Berjalan di trotoar dengan di temani suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang, Margareta Airun Fathia berjalan terus sembari memeluk sebuah map.
Brugh!
"Aduh! "
"Maaf, "
Dengan cepat Fathia membungkukan badanya dengan mengulurkan tanganya agar di gapai oleh wanita paruh baya di depanya yang terjatuh di tanah.
Tangan keriput wanita itu menerima uluran tangan Fathia dengan senyum di wajahnya.
"Maaf, "
Lagi, Kata-kata itu keluar dari mulut mungil Fathia dengan mata menunduk merasa waswas sebab jika di lihat wanita paruh baya yang kini berada di depanya bukanlah orang biasa.
"Tidak apa-apa, ini bukan lah salahmu. " ucapan wanita di depanya berhasil membuat kepala Fathia mendongak.
"Perkenalkan namaku Lourdes Armara Marvous panggil saja Mara, " Mara wanita itu mengulurkan tanganya sementara Fathia merasa maju mundur untuk menjabatnya.
"Margareta Airun Fathia panggil saja Fathia, " balas Fathia dengan memenjabat tangan Mara.
"Nama yang cantik, oh ya ngomong-ngomong kamu mau kemana? " tanya Mara menatap mimik wajah Fathia yang nampak tegang tidak santai seperti ekpresi dirinya.
"Sa-saya sedang mencari kerja, " jawab Fathia dengan kaku.
"Woah kebetulan saya sedang mencari orang yang mau bekerja, " ucap Mara.
"Betulkah? maaf jika boleh tau bekerja sebagai apa ya Nyonya? " tanya Fathia dan sekarang dirinya sudah memasang ekpresi wajah bersemi-semi karena mendengar ucapan wanita paruh baya barusan, ia sangatlah membutuhkan pekerjaan apapun itu asalkan halal.
"Saya membutuhkan seorang guru untuk cucu saya, tapi saya tidak yakin karena hampir semua guru yang saya pekerjakan menyerah. " ucap Mara dengan sendu.
"Saya ingin bekerja dengan anda, " ujar Fathia dengan girang tak perduli dengan akhir ucapan Mara dirinya langsung memilih tanpa berpikir panjang karena mencari kerja di jaman sekarang itu sangatlah susah.
"Saya suka dengan antusiasmu, tapi saya ingin berbicara dengan anak saya terlebih dahulu untuk meminta persetujuan darinya. " ucap Mara dan di balas anggukan dari Fathia.
"Ini kartu nama saya, " Mara menyerahkan sebuah kartu nama yang langsung di terima oleh Fathia.
Akhirnya mereka berbincang-bincang sebentar mengobrolkan apa yang akan di lakukan selanjutnya.
***
Fathia mendorong gerbang rumahnya yang sudah berkarat lalu menutupnya kembali, gadis itu berjalan dengan senyum terukir indah di wajah manisnya.
Cklek!
Fathia mendorong kenop pintu dan terbukalah isi rumah yang tidak terlalu besar dan tidak juga kecil, rumah itu nampak besar walau modelnya tidaklah moderen karena rumah itu adalah rumah turun temurun dari keluarga ibunya Fathia, Margareta Rosly Harra.
"Ibu! "
Fathia berlari ke arah wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda akibat kecelakaan lima tahun yang lalu, Harra adalah seorang ibu tunggal yang merawat Fathia sejak kecil tanpa seorang pendamping sebab suaminya Felson Roderick Ardana sudah menceraikan Harra sebab perusahaan yang selama ini berkembang pesat seketika bangkrut dan Felson tidak mau jatuh miskin oleh sebab itu dirinya meninggalkan anak dan istrinya.
Semua perusahaan miliknya harus dirinya jual demi membayar hutang yang sangat banyak jumlahnya, namun ia tidak menjual rumah peninggalan keluarganya karena itu adalah warisan dari keluarganya yang nantinya akan di berikan kepada Fathia.
Harra tersenyum dengan membalas pelukan hangat dari anak semata wayangnya.
"Ibu tahu? aku sudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru pribadi." Fathia berceruta dengan sangat semangat.
"Oh ya? selamat ya, ibu do'a-kan semoga lancar. " ujar Harra dengan lengkungan di bibirnya namun matanya mengeluarkan bulir demi bulir air bening.
Fathia yang melihat ibunya menangis seketika menghapus air mata ibunya lalu berkata "Ibu jangan menangis," Harra seketika tersenyum dan menghapus air matanya.
...»»————><————««...
Hari demi hari berlaru namun tidak ada kabar sama sekali dari Mara, membuat Fathia merasa cemas jika dirinya tidak di terima.
"Fa, kamu kenapa? kok mondar-mandir gitu kayak kebingungan. " tanya Harra dengan mendorong roda agar kursi roda yang tengah ia duduki berjalan.
Fathia menoleh lalu duduk di sebuah sofa yang nampak usang apalagi sudah tampak robek-robek.
"Tidak apa-apa, aku hanya menunggu Nyonya Mara menghubungiku kalau aku di terima atau tidak." jawab Fathia sementara Harra manggut-manggut tanda mengerti.
"Lebih baik kamu menunggu saja, siapa tau beliau sedang sibuk. "
Deert,,,Deert,,,
Tepat setelah Harra berucap akhirnya ponsel jadul milik Fathia berdering menandakan jika ada yang menghubungi dan dengan cepat pula si pemilik ponsel menggeser tombol hijau.
[Halo,]
[Halo, apa benar ini Fathia?]
[Iya, ini saya Fathia,]
[Semoga saja kamu masih minat untuk bekerja menjadi guru cucu saya, karena kamu saya terima dan anak saya sudah menyetujuinya. ]
[Sa-saya di terima?]
[Iya, kamu di terima. Dan lusa kamu bisa langsung ke rumah saya untuk mulai mengajar,]
[Ba-baik, saya usahakan lusa akan datang dengan tepat waktu.]
[Yasudah kalau begitu lusa saya tunggu ya, dan mungkin sampai sini dulu sambungan telepon kita karena saya masih banyak kerjaan.]
Tut,,, Tut,,, Tut,,,
Sambungan telepon akhirnya tertutup dan di saat itulah wajah Fathia bersemu-semu dengan tanpa aba-aba dirinya langsung memeluk sang ibu.
"Aku di terima Bu, " ujar Fathia dengan antusias.
"Syukurlah, ibu ikut senang. " ucap Harra dengan senyum lebarnya.
***
Mara menatap layar ponsel miliknya yang barusan dirinya pergunakan untuk menelfon Fathia.
Mara sebenarnya ragu untuk mempekerjakan guru untuk cucu satu-satunya sebab sudah banyak guru yang dirinya pekerjakan namun tidak ada yang bisa bertahan lama, semuanya menyerah dengan alasan tidak kuat menghadapi tingkah bocah berusia tujuh tahun yang sangatlah menjengkelkan.
Walau mereka di bayar dengan mahal tetapi mereka tidak mau menjadi gila hanya karena tidak kuat menghadapi kegilaan anak didiknya.
Walaupun ragu Mara tetap memperkerjakan guru pribadi sebab cucunya itu tidak mau bersekolah walau sudah di rayu-rayu seperti apapun itu.
Rayanza Grendia Marvous bocah yang sangat aktif namun terkenal dengan kelicikanya dan ide konyol terisi penuh di dalam otaknya.
Bahkan Yanza pernah meledakan rumah berhektar-hektar hanya karena bocah itu merasa bosan, namun sang Ayah malah memuji tingkah Yanza.
Yanza adalah anak tanpa ibu, karena sang ibunda telah meninggalkanya saat berhasil melahirkan anak pertamanya.
Loure Verdouse sang ibunda Yanza.
Cklek!
Bocah kecil masuk tanpa mengetuk pintu, Yanza langsung berlari mendekat ke arah neneknya.
"Ada apa Nek? " Tanya Yanza dan Mara tersenyum dengan mengelus rambut Yanza namun tangan mungil Yanza langsung menepis sebab dirinya tidak menyukainya.
"Baiklah, Yanza. Lusa akan ada guru baru dia bernama Fathia." mimik wajah Yanza langsung mengkerut mendengar penuturan Mara.
'Ish aku harus berperang melawan manusia. tapi tak apa,'
Dua hari kemudian, dimana hari ini adalah hari dimana Fathia bisa mulai bekerja menjadi guru pribadi.
Gadis itu tengah berdiri di depan pintu gerbang dengan mengecek barang bawaanya untuk memastikan jika tidak ada yang terlupa sedikitpun.
Tin!
"Atas nama Margareta Airun Fathia? " seorang pria paruh baya berkumis tipis dengan memakai sebuah jaket hijau lengkap dengan helm yang sudah standby di kepala botaknya.
"Iya saya sendiri, " jawab Fathia setelah itu si Bapak menyodorkan helm ke arah Fathia yang langsung di sambut,
Breem!
Ngeeng!
Motor matic berwarna merah itu berjalan menjauh dari lokasi, di sepanjang jalan si Bapak bernyanyi lagu jadul dengan antusias sementara Fathia terus mengecek pergelangan tanganya yang bertengger sebuah jam tangan di sana yang menunjukan pukul setengah delapan.
"Pak bisa lebih cepat tidak? " Fathia menepuk pundak si Bapak dan setelah itu motor semakin bertambah kecepatanya mengalahkan kecepatan banyak mobil di sana.
...»»————><————««...
"Apakah ini yang di namakan guru? selalu membuatku menunggu. " Yanza berucap dengan menatap jam tangan yang ia gunakan sembari terus menggerutu sementara Mara yang melihat tingkah cucu laki-lakinya hanya bisa menggelengkan kepala.
"Tunggu saja, pasti sebentar lagi datang." Mara mencoba untuk meredakan rasa kesal cucunya.
Tap,,,Tap,,, Tap,,,
Dua orang itu langsung menoleh ke sumber suara dan langsung memperlihatkan seorang wanita dengan penampilan yang sudah acak-acakan dengan menenteng sepatu hak tingginya.
"Huh,, Huh,, maaf saya telat satu menit. " ujar Fathia dengan nafas tersengal-sengal langsung membuat Yanza melongo dengan guru barunya.
Mara menggelengkan kepalanya "Tidak apa, lagi pula hanya telat satu menit. " ucapnya menoleh ke arah Yanza.
"Perkenalkan ini cucu saya namanya Rayanza Grendia Marvous," jelas Mara sementara Fathia tersenyum ke arah Yanza yang menatapnya dengan sinis, sebenarnya di hati paling terdalam Fathia merasa gondog dengan tingkah laku Yanza.
"Baiklah, kamu bisa mulai bekerja sekarang. " ucap Mara tersenyum ke arah Fathia.
"Saya permisi, "
Mara berjalan meninggalkan Fathia dan Yanza, setelah tidak ada siapapun dua bocah dan orang dewasa itu saling tatap menatap.
"Baiklah Yan~" belum selesai Fathia melanjutkan perkataanya sudah di potong oleh Yanza.
"Panggil aku Tuan Muda, " dengan sombongnya Yanza berucap sementara Fathia hanya bisa tersenyum getir, baru kali ini dirinya bertemu dengan bocah yang sangat sombong.
"Maksudku Tuan Muda, apakah kita bisa memulai belajar mengajar? " tanya Fathia menatap bocah berusia tujuh tahun di hadapannya yang tengah bersedekah dada.
"Terserah, "
Yanza tanpa aba-aba langsung melangkahkan kakinya menuju sofa lalu duduk di sana dengan kaki yang di silangkan.
Fathia mendekat lalu duduk di samping Yanza namun dirinya berhasil tersentak dengan ucapan Yanza.
"Kau duduk di bawah, aku tidak sudi duduk berdampingan dengan orang miskin sepertimu. "
Sungguh pedas sekali ucapan Yanza barusan membuat Fathia dengan susah payah menelan salivanya namun walah begitu dirinya tetap menurut untuk duduk di bawah, bagai manapun bocah di depanya itu adalah bosnya.
Fathia membuka sebuah buku hitung-hitungan anak kelas dua sementara Yanza masih menatapnya sinis.
"Aku akan mengajarimu perkalian, " ujar Fathia mengajari Yanza sesuai dengan kelasnya.
"Sebelum itu aku akan menjelaskan terlebih dahulu apa itu perka~"
"Iya aku tahu, sudahlah langsung saja ke intinya. "
Lagi dan lagi ucapan Fathia kembali disela oleh Yanza namun dirinya hanya bisa diam menurut dari pada tambah runyam nantinya lalu endingnya dirinya di pecat.
"Soal pertama, satu di kali lima sama dengan?" Fathia mulai memberikan satu pertanyaan sementara Yanza mengeluarkan segepok uang dari balik hodie yang ia kenakan.
"Seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratu, lima ratus. " Yanza menghitung membiarkan Fathia terbelalak melihat bagaimana cara Yanza menghitung.
'Gilak, sultan mah bebas yak. '
Yanza tersenyum mengejek lalu meletakan lima lembar uang di atas meja lalu berucap "Jawabanya lima. "
Fathia melihat lima lembar uang di atas meja dengan menelan salivanya dengan susah payah karena jujur dirinya baru pertama kali bertemu manusia jenis Yanza.
"Bagaimana, apakah jawabanku benar? " tanya Yanza.
"I-iya benar," dirinya menjawab karena memang jawaban Yanza itu benar namun caranya saja yang tidak biasa.
"Ck, ini membosankan. " decak Yanza bersedekap dada, memang benar dirinya saat ini merasa bosan entah karena apa.
"Baiklah, agar Tuan Muda tidak bosan mari kita menggambar. " saran Fathia sementara Yanza hanya menjawab dengan kata 'Terserah'.
Fathia mengeluarkan perlengkapan untuk menggambar lalu meletakanya di atas meja "Kali ini aku akan mengajarimu cara menggambar kelinci. "
Yanza hanya berdehem dengan menatap Fathia yang mulai menggambar dengan bernyanyi "Lingkaran kecil lingkaran kecil,,, "
Selama Fathia bernyanyi hanya ada keheningan bahkan Yanza tidak berkutik lagi, akhirnya Fathia menoleh dan dirinya langsung menghela nafas ketika melihat Yanza tengah berlayar di alam mimpi.
"Astaga, kalau begini bagaimana caranya aku mengajar dia? " gumam Fathia dengan raut wajah frustasi namun dirinya di kejutkan dengan sekumpulan Bodyguard mendekat ke arahnya.
Mereka menggakat tubuh Yanza dengan hati-hati untuk membawanya ke kamar sementara Fathia masih terbengong-bengong entah sampai kapan dirinya seperti itu.
"Nona, "
"Eh Iya, "
"Nona sebaiknya pulang saja, biarkan Tuan Muda beristirahat di kamarnya. " Bodyguard perempuan itu berucap dengan ramah sedangkan Fathia hanya mengganggukan kepalanya lalu mulai membereskan buku-buku dan lainnya yang ada di atas meja.
Setelah semuanya selesai barulah Fathia pamit berjalan keluar dari rumah mewah itu.
***
Sekarang dirinya tengah berjalan hendak pulang ke rumah namun dirinya masih tidak menyangka bahwa hari pertamanya bekerja akan seperti ini, bahkan dirinya membayangkan saat Yanza menghitung dengan menggunakan lembaran uang.
Hap!
Dirinya menoleh saat merasakan ada seseorang yang menepuk pundaknya dengan cukup keras.
"Abian, "
Abianza Elcloby, salah satu tetangga Fathia yang paling akrab bahkan mereka sudah kenal lama.
"Aku denger-denger kamu udah dapet pekerjaan ya? " tanya Abian menatap Fathia.
"Iya, "
"Lalu? sekarang kenapa kau tidak bekerja? " kembali Abian melontarkan sebuah pertanyaan.
"Pulang cepat, "
Abian mengganggukan kepalanya tanda mengerti walau dirinya masih menyimpan banyak pertanyaan di otaknya yang ingin segera dirinya pertanyakan namun saat melihat raut wajah Fathia seketika dirinya mengurungkan niatnya.
"Oh ya ini ada Siomay tadi aku beli, " Abian menyodorkan sepiring siomay ke arah Fathia,
"Wah Terima kasih, " ujar Fathia setelah menerima sepiring Siomay dari Abian.
"Iya sama-sama, " jawab Abian tersenyum.
"Oh ya aku pamit ya,." pamitnya yang di balas anggukan oleh Fathia.
Setelah Abian pergi barulah dirinya membuka gerbang berkarat itu lalu menguncinya.
Sampai di dapur dirinya langsung meletakan siomay itu di atas meja dan menyantapnya dengan nikmat.
Hari ini adalah hari kedua Fathia bekerja sebagai guru ajar tuan muda si bocah yang aneh.
Sekarang Fathia sudah bersiap untuk mengajar "Aku akan mengajari~"
"Terserah kau mau mengajariku apapun itu asalkan jangan menggambar sambil bernyanyi, suaramu itu membuatku mengantuk. " cerocos Yanza sementara Fathia hanya bisa mengiyakan.
"Oh ya apa kamu sudah bisa membaca?" tanya Fathia.
"Kau kira aku ini bodoh? jelas aku sudah bisa membaca. " jawab Yanza dengan arogan.
"Baiklah karena kau sudah bisa membaca langsung saja aku mengajarimu~"
"Tunggu! "
Belum selesai Fathia berbicara namun Yanza si bocah arogan itu sudah mengeluarkan suara yang begitu memekikan telinga.
"Ada apa? " tanya Fathia dengan alisnya yang sudah mengernyit menatap bocah di hadapanya.
"Aku mau ke kamar mandi, "
Tanpa menunggu jawaban Fathia bocah arogan itu langsung melompat dari sofa yang semua ia duduki dan sekarang dirinya sudah berlari entah ke arah mana.
Fathia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah muridnya yang tidak bisa di tebak, setelah itu ia kembali fokus dengan buku-buku yang ada di atas meja.
***
"Kenapa lama sekali? " gumam Fathia yang sedari tadi terus melihat jam yang melingkar di tanganya, sudah lebih dari satu jam tapi Yanza masih belum juga kembali dimana berhasil membuat Fathia cemas takut bocah arogan itu kenapa-napa dan ujung-ujungnya dirinya-lah yang di salahkan.
Tak ingin tinggal diam akhirnya gadis itu bangkit melihat sekelilingnya mencoba untuk mengingat-ingat kemana arah Yanza tadi pergi, memang si bocah itu sudah memberi tahu jika dirinya ingin ke kamar mandi namun masalahnya Fathia tidak tahu sama sekali dimana letak kamar mandinya sebab sejak pertama kali dirinya menginjakan kakinya di rumah megah itu, sama sekali belum berkeliling karena fokusnya hanya satu yaitu mengajari anak didiknya dengan menunggu bayaran dari bosnya.
"Nona, "
Fathia menoleh dan langsung melihat pelayan rumah yang tengah tersenyum ramah usah menyapa Fathia setelahnya pelayan itu melangkahkan kakinya hendak pergi kembali bekerja namun tanganya langsung di cekal oleh Fathia.
"Maaf aku ingin bertanya, apakah kau tau dimana kamar mandinya? " tanya Fathia menatap pelayan rumah itu dengan penuh harap.
"Di sebelah sana Nona, " pelayan rumah itu menunjuk arah selatan dan di ikuti oleh mata Fathia.
"Terimakasih, "
Ucapnya seraya melepas cekalanya setelah itu langsung pergi berjalan ke arah yang di tunjuk.
***
Pelayan rumah itu terkekeh melihat kepergian Fathia sembari tanganya merogoh saku seragamnya dan langsung mengeluarkan sebuah Walkie Talkie.
(Saya mau lapor Tuan Muda,)
(Ya, silakan.)
(Tugas sudah selesai dan Nona Fathia sedang menuju lokasi,)
(Bagus,)
Pelayan itu kembali menyimpan Walkie Talkie seraya melanjutkan langkahnya untuk melakukan kegiatan seperti biasanya.
...<————««»»————>...
"Huaaaa!! "
Fathia seketika terkaget-kaget bukan main ketika mendengar suara cempreng si Yanza dan matanya yang berkeliling langsung melihat Yanza yang tengah berdiri di dalam sebuah kamar.
"Huaaa! "
Kakinya reflek langsung berlari masuk ke dalam kamar yang entah milik siapa namun naas kakinya terjatuh dan langsung tersungkur di lantai.
Brugh
"Aduh! "
Fathia meringis kesakitan namun berbeda dengan Yanza yang malah tertawa namun ketika Fathia menatapnya tajam seketika Yanza langsung keluar tak lupa juga bocah itu menutup pintu.
Byas!
"Tidaaak!! "
Penolakan Fathia sudah terlambat karena sebuah ember terjatuh tepat di kepalanya namun bukan itu yang membuat Fathia kesal namun di dalam ember tersebut terdapat air dingin bercampur tepung terigu dan banyak butir telur.
Fathia langsung melempar ember tersebut ke sembarang arah seraya bangkit dengan mata yang melotot dan wajahnya sudah berwarna merah menahan amarah.
Clek,,Clek,,
Fathia mendengus mehan amarahnya ketika pintunya tidak bisa di buka alias terkunci, ingin rasanya ia melempar semua barang-barang yang ada di sana namun dirinya sadar bahwa semuanya bukanlah miliknya.
Matanya menelisik penjuru kamar dan berhenti tepat ke arah sebuah meja yang terdapat laci, otaknya berpikir siapa tahu di dalam laci-laci itu terdapat sebuah kunci cadangan.
Sreet!
Matanya langsung berbinar saat melihat sebuah kunci cadangan dan tanpa pikir panjang lagi Fathia langsung mengambilnya lalu mulai mencocokanya dengan lubang yang ada di pintu.
Cklek!
Hening, tidak ada siapa-siapa di luar kamar namun Fathia masih harus waspada siapa tahu bocah itu masih mau mengerjainya.
Ketika dirinya melangkah samar-samar ia mendengar suara seseorang tertawa dan ketika dirinya mengintip rupanya sudah ada Mara yang tengah duduk di samping Yanza dengan menunjuk sebuah gambar yang ada di buku.
"Permisi Nyonya, "
Mara mendongak dan langsung mengernyit ketika melihat penampilan Fathia yang tidaklah baik-baik saja.
"Kamu kena~"
Baru saja Mara ingin bertanya namun wanita paruh baya tersebut langsung paham ketika melihat Fathia dan Yanza tengah menatap tajam.
"Yasudah, lebih baik kamu pulang bersihkan dirimu biar Yanza aku yang urus. ".
Mendengar itu Fathia langsung tersenyum lebar dan tanpa berlama-lama dirinya membereskan barang-barangnya yang ada di meja.
" Saya permisi Nyonya, " pamit Fathia dengan badan yang sedikit di bungkukan sementara Mara hanya menggangguk saja.
Fathia sudah melangkah pergi meninggalkan dua orang yang masih diam.
Mara menoleh ke arah cucunya begitu juga dengan Yanza yang menatap neneknya dengan alis yang mengernyit merasa heran kenapa wanita paruh baya yang duduk di sampingnya itu menatap dirinya.
"Yanza, bisakah kau tidak membuat onar? " tanya Mara dengan mencoba menahan kesal karena Yanza selalu saja berbuat onar.
"Aku hanya ingin bersenang-senang saja, apakah salah? " tanya Yanza menatap Mara.
"Ya, tidak salah tapi kan caranya bisa kau ganti. Apa kamu mau Za? Fathia mengundurkan diri setelah itu tidak ada lagi yang mengajarimu. "
"Aku tidak perduli, lagian siapa yang nyuruh buat cari guru privat? "
.
"Ta~"
"Ssttt! "
Belum selesai Mara menyelesaikan pembicaraannya tiba-tiba Yanza meletakan jarinya di bibir Mara.
"Setiap manusia itu mempunyai pilihannya masing-masing, dan diri sendiri-lah yang berhak memilih jalan hidupnya. "
Mara yang mendengar ucapan Yanza ingin kembali berbicara namun segera di sela oleh Yanza.
"Nah karena itu akulah yang lebih berhak memilih jalan hidupku sendiri, karena aku yang menjalaninya. " lanjutnya yang seolah-olah paling bijak.
"Ta~"
"Sudah ya, aku mau ke kamar dulu. "
Tanpa menunggu lama lagi Yanza langsung turun dan berjalan dengan cepat ke arah kamarnya, tak ingin berlama-lama dengan Mara yang selalu cerewet itu.
"Lihatlah anakmu Arson, dia sebelas dua belas denganmu dan itu membuatku pusing. " gumam Mara dengan memijat pelipisnya yang terasa berat.
Dert,,, Dert,,,
Mara langsung mengangkat telepon dan seketika dirinya kembali serius.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!