Pemandangan luar apartemen pada malam hari tak pernah membuatnya jemu. Ia selalu menatap pemandangan jalanan kota dari atas balkon apartemen hampir setiap malam sebelum terlelap di atas ranjang dingin miliknya.
Jayden, mengisap vape miliknya sekali lagi. Kepulan asap yang keluar dari mulut ia biarkan mengudara seperti angannya.
Kriing!
Jayden melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja samping kursi yang ia duduki. Satu panggilan dari nama yang sangat akrab dengan dirinya akhir-akhir ini.
"Ya?" Jayden menjawab panggilan tersebut dengan sikap malas.
" ... "
"Aku sedang tidak mood. Kau bisa pergi tanpa aku."
Klik! Jayden memutus sambungan telepon.
Jay menyesap kopi terakhirnya lalu beranjak kembali ke dalam ruangan.
Jayden melirik jam kecil di atas kabinet sudut ruangan tersebut. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Masih terlalu sore untuk tidur. Tentu saja! Apalagi malam ini adalah malam minggu yang notabene banyak orang menghabiskan malam dengan teman atau bahkan pasangan.
"Pasangan? Cih!" Jayden berdecih.
Sudah genap dua tahun ia menyendiri. Bukan karena Jayden tak laku. Ia bahkan memiliki semua yang menjadi kriteria para wanita.
Laki-laki tampan berparas bule dengan materi yang berlimpah sebagai pewaris satu-satunya perusahaan ternama yang bergerak di bidang logistik Kencana Group, juga pendiri sekaligus pemilik perusahaan permen yang ia geluti dua tahun terakhir. Wanita mana yang tak akan takluk oleh pesona luar dalam Jayden. Tapi Jay tak pernah mau berurusan dengan wanita. Hatinya seperti sudah tenggelam dan mati bersama dengan kisah masa lampau dengan mantan istrinya.
Yup! Jayden adalah duda kaya nan tampan. Istrinya mengalami kecelakaan dua tahun silam.
"Aku tidak mau minum ini!" desahnya.
Seperti malam-malam sebelumnya. Ia selalu tak bisa melelapkan tubuhnya. Selalu saja memerlukan obat untuk tidur.
Malam ini pun ia sudah siap menenggak pil tidur yang selalu tersedia di dalam nakas. Namun, kali ini ia memutuskan untuk mengurungkan kebiasaannya itu. Ia lantas menyambar ponsel dan kunci mobil dan bergegas keluar dari apartemennya. Jayden perlu udara segar!
***
"Tolong aku, malam ini saja, ya? Ku mohon ... "
Pemilik kedua manik mata lentik itu tak berkedip, menatap sosok wanita di hadapannya yang tengah mengiba sambil menyatukan kedua telapak tangan.
"Tapi, aku ... "
"Ayolah, Bunga ... Malam ini saja tolong aku. Biar kutebus kebaikanmu malam ini dengan menjaga Dion esok. Bagaimana?"
Wajah wanita yang bernama Bunga nampak ragu tapi ada secercah perasaan tak tega pada sahabatnya itu.
"Baiklah ... Malam ini saja ya, Vidya?"
"Oke, deal! Terima kasih banyak. Aku berhutang nyawa padamu. Kau memang sahabatku yang paling baik sejagat raya."
Bunga memutar bola matanya, jengah.
"Baiklah, kalau begitu ini kunci motorku dan ini kunci lokerku. Di dalam loker ada seragam yang harus kau kenakan saat bertugas nanti."
Bunga menerima dua kunci dengan gantungan yang berbeda. Salah satunya adalah kunci loker tempat Bunga menggantikan posisi Vidya malam ini.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Pacarku sudah menungguku di ujung jalan ini. Kau bekerjalah dengan baik ya?" ujarnya sambil menepuk bahu Bunga lalu pergi tanpa rasa bersalah.
"Haish ... Dia tidak pernah berubah sejak dulu, selalu mementingkan percintaan daripada pekerjaan, hemmh ... " gumam Bunga sambil beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Ia melirik sekilas jam dinding di ruang tamunya. Jam di dinding ruang tamu tersebut berdetak tepat ke angka tujuh malam.
"Aku masih punya waktu satu jam untuk memulai pekerjaan Vidya. Sebaiknya aku bersiap sekarang," gumam Bunga.
***
Jalanan malam akhir pekan selalu padat dan ramai. Sepanjang jalan ada saja pasangan muda mudi yang berjalan santai sambil berpegang tangan ataupun yang berkendara berduaan sambil sang wanita memeluk dari arah belakang sang pria.
Jay hanya melihat sekilas. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Dulu sekali, dadanya pernah nyeri melihat pemandangan tersebut. Ia iri melihat mereka yang mengumbar kemesraan di jalan. Tapi, kini hatinya sudah beku. Ia tak lagi peduli dengan kemesraan itu.
"Sial! Kenapa di depan macet sekali. Argh!" umpat Jay saat laju mobilnya mulai melambat karena sesuatu.
Jay gusar. Seharusnya ia minum saja pil tidur, dan terlelap malam ini. Tapi entah mengapa hati dan pikirannya menggerakkan kakinya untuk melangkah keluar apartemen tanpa tujuan.
Jay menoleh ke sisi kanan jalan. Ia melihat kendaraan lain pun merasakan gusar yang sama dengan dirinya. Ada beberapa pengendara mobil yang tak sabar lantas menekan klakson berkali-kali. Membuat bising suasana malam itu.
Pupil mata Jay tiba-tiba saja membulat saat sebuah suara klakson mungil menyapa telinganya. Ia menoleh dan menangkap satu sosok yang sangat ia kenali di ingatannya.
Sosok itu duduk di atas sebuah kendaraan beroda dua dengan mengenakan pelindung kepala berwarna pink. Jarak Jay dan dirinya hanya terhalang oleh satu mobil pick up saja.
"Aku tidak sedang berhalusinasi 'kan?!" guman Jay bermonolog.
Jay mengucek mata dan sedikit memicingkan kelopak matanya. Ia berusaha memperjelas pandangan matanya.
"Aku tidak mungkin salah. Dia ... "
Tiiiinn !!!!
Suara klakson dari mobil di belakang Jay berbunyi nyaring dengan gusar.
Jay tersentak. Ia menoleh ke arah depan, ternyata laju kendaraan sudah mulai lancar. Jay terpaksa menginjak pedal gas.
"Ke mana dia?!"
Mata Jay memindai. Ia berusaha mencari keberadaan sosok yang ia lihat saat macet tadi.
"Argh sial! Aku kehilangan dia!" maki Jay kesal sambil memukul asal kemudi mobilnya.
Pikiran Jay mendadak semakin kalut. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam otaknya.
"Kenapa dia ada di kota ini? Bukankah ia berada di luar kota demi mengejar cita-citanya? Haish ... Astaga! Aku bahkan belum yakin, sosok yang ada di seberang itu adalah dia!"
***
Udara malam begitu menusuk tulang Bunga. Ia merapatkan jaket jeans miliknya. Hanya itu yang ia punya, setidaknya begitulah ia menyebutnya, sebab sebagian banyak pakaiannya, ia tinggalkan di kota perantauan.
Bunga menyalakan mesin motor matic milik Vidya. Malam ini, Bunga diminta oleh Vidya menggantikan tugasnya bekerja di salah satu cafe ternama di kota Kembang. Vidya mengalihkan kewajibannya pada Bunga sebab ia harus bertemu dengan pacarnya yang baru saja tiba dari luar kota.
"Dasar kau Vidya! Seenaknya saja mengalihkan kewajiban padaku," keluh Bunga sambil menjalankan motor tersebut.
Bunga tak sampai hati kesal pada sahabatnya itu, ia malah merasa berhutang banyak pada Vidya karena sudah memberi tempat bernaung untuknya selama ia belum mendapatkan pekerjaan. Tapi, mendapat tugas yang mendadak seperti saat ini, Bunga sangat tidak suka.
Bunga memelankan laju motornya. Sesuatu tiba-tiba menghambat perjalanannya.
"Haish ... Kenapa tiba-tiba macet? Astaga ... "
Bunga gusar, ia sesekali melongok jam tangan mungil di tangan kirinya. Ada lima belas menit lagi waktu tersisa. Ia takut terlambat datang ke cafe. Sebuah konsekuensi yang harus ia tanggung jika terlambat adalah bayaran Vidya yang akan dipotong oleh pemilik cafe.
"Ck ... Cepatlah bergerak ... !"
Bunga membunyikan klakson motornya tak sabaran.
"Akhirnya sampai juga. Yes masih tersisa lima menit lagi, ayo cepat! Cepat!" ujar Bunga memotivasi dirinya sendiri.
Ia bergegas menanggalkan helm lalu berlari kecil masuk ke dalam cafe melalui pintu belakang.
Biipp!
Tanpa ba-bi-bu lagi bagai sedang menjalani perlombaan lari, Bunga langsung menjangkau dan menekan tombol pada mesin absensi.
"Syukurlah, aku tidak terlambat."
Bunga tak lantas membuang waktu yang tersisa. Ia bergegas menuju ruangan tempat loker berada. Membuka pintu loker lalu mengeluarkan benda yang Vidya sebut seragam dari dalam itu.
Bukan baju ataupun celana yang dimaksud seragam, tapi hanya sebuah celemek berwarna merah dan topi dengan warna senada yang Bunga dapatkan. Bunga tak harus bertanya pada karyawan lain untuk petunjuk pemakaian ataupun tugas yang harus ia kerjakan di cafe tersebut, sebab ia sudah beberapa kali menggantikan Vidya bekerja di cafe tersebut. Bahkan pemilik cafe tak keberatan jika Bunga bekerja sebagai karyawan tetap.
Namun tawaran baik itu Bunga tolak halus. Tidak maksud menolak rizki hanya saja, ia ingin bekerja pada bidang yang sangat ia sukai, sekretaris. Bukan sebagai pelayan di cafe tersebut.
"Hei, Bunga ... Jadi, malam ini juga si Vidya melempar tanggung jawabnya padamu?"
Bunga menoleh. Ia baru saja selesai mengikat tali celemek di belakang pinggangnya. Seorang laki-laki yang usianya lebih muda di bawah Bunga menyapa.
"Yup ... Di sinilah aku, menggantikan tugas Vidya, lagi ... " jawab Bunga sambil tersenyum miris.
"Ah, iya Za, kau tahu di mana pin milik Vidya? Aku mencarinya di dalam loker tapi tak kutemukan sejak tadi," sambung Bunga sambil mengacak-acak isi loker Vidya.
"Pin? Ah, mungkin saja ada di laci sendok. Ia sering sekali terlupa dan selalu karyawan lain yang menyimpan pin tersebut di laci sendok," sahut laki-laki yang dipanggail dengan sebutan Za tadi.
"Baiklah, kalau begitu aku ke depan untuk bersiap. Terima kasih, Reza." Bunga bergegas melangkah menuju rak sendok yang dimaksud.
"Hey, Bunga! Seharusnya kau tak membiarkan ia memanfaatkanmu."
Suara Reza menghentikan langkah Bunga. Ia menoleh sekilas lalu tersenyum tipis lalu berlalu meninggalkan Reza tanpa balasan kalimat dari Reza. Bunga tak harus mengomentari ucapan Reza, karena ia yang paling tahu siapa yang memanfaatkan siapa.
***
Laju mobil Jay memelan. Jarum pengukur kecepatan beradu pada angka 40 kilometer per jam. Ia melaju tak tentu arah.
"Di mana dia? Seharusnya aku bisa menemukannya ... " gumam Jay sambil menoleh ke kanan dan kirinya.
Jay masih penasaran dengan penglihatannya beberapa waktu tadi.
Ia merasa melihat seseorang yang pernah menerangi hatinya beberapa waktu silam sebelum harus dipadamkan secara paksa oleh sang pujaan hati.
Jay memutuskan menepi sejenak di tepi jalan. Pikirannya tak menentu. Ia meraup wajahnya gusar dengan kedua telapak tangannya.
"Aku mungkin hanya berhalusinasi karena efek dari obat-obatan yang ku konsumsi," desah Jay.
Jay menilik jam di tangannya. Ia ingin kembali ke apartemennya tapi tiba-tiba saja ponselnya berdering.
"William? Tak biasanya dia meneleponku malam-malam begini. Hallo?"
Jay menerima sambungan telepon dari William --sekretarisnya di kantor pusat.
"Kau atur saja jadwalku seminggu ke depan. Aku percaya padamu."
"...."
"Hm ... merepotkan. Bukankah aku tak harus ikut merekrut karyawan baru? Kau bisa memberikan tugas wawancara pada bagian personalia seperti biasanya."
"...."
"Hm ... peresmian kantor cabang ya? Coba ulangi, kapan aku harus menghadiri peresmian itu?"
"...."
"Baiklah, mungkin aku akan mampir sebentar. Kau atur saja semua keperluanku."
Klik!
Jay mematikan ponselnya.
"Haish ... jadwalku minggu depan akan sangat padat. Aku rasa, aku butuh menyegarkan diri malam ini," gumam Jay.
Jay menjalankan mobilnya kembali. Ia tak berniat untuk pulang cepat kali ini.
***
"Hai Bunga!"
"Oh, hai Shasya. Kau nampak sangat kewalahan malam ini. Apa semua baik-baik saja?" desis Bunga di dekat telinga Shasya.
"Yeah ... Kau tahu, malam ini adalah malam minggu. Cafe akan selalu sibuk saat suasana semakin malam. Ditambah lagi, akan ada tamu agung yang mampir ke tempat ini," sahut Shasya tanpa menghentikan gerakannya meletakkan beberapa cangkir untuk diisi oleh sang coffe maker dari dalam rak cangkir.
Malam ini gerakan Shasya di atas tempat pencuci piring lebih cepat dari biasanya. Banyak cangkir dan piring yang telah habis dilibasnya bersama sabun pencuci piring. Dan lagi salah satu karyawan yang bertugas menyajikan cangkir-cangkir tak datang malam ini.
"Tamu agung? Siapa?" Seketika rasa ingin tahu Bunga menggelitik hatinya.
"Yeah ... aku tak tahu pasti, yang kutahu hanya tamu agung itu adalah laki-laki tampan nan jutawan. Ah ... seandainya malam ini aku ditugaskan sebagai pengantar makanan untuknya," celetuk Shasya sambil menerawang keinginannya.
"Semua tamu laki-laki yang datang ke sini juga sering kau bilang tampan. Lalu level tampan setinggi apa sampai kau mau bertukar tugas denganku?" ejek Bunga.
Shasya sontak melirik ke arah Bunga. Ia memindai kostum yang dikenakan Bunga.
Perfect!
"Kau benar! Aku seharusnya mengenakan celemek dan topi itu. Bagaimana kalau kita bertukar tugas malam ini? Aku yakin bos tak kan tahu perbuatan kita. Dia akan sibuk dengan persiapan penyambutan tamu agung itu."
Sebuah ide gila mendarat di kepala gadis itu.
"Kau gila! Jangan seret aku dalam masalah. Ah, sudahlah, aku harus mengantar pesanan kue ini," tampik Bunga sambil bergerak hendak mengambil nampan dengan dua piring kecil berisi kudapan ringan pesanan pelanggan.
"Auch! Shasya ... kau hampir saja membuatku menjatuhkan nampan ini! Astaga!" rutuk Bunga kesal.
Shasya tanpa tuding aling-aling, mencekal tangan Bunga.
"Aku serius Bunga ... aku harus menjadi pelayan malam ini. Biar kuantar makanan ini."
Bunga menghela napas gusar.
"Ayolah Bunga ... kalau kau mengijinkanku bertukar posisi, maka aku akan mendekatkanmu dengan Alex."
Bola mata Bunga langsung melotot. Tidak! Tidak dengan Alex.
"Hei, kau tak harus melakukan itu. Jika kau mau kita bertukar posisi. Maka, ambil saja celemek ini. Aku tak menginginkan imbalan seperti yang kau tawarkan barusan," ujar Bunga cepat.
Ia membuka tali celemek dan melepaskan topi pelayan. Ia tak mau ada kesepakatan bodoh berlaku dalam hidupnya terkait laki-laki.
Wajah Shasya langsung semringah.
"Baiklah, jika kau tak mau itu sebagai imbalan kebaikanmu malam ini. Katakan saja jika kau butuh aku lain kali. Terima kasih untuk ini!" ujar Shasya sambil menunjuk pada celemek yang ia kenakan lantas bergegas pergi meninggalkan Bunga. Nampan berisi pesanan pelanggan pun sudah disambar oleh Shasya.
"Haish ... tadi itu hampir saja ... astaga! Aku tidak mau berurusan dengan laki-laki sementara waktu. Hidupku sudah terlalu kacau oleh laki-laki."
Yup ... pilihan tepat untuk malam ini.
Jayden baru saja turun dari mobilnya, lantas dengan sigap petugas parkir menghampirinya dan memberikan salam hormat lalu menerima kunci mobil Jayden.
Petugas parkir sangat tau apa yabg diinginkan tuan Jayden, yakni memarkitkan mobilnya ke tempat parkiran yang aman.
"Selamat datang di cafe Bulan, tuan Jayden. Apa ada yang bisa kami bantu?" ucap pak Marvel sesampainya Jayden ke pelataran cafe.
Pak Marvel menyambut kedatangan seorang laki-laki berpenampilan kasual dengan kaos hitam dan jeans biru navy, dengan sangat ramah. Seluruh pegawai pun sudah dikondisikan olehnya agar berdiri menyambut tamu agung tersebut.
Suasana di cafe masih ramai pengunjung, tapi tak membuat pemilik cafe Bulan itu kesulitan untuk mendapatkan perhatian dari sang tamu agung.
Suara-suara sumbang dari para pelangan yang hadir pun mulai terdengar. Ada pula yang sengaja mendekat demi melihat sang tamu agung, termasuk Shasya.
"Aku hanya perlu meja dekat dengan jendela untuk minum kopi terbaik dari cafemu. Bisa kau siapkan untukku?" sahut sang tamu agung yang tak lain adalah tuan Jayden.
"Tentu saja bisa, tuan! Baiklah aku akan suruh pegawaiku untuk menyiapkan permintaan anda."
Pak Marvel mempersilakan Jayden masuk ke dalam cafe dengan diiringi dua pegawai yang ditunjuk olehnya.
Shasya dengan sigap menyikut pegawai yang akan ditunjuk pak Marvel agar dirinyalah yang menjadi orang beruntung tersebut.
"Saya siap melayani tuan Jayden, pak!" sahutnya tegas.
"Baiklah Shasya, tolong tunjukkan tuan Jayden meja khususnya."
Dengan sigap Shasya menggiring Jayden menuju meja yang diinginkan Jayden. Sebuah meja dengan satu kursi dekat dengan jendela di sudut ruangan cafe.
Jayden tak ingin ada yang mengganggu altivitasnya menikmati malam minggunya yang sepi.
"Mohon tunggu sebentar, saya akan menyiapkan pesanan tuan," ujar Shasya sopan.
Setelah mendapat persetujuan dari Jay dengan isyarat sebuah anggukan dari dagu Jay, Shasya langsung undur diri dan bergegas menuju ke belakang display. Ia tergopoh-gopoh menuju pembuat kopi.
"Astaga Shasya ... ! Hati-hati dengan langkahmu! Kau hampir saja menabrakku. Lihatlah, kopi dalam cangkir ini sampai bergetar akibat senggolan sikumu. Haish ... " rutuk seorang pegawai yang hampir saja ditabrak Shasya.
"Maafkan aku .. aku tergesa-gesa. Tuan Jay memesan menu spesial saat ini juga. Aku sangat gugup sampai-sampai tak melihatmu berjalan di depanku," dalih Shasya.
Bunga melihat pertengkaran kecil Shasya lantas mendekati.
"Memangnya, siapa tuan Jay sampai-sampai kau begitu tergesa-gesa?"
"Astaga, Bunga ... kau tidak tahu siapa tuan Jay? Kau dari planet mana sih?" seru seorang pegawai lagi yang kemudian ikut nimbrung.
"Memangnya siapa dia? Haruskah aku mengenalnya?" sahut Bunga cuek.
Kini Shasya yang merespon ucapan Bunga dengan menepuk kilat dahinya.
"Ah kalian ini buatku pusing saja! Ayo cepat siapkan pesanan tuan Jay. Aku tak ingin dia menunggu lama," ujar Shasya.
"Dan kau, Bunga. Nanti kuceritakan siapa tuan Jay selepasnya pergi dari cafe kita. Ayo siapkan cangkir kopi untuknya. Pilih cangkir yang terbaik."
Bunga memutar bola matanya jengah. Ia sedikit kesal dengan yang namanya Jay. Rasanya, seperti semua orang mendewakan dirinya sampai-sampai cangkirpun harus dipilih yg terbaik. Memangnya ada cangkir yang berbeda? Toh semua cangkir sama jenis dan bentuknya. Tak ada yang beda.
"Haish ... Bikin kesal saja! Kenapa semua nama Jay selalu menjengkelkan! Jay itu pun sama menjengkelkan!" rutuk Bunga sambil menyiapkan cangkir dan piring "terbaik" untuk tuan Jay.
Sementara itu, di tempat lain, yakni di kursi sudut ruangan cafe, Jay tengah sibuk dengan ponselnya. Ia tak peduli dengan sekitarnya yang hiruk pikuk dengan aktivitas mereka.
Jay bahkan tak peduli pada beberapa gadis yang mencoba mendekatinya. Sikap arogan dan dingin, ia tampilkan demi mengusir para wanita yang ingin mengobrol dengannya.
Meja itu hanya menyediakan satu kursi. Dan itupun atas permintaan Jay. Ia hanya membutuhkan satu kursi, ucapnya saat pemilik cafe kebingungan dengan permintaannya.
"Silakan dinikmati kopi dan camilan unggulan di cafe ini, tuan."
Tak lama, Shasya datang membawa nampan berisi hidangan terbaik di cafe itu.
Laki-laki itu mengangguk pelan.
"Ya terima kasih. Letakkan saja di atas meja."
Jay bahkan tak menatap Shasya. Ia masih berkutat ada ponselnya.
Shasya pun menyerah. Hanya sebatas itu ia bisa dekat dengan sang idola hati. Padahal dalam hatinya, ia ingin sekali bisa mengobrol meski sedikit.
"Kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Seharusnya kau senang karena keinginanmu bertukar posisi denganku terwujud?" tegur Bunga saat ia melihat Shasya berjalan tak semangat menuju dapur.
"Yeah ... Aku senang, tapi aku sedih," tuturnya sambil duduk di salah satu kursi dapur yang tersedia untuk pegawai yang hendak beristirahat sejenak. Ia duduk termangu dengan wajah lesu.
"Kau senang tapi sedih. Bagian mana
sebetulnya yang kau rasakan saat ini? Aneh sekali kau ini!" kekeh Bunga sambil mengeringkan piring-piring yang telah ia cuci.
"Aku senang bertukar posisi denganmu, tapi sekaligus aku juga merasa sedih karena sang pujaan hatiku tak menatapku sedikitpun."
"Astaga Sha ... Kupikir kau sedih karena hal yang penting. Ternyata hanya karena hal sepele kau merasa sedih. Haish ... "
Bunga terkekeh. Ia merasa geli karena melihat tingkah Shasya yang murung hanya karena sang tamu agung tak memandangnya.
"Sepele katamu? Suatu keberuntungan jika bisa ditatap oleh sang pujaan hati. Dia itu dewa, Bunga! Semua wanita menginginkan menjadi kekasihnya meski hanya sehari!" tuturnya menggebu.
"Semua wanita? Termasuk aku? Kurasa tidak! Ah, sudahlah ... Tak perlu larut dalam kesedihan yang sia-sia. Lagipula siapa kita sampai-sampai si tuan harus memandang ke arah kita. Kita hanya orang kecil yang tak ada harganya di mata si tuan," ujar Bunga ketus.
Shasya hanya mendengkus kesal mendengar penuturan Bunga. Ia pun kembali ke tempatnya, melanjutkan pekerjaan sebagai pengantar makanan.
"Dewa? Cih ... Aku pernah bertemu dengan dewa juga. Dewa arogan!" gumam Bunga.
Sejenak ia teringat masa lalunya dengan mantan kekasih.
"Hei! Kau sedang memarahi piring-piring itu?"
Bunga menoleh. Ia tersentak karena kegiatannya merutuki masa lalu diketahui oleh orang lain.
"Alex ... Ah, tidak. Aku hanya sedang bergumam saja," sahut Bunga malu.
"Yeah ... Kau memang sering seperti itu jika sudah berkutat dengan pekerjaan. Oh, ya ... Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu," ujar laki-laki yang belakangan diketahui menyukai Bunga itu.
Ia mendekati Bunga. Bunga sedikit merasa kikuk.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Hati Bunga semakin tak keruan. Ia takut Alex akan berbuat yang tidak baik padanya.
"Kau mau apa?" ujar Bunga sedikit takut.
"Aku hanya mau memberitahumu ini."
Alex menunjukkan benda pipih kotak pada Bunga. Ponsel Alex!
Ponsel itu menyala dan langsung menampilkan sebuah situs lowongan kerja.
"Bukankah ini yang selalu kau inginkan?"
Bunga memberanikan diri menerima uluran ponsel dari tangan Alex.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!