Derasnya air hujan membasahi bumi pada sore hari itu. Udara dingin dan lembab, membuat siapa pun merasa malas untuk beraktifitas di luar rumah.
Namun berbeda dengan seorang gadis yang sedang menari-nari di bawah derasnya air hujan dengan penuh keceriaan.
"Astaga, Anaya!!" teriak Gwen saat melihat putrinya bermain air hujan di halaman rumah. Ia bergegas mengambil payung untuk menghampiri putrinya.
"Naya. Ayo masuk rumah. Nanti kamu sakit!" Gwen langsung menarik tangan putrinya.
"No, Mommy!" rengek Anaya saat di paksa masuk ke dalam rumah.
"Jangan bandel! Kamu ini sudah besar kenapa bertingkah seperti anak kecil sih?" Gwen tidak berhenti mengoceh sembari membawa putrinya masuk ke dalam kamar mandi.
Anaya duduk di closet sembari menanggalkan pakaiannya satu persatu, lalu memakai bartrobe berwarna putih agar tubuhnya tidak kedinginan.
"Dan kenapa kamu tidak memakai ABD (alat bantu dengar)" tanya Gwen sambil memasangkan alat tersebut di kedua telinga putrinya, lalu ia mengambil handuk untuk mengeringkan rambut indah putrinya
"Aku lelah memakai alat itu terus!" rajuk Anaya sambil memanyunkan bibirnya.
Gwen menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut putrinya.
"Dengarkan Mommy, kamu harus selalu memakai alat itu, Naya," ucap Gwen dengan nada pelan.
"Kenapa Mom? Kenapa aku berbeda? Aku ingin seperti anak yang lainnya! Aku ingin mendengarkan suara air hujan, suara musik dan suara Mommy dan Daddy tanpa alat itu!" tanya Anaya dengan wajah yang sendu, dan kedua mata yang berkaca-kaca.
Gwen memeluk putrinya dengan erat, menahan laju air matanya agar tidak terjatuh membasahi pipi.
"Kamu tidak berbeda. Kamu adalah anak yang spesial, kamu kebanggaan Mommy, dan Daddy," ucap Gwen dengan lirih.
"Jangan berkata seperti itu lagi, Nak," lanjut Gwen semberi mengusap punggung putrinya berulang kali.
Terkadang rasa lelah menghampiri Anaya dan membuatnya frustrasi dengan kekurangan yang dia miliki. Bukan hanya itu saja, ia sering mendapatkan bullyan dari teman-teman sekolahnya karena dia adalah penyandang tuna rungu.
Kedua orang tua Anaya memindahkan Anaya ke sekolah lain saat mengetahui putrinya mendapatkan bullyan.
Namun semua tidak sesuai harapan di sekolah barunya, Anaya tetap saja mendapatkan bullyan dari teman-teman sekelasnya, membuat gadis itu hampir depresi.
"Aku ingin pindah sekolah," ucap Anaya setelah pelukan itu terurai.
"Lagi? Ini sudah ketiga kalinya kamu meminta pindah sekolah," ucap Gwen kepada putrinya.
"Teman-temanku tidak mau menerima keadaanku," jawab Anaya dengan suara yang bergetar menahan tangisnya.
Gwen menghela nafas panjang lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Nanti Mommy bicarakan dengan Daddy," ucap Gwen lembut.
Sebagai seorang ibu, tentu saja Gwen merasa sedih melihat putrinya seperti itu. Tapi, kembali lagi, Anaya memang mempunyai kekurangan akan tetapi gadis cantik itu juga mempunyai kelebihan yang luar biasa.
"Jangan bersedih lagi. Semestinya kamu bangga Naya, karena kamu adalah gadis yang sangat cerdas, mempunyai suara yang indah dan membuat para gadis lain yang di luar sana merasa iri denganmu," ucap Gwen yang kini menyisir rambut putrinya.
Anaya tersenyum kecut mendengar ucapan ibunya. Andai saja dirinya bisa berlapang dada seperti yang di ucapakan ibunya.
***
Bagaimana kisah Anaya menurut kalian? Ini adalah novel pertamaku ber-genre TEEN, jadi kalian jangan harap ada hareudangnya ya. Wk wk wk wk
Jakarta, 07:00 WIB.
Anaya berjalan di koridor sekolah barunya, di salah satu sekolah SMA yang bergengsi di kota tersebut.
Setelah melewati perdebatan panjang dengan kedua orang tuanya, akhirnya Anaya di perbolehkan untuk pindah sekolah.
"Ini yang terakhir kalinya Daddy mengizinkanmu pindah sekolah. Jadilah gadis yang kuat! Tampar orang-orang yang merendahkanmu dengan kelebihan dan kecerdasanmu!" ucapan sang Daddy terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Anaya berjalan menuju ruangan kepala sekolah di temani oleh Gwen yang berjalan sangat anggun di sampingnya.
Banyak siswa dan siswi berjalan di koridor yang sama dengannya dan menuju kelas masing-masing. Banyak juga yang memperhatikan dirinya, yang di yakini adalah murid baru di sekolah tersebut.
Gwen menoleh ke arah Anaya seraya memberikan kode agar putrinya itu memakai ABD-nya.
Anaya mendengus lalu segera memakai benda yang di maksud ibunya di salah satu telinganya saja, lalu ia menutupi dengan rambut panjangnya.
"Pakai semuanya!" kesal Gwen kepada putrinya.
"Aku bisa berinteraksi tanpa menggunakan alat ini, Mom! Aku bisa membaca pergerakan bibir mereka!" jawab Anaya dengan nada kesal.
Anaya belajar seni membaca gerak bibir. Tidak mudah untuk Anaya kecil belajar seni gerak bibir, membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Tapi dengan kegigihannya dan juga semangatnya, Anaya bisa mempelajari itu semua. Sungguh pencapaian dan cobaan yang luar biasa untuk Anaya.
"Jangan membantah!" Gwen berkata tegas.
"Iya baiklah." Anaya akhirnya mengalah.
*
*
Sampai di ruangan kepala sekolah. Mereka berdua di sambut oleh Kepala sekolah dan Wali kelas.
"Kami sangat senang karena putri Anda sekolah di sini," ucap Kepala sekolah mencari perhatian, berharap jika Gwen menjadi donatur di sekolah tersebut.
"Saya mempercayakan putri saya kepada Bapak dan Wali kelas. Saya harap jangan sampai ada yang tahu indentitas putri saya yang sebenarnya," ucap Gwen seraya mengulas senyum tipis.
"Baik, Nyonya, kami akan menjaga data diri murid kami."
"Oh, iya, satu lagi, saya akan menjadi donatur tetap di sekolah ini," ucap Gwem, dan tentu saja membuat hati kepala sekolah tersebut berbunga-bunga.
"Terima kasih banyak, Nyonya," ucap Kepala Sekolah dan Wali Kelas bersamaan.
"Mari Nak Anaya, saya akan mengantarkan ke kelasmu," ucap Wali kelas yang berkepala pelontos itu.
Gwen menepuk pundak putrinya lalu mengepalkan tinju di udara, seraya berkata, "semangat!"
Anaya tersenyum dan mengangguk, lalu mencium punggung tangan ibunya dengan sangat sopan satun, sebelum ia berlalu mengikuti Wali kelasnya.
"Ini adalah kelasmu," ucap Wali kelas saat sampai di depan kelas yang terdengar sangat gaduh.
Anaya mengangguk, mengikuti masuk ke dalam kelas tersebut.
"Hei!! Diam!" seru Wali Kelas tersebut saat melihat para muridnya berisik. Ada yang duduk di atas meja, ada yang bernyanyi, bahkan ada yang berfoto selfie dan joget tik-tik di sana.
Anaya meringis saat melihat suasana di kelas tersebut, tidak sesuai seperti yang ia harapkan.
Mendengar suara Wali kelasnya yang berteriak keras, membuat para murid itu langsung diam, dan duduk di kursinya masing-masing. Tiba-tiba kelas tersebut menjadi lengang, sunyi.
Belasan tatapan mata itu mengarah kepada Anaya, menatap Anaya dari sangat intens. Anaya mendundukkan kepala, rasa percaya dirinya lenyap seketika saat mendapatkan tatapan aneh seperti itu. Ia takut di bully lagi.
***
Jangan lupa dukungannyanya, bestie❤💋
"Anaya perkenalkan dirimu," ucap Wali murid.
Anaya mengangguk lalu ia berjalan menuju white board, mengamil spidol dan menuliskan namanya di sana.
'My Name is Anaya aurora'
Satu kalimat itu yang di tuliskan Anaya di white board dengan singkat dan jelas.
"Cih, siapa dia? Sombong sekali!" bisik-bisik mulai terdengar, karena cara perkenalan Anaya di nilai tidak sopan dan juga tidak ramah seperti murid lainnya.
"Apakah dia tidak punya mulut? Seharusnya memperkenalkan diri secara lisan bukan tulisan!" seru seorang murid pria yang duduk di bangku paling belakang di sudut kanan.
"Iya, benar!" sahut murid yang lainnya.
Anaya membungkukkan sedikit badannya, bertanda jika dirinya meminta maaf. Sungguh perasannya tidak karuan, jantungnya berdetak dengan cepat. Trauma dengan bullyan yang pernah ia dapatkan dari sekolah sebelumnya.
"Diam! Diam semuanya! Jangan pada berisik, dan sambut teman baru kalian, Anaya," ucap Wali kelas kepada para muridnya.
"Anaya kamu bisa duduk di bangku yang kosong itu." Wali kelas menunjukkan bangku kosong di bagian tengah, bersebelahan dengan siswi yang terlihat cupu.
Anaya mengangguk, berjalan menuju bangku yang di maksud.
"Hai, Anaya."
"Hai," sapa balik Anaya saat ia sudah duduk di bangkunya.
"Aku Nisa tapi biasa di panggil Ica," ucapnya kepada Anaya sembari membetulkan kaca minus-nya yang bertengger di hidung mancungnya.
"Aku Naya," jawab Anaya tersenyum tipis.
Sepertinya Ica adalah gadis yang baik, pikir Anaya. Ia merasa senang, karena masih ada yang bersikap baik kepadanya di saat yang lainnya pada ketus.
"Sepertinya kita bisa berteman dengan baik," ucap Ica sambil tersenyum meringis memperlihatkan giginya yang di beri kawat behel.
"Iya," jawab Anaya.
Wali kelas memerintahkan kepada semua muridnya untuk mengerjakan tugas yang sudah diberikan. "Jangan pada ribut! Hari ini semua guru meeting, jadi kerjakan tugas yang sudah saya Bapak berikan, setelah istirahat di kumpulkan. Paham!"
"Paham, Pak!" Semua murid menjawab kompak.
Wali kelas langsung keluar dari ruangan tersebut. Salah satu murid pria beranjak, menyembulkan kepalanya di balik pintu, menatap Wali kelas yang sudah berjalan menjauh. Kemudian ia memberikan kode untuk teman-temannya.
"Satu ..."
"Dua ..."
"Tiga ... Horeeeee, kita bebas!!" teriaknya dan di ikuti yang lainnya.
Semua murid kecuali Anaya dan Ica bersorak heboh, bahkan ada yang naik di atas meja sembari berjoget-joget.
Jam kosong adalah jam kemerdekaan bagi semua siswa di sekolah. Wk wk wk wk.
Jadi nostalgia jaman sekolah dulu.😆
"Ica, boleh pinjam bukunya?" tanya Anaya tanpa memedulikan murid yang lain membuat kegaduhan.
"Tentu saja boleh, Nay," jawab Ica seraya mengelurkan buku pelajarannya dan memberikannya kepada Anaya.
"Kita kerjakan bersama," ucap Anaya.
"Ah, aku sedikit pusing jika mengerjakan metematika. Otakku buntu," jawab Ica jujur, sembari memijat pelipisnya.
Melihat rumus matematika saja sudah membuanya mual.
"Tenang saja, aku akan mengajarimu dengan cara yang lebih mudah," jawab Anaya.
"Benarkah?" tanya Ica, dan Anaya mengangguk berulang kali.
"Woah, sepertinya kamu ini adalah murid yang sangat cerdas, tapi kenapa kamu pindah sekolah," ucap Ica, sekaligus bertanya kepada Anaya.
"Aku mencari sekolah yang nyaman dan teman-teman yang menerimaku apa adanya," jawab Anaya, sembari mengambil pensilnya, mulai mengerjakan tugas.
"Iya, sih. Mencari teman yang tulus kepada kita itu sangat sulit," ucap Ica membenarkan perkataan Anaya.
"Tapi, aku tulus kepadamu, Nay. Karena aku tahu jika kamu adalah anak yang baik," ucap Ica, sambil menyisir rambut Anaya yang hitam berkilau sangat indah.
"Naya, maafkan aku karena menyentuh rambutmu yang indah ini. Kamu membuatku iri," ucap Ica jujur.
"Iya, tidak apa-apa," jawab Anaya, sambil tersenyum.
"Naya, kamu pakai headset?" tanya Ica saat rambut Anaya tersibak, ia melihat headset berwarna putih menempel di telinga Anaya.
***
Jangan lupa dukungannya Besti, like, komentar, dan vote ya. 💋
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!