Selamat Pagi. Mama datang dengan karya terbaru. Semoga semua suka dengan novel ini. Mohon dukungannya.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Khayra Mafaza binti Muhammad Erik dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas di bayar ... Tunai," ucap Ferdinan Daaris Idrak dengan sekali tarikan napas.
"Bagaimana ...? SAH ... SAH ... para saksi?" tanya pak penghulu dengan kedua orang saksi.
"Sahhh ...!" jawab saksi serempak.
Khayra gadis yang cantik dan pintar. Dia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Di usianya yang memasuki 24 tahun, masih belum mau menikah.
Ibu tirinya menjodohkan Khayra dengan anak sahabatnya. Ibu kandungnya Khayra meninggal saat dirinya berusia delapan tahun.
Dua tahun kemudian, Ayah Khayra menikah dengan seorang janda yang memiliki seorang putri yang usianya satu tahun di bawah Khayra. Adik tiri Khayra bernama Naina.
Ferdinan memasangkan cincin pernikahan ke jari manis Khayra. Begitu juga sebaliknya. Khayra menyematkan cincin di jari manis Ferdinan suaminya.
Setelah itu kedua pengantin menandatangani buku nikah mereka. Khayra dan Ferdinan duduk bersanding di pelaminan, menerima setiap ucapan selamat yang datang dari keluarga dan sahabat terdekat mereka saja.
Resepsi pernikahan berlangsung secara sederhana. Khayra baru dua kali bertemu dengan suaminya ini. Pertama saat lamaran dan kedua hari ini, di pernikahan mereka.
"Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini? Bukankah kita belum saling kenal?" tanya Ferdinan dengan Khayra.
"Walau aku belum mengenal kamu, Mas. Aku bahagia menerima pernikahan ini. Bukankah pernikahan itu hal yang sakral dan merupakan ibadah."
"Apa kamu tidak memiliki kekasih? Kenapa mau menerima pernikahan ini?" tanya Ferdinan.
"Apa aku bisa menolak?" Khayra balik bertanya.
Ferdinan tersenyum miring menanggapi pertanyaan Khayra. Hingga jam sepuluh malam kedua pengantin masih menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.
Hingga jam sebelas malam, para tamu mulai sunyi. Khayra pamit ke kamar karena merasa lelah.
"Mas, aku boleh istirahat. Tamu undangan juga tersisa sedikit," ucap Khayra meminta izin pada suaminya itu.
"Pergilah? Jangan tunggu aku. Tidurlah segera! Aku masih ada acara. Aku mau kumpul-kumpul dengan temanku, sebagai pesta melepaskan lajang."
"Baiklah, Mas. Aku pamit dulu!" Khayra pamit dengan keluarganya dan juga keluarga Ferdinan.
Khayra masuk ke kamar dan menutup pintu kamar. Khayra memang tidak menguncinya, karena takut Ferdinan mau masuk saat dia tertidur.
Setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Khayra membaringkan tubuhnya di ranjang pengantinnya.
"Apakah ini yang dinamakan malam pertama? Malam terindah bagi pengantin baru. Namun tidak bagiku. Buktinya Ferdinan suamiku lebih memilih berkumpul dengan teman-temannya."
Khayra mencoba memejamkan matanya. Bukankah dia juga tidak mencintai Ferdinan. Pernikahan ini terjadi karena Khayra di ancam, jika tidak menerima perjodohan ini, dia akan di usir dari rumah.
Saat Khayra baru saja terlelap, dia merasakan seseorang mengecup dahi dan bibirnya. Khayra membuka matanya. Namun tidak dapat melihat wajah suaminya itu karena lampu kamar yang dimatikan.
"Mas, kamu nggak jadi pergi?" tanya Khayra dengan suara lembut.
Bukannya menjawab pertanyaan Khayra, pria itu mulai menaiki tubuh Khayra dan melecuti pakaian wanita itu. Sebagai seorang istri, Khayra hanya bisa menerima apa pun yang akan dilakukan suaminya.
"Mas, pelan. Kata temanku, saat melakukan pertama kali akan terasa sangat sakit."
"Jangan kuatir, Sayang. Aku akan melakukan dengan penuh perasaan agar kamu mengingat terus malam pertama ini,"bisiknya.
Mendengar suara pria itu, Khayra sedikit curiga. Sepertinya dia sangat mengenal suara itu. Namun, tidak mungkin jika orang itu bisa sampai ke sini.
Pria itu melakukan pemanasan sekitar setengah jam sebelum mencoba membobol aset berharga Khayra.
Beberapa kali mencoba akhirnya mereka dapat menyatukan tubuh mereka. Khayra merasakan tubuhnya remuk, karena ini pertama kali baginya.
Setelah mencapai puncak, pria itu menjatuhkan tubuhnya ke samping Khayra dan menarik pinggang wanita itu agar makin merapat ke tubuhnya.
"Aku mandi dulu, Mas. Baru kita lanjut tidur," ucap Khayra. Pria itu melepaskan pelukannya.
Dengan menahan rasa sakit di bagian inti tubuhnya. Khayra berjalan menuju kamar mandi. Setelah mandi Khayra yang ingin mengambil pakaian menghidupkan lampu kamar.
Khayra mengambil piyama dan memakainya. Setelah itu Khayra berjalan mendekati ranjang. Melihat tubuh yang membelakanginya Khayra menjadi curiga. Postur tubuhnya sangat berbeda dengan Feerdinan suaminya. Khayra seperti mengenal pria itu.
Khayra naik ke ranjang, dan memandangi wajah pria yang sedang terlelap itu. Khayra menutup mulut ketika sadar siapa yang telah tidur dengannya dan merenggut kesuciannya.
"Barra ...!" teriak Khayra tertahan. Suaranya membangunkan Barra. Pria itu tersenyum dengan Khayra
"Apa tadi kamu yang telah merenggut kesucianku?" tanya Khayra.
"Tentu saja, Sayang. Emangnya kamu pikir siapa? Suamimu? Dia saja masih di luar bersenang-senang dengan temannya.
"Kamu keterlaluan Barra! Kamu tahu'kan aku ini telah menjadi seorang istri. Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa kamu bisa masuk ke kamarmu?" ucap Khayra sedikit keras.
"Apakah kamu ingin semua orang menyaksikan kita berdua di kamar? Jika memang itu keinginan kamu, berteriaklah?"
"Kenapa kamu bisa masuk?" tanya Khayra dengan penuh penekanan.
"Ini rumahku. Tentu saja aku bisa masuk kapan saja aku mau!"
"Rumahmu?" tanya Khayra
"Ya. Ini rumah kediaman kedua orang tuaku," jawab Barra.
Barra dapat melihat kegugupan di wajah Khayra. "Maksudnya kamu dan Ferdinan bersaudara?" tanya Khayra. Barra hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
...****************...
Selamat pagi semuanya. Mama datang lagi dengan karya terbaru. Mama mengharapkan dukungan dari semuanya. Terima kasih.
Khayra kaget mengetahui kenyataan jika Barra mantan kekasihnya ternyata adik iparnya. Yang lebih membuat dia syok, malam pertama yang seharusnya dilewatkan dengan suaminya namun ditemani sang adik ipar.
Khayra tidak tahu harus berkata apa jika Ferdinan suaminya mengetahui jika kesuciannya telah direnggut adik kandung pria itu.
Khayra langsung mengusir Barra dan tidak meminta penjelasan apa lagi mengenai kejadian tadi malam.
Khayra melihat tempat tidur. Ferdinan suaminya belum juga pulang. Inikah yang dinamakan malam pertama malam terindah.
Bagi Khayra malam pertamanya, malam terburuk dalam hidupnya. Dia berhubungan dengan adik iparnya sendiri. Apa yang akan orang katakan jika mengetahui semua ini?
Khayra berjalan keluar kamar setelah mandi dan berdandan. Baru saja dirinya akan keluar kamar, terdengar suara ketukan. Khayra ragu membukanya. Takut Barra yang berada di balik pintu itu.
Ketukan makin keras terdengar. Khayra berjalan dengan ragu, dan membuka pintunya. Baru separuh terbuka, orang itu mendorong keras pintu hingga Khayra ikut terdorong.
"Mas, kenapa pagi baru pulang?" tanya Khayra lembut.
"Bukan urusanmu. Aku sudah katakan, jangan kunci pintu kamarnya! Jika ada yang bertanya tentangku, katakan saja aku keluar subuh karena ada kepentingan. Jangan sampai kau katakan jika aku keluar dari malam! Ingat itu!" ancam Ferdinan.
Pria itu langsung membaringkan tubuhnya. Khayra membukakan sepatu pria itu. Setelah yakin Ferdinan tertidur, Khayra kembali melangkah menuju ke dapur.
Di meja makan telah berkumpul kedua mertua dan Barra, adik iparnya. Khayra menunduk, tidak berani memandangi wajah Barra. Saat ini hatinya masih belum bisa menerima apa yang telah Barra lakukan.
"Ferdi-nya mana Khayra. Kenapa nggak di ajak sarapan sekalian?" tanya Ibu Ferdi.
"Masih tidur, Bu!" ucap Khayra.
"Masih tidur apa baru pulang dari klub," ujar Barra. Dia tahu betul kelakuan abangnya itu. Namun dia tahu, ibunya pasti akan terus membela anak kesayangannya.
Barra tidak tinggal se atap dengan kedua orang tuanya karena mereka lebih menyayangi Ferdianan. Setiap yang dilakukan pria itu selalu benar di mata kedua orang tuanya.
"Jangan ngomong sembarangan. Itu abangmu. Khayra nanti bisa percaya. Pasti ada kepentingan yang membuat dia harus keluar malam." Ibu masih terus membela Ferdinan.
Setelah sarapan, Khayra masuk ke kamar dan membersihkan kamar. Terutama jejak malam pertamanya dengan Barra, adik iparnya.
Setelah semua beres, Khayra keluar dari kamar. Berjalan menuju taman belakang. Wanita itu duduk termenung sambil memandangi kupu-kupu yang terbang menghinggapi bunga di taman.
Satu minggu Khayra mengambil cuti. Dan masih tersisa tiga hari lagi. Wanita itu tidak tahu apa yang harus dikerjakan di rumah mertuanya ini. Semua telah ditangani pembantu. Kedua mertuanya juga telah pergi kerja.
"Cantik, seperti bunga di taman," ucap Barra dan duduk di sebelah Khayra.
"Menjauhlah! Aku nggak ingin terjadi salah paham jika ada yang melihat."
"Kenapa mereka salah paham? Apa salah seorang adik ipar akrab dengan kakak iparnya?" tanya Barra lagi.
"Kenapa kau lakukan itu, Barra? Tidak cukup selama ini kau menyakitiku?" tanya Khayra dengan menahan air mata.
"Maafkan aku, Khayra. Aku salah karena memilih wanita lain. Sekarang aku sadar kamu yang terbaik. Jika mengenai malam tadi, aku memang sengaja melakukan karena Bang Ferdinan tidak pantas mendapatkan kesucianmu! Aku yang mencintaimu."
Barra tahu jika Ferdinan terpaksa menerima pernikahannya dengan Khayra hanya untuk membuktikan jika dirinya anak yang berbakti.
Ferdinan sendiri tidak pernah setia dengan satu wanita. Setiap malam dihabiskan bersama wanita berbeda di klub.
Awalnya Barra tidak mau datang di hari pernikahan abang-nya. Dia dan Ferdinan tidak pernah akur. Namun, Barra tidak ingin banyak yang bertanya tentang ketidak hadirannya.
Dengan terpaksa pria itu hadir, dan sangat terkejut saat melihat wanita yang menjadi istri Ferdinan adalah wanita yang hingga saat ini masih dicintainya.
"Hubungan kita telah berakhir sejak kau menduakan aku. Apakah ini yang dikatakan cinta jika kau sendiri menduakan aku.Cinta itu tidak pernah berbagi, karena itu tidak akan utuh lagi."
Khayra masih ingat saat dirinya melihat Barra berjalan berdua dengan wanita lain. Yang lebih menyakitkan lagi, Barra mengakui jika wanita itu kekasihnya.
"Maafkan aku, Khayra. Aku menyadari jika kamu yang terbaik. Aku ingin kita menjalin hubungan kembali. Kita bisa memulainya lagi," ucap Barra.
Khayra langsung membalikkan tubuhnya menghadap Barra. "Apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan itu? Aku ini kakak iparmu. Cukup sekali aku melakukan kesalahan. Itu juga karena aku tidak tahu jika yang aku layani kamu. Jangan buat aku seperti kamu. Berselingkuh!"
Khayra berdiri setelah mengucapkan itu. Dia sudah tidak ingin bicara dengan adik iparnya lagi. Namun, tangannya di tahan Barra.
"Khayra, aku serius. Aku masih mencintaimu. Kau tak pantas dengan Ferdinan. Kau hanya milikku!"
Khayra menyentakkan tangannya hingga pegangan tangan Barra terlepas. Dengan mata menyala Khayra menatap pria itu.
"Aku tidak akan mengkhianati pernikahanku. Perbuatan kamu tadi malam saja sudah cukup membuatku merasa hina karena mengkhianati suamiku!"
Setekah mengucapkan itu, Khayra berjalan dengan cepat meninggalkan Barra. Pria itu memandangi kepergian Khayra hingga hilang dari pandangannya.
"Aku akan mendapatkan kamu kembali. Tidak peduli statusmu saat ini adalah kakak iparku. Kamu wanita yang aku cintai," gumam Barra dengan dirinya sendiri.
Barra dan Khayra menjalin hubungan selama tiga tahun. Mereka berkenalan di tempat Khayra kerja. Hubungan kandas satu tahun lalu karena Barra berselingkuh dengan wanita lain.
Setelah berpisah Barra tidak pernah bertemu ataupun komunikasi dengan Khayra lagi. Barra baru menyadari jika dia sangat mencintai Khayra.
Khayra melihat suaminya telah berpakaian rapi. "Mau kemana, Mas?" tanya Khayra melihat suaminya yang sedang berdandan.
"Bukan urusanmu. Walaupun kita telah menikah bukan berarti semua kegiatanku kamu berhak tahu. Kita memiliki privasi. Lagi pula, kita baru berkenalan. Aku belum tahu pribadimu!" ucap Ferdi ketus.
Khayra hanya menarik napasnya mendengar ucapan Ferdi. Jika saja ayah dan ibu tirinya tidak memaksa menikah dengan alasan membayar hutang budi, Khayra juga tidak akan menerima perjodohan ini.
"Aku mengerti, Mas. Mungkin sulit bagi Mas menerima pernikahan ini. Namun, bagaimanapun aku saat ini adalah istrimu. Tidak ada salahnya aku tahu kemana kamu pergi'kan?" ucap Khayra dengan sedikit penekanan.
"Salah! Karena aku tidak pernah mencintaimu. Aku menerima pernikahan kita hanya karena aku tidak mau menjadi anak durhaka. Jadi jangan pernah mengharapkan pernikahan seperti di drama-drama yang penuh kebahagiaan!"
Ferdi mengambil dompetnya dan langsung keluar dari kamar meninggalkan Khayra yang masih bingung. Dia tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria itu.
...****************...
Selamat Pagi. Mama gemoi hadir dengan karya terbarunya. Jangan lupa Favoritkan dan like ya. Lope-lope sekebon jengkol. 😘😘😘💓💓💓💓
Sudah empat hari Khayra dan Ferdinan menikah. Namun pria itu tidak pernah menuntut hak-nya sebagai seorang suami.
Khayra tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Yang jelas Khayra masih bisa menutupi jika dirinya sudah tidak suci lagi.
Khayra berdandan. Hari ini pertama dia kembali bekerja. Ferdinan tampak masih terlelap dalam mimpinya. Pria itu pulang jam dua dini hari.
Khayra mendekati ranjang dan membangunkan pria itu dengan mengguncang tubuhnya pelan. Saat ini Khayra dan Ferdinan telah pindah ke apartemen.
"Mas, bangunlah. Sudah jam delapan. Apa Mas tidak kerja?" tanya Khayra sambil mengguncang tubuh suaminya itu pelan.
"Ada apa? Ganggu orang tidur saja!" bentak Ferdinan. Khayra kaget mendengar suara keras pria itu.
"Apa Mas tidak kerja?"
"Aku ini anak dari pemilik perusahaan. Tidak akan ada yang berani memecat! Kamu mengganggu tidur aku!"
"Aku hanya minta izin bekerja mulai pagi ini. Sarapan bisa mas panaskan nanti saat mau makan!" ucap Khayra.
"Jangan buat sarapan untukku! Aku tidak akan pernah menyentuh apa lagi memakannya."
"Baiklah, Mas. Mulai besok aku tidak akan membuat sarapan lagi!" ucap Khayra dengan penuh penekanan. "Aku pamit," ucap Khayra selanjutnya.
"Pergi aja tidak perlu izin dariku!" ucap Ferdinan dan kembali memejamkan matanya.
Khayra menarik napas dalam untuk meredakan rasa kecewa-nya. Wanita itu berharap pernikahannya berjalan semestinya walau mereka dijodohkan.
Dengan menahan tangis, Khayra keluar dari kamarnya. Berjalan memasuki lift dengan menunduk Khayra tidak melihat ada orang di dalamnya.
Orang itu menarik pinggang Khayra dan memeluknya. Khayra meronta ketakutan. Wanita itu ingin berteriak, namun belum sempat melakukan itu, mulutnya ditutup dengan tangan pria itu.
"Sayang, jangan berteriak. Nanti didengar orang," ucap pria itu yang tidak lain Barra, adik iparnya.
Khayra menengadahkan kepalanya menatap wajah Barra. Pria itu menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Jangan menangis, Khayra! Air matamu terlalu berharga untuk pria seperti Ferdi. Jika dia tidak menginginkan kehadiran kamu, ingat ada aku yang selalu menunggu kamu untuk kembali bersama."
Tangis Khayra yang dari tadi di tahan akhirnya pecah. Wanita itu menangis terisak sambil memukul dada bidang Barra.
"Kenapa kau dan Mas Ferdi tega menyakiti aku. Apa salahku? Apakah aku tidak pantas untuk dicintai?" ucap Khayra sambil menangis.
Barra kembali memeluk tubuh Khayra. "Maafkan aku, Sayang. Aku menyesal karena pernah menyakiti kamu. Aku akan menebus semua kesalahanku. Beri aku satu kali kesempatan lagi, untuk membuktikan jika aku mencintaimu."
Kali ini Khayra tidak berusaha melepaskan pelukan Barra lagi. Dia menumpahkan tangisnya di dada Barra.
Hingga lift berhenti, barulah Khayra melepaskan pelukannya. Wanita itu keluar dari lift dengan tergesa. Dia berjalan menuju halaman parkir.
Saat Khayra ingin memanggil taksi, tangannya ditahan seseorang. "Biar aku antar ke tempat kerjamu!" ucap Barra dengan menarik tangan Khayra menuju mobilnya.
Khayra hanya pasrah dan mengikuti kemana langkah kaki Barra. Setelah mereka masuk ke mobil, Barra menjalankan dengan kecepatan sedang.
Di dalam mobil keduanya saling diam, larut dengan pikiran masing. Khayra masih. mengingat ucapan Ferdi tadi.
Sungguh menyakitkan menjadi orang yang selalu berusaha menjadi apa yang dibutuhkan orang lain, tetapi tidak pernah dihargai. Yang lebih buruk dari dibenci adalah diabaikan karena kamu seperti tidak ada sama sekali, dan kehadiranmu bukanlah apa-apa. Luka terdalam adalah ketika kamu tak mampu melihat dengan mata, dan kesedihan terpendam adalah ketika kamu tak mampu mengucapkan dengan kata-kata. Ikhlas seakan menjadi cara terakhir saat semua yang kita inginkan tidak bisa lagi kita raih dan dapatkan.
"Terima kasih," ucap Khayra saat sampai di halaman parkir tempat dia bekerja.
Khayra bekerja di salah satu supermarket di kota itu. Wanita itu hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, sehingga hanya bisa kerja di toko-toko. Namun, Khayra bahagia. Saat ini dirinya memegang jabatan kasir dan gaji juga telah sesuai UMR.
"Jam berapa pulang? Aku jemput nanti!" ucap Barra.
"Nggak usah! Aku bisa pulang sendiri."
"Atau aku tunggu dari jam tiga sore di sini!"
"Barra! Mengertinya. Jika kita tidak baik sering bersama. Akan menimbulkan fitnah."
"Aku tunggu di sini ya. Sampai kamu pulang!" ujar Barra mengacuhkan ucapan Khayra.
Barra ingat saat berkenalan dengan Khayra, wanita itu bekerja di sebuah toko pakaian. Jika shift pagi, dia pulang jam empat sore.
"Aku pulang jam setengah lima," ucap Khayra akhirnya. Barra tersenyum mendengar jawaban dari wanita itu.
"Aku tunggu jam empat di sini. Ingat! Jangan menangis lagi untuk pria yang tidak pantas kamu tangisi. Nanti jangan beli makan siang. Aku yang akan pesankan untukmu!" ucap Barra.
"Aku bawa bekal," ucap Khayra memperlihatkan bekal yang dibawanya. Barra turun dari mobil dan mendekati wanita itu.
"Pasti hanya nasi goreng. Sini buat aku sarapan. Kebetulan aku belum sarapan." Barra mengambil bekal itu dari tangan Khayra. "Aku akan menggantinya dengan makanan lain. Masuklah. Selamat bekerja!" ucap Barra.
Khayra berjalan masuk ke dalam super market itu. Barra melihatnya hingga wanita itu hilang dari pandangan.
"Aku akan merebutmu dari Ferdinan. Kau tak pantas untuk pria seperti dia," gumam Barra dengan diri sendiri.
***
Tepat jam 4 sore Barra telah menunggu di depan tempat kerja Khayra. Pria itu akhirnya masuk untuk melihat Khayra. Barra hanya membeli satu botol air mineral.
"Kenapa kecepatan sih jemputnya?" tanya Khayra saat Barra berada di kasir.
"Aku takut kamu bohong. Siapa tahu pulang jam 4," ucap Barra sambil tersenyum.
"Aku nggak pernah bohong. Mungkin kamu keseringan bohongin orang jadi ketakutan sendiri jika dibohongi."
"Jangan menyindir!" ucap Barra.
"Aku bukan menyindir, tapi mengatakan kebenaran yang terjadi. Sudah sana! Yang lain mau antri juga!" Usir Khayra saat ada pembeli yang akan membayar belanjaan.
"Aku tunggu di luar. Oke!" ucap Barra dan berjalan dengan hati gembira.
Sepertinya Khayra sudah mulai bisa menerima dirinya lagi. Terbukti wanita itu sudah tidak ketus lagi.
...****************...
Selamat Pagi. Semoga semua dalam lindungan Tuhan. Aamiin.
Mama beri bonus visual biar ngehalunya makin lancar.
Barra
Khayra
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!