Selamat membaca!
"Sayang, kamu masih lama? Ini kan malam pertama kita. Aku tuh udah enggak sabar ingin bercinta sama kamu, Sayang?"
Ucapan itu benar-benar membuatku merasa takut. Bagaimana tidak, sejak pagi tadi aku terus memikirkannya. Memikirkan tentang betapa menyesalnya aku karena tidak menjaga keperawananku. Aku benar-benar melupakan nasihat ibu. Nasihat di mana aku seharusnya menjaga hal penting itu dan hanya memberikannya pada pria yang akan menjadi suamiku.
"Sekarang bagaimana ini? Apa sebaiknya aku jujur aja sama Mas Denis? Tapi, bagaimana kalau dia marah dan jadi membenciku."
Tidak mudah untukku menentukan pilihan. Terlebih suamiku yang bernama Denis Wiratama beberapa kali sering mengatakan jika dia hanya ingin menikahi wanita yang bisa menjaga keperawanannya hanya untuk pria yang menjadi suaminya. Dan, bodohnya lagi, aku hanya bisa mengiyakan tanpa menjelaskan apa-apa saat itu.
Aku pun menarik napas panjang. Masih nyaman berdiri di bawah pancuran air yang keluar dari shower tepat di atas kepalaku. Bukan hanya merasa letih karena seharian ini menyambut tamu-tamu undangan yang datang ke resepsi pernikahanku, tetapi pikiranku pun terasa lelah karena terus memikirkan malam pertama yang bagi setiap wanita seharusnya menjadi malam indah. Namun, sepertinya itu tidak berlaku untukku karena yang terjadi malah sebaliknya. Aku sangat tertekan. Merasa bodoh dan ingin lari dari kenyataan.
Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar mandi yang dibarengi dengan suara Mas Denis pun terdengar mengejutkanku. Aku coba tetap tenang agar dia tidak dapat membaca apa yang aku pikiran saat ini. Semua akan jadi masalah jika Mas Denis sampai tahu bahwa aku adalah wanita yang tidak sempurna dan jauh dari apa yang dia harapkan. Sungguh, seandainya waktu bisa kembali, aku ingin kembali ke masa itu. Masa di mana seharusnya aku tidak menyerahkan keperawananku hanya demi sebuah materi. Ya, walau jumlahnya cukup besar, tetapi aku benar-benar menyesalinya saat ini.
"Aku masuk ya, Sayang." Tanpa menunggu jawabanku, dia pun melangkah masuk. Melihat tubuh polosku yang basah dengan kedua matanya yang terus menatapku tanpa berkedip. Aku tahu, dia pasti kagum dengan keindahan lekuk tubuhku. Makanya, dia menatapku seperti itu.
"Mas, kamu enggak nunggu di tempat tidur aja? Aku sebentar lagi juga selesai kok."
"Kamu lama banget, Sayang. Udah setengah jam aku tungguin, tapi kamu belum juga keluar dari kamar mandi. Jadi, aku pikir apa sebaiknya kita melakukannya di dalam bathtub aja?"
"Jangan dong, Mas! Aku ingin malam pertama kita berkesan. Kamu tunggu di tempat tidur ya. Lima menit aku akan segera menyusul."
"Baiklah, aku tunggu ya! Kamu jangan lama-lama ya, Sayang."
Mas Denis tersenyum. Dia tidak memaksa apa yang tidak ingin aku lakukan. Ya, begitulah dia. Pria sempurna yang membuatku sampai rela melepas semua pria hidung belang yang selama setahun selalu memberikan aku kemewahan. Bertemu dengannya adalah sebuah anugerah untukku. Namun, aku tidak yakin jika dia akan sependapat denganku saat mengetahui bahwa aku telah membohonginya dengan mengaku masih perawan.
Kepergiannya meninggalkan berjuta ketakutan dalam diriku. Aku benar-benar bimbang hingga tak kuasa air mataku pun menetes membasahi kedua pipiku. Aku menangis, meluapkan perih dan ketakutan yang kian membelenggu hatiku.
"Mungkin aku memang tidak bisa menghindari semua ini. Sekarang aku pasrah dengan apa yang akan Mas Denis pikirkan tentangku," batinku sambil mematikan shower, lalu mengambil handuk dan melilitkan pada tubuhku.
Bersambung ✍️
Selamat membaca!
Saat itu, waktu terasa berjalan lambat untukku. Aku pun melangkah dengan ragu melewati pintu kamar mandi yang baru saja aku buka. Mungkin ini adalah hukuman yang memang harus aku terima atas dosa masa laluku. Sekalipun nanti Mas Denis pada akhirnya menceraikan aku karena merasa dibohongi, aku rela karena memang semua bermula dari kesalahanku. Ketidakjujuranku ternyata benar-benar menjadi bumerang untukku. Namun, tiba-tiba dia datang dengan terburu-buru sambil memanggil namaku berulang kali. Aku dapat melihat jika ponselku tengah menempel di telinganya.
"Lissa, ibu kamu …." Aku terkejut. Menatap heran Mas Denis dengan wajah cemasnya sedang berlari menghampiriku. Memang kamar ini sangat luas hingga butuh beberapa meter untuk bisa tiba di kamar mandi.
"Kenapa, Mas? Kenapa dengan ibu?" tanyaku yang juga ikut merasa cemas.
"Ibu kamu harus segera dioperasi malam ini, kondisinya sangat buruk." Sambil mengatur napasnya yang terengah, Mas Denis mengatakan kabar buruk itu hingga membuat kedua lututku terasa tak bertenaga. Aku benar-benar tidak menyangka jika hal ini sampai terjadi di malam pertamaku.
"Ibu ...." Rasanya ini seperti mimpi, tapi setelah aku pikir, takdir seolah sedang menolongku. Mengulur waktu agar kebohonganku tidak terbongkar, walau aku tau jika itu tidak akan berlangsung selamanya.
"Sekarang kamu siap-siap! Kita akan pergi ke rumah sakit malam ini. Kamu yang sabar ya, Sayang! Aku yakin semua pasti akan baik-baik saja."
Dengan perasaan sedih yang seketika membalut hatiku, aku pun melangkah menuju walking closet yang tak jauh dari posisiku berada. Sementara Mas Denis, kembali menenangkan adikku lewat sambungan telepon. Aku masih dapat mendengar apa yang dikatakan Mas Denis pada Almira, kembaranku. Ya, aku memang memiliki seorang adik perempuan dan jarak usia kami hanya terpaut beberapa detik saja. Wajah kami sangat mirip karena memang kami adalah kembar identik. Banyak wacana yang sering aku baca jika kembar identik seperti aku dan Almira memiliki ikatan batin yang kuat hingga mereka bisa saling merasakan kesedihan satu sama lain, sekalipun tidak saling bertemu. Namun, entah kenapa itu tidak terjadi padaku. Mungkin karena aku dan Almira tidak dibesarkan di kota yang sama. Kami sempat terpisah karena ayah dan ibuku memutuskan untuk bercerai. Mereka pun membagi hak asuhnya dan setelah ayahku meninggal, aku pun kembali ke Jakarta dan tinggal bersama ibu dan Almira.
***
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Memandang ke luar jendela dengan rintik hujan yang masih nyaman membasahi semesta. Hatiku kini semakin gelisah. Bukan hanya memikirkan kondisi ibuku, tetapi aku juga dihadapkan dengan rasa takut soal malam pertamaku yang mungkin saja bisa jadi malam terakhirku menjadi istri Mas Denis. Mungkin orang lain bisa menanggapinya dengan santai, tetapi tidak jika mereka mengenal karakter dan watak Mas Denis yang keras. Dia memang baik dan sangat perhatian. Namun, untuk masalah kejujuran tidak ada tawar menawar dalam kamus hidupnya. Itulah yang membuat ketakutanku kian bertambah.
"Kamu jangan sedih ya! Pokoknya kita sama-sama berdoa aja demi keselamatan ibu kamu. Tadi aku sudah hubungi pihak rumah sakit, aku sudah meminta mereka untuk melakukan operasi tanpa menunggu kita datang. Pokoknya kamu jangan berpikir yang aneh-aneh ya!"
Perhatiannya entah kenapa bagaikan sihir yang seketika membuat kesedihanku berangsur memudar. Dia seperti membuaiku dengan kata-katanya yang manis. Membuatku semakin merasa tidak rela jika harus kehilangan sosok pria seperti dirinya.
"Tidak, aku tidak ingin dia menceraikanku. Seandainya aku bisa melewati malam ini, semua pasti akan baik-baik aja," batinku coba meyakinkan hati jika aku pasti bisa melewati malam ini tanpa harus membongkar kebohonganku.
Di tengah rasa kalut yang kian membuat kepalaku pening, tiba-tiba sebuah ide terbesit dalam pikiranku. Ide yang sebenarnya sangat gila untuk aku lakukan, tetapi aku merasa ini adalah jalan satu-satunya yang bisa aku usahakan agar pernikahanku dengan Mas Denis tidak berakhir.
"Aku harus memaksa Mira untuk menggantikanku di malam pertama ini. Aku sebenarnya tidak rela jika Mas Denis harus menikmati tubuh adikku, tapi aku tidak punya pilihan. Ini harus aku lakukan. Harus! Jika memang aku masih ingin menjadi istrinya," batinku memutuskan, walau keraguan itu masih membuatku tidak yakin jika ini adalah yang terbaik untuk dilakukan.
Bersambung ✍️
Selamat membaca!
Langkah panjangku terhenti tepat di hadapan Almira. Tak hanya memikirkan bagaimana cara agar dapat memaksanya untuk menuruti apa yang aku minta, saat ini aku juga tengah memikirkan kondisi ibuku yang masih belum selesai menjalani operasi. Walaupun awalnya keraguan itu masih terus mengusikku, tetapi aku merasa ini adalah jalan satu-satunya agar bisa menyelamatkan pernikahanku yang baru hitungan jam.
"Kakak, ibu, Kak …." Suaranya terdengar begitu lirih. Almira berdiri, lalu mendekap tubuhku. Tangisannya semakin keras hingga memecahkan keheningan di lorong rumah sakit.
"Sudah sabar ya! Kamu jangan menangis seperti ini! Ibu pasti baik-baik aja. Sekarang lebih baik kamu ikut Kakak dulu ya!" Aku melepas pelukannya, menatap wajah adikku yang begitu sendu.
"Ke mana, Kak?" tanya Almira sambil mengusap air matanya. Menatapku dengan rasa heran.
"Ikut Kakak ke toilet sebentar!"
Almira yang masih kelihatan bingung akan maksudku pun kini mulai mengikutiku tanpa banyak bertanya. Aku merasa ini adalah kesempatanku satu-satunya karena Mas Denis saat ini sedang mengurus administrasi untuk pembiayaan ibuku di rumah sakit.
Setibanya di dalam kamar mandi, aku mulai menatap tajam wajah adikku. Membuatnya semakin heran karena hal itu tidak biasa aku tampilkan. Wajah kami benar-benar sangat mirip hingga sulit bagi siapa pun untuk dapat membedakan antara aku dan Almira. Terlebih beberapa hari yang lalu sebelum hari pernikahanku, kami sempat menghabiskan waktu seharian di salon dan saat itu kebetulan Almira memotong rambutnya seperti model rambutku. Jadi ketika aku melihatnya, sama saja seperti aku melihat diriku di cermin. Tak ada yang berbeda di antara kami. Bahkan seolah-olah takdir berpihak padaku karena ukuran buah dada kami juga sama. Makanya, terkadang bra yang kami miliki sering tertukar karena ibu selalu membelikan kami warna yang serupa.
"Kenapa Kakak melihatku seperti itu?" tanya Almira merasa ada yang aneh denganku.
"Aku ingin kita bertukar peran, Mira." Entah apa yang dipikirkannya, tetapi yang dapat aku baca, saat ini dia tampak begitu terkejut mendengar permintaanku.
"Kenapa, Kak? Kenapa Kakak tiba-tiba ingin bertukar peran denganku?"
"Kamu tahu Kakak sudah tidak lagi perawan. Makanya, Kakak enggak mau jika Mas Denis akan membenci Kakak karena hal itu. Jadi Kakak minta untuk malam ini aja, kamu harus berpura-pura jadi Kakak!" Aku menggenggam tangannya dengan erat. Begitu memohon agar Almira mau menuruti permintaanku.
"Tidak, Kak! Maaf, tapi itu benar-benar hal yang gila. Aku enggak mungkin tidur dengan kakak iparku sendiri. Itu mustahil, Kak." Almira menghempaskan kedua tanganku dengan kasar, lalu memutar tubuhnya untuk pergi dariku. Namun, sebelum dia benar-benar melangkah keluar dari kamar mandi, aku langsung menahan pintu itu agar kembali menutup dan menghalangi tubuhnya dengan berdiri di depan pintu.
"Kalau kamu menolak permintaanku, jangan salahkan aku jika aku enggak akan mau lagi ngasih uang untuk biaya kuliahmu dan bukan hanya itu, aku juga enggak akan membiayai seluruh pengobatan ibu di rumah sakit!" Ancaman itu berhasil menggertak Almira yang seketika hanya diam setelah sebelumnya coba menyingkirkan tubuhku dari jalannya untuk keluar.
"Tapi, Kak ...."
"Enggak ada tapi-tapian, kamu harus menolong Kakak. Apa kamu mau Kakak diceraikan malam ini juga sama Mas Denis kalau sampai ketahuan Kakak udah enggak perawan lagi?"
"Kak, masalah ini apa enggak bisa dibicarakan dengan Mas Denis? Kakak lebih baik jujur aja! Pasti Mas Denis mau nerima kekurangan Kakak, apalagi kalian udah nikah."
"Kamu enggak perlu ngajarin aku. Kakak tahu bagaimana Mas Denis? Jadi, sangat tidak mungkin jika dia akan menerima kekurangan Kakak. Asalkan kamu tahu, Mira! Kakak itu udah mengatakan padanya sebelum menikah bahwa Kakak masih perawan. Makanya, dia langsung melamar Kakak."
Almira seketika terdiam dan hanya menatapku ragu. Aku yakin saat ini dia sendiri juga bingung harus menerima atau menolak permintaanku.
"Apa kamu lupa semua pengorbananku selama ini? Kakak bahkan sampai merelakan tubuhku demi membiayai kuliahmu."
"Bukan seperti itu, Kak. Tapi ...."
"Baiklah, kalau kamu enggak mau melakukannya, jangan salahkan aku jika sampai terjadi sesuatu yang buruk dengan Kakak." Aku langsung mengeluarkan pisau kecil yang sengaja aku bawa di dalam tas. Aku tahu hal ini pasti akan terjadi. Makanya, aku sudah mempersiapkannya jika sampai Almira bersikeras menolak permintaanku.
"Baik, Kak. Aku akan menuruti keinginan Kakak." Almira menjawabnya dengan cepat setelah merebut pisau kecil dari tanganku. Pisau yang sudah sempat menggores sedikit pergelangan tanganku.
Mendengar jawaban Almira entah kenapa aku masih merasa tidak tenang. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, tetapi aku tidak tahu apa itu.
"Ya Tuhan, semoga ini adalah jalan benar yang aku pilih. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama Mas Denis. Aku enggak ingin dia membenciku karena aku telah membohonginya," batinku penuh harap dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Bersambung ✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!