NovelToon NovelToon

Fall In Love With My Ex

Anniversary

Hasi semuanya. Ini cerita ketiga. Cerita ini project kerja sama dengan temenku ya. Dukungan kalian selalu diharapkan ya, Kak. Oh ya, berhubung Duda up pagi, Bule up siang, jadi untuk Lily aku update malam ya. Sekian info. Yok kita mulai, semoga suka.

😘🙏

Kring! Kring!

Bunyi alarm mengagetkan seorang wanita cantik di hari pertama musim semi. Wanita bermanik biru bak permata itu perlahan membuka kedua matanya, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menyambut hari yang mulai dipenuhi bunga yang bermekaran.

Tok! Tok!

"Nyonya, sarapannya sudah siap!" ucap seseorang dari balik pintu kamarnya.

Lilyant segera berjalan menuju arah pintu, lalu membukanya sambil memasang wajah penuh akan senyuman secerah mentari musim semi.

"Terima kasih, Anna! Oh ya, apakah Theo sudah berangkat?" tanyanya.

"Sudah, Nyonya. Sejak pukul enam pagi," jawab Anna yang merupakan satu-satunya pelayan di rumah besar itu.

Mendengar jawaban dari mulut Anna, Lily hanya tersenyum lalu mempersilahkan Anna untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.

Suasana *penthouse* mewah itu terlihat begitu sunyi dan hampa untuk seorang Lilyant. Ia terus menatap hamparan bunga yang mulai bermekaran dari balkon kamarnya yang langsung menghadap ke taman.

Tak banyak yang ia lakukan di sana, bertahun-tahun ia jalani kehidupan bak terkurung dalam sebuah sangkar emas.

Lilyant kembali masuk ke dalam kamarnya, meraih sebuah syal yang ia rajut dengan tangannya sendiri dan menyimpannya ke sebuah kotak berwarna merah yang berhiaskan pita.

"Semoga kamu suka, ini akan menghangatkan kamu saat musim dingin," gumamnya bermonolog sendiri.

Tiga hari lagi, setelah sang suami kembali dari Amerika dan bertepatan dengan ulang tahun pernikahan mereka yang ke tiga, untuk pertama kalinya ia mencoba memberanikan diri memberikan sesuatu kepada pria yang dirinya sebut dengan julukan suami.

Pria yang bahkan tak pernah berbicara banyak dengannya, dan pria yang tak pernah sekalipun menyentuhnya selain di depan keluarga serta para kolega.

\*\*\*

Tiga hari berlalu dengan begitu cepat, bahkan tanpa sedikitpun kabar dari Theo. Lilyant seakan sudah terbiasa dengan kehidupan rumah tangganya yang tidak sehat, walaupun demikian kini ia telah bertekad untuk terlebih dahulu berusaha memperbaiki nasib rumah tangganya.

"Theo, mari kita ..., argh! Tidak bagus!" ucap Lilyant yang sedari tadi tengah berlatih berbicara di depan kaca meja riasnya.

Sudah tiga jam lamanya ia berlatih seorang diri untuk berbicara dengan suaminya, tetapi selama itu pula ia gagal karena dilanda oleh rasa gugup yang seakan tiada berujung.

"Aduh gak boleh begini! Ayo Lilyant, kamu pasti bisa!" gumamnya dalam hati, seakan tengah menyemangati dirinya sendiri.

Lilyant menarik napasnya dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya kembali dengan perlahan. Ia kembali mengulurkan tangannya yang tengah memegang sebuah kotak hadiah untuk sang suami.

"Ini untukmu, aku membuatnya khusus untuk dirimu," ucap Lilyant lalu ia kembali memejamkan matanya sejenak.

Kedua pipinya merona, menahan rasa malu yang muncul begitu saja.

"Theo, aku tahu jika hubungan kita diawali oleh keterpaksaan, tapi bolehkah kini kita memperbaikinya? Karena bagaimanapun kita adalah sepasang suami istri, dan aku berharap kita bisa menjalani kehidupan rumah tangga seperti orang pada umumnya. Mari kita memulai lagi dari awal!"

Senyuman merekah tersungging di wajahnya, Lilyant cukup puas dengan hasil latihan berbicaranya. Kini kepercayaan dirinya meningkat pesat, ia sangat yakin jika sang suami akan menyetujui permintaannya.

Hari itu Lilyant disibukkan dengan kegiatannya di dapur, rasanya sudah lama ia tidak pernah memasak karena selama menjadi istri Theo, dirinya selalu dilayani dengan baik oleh Anna.

"Nyonya, biar saya bantu," ucap Anna berinisiatif.

Namun Lilyany hanya tersenyum, memperlihatkan kedua lesung di pipinya yang menambah pesona wanita berusia dua puluh delapan tahun itu.

"Terima kasih, Anna. Tapi saya benar-benar ingin membuat makanan untuk suamiku dengan tanganku sendiri, karena bagaimanapun hari ini *anniversary* pernikahan kami," jawab Lilyant yang terdengar sangat bersemangat.

Mendengar perkataan yang baru saja terlontar dari bibir Lilyant, tentu saja membuat Anna turut mengembangkan senyuman.

Sudah lama ia melihat suasana tak wajar di rumah tangga majikannya itu, ia terpaksa menutup mata dan telinga serta menutupi kenyataan sebenarnya dari keluarga Lilyant ataupun Theo yang sewaktu-waktu datang berkunjung.

"Semoga Tuhan memberkati dan selalu melimpahkan kebahagiaan untuk rumah tangga Nyonya dan Tuan," ucapnya spontan sebagai bentuk perasaan senangnya.

Detik demi detik terus berjalan tanpa henti, jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lilyant sudah bersolek begitu cantik dengan dress merah jambu yang membalut tubuhnya.

Dirinya pun telah menata meja makan dengan hidangan lezat yang menggugah selera.

Lama dirinya menanti, tetapi sang suami tak kunjung jua terlihat batang hidungnya.

Berkali-kali dirinya mencoba menghubungi ponsel sang suami ataupun asisten pribadi Theo, tetapi tak ada satupun dari mereka yang dapat dihubungi.

"Nyonya, apakah sebaiknya anda tidak beristirahat. Ini sudah malam, biar nanti Tuan Theo sudah pulang saya akan bangunkan." Anna mencoba menawarkan bantuan, ia sangat merasa tak tega melihat Lilyant yang menantikan Theo tanpa sebuah kepastian dengan raut wajah yang terlihat letih.

"Tidak apa, biar saya menunggu sebentar lagi. Anda beristirahat saja, tugasmu hari ini, kan sudah selesai," jawab Lily mempersilahkan Anna untuk beristirahat terlebih dahulu.

Lilyant memutuskan menunggu dengan sabar di sofa yang terletak pada ruang tamu. Hingga tanpa sadar ia terlelap dalam alam mimpi sampai fajar menjelang.

PIP! PIP!

Suara akses pintu unit *penthouse* terdengar, membangunkan Lilyant dari tidurnya.

Terdengar suara langkah kaki mendekat, kini ia berhadapan dengan sang suami yang sudah ia tunggu kehadirannya.

"Theo, kamu baru pulang?" tanyanya memberanikan diri.

Theo meraih secarik kertas dari dalam tas kerjanya, meletakkannya di atas meja seraya berkata dengan lantang, "Hari ini kita bercerai!"

Gugatan

Deg!

Irama jantung Lilyant berdetak begitu cepat, napasnya terasa tercekat seakan ada sesuatu yang mencekiknya dengan kuat.

Diraihnya secarik kertas yang diletakkan oleh Theo di atas meja. Dengan tangan yang gemetar Lilyant membacanya.

"Ce-cerai?" ucapnya terbata-bata.

"Kau tidak perlu khawatir, aku yang akan menjelaskan semuanya kepada orang tuamu, dan aku juga akan memberikan kompensasi yang sesuai karena telah menceraikanmu terlebih dahulu." Theo meninggalkan Lilyant begitu saja, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan wanita yang sudah setia menjadi istrinya selama tiga tahun belakangan.

Lilyant masih tetap bergeming di tempat yang sama, berharap jika semuanya hanyalah mimpi buruk.

Kepalanya menunduk, wajahnya memerah menahan gejolak emosi yang terpantik. Ia hanya mampu mengepalkan tangannya erat, sekuat tenaga menahan air mata yang seolah mendesak untuk keluar.

'Menjijikan, pernikahan ini sangat menjijikkan!'

Perkataan Theo diawal pertemuan mereka kembali teringat dan menjadi sebuah duri tak kasat mata, menusuk relung hati yang terdalam hingga terasa begitu menyakitkan.

"Theo! Kita harus bicara, kamu gak bisa menentukan ini secara sepihak!" pekik Lilyant, ia berjalan menuju kamar sang suami.

Dengan seluruh tenaga yang ia miliki Lilyant terus berteriak hal yang sama dan juga mengetuk pintu kamar Theo yang sudah tertutup sangat rapat tanpa celah.

"Listen to me, please Theo!" teriaknya sekali lagi.

Lagi dan lagi, Theo sama sekali tak mengindahkan permintaan Lilyant. Pria itu seolah sengaja untuk menulikan pendengarannya. Hingga tiba-tiba handle pintu bergerak dan pintu kamar pun perlahan terbuka.

"Theo, kamu mau ke mana?" tanya Lily kala melihat suaminya membawa dua buah koper berukuran besar.

Theo sama sekali enggan menjawab, pria itu terus saja berjalan tanpa melihat ke arah sang istri.

Langkah kakinya seketika terhenti, pria bertubuh tegap itu terlihat menghela napasnya dengan berat tanpa dirinya menoleh ke belakang.

"Apartemen ini akan menjadi milikmu maka kamu tetaplah tinggal di sini! Lalu besok kita akan bertemu di rumah orang tuamu pukul tujuh malam!" tandas Theo.

Theo kembali berjalan, meninggalkan Sang istri yang menatap punggungnya hingga menghilang dari pandangan mata.

Sontak saja tubuh Lilyant ambruk, wanita bersurai panjang itu bersimpuh di lantai yang terasa dingin. Hancur sudah impiannya untuk membangun rumah tangga yang harmonis, bahkan cintanya pun seakan dipaksa gugur sebelum bersemi.

***

Keesokan harinya Lilyant tiba di rumah orang tuanya bahkan sebelum matahari terbenam. Sepanjang hari ia kembali dipaksa memakai topeng palsu yang membuatnya terlihat baik-baik saja tanpa sebuah masalah hidup.

Diraihnya sekuntum mawar putih yang baru saja mekar di taman belakang rumah orang tuanya, Lilyant terduduk di sebuah gazebo sambil menikmati udara sore musim semi.

Dihirupnya dalam-dalam udara yang seolah sulit ia gapai, Lilyant termenung, pikirannya terbang mengingat masa lalu.

"Dia namanya Theo Wadson, cowok paling populer di sekolah ini, dia juga merupakan kapten basket. Yuk kita ke sana! Aku akan perkenalkan kamu dengan dia," ucap temannya kepada Lilyant yang baru seminggu pindah ke sebuah sekolah menengah atas di kota London.

Lilyant menggelengkan kepalanya, wajahnya memerah bak seekor kepiting rebus.

Sudah satu pekan dirinya tertarik pada sosok yang seolah menjadi visual sempurna di tempat itu. Namun jangankan untuk bertegur sapa, menatap pun gadis itu sama sekali tak mampu untuk melakukannya.

Kepalanya menunduk, walaupun mata birunya masih terus melirik sosok yang tengah bermain basket dengan lihainya. Lalu tiba-tiba saja bola basket itu terlempar keluar dan mengenai kepalanya hingga gadis itu jatuh pingsan.

"Li! Lilyant!"

Suara dari Mary Leonard sontak saja menarik dirinya dari lamunan tak berujung.

Lilyant yang tersentak seketika menoleh dan melihat Mary berjalan menghampirinya.

"Mom!"

"Sedang apa kau melamun? Kau pikir masakan di rumah ini akan matang dengan sendirinya?" sindir Mary dengan sinis.

Lilyant yang sudah mengerti akan sikap dan sifat ibunya seketika menunduk, ia pun langsung bangkit dan berjalan ke arah dapur untuk membantu seorang asisten rumah tangga memasak hidangan makan malam.

Waktu yang dinanti pun telah tiba, tepat pukul tujuh malam seperti yang dijanjikan, bel rumah pun berbunyi.

Lilyant dengan sigap segera berjalan ke arah pintu dan segera membukanya.

Untuk kesekian kalinya, dirinya menundukkan kepalanya saat sang suami kini berdiri tepat di hadapannya.

Napasnya kembali terasa tercekik, hingga membuat dirinya sulit untuk berucap.

"Theo! Ayo masuk!" ucap Sam kala mendapati menantu pilihannya kini sudah sampai di ambang pintu rumahnya.

Tanpa banyak bicara Theo pun melangkah masuk, meninggalkan Lilyant yang masih berada diposisi yang sama dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan.

Acara makan malam berjalan dengan lancar, tak banyak yang dibicarakan selain urusan kerja sama perusahan Leonard Group dan Wadson Group.

Sementara itu Lilyant hanya diam saja, bahkan dirinya enggan untuk kembali menatap pria yang sebentar lagi akan benar-benar meninggalkan dirinya.

"Terima kasih atas makan malamnya, sebenarnya saya ke sini karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ucap Theo seusai menyelesaikan makannya. Pria itu begitu terburu-buru seakan enggan untuk menunggu sedikit lebih lama lagi.

"Ya, silahkan!" jawab Sam.

Dikeluarkannya selembar surat yang sama seperti semalam dari dalam jas yang ia kenakan, lalu memberikannya pada Sam.

Sontak saja kening pria paruh baya itu berkerut, kala membaca selembar kertas yang dibubuhi oleh tanda tangan dari Theo.

"Gugatan cerai? Apa ini maksudnya?"

"Saya pikir keluarga saya sudah cukup menyokong dana untuk perusahaan kalian selama tiga tahun ini. Saya sudah tidak bisa lagi bertahan dengan pernikahan ini, saya ingin memiliki kehidupan sendiri yang saya kehendaki. Sebagai gantinya saya akan memberikan kompensasi yang sesuai," jelas Theo.

Susah payah Lilyant berusaha menahan perasaannya, bertahun-tahun ia menjalani cinta sepihak ternyata sama sekali tak terasa dan tiada arti untuk seorang Theo.

Dia tidak mampu mengubah pandangan sang suami akan pernikahan mereka. Lilyant mengigit bibirnya, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Namun ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang tak pernah sekalipun menghargai ketulusannya.

"Jadi saya mohon untuk Lilyant segera menandatangani surat ini, karena saya paling tidak suka menunda-nunda sesuatu!" ucap Theo seraya menekankan setiap kata demi kata yang ia ucapkan.

Perdebatan antara Theo dan Sam pada akhirnya tidak dapat terelakkan, sementara Lilyant tengah mengendalikan dirinya sendiri akibat pergejolakan batin yang tengah melanda dirinya. Lilyant menyadari jika perceraiannya akan berakibat fatal untuk dirinya tetapi ia pun tak bisa memaksakan kehendaknya jikalau sang suami sudah enggan untuk bersama.

"Mengapa anda keberatan? Bukankah Anda sudah mendapatkan semua yang anda inginkan? Sokongan dana, saham lalu apa lagi? Saya benar-benar sudah tidak tahan berpura-pura dengan pernikahan menjijikkan ini!"

Brak!

"Sudah, cukup!" Lilyant berteriak dan menggebrak meja makan di hadapannya. Ia sudah tidak tahan dengan perkataan Theo yang seolah menganggap pernikahan mereka adalah sebuah bencana.

Di raihnya pena dan surat yang sangat ia benci itu, lalu membubuhkan tanda tangannya dengan cepat.

"Saya sudah tanda tangan! Sudah puaskah anda, Tuan Wadson yang terhormat?"

Hidup Baru

"Anak bodoh! Kau sadar gak sih apa yang sudah kamu lakukan! Apa kamu tidak bisa sekali saja melakukan sesuatu dengan benar?"

Sudah setengah jam lamanya setelah kepergian Theo, caci maki dari mulut Mary terus terlontar untuk Lilyant.

Sementara Sam hanya diam, pria itu memang tak ikut menyalahkan putrinya tetapi juga terlihat enggan menolong Lilyant dari amukan istrinya.

"Mommy maunya bagaimana? Aku sudah menuruti keinginan kalian. Tiga tahun lamanya aku harus hidup dengan pria yang bahkan sama sekali enggan melihatku, tetapi kenapa aku masih tetap disalahkan?" Lilyant mencoba membela diri, dia tak ingin terus menerus disalahkan terutama oleh Mary.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Lilyant, meninggalkan bekas kemerahan yang terasa panas dan perih.

"Tutup mulutmu! Dasar beban keluarga! Harusnya kau berterima kasih telah kami besarkan dengan baik, wajar jika kamu melakukan semua hal itu!" teriak Mary hingga suaranya begitu menggema.

Runtuh sudah pertahanan yang sedari tadi Lilyant jaga dengan baik. Dengan cepat ia segera mengambil tas miliknya lalu berjalan keluar tanpa berpamitan sama sekali. Caci maki dari mulut Mary masih saja terdengar, dan semakin membuat Lilyant melangkah dengan cepat untuk keluar dari rumah bak neraka itu.

Angin malam terasa dingin menerpanya, kakinya terus melangkah tanpa arah dan tujuan. Tak mungkin baginya untuk kembali menuju penthouse yang memang sudah diberikan Theo untuknya, semua terasa menyakitkan walaupun tak banyak kenangan yang tersisip di sana. Namun tak mungkin pula ia tinggal kembali bersama kedua orang tuanya serta adiknya, karena tak ada satupun dari mereka yang benar-benar peduli akan nasibnya.

Air matanya mengalir tanpa diizinkan, ia terus melangkah menyusuri keheningan malam dengan tangis dalam diam yang seolah menemaninya.

"Aku gak bisa begini terus!" gumamnya dalam hati.

Diusapnya kedua mata yang sudah basah dengan punggung tangannya. Lilyant meraih ponsel miliknya, dan segera menghubungi seseorang.

***

"Apakah anda yakin dengan keputusan anda, Tuan? Maaf jika saya lancang, tapi saya pikir jika keputusan anda terlalu tergesa-gesa."

Theo yang tengah termenung seketika tersentak dengan ucapan asisten pribadinya.

Pria itu menghela napasnya sambil terus memijat keningnya yang terasa berdenyut, melemparkan pandangannya pada kaca mobil yang berada di sebelahnya.

"Apakah tidak cukup waktu tiga tahun ini untuk memikirkan semuanya? Lagi pula aku tidak mau semakin lama menahannya, membuatnya tersiksa karena harus hidup denganku, pria yang sama sekali tidak ia cintai," jawab Theo tanpa melihat ke arah Edward yang tengah mengemudikan mobilnya.

"Tapi bukankah ...."

"Sudahlah, aku tidak ingin membahas ini lagi!" sela Theo yang sontak memangkas perkara Edward.

Pria berkacamata itu sedikit mengintip kaca spion yang berada di tengah mobil, melihat wajah atasannya yang terlihat lelah dan kalut.

"Baiklah, maafkan saya, Tuan!"

Jawaban dari Edward seolah memutus percakapan antara mereka berdua. Hening, hanya deru mesin mobil yang terdengar kala membelah jalanan kota London yang ramai.

***

Hari demi hari berlalu dengan begitu cepat tanpa sesuatu yang berarti. Sejak malam itu, Lilyant memutuskan untuk keluar dari penthouse walaupun Theo telah memberikan hunian tersebut kepadanya.

Lilyant memilih untuk menyewa sebuah apartemen kecil, dan bekerja di sebuah toko kue milik sahabatnya yang bernama Heidy Lyubov.

Semua berjalan dengan lancar, kesibukannya membuat ia lupa akan masalah perceraian dengan Theo.

Bahkan tak ada satupun anggota keluarganya mencari keberadaan Lilyant, ataupun sekedar menghubungi lewat telepon maupun pesan singkat.

Kini Lilyant merasa hidup sebatang kara, perceraiannya dengan Theo sama saja memutus hubungannya dengan keluarga Leonard. Hanya Heidy lah, sahabat satu-satunya yang selalu ada saat dia membutuhkan. Gadis yang berdarah Rusia itu bahkan membantu Lilyant untuk menyembuhkan luka batin yang dideritanya.

"Lily, aku ingin bicara sama kamu sebentar," ucap Heidy.

Lilyant yang tengah asik membuat adonan kue langsung menghentikan kegiatan. Ia segera melepaskan sarung tangan yang tengah dikenakan dan berjalan ke arah Heidy.

"Ada apa?"

"Duduklah dulu, aku ingin bicara serius sama kamu."

Lilyant menuruti titah Heidy, ia duduk di kursi yang berada dihadapan sahabatnya sejak menempuh pendidikan di universitas.

"Ly, aku tanya sekali lagi. Kamu serius kerja di toko kue kecil begini? Bukan apa-apa, tapi aku merasa gak enak sama kamu. Kamu itu orang berpendidikan loh, apa kamu gak coba melamar pekerjaan di perusahaan besar?" tanya Heidy kembali menegaskan.

Senyuman simpul terukir diwajahnya wanita bermata biru itu. Lilyant menatap Heidy dengan lembut tanpa keraguan sedikitpun.

"Aku yakin! Aku ingin bekerja di bidang yang aku inginkan. Selama ini aku terus dipaksa mengikuti keinginan daddy, aku lelah, aku capek, aku ingin menjadi diriku sendiri. Siapa tahu, besok atau lusa aku buka toko sendiri dan jadi saingan kamu!" ucap Lilyant diiringi tawa kecilnya.

Tiba-tiba ponsel miliknya berdering. Raut wajah Lilyant pun berubah yang membuat senyumannya seketika pudar tanpa tersisa.

"Siapa?" tanya Heidy.

Lilyant membalikkan ponselnya menghadap Heidy, terpampang nama 'Mom' pada layar benda pipih tersebut.

Dengan malas Lilyant mengangkat panggilan telepon masuk tersebut, lalu terdengar suara nyaring yang sangat mengganggu indra pendengarannya.

"Dimana kau anak sialan?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!