku merasa bosan setiap kali aku ajak kamu berbicara, kau hanya bisa tersenyum tanpa–”
"Beda dengan Tisa. Yang mampu memberikan kehangatan padamu di atas ranjang?"
Edo mengangguk, membuat Alana merasa ingin menangis sekencang-kencangnya.
"Kalau begitu kenapa tidak memutuskanku? Kenapa memilih main di belakangku seperti ini?"
"Sudah jelas bukan karena Edo bosan dan malas mendengar rengekan dirimu!" tukas Tisa. Dengan pandangan kemenangan ia berdiri di sisi Edo. "Kamu tahu Alana? Kamu hanyalah perempuan lemah yang selalu memohon untuk dinikahi."
Alana memandang Tisa dengan pandangan tak berkedip, terkejut mendapati sifat asli Tisa kini, berbeda dengan Tisa yang ia kenal belakangan ini. Entah kemana perginya sifat baiknya itu? Mungkin kenaikannya hanyalah topeng.
"Benar begitu Edo?" tanya Alana.
Edo menganga lemah, "dia benar Alana. Ajakan nikahmu membuatku bingung. Sementara aku sendiri belum siap untuk menikah, dan mungkin entah sampai kapan. Aku belum membutuhkan seorang istri."
"Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya langsung?" teriak Alana.
"Karena aku masih menyayangimu!" Ujar Edo seraya merangkul Tisa. "Tapi aku aku juga menginginkannya!"
Alana memejamkan kedua matanya, seiring dengan hal itu air matanya menetes membasah pipinya. Ia tak menyangka surprise yang ia rencanakan untuk sang kekasih, justru berbalik membuat ia terkejut. Hatinya sakit, remuk redam oleh dua orang yang ia sayangi.
Di luar hujan kembali deras mengguyur bumi, namun keadaan berbalik pada suasana kamar itu, terasa panas membara.
"Kalian menjijikkan! Kau sangat menjijikan Edo. Dan kau Tisa hanyalah seorang pelacur!"
"Alana harusnya kamu sadar. Hanya karena kecantikan dan kepolosbamu, tak lantas dapat mendapatkan apa yang kamu mau!" teriak Tisa tak terima kala Alana menyebut dirinya pelacur.
"Paling tidak aku tidak menjajakan tubuhku pada sembarang lelaki. Apalagi pada pacar sahabatku!" sindir Alana.
Tisa tertawa. "Jangan sok suci Alana. Kamu pikir siapa yang mau menikahi perempuan seperti dirimu, kau hanyalah modal tampang doang. Apalagi mengingat kondisi ibumu yang mempunyai penyakit menjijikan itu, ku rasa tidak akan pernah ada laki-laki yang mau menikahi dirimu. Jangan mimpi!" sergah Tisa.
Alana mengepalkan kedua tangannya, menekan rasa sakit dalam hatinya. Dalam hati ia berjanji akan membalas setiap kata hinaan yang terlontar dari bibir kedua orang di hadapannya kini. Tanpa sebuah kata Alana berlalu keluar dari kamar itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kue yang ia bawa untuk Edo masih rapi di atas meja. Lalu dengan gerakan pelan, Alana mengeluarkan kue itu, dan kembali ke kamar.
Edo yang duduk di pinggir ranjang dengan Tisa yang berdiri di sampingnya menoleh saat melihat Alana kembali.
"Alana?"
Alana tersenyum manis membawa kue di hadapan Edo. "Niatku datang sebenarnya untuk memberikan ini. Memberikan kamu kejutan, tapi ternyata kejutannya berbalik ke aku. Jadi, selamat ulang tahun Pengkhianat!"
Tanpa diduga, Alana melemparkan kue itu tepat di wajah Edo. Sontak membuat Edo kaget, dan Tisa menjerit. Tisa berusaha membantu Edo untuk membersihkan kue itu, hingga ia tidak mengetahui saat Alana kembali masuk dengan membawa satu ember air penuh.
Byurrrrr!
Tanpa disangka Alana mengguyur tubuh Tisa dengan seember air itu, membawa tubuh perempuan itu basah kuyup. Alana tersenyum puas.
"Alana kamu gila!" Bentak Tisa.
"Kamu apa-apaan Alana!" Edo pun tak kalah kerasnya membentak Alana.
Alana tak perduli, setidaknya ia merasa puas telah berhasil membalaskan rasa sakit hatinya meski tidak sepenuhnya.
"Pengkhianat dan penggoda itu memang pantas untuk bersatu. Kalian sangat cocok, sama-sama menjijikkan. Tak punya perasaan, tapi ingat? Suatu hari kalian akan menuai karma dari apa yang kalian perbuat. Saat itu terjadi akulah yang akan tertawa lebih kencang. Aku berjanji akan membalaskan rasa sakit yang berhasil kalian beri ini. Setiap kata hinaan yang terlontar dari mulutmu telah ku rekam dengan baik-baik!"
Setelah berkata demikian, Alana langsung berlalu pergi. Meninggalkan Edo yang nampak kaget, dan Tisa yang dalam keadaan basah kuyup. Alana berlari masuk ke dalam lift.
Keluar dari lift, Alana langsung berlari menuju motornya tanpa perduli hujan yang deras.
Bruk!!!
Alana terjatuh ketika tubuhnya tak sengaja menabrak seorang lelaki.
"I'm sorry!" lelaki itu mengulurkan tangannya berniat membantu Alana.
"Aku baik-baik saja!" sahut Alana, seraya bangkit dari tempatnya tanpa membalas tangan lelaki asing itu. Alana terus berlari ke arah motornya, menerjang hujan deras, yang membuat tubuhnya basah kuyup. Bahkan ia sampai menggigil kedinginan. Tapi, Alan tak perduli, saat ini hatinya jauh lebih sakit ketika berusaha menerima kenyataan yang ada. Alana berkali-kali mencoba menyalakan motornya, sialnya karena terburu-buru ia merasa motornya sudah nyala. Lagi Alana menundukkan kepalanya, kembali menangis merasakan sakit di seluruh tubuhnya, bukan hanya hati ia merasa dari ujung kaki hingga rambut pun ikut sakit.
Sementara tak jauh darinya, lelaki yang tadi sempat bertabrakan dengan Alana, masih memandang perempuan itu dengan gurat wajah bingung. Entah perasaan apa yang mendorongnya begitu betah memandang Alana. Hingga perlahan motor Alana berhasil nyala, kemudian berlalu pergi.
Alana mengendarai motornya dengan pelan, air matanya tak henti menetes saat ini. Ia merutuki dirinya yang teramat lemah, hingga membuat Tisa berhasil menghinanya. Tapi ini memang sangat sakit? Alana tak mampu untuk bersandiwara berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Bila kenyatannya hatinya memang sakit.
Pantas saja. Ketika ia meminta untuk di kenalkan dengan keluarganya, Edo selalu berusaha mengalihkan pembicaraan, atau paling tidak menunda dengan mencari alasan. Namun, tak ia sangka jika saat itu Edo tengah bermain api di belakangnya.
Tiba di rumah Alana langsung memarkirkan motornya sembarang tempat, kemudian langsung berlari ke kamarnya, dan langsung ke kamar mandi. Alana menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya seraya terisak meratapi nasibnya.
"Edo sialan! Tisa brengsek. Kalian pengkhianat!" umpat Alana berkali-kali.
Biarlah untuk kali ini ia menyalurkan rasa sakitnya. Biarkan ia menumpahkan tangisnya, sampai keadaan tenang. Alana mampu mengendalikannya diri, tak akan menangis demi pengkhianatan itu. Tapi, saat ini Alana masih perlu waktu. Selama ini ia tak pernah dekat dengan lelaki ia pikir Edo adalah lelaki yang tulus, namun tak ia sangka lelaki itu adalah penjilat dan penjahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!