Di kamar Wulan saat semua penghuni sedang tidur. Terdengar suara syahdu mengalun.
"Mas ...."
Suara ******* nafas dari dua insan berbeda kelamin saling bersahutan di tengah malam yang dingin dan gelap. Dinginnya pendingin ruangan tidaklah membuat dua insan itu mengurai aktivitasnya, tapi semakin membuat keduanya mengeratkan himpitan tubuh mereka.
"Wulan, Argh ...."
Ridho mencapai pelepasannya dengan memekik nama wanita yang baru tiga bulan ini mengisi malam-malam dinginnya. Wulan yang disebut namanya pun tersenyum menyeringai. Dia merasa puas karena berhasil membuat suami dari adiknya ini takhluk dibawah selangkangannya. Tidak percuma tiap hari dia bersandiwara menjadi kakak ipar yang baik dan pengertian.
Keesokan harinya ...
"Mas, kenapa akhir-akhir ini mas sering tersenyum sendiri?" tanya Tia pada suaminya. Hampir tiap hari dia melihat suaminya itu basah rambutnya. Tia hanya bisa heran melihat perubahan suaminya itu. Hampir setiap malam dia lebih dulu tertidur di samping suaminya. Sudah hampir tiga bulan ini dia tidak mendapatkan nafkah bathin dari suaminya.
"Tidak ada, biasa aja. Aku tersenyum karena perusahaan sedang mengalami kemajuan. Kamu minta apa pun pasti mas berikan," ucap Ridho seraya menyisir rambutnya di depan cermin rias.
Tia tersenyum, tidak biasanya Ridho menawari untuk meminta barang. Semenjak kedatangan Wulan sang kakak perempuan di rumah yang dia huni bersama suami dan kedua orang tuanya, Tia merasakan kalau Ridho lebih perhatian dan baik kepadanya. Tia bersyukur Wulan membantu perubahan suaminya itu.
Wulan sering membantu Tia untuk mengurus rumah dan memberi nasehat untuk keharmonisan rumah tangga Tia.
"Mas, apa aku boleh membeli perhiasan untukku? Aku sangat menginginkan cincin yang lagi viral itu Mas. Ditengahnya ada batu permata berwarna merah, dan itu hanya ada di toko perhiasan langganan ibu," pinta Tia. Sebenarnya Tia tidak ingin apa-apa tapi untuk mengingat perubahan suaminya dia ingin cincin sebagai tanda kapan suaminya berubah baik.
"Baiklah sayang, apapun keinginanmu akan aku turuti. Kamu pergi bersama Mbak Wulan aja biar ada yang menemani, dan biar Mbak Wulan yang memegang ATM Mas agar kamu tidak kesusahan, Okey?" ucap Ridho yang memasang arloji mahalnya di pergelangan tangan.
Tia mengerutkan dahinya. "Mas, mengapa mbak Wulan yang bawa ATM nya? Bukankah aku yang menjadi istrimu?" Tia menatap heran pada suaminya.
"Sudah mas bilang, bukan apa-apa. Mas hanya ingin kamu tidak kerepotan, kamu tinggal pilih cincin biarkan mbak Wulan yang ambil uangnya di ATM. Bukankah itu lebih memudahkan dan meringankan dirimu?" jawab Ridho dengan nada merayu. Ada maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
Tia berpikir benar juga kata suaminya, dengan mengajak Mbak Wulan dia akan ada yang menemani. Apalagi untuk masalah ATM memang Tia belum terlalu bisa menggunakan kartu ATM takut kartu itu tertelan di mesin ATM nya.
"Okey, Mas, nanti biar aku bilang pada Mbak Wulan." Tia membantu suaminya merapikan dasi dan kemejanya sebelum turun ke meja makan untuk sarapan. Setelah selesai mereka pun turun bersama menuju meja makan yang sudah terhidang berbagai masakan.
Di meja makan.
"Kalian sudah turun?" sambut Wulan yang tengah menghidangkan sayur yang baru saja dia masak. Semenjak Wulan ikut tinggal di rumah Tia dan Ridho, dia yang mengambil alih dalam hal memasak.
Tia mengambil nasi dan beberapa lauk juga sayur untuk suaminya, sedang Wulan duduk di sebelah Tia dan ibunya. Sesekali Ridho mencuri pandang pada Wulan, dan di balas dengan kerlingan nakal dari Wulan, hal itu membuat Ridho terbayang panasnya mereka bercinta tadi malam. Sungguh Ridho sudah kecanduan dengan tubuh kakak iparnya yang lebih menarik dan menggoda dibanding dengan istrinya. Memanglah Wulan memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih dibanding Tia yang berpenampilan sederhana.
"Mmm ... Lezat sekali masakan ini, kamu yang memasaknya, Sayang?" tanya Ridho pada Tia tetapi dia mengarahkan lirikan matanya pada Wulan yang duduk di samping Tia. "Ini masakan Mbak Wulan Mas, memang benar-benar lezat," jawab Tia.
"Wow, benarkah? beruntung sekali lelaki yang menjadi suami Mbak Wulan, tiap hari bisa makan enak. Tapi sayang dia telah menyia-nyiakan istri yang cantik dan pintar memasak hanya demi wanita lain," ucap Ridho.
Blussh
Pipi Wulan memerah karena pujian Ridho. Akan tetapi sayang Ridho tidak tahu dengan fakta sesungguhnya yang membuat suami Wulan menceraikannya. Wulan bercerita penyebab dia bercerai dengan Hans suaminya karena ada pihak ketiga, hingga semua merasa kasihan pada Wulan.
"Biasa aja kok, Rid. Mbak memang setiap pagi selalu menyiapkan sarapan buat mas Hans. Tapi begitulah jika sudah ada yang lain dihatinya maka masakan apapun yang Mbak siapkan menurutnya tidak enak," ucap Wulan dengan nada sedih yang dibuat.
Tia menatap kakaknya dengan tatapan ikut sedih dengan kisah rumah tangga kakak perempuan satu-satunya itu.
"Sudahlah Wulan, kamu berhak bahagia. Mama do'akan agar kelak mendapatkan suami yang lebih baik dan mapan daripada Hans, seperti Ridho suami Tia," ucap Nyonya Rita- ibu dari Wulan dan Tia dari arah kamarnya.
Rita dan suaminya ikut tinggal bersama Tia dan Ridho. Rumah yang mereka tempati dulu dijual untuk melunasi hutang. Rita beserta suaminya duduk di kursi makan untuk sarapan bersama. Aktivitas setiap pagi setelah mengurus sang suami.
Dari arah pintu masuk, datanglah Iwan adik lelaki dari Tia dan Wulan.
"Assalamu 'alaikum, maaf Ma. Iwan, nanti mau menginap di rumah teman untuk mengerjakan tugas sekolah," suara Iwan datang dengan wajah sinisnya. Iwan adalah adik Tia dan Wulan, satu-satunya anak lelaki di keluarga Tia.
Iwan berhenti sebentar menyalami ayah dan ibunya. Tapi dia hanya melirik ke arah Wulan lantas berlalu masuk ke kamarnya.
Mengapa Iwan begitu?
Tia sangat heran dengan kelakuan Iwan yang menurutnya tidak biasa. Entah mengapa dia merasakan sesuatu yang janggal, dengan tingkah adek semata wayangnya itu.
Tia mengikuti Iwan ke kamarnya, dia ingin bertanya tentang perubahan sikapnya. Dengan perlahan Tia membuka pintu kamar Iwan yang kebetulan tidak dikunci.
"Iwan, kamu mau kemana? Mengapa kau membawa baju banyak?" Tanya Tia.
Iwan menoleh ke arah kakak perempuannya, dia tidak sampai hati jika memberi tahu alasan yang sebenarnya pada Tia.
"Maaf, Kak. Mulai hari ini, aku akan tinggal bersama teman-teman. Banyak tugas yang harus aku selesaikan, jadi akan lebih mudah jika aku tinggal bersama mereka." Iwan menjawab dengan masih memasukkan baju ke dalam tasnya.
Tia mengangguk tanda mengerti, dia sadar jika memang lebih bagus jika Iwan bersama temannya, agar ada yang membantunya menyelesaikan tugas sekolah.
"Baiklah, jika kamu butuh apa-apa, jangan segan memberi tahu, kakak, ya ...." Tia memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu pada Iwan, uang itu rencana mau diberikan pada Wulan untuk belanja.
"Terima kasih, Kak. Aku pamit dulu," ucap Iwan sembari menerima uang pemberian Tia.
Iwan keluar dari kamarnya, ketika hendak mengikuti Iwan, Tia mengambil buku yang jatuh dari tas Iwan. Tia memungut buku itu, hendak diberikan pada Iwan. Namun, langkahnya tertahan saat dia membaca sampul buku itu. Ternyata itu buku diary Iwan.
Tia menyembunyikan buku itu di balik punggungnya. Setelah Iwan pergi, Tia masuk ke dalam kamar. Dia menyimpan buku diary Iwan, rencananya dia akan membaca kalau sudah ada waktu.
"Iwan, dimana sopan-santunmu? Kakak dan kakak iparmu tidak kau salami!" hardik Nyonya Rita pada anak bungsunya yang cuek tidak mendengarkan ibunya. Tapi saat hendak keluar Iwan menoleh ke arah Wulan dengan pandangan jijik.
Pandangan Iwan pada Kakak sulungnya berubah, semenjak dia tidak sengaja melihat Ridho masuk ke dalam kamar Wulan.
Malam itu ...
Iwan yang beberapa hari ini menginap di rumah Tia atas perintah ibunya, terbangun dari tidurnya. Iwan keluar dari kamarnya untuk mengambil minum karena dia merasa kehausan. Saat hendak keluar dari dapur, dia melihat Ridho kakak iparnya masuk ke dalam kamar Wulan. Iwan yang penasaran memutuskan untuk mencari tahu apa yang kakak iparnya perbuat di sana.
Iwan berdiri di depan pintu kamar Wulan, suasana malam yang sepi membuat berisik suara Ridho berbicara dengan Wulan, sayup-sayup terdengar oleh Iwan yang mencuri dengar dari lubang kunci.
"Mas ... Kamu datang juga? Bagaimana Tia sudah tertidur?" ucap Wulan di balik pintu sembari menyambut kedatangan Ridho dengan pelukan dan pagutan mesra dari bibir Wulan yang ranum stelah memakai lipstik dengan warna pink Cherry. Aroma tubuh Wulan menyeruak masuk ke dalam hidung Ridho hingga membuat Ridho semakin terbakar gairahnya.
"Iya sayang, semua aman terkendali. Sudah aku buatkan minuman untuk Tia hingga sampai pagi pun dia baru akan terbangun," jawab Ridho sembari memeluk tubuh Wulan.
Tangan Ridho sudah bergerilya di balik baju tidur Wulan yang tipis memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. \*\*\*\*\*\*\* lirih keluar dari bibir Wulan tatkala Ridho mengecup setiap inci tubuh Wulan. Kedua tangan Ridho tak tinggal diam, dengan lembut meremas pucuk dua bulatan kenyal di dada Wulan.
"Ah ... Mas," desah Wulan.
Suara Wulan yang mendayu manja membuat Ridho semakin gelap mata. Tak butuh lama untuk pemanasan karena Wulan juga sudah dalam kondisi on. Ridho melesakkan senjatanya menghujam ke dalam lubang kenikmatan milik Wulan yang bersih dan terawat.
Memang Wulan wanita yang pintar merawat semua aset yang dia miliki. Tapi sayang hatinya tidak dia rawat dengan baik. Wulan mengira jika wanita mampu memuaskan tiga lubang milik lelaki maka dia akan bisa menguasai lelaki itu.
Iwan yang mendengar \*\*\*\*\*\*\* dari keduanya pun bergidik ngeri. Iwan cukup umur untuk mengartikan apa yang dia dengarkan. Iwan merebahkan dirinya dengan mata yang tidak bisa terpejam juga. Pikirannya melayang pada kejadian yang baru saja dia dengar dibalik pintu kamar kakak sulungnya. Iwan gelisah dan bingung apakah dia harus memberi tahu Tia atau tidak. Jika dia memberi tahu Tia maka semua orang di rumah ini pasti akan semakin membenci Tia.
Iwan ingat betul tatkala mereka masih kecil, mamanya selalu membela Wulan meskipun yang bersalah adalah Wulan. Tia yang selalu jadi korban pelampiasan amarah sang mama jika mama bertengkar dengan sang papa.
Tia selalu dianggap sebagai anak pembawa sial. Tentang perjodohan Tia dengan Ridho itu karena Wulan tidak mau dijodohkan dengan Ridho. Dia memilih menikah dengan Hans yang merupakan teman kuliahnya, sekaligus pewaris perusahaan terbesar di kota Malang.
Semenjak saat itu Iwan memilih tinggal di kost dekat dengan sekolahnya. Tapi saat liburan dia pasti kembali ke rumah Ridho yang sekarang di huni kedua orang tuanya dan Wulan.
"Maaf Ma, Iwan terburu-buru." Iwan membalas ucapan sang mama. Dia segera pergi dengan membawa motornya. Meri yang mendengar hanya menggelengkan kepalanya.
"Heran Mama dengan kelakuan adekmu itu Tia, kamu nasehati dia!" ucap Meri pada Tia yang kembali duduk untuk sarapan.
"Iya Mah, nanti Tia nasehati," balas Tia.
"Sayang, Mas berangkat dulu ya," ucap Ridho bangkit dari duduknya. Tia yang belum selesai makan terpaksa berdiri hendak mengantar suaminya ke depan.
Sebelum melangkahkan kakinya, Wulan mencegahnya.
"Tia, kamu lanjutin makan saja, biar Mbak yang bukakan pagar untuk Ridho. Sekalian Mbak mau keluar buat beli sayur di depan rumah. Takut nanti keburu habis sayurannya," ujar Wulan beralasan.
"Iya Tia, habiskan saja makanmu kasihan Ridho yang capek-capek kerja tapi kau seenaknya membuang makanan," ucap Nyonya Rita mendukung Wulan.
"Iya Mbak tidak apa-apa, terima kasih ya ... Mas, maaf ya kalau aku tidak bisa mengantar sampai depan." Tia mencium punggung telapak tangan suaminya. Itulah yang selalu Tia lakukan jika Ridho hendak berangkat ke kantor. Sementara itu Wulan berjalan di belakang Ridho yang seolah memang Wulan hanya sekedar membuka dan menutup pintu gerbang tapi tidaklah begitu adanya. Di garasi mobil Ridho menarik tubuh Wulan untuk masuk sebentar ke dalam mobil. Dengan penuh nafsu keduanya berciuman seolah semalam belum terpuaskan.
"Mas, sudah ... Kamu terlambat nanti," ucap Wulan menyadarkan Ridho yang masih asyik memainkan bukit kembar Wulan yang menyembul dari sarangnya. Wulan selalu memakai pakaian yang seksi menunjukkan lekuk tubuhnya. Tia sebenarnya sudah mengingatkan tapi Ridho selalu menenangkannya dengan mengatakan bahwa dia tidak tertarik dengan barang bekas orang lain.
"3 menit lagi sayang, Mas tidak akan pernah puas untuk bermain dengan milikmu ini." Ridho masih belum juga melepaskan tangannya dari memilin bola coklat kecil itu. Wulan sangat menikmati permainan adik iparnya itu. Hans suaminya tidaklah selihai Ridho dalam bercinta.
"Mas ... Sudah, cukup ... jangan membuatku lepas kendali. Aku sudah basah!" ucap Wulan sembari memejamkan matanya. Ridho masih asyik menikmati wajah cantik Wulan yang terpejam. Tapi teriakan tukang sayur menyadarkannya.
"Sayuuur ... Sayuuur ... Sayur segar komplit ... Ayo -ayo bunda dibeli- dibeli," teriak tukang sayur memekakkan telinga karena memakai pengeras suara.
"Sial! Aargh ... kurang ajar tukang sayur itu. Merusak kesenanganku saja," gerutu Ridho. Dia segera beranjak dari tubuh Wulan yang pakaiannya sudah tak beraturan lagi. Ridho merapikan penampilannya dengan menyisir uakng rambut lalu memakain parfum kembali.
"Maaf Mas, penampilanmu jadi berantakan. Aku segera keluar dulu membuka pintu gerbang sebelum pada curiga karena teriakan tukang sayur yang tidak berhenti sebelum ada yang beli," ucap Wulan yang juga merapikan bajunya lalu keluar dari mobil dan menuju ke pintu gerbang.
Wulan membuka pintu gerbang agar mobil Ridho bisa keluar. Wulan tersenyum sambil menundukkan kepala ketika mobil Ridho melewatinya.
"Wah, Mbak Wulan belanja sayur apa?" tanya ibu tetangga samping rumah Ridho. Kebetulan rumah Ridho berada di komplek perumahan.
"Ini Bu mau bikin sayur lodeh dengan laut ikan asin," jawab Wulan seraya memilih sayuran.
"Kok Mbak Wulan terus sih yang belanja. Mbak Tia kemana?" tanya ibu itu lagi.
"Iya Bu, memang sudah jadi tugas saya yang belanja. Maklum hanya numpang di rumah Tia. Tia sedang istirahat di dalam," jawab Wulan bohong.
"Wah, Mbak Wulan rajin sekali ya ... Enak Mbak Tia tuh, tapi gak kasihan apa, kakak kandungnya seperti ART nya saja," sahut ibu satunya yang kebetulan juga berbelanja.
Di arah lain, ada yang mengepalkan tangannya mendengar ibu-ibu itu membicarakan Tia. Ia adalah Iwan yang masih bertengger di atas motornya. Dia melihat semua yang dilakukan Ridho dan Wulan.
"Maaf ya ibu-ibu, saya duluan," pamit Wulan pada ibu-ibu yang masih bergosip setelah dia membayar semua belanjaannya.
"Iya, mbak Wulan. Oh ya mbak, tunggu dulu," ucap salah satu ibu -ibu yang memakai daster merah menghentikan Wulan yang hendak kembali. "Ada apa ya, Bu?" tanya Wulan dengan wajah yang dibuat seramah mungkin.
"Anu mbak, besok minggu ada kumpulan ibu-ibu RT jadi tolong beritahukan pada mbak Tia untuk datang. Undangan masih ada di rumah saya, nanti saya antar ke rumah. Maaf kemarin belum sempat," jawab ibu itu.
"Kira-kira jam berapa dan lokasinya dimana ya, Bu?" tanya Wulan lagi.
"Jam 10 pagi Mbak, di rumah Bu RT yang ujung gang ini, rumahnya bercat hijau," jawab Ibu itu lagi.
"Oh ya terima kasih ya, Bu. Biar nanti saya beritahukan pada Tia. Untuk undangannya tidak usah ibu antar, ini sudah mewakili kok. Biar ibu tidak repot," ucap Wulan dengan senyum meyakinkan kalau informasi ini akan dia sampaikan pada Tia.
"Terima kasih ya mbak Wulan, mbak sangat baik. Oh ya mbak, saya kok kepo. Memang kalau belanja begini pakai uang mbak Wulan atau uang mbak Tia? Maaf ya mbak jika menyinggung," ujar Ibu itu lagi.
Wulan memasang wajah sendu lalu berkata," Kalau belanja memang ini uang Tia, Bu. Setiap hari saya dijatah untuk belanja, jika ada kelebihan saya harus mengembalikan pada Tia. Takut Tia marah, karena dia sangat perhitungan sekali," jawab Wulan.
Ibu-ibu lain yang mendengar pun riuh berbisik menggunjing Tia, termasuk si penjual sayur juga tidak mau kalah.
"Ikan Teri Ikan Belanak, sungguh Ngeri tuh anak," ucap Si penjual sayur geram dengan Tia yang pelit sama kakak kandungnya sendiri.
"Eh Romlah, pandai juga kau berpantun! Emang ya tuh Bu Tia gak punya hati, begitu pelit sama kakak kandung sendiri," ucap ibu berdaster hijau. Memang tiap pagi ibu-ibu di situ masih berdasteran tuk belanja, suami mereka sudah berangkat ke kantor.
"Iya donk, Romlah begitu," sahut si penjual sayur yang ternyata bernama Romlah. Wulan tersenyum menyeringai, dia menang banyak pagi ini.
"Ha Ha ... Tia tunggu saja, sebentar lagi semua milikmu akan menjadi milikku. Kau lagi-lagi harus mengalah denganku," batin Wulan.
Sedangkan dari arah seberang tampak seorang wanita yang sedari tadi menguping apa yang mereka gosipkan tentang Tia. Sementara itu Wulan masuk ke dalam rumah dengan senyum kemenangan, informasi tentang undangan arisan PKK dari ibu-ibu tadi tidak dia sampaikan kepada Tia.
"Mbak, kayaknya Mbak senang sekali sampai senyum-senyum begitu." Tia menghampiri kakaknya yang menata sayuran di lemari pendingin. "Tidak apa-apa kok, geli aja dengan gosip para ibu-ibu lambe turah depan rumah tuh. Kasihan Ibu yang tinggal tak jauh dari sini jadi bahan gosip mereka," jawab Wulan bohong.
"Oh, begitu. Memang ibu-ibu di sini suka begitu, Mbak. Aku harap Mbak tidak terpengaruh dengan mereka. Oh ya, hari ini masak apa Mbak?" tanya Tia.
"Masak lodeh dan ikan asin. Menu kesukaan Ridho," jawab Wulan dengan santai. Tia mengernyitkan alisnya, dia sendiri bahkan tidak pernah diberi tahu Ridho tentang masakan kesukaannya.
"Oh, Mbak diberi tahu Mas Ridho ya," sahut Tia lagi.
Wulan yang mendengar tergagap karena dia keceplosan dengan omongannya sendiri.
"Mmm, tadi sebelum berangkat kerja. Ridho memberi tahu Mbak kalau dia ingin makan dengan sayur lodeh dan ikan asin," ralat Wulan sekenanya. Dia takut kalau Tia mencurigainya.
"Oh gitu Mbak. Tia bantuin ya," ucap Tia sembari mengambil baskom plastik tempat mencuci sayuran. Wulan terpaksa membiarkan Tia membantunya karena tidak ingin Tia semakin curiga. Mereka berdua pun masak sampai selesai. Sayuran dan ikan asin itu Wulan tata di meja blmakan untuk makan siang nanti.
"Mbak, aku tinggal ke kamar dulu ya, sekalian nanti manggil mama dan papa untuk makan siang," ucap Tia berpamitan pada Wulan. Setelah Tia pergi, Wulan mengambil ponselnya lalu memotret menu yang ada di meja makan.
( Mas, sudah kumasakkan masakan kesukaanmu. Emoticon love)
(Terima kasih sayang, tidak sabar rasanya menjadikanmu istriku, sudah cantik, pintar masak lagi- emot peluk)
(Sabar, kita harus bermain cantik. Aku tidak ingin Tia mengetahui hubungan kita sebelum aku puas membuatnya menderita)
(Kenapa begitu sayang?)
(Karena dulu dialah yang selalu mendapat pujian dan perhatian dari semua orang)
(Terserah kau saja, Aku akan mengikuti semua kemauanmu asal nanti malam jatahku jangan lupa)
(Idiih ... Maunya!)
(Sudah ya Mas, Aku mau mengantar Tia membeli perhiasan. Tapi aku boleh kan membeli yang sama?)
(Tentu sayang, apapun yang kau pilih ambil saja. Pakai ATM yang kutitipkan pada Tia)
(Baik Mas, Terima kasih)
Setelah berbalas chat dengan Ridho, Wulan segera mandi dan bersiap karena tadi Tia mengajaknya untuk membeli perhiasan.
"Mbak sudah siap?" tanya Tia pada Wulan yang keluar dari kamarnya. Penampilan Wulan dan Tia sungguh bertolak belakang, ibarat Wulan pergi bersama pembantunya.
"Ayo, Mbak sudah siap," ucap Wulan.
"Ma, Pa ... Tia dan mbak Wulan pergi dulu ya, kalau mama dan papa mau makan siang terlebih dahulu tidak apa, semua sudah tersaji di meja makan," ujar Tia berpamitan pada ayah dan ibunya yang sedang menonton televisi di ruang tengah.
"Hati-hati di jalan. Tia ingat jangan malu-maluin kakakmu!" sahut Mama Rita. Tia sungguh terkejut, hatinya sangat sakit. Selalu itu yang diucapkan mamanya jika dia pergi bersama kakaknya. Memang penampilan Tia sederhana tapi tidaklah mengurangi kecantikan alaminya.
Tia hanya menunduk sambil menganggukkan kepalanya, sedangkan Wulan tersenyum penuh kemenangan. Merekapun pergi ke toko perhiasan dengan menaiki taksi online yang sudah mereka pesan.
Di toko perhiasan ...
"Mbak saya mau lihat cincin berbatu merah ini," ucap Tia pada pelayan toko.Namun, pelayan toko itu hanya acuh, giliran Wulan yang meminta pelayan itu langsung melayani dengan ramah.
"Maaf, Mbak. Adik saya meminta cincin yang itu. alAda stock yang samakah? Saya juga ingin membeli cincin yang sama," kata Wulan memerintah si pelayan toko.
Tia mengernyitkan alisnya, dia heran kenapa kakaknya ingin cincin yang sama. Melihat hal itu Wulan berkata, "Aku ingin kita kembaran Tia, jarang sekali kita bisa memakain barang yang sama persis. Kita bisa tukaran nantinya. Apapun milik mbak akan jadi milikmu, dan milikmu akan menjadi milik mbak," ucap Wulan seraya menggenggam tangan Tia.
"Maksud Mbak?" tanya Tia lagi.
"Ah Tidak, bukankah kita bersaudara jadi biar kita semakin dekat itu aja," balas Wulan gugup.
Tia tersenyum, karena mengira kakaknya itu tulus menyayangi dirinya.
Triing ... Notif pesan di HP Wulan terlihat di layar.
Tia sekilas membaca si pengirim bernama 'Sayangku'. Tia berpikir apakah kakaknya sudah memiliki kekasih baru, jika demikian syukurlah karena sebentar lagi pasti Wulan akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan rumahnya.
Wulan yang masih asyik melihat-lihat tak mendengar jika HPnya bunyi. Tia melihat lagi karena notif kedua muncul, dari orang yang sama tapi kata-katanya membuat Tia curiga. Di sana tertulis tentang cincin yang Wulan beli.
Apakah Kebohongan Wulan akan terkuak?
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!