Jedar!
Suara guntur dan petir bersahut-sahut di atas sana. Prediksi BMKG tadi sore tak menampik Mita untuk berada di dalam rumah. Bagaimana tidak Bagas' sang suami mengatakan padanya bahwa akan pulang telat dikarenakan ada urusan pekerjaan di lapangan. Sebagai istri yang penurut Mita mengiyakan ucapan Bagas. Namun entah mengapa ia sedikit keheranan apa di hari minggu ada pekerjaan tambahan.
Mita mengetahui pekerjaan Bagas memang lebih banyak bersosialisasi bersama nasabah. Dia hapal betul jika di akhir bulan Bagas lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat berkerja dan yang pasti akan membuat laporan bulanan. Tapi sekarang, awal bulan. Apa ada yang mendesak? Pikir Mita. Hal itu membuat Mita menaruh rasa curiga pada suaminya.
Sudah hampir setahun pula Bagas disibukkan dengan pekerjaannya. Belum lagi sikap suaminya berubah drastis tak seperti dahulu kala. Terkadang Bagas melontarkan kata-kata kasar padanya membuat hati Mita hancur berkeping-keping. Mita merasa Bagas telah berselingkuh. Namun ia mengusir pikiran negatifnya' dengan mendoktrin dirinya sendiri, mungkin saja Bagas sedang dipusingkan dengan pekerjaan yang mengunung di kantor.
Akan tetapi tepat hari ini perasaan Mita sangat tak karuan. Ia dilanda resah dan gelisah. Demi membuktikan prasangkanya. Secara diam-diam Mita membuntuti Bagas.
Semula tak ada yang aneh Bagas benar-benar berkerja seperti biasa, akan tetapi Mita begitu heran mengapa Bagas tak langsung pulang ke rumah. Sedari tadi juga Mita mengirim pesan singkat kepada Bagas ingin mengetahui apa suami berkata jujur atau tidak. Namun apa yang ditakuti Mita sepertinya akan terjadi, saat Bagas mengatakan akan pulang malam. Hal itu membuat Mita semakin gusar.
Mita menepuk pundak sang supir taksi di kursi kemudi. "Pak, berhenti di sana saja," katanya dengan melirik sesekali kendaraan roda dua milik Bagas memasuki pelataran bangunan yang sangat Mita kenali itu.
Seketika sang supir menghentikan mobilnya kemudian melirik Mita di kaca spion bagian tengah.
"Saya tidak akan lama." Secepat kilat Mita mengambil payung yang tergeletak di bawah kursi kemudian bergegas keluar dari dalam mobil.
Dada Mita bergemuruh kuat melihat Bagas sudah memarkirkan motor dan berlari gesit memasuki bangunan.
"Kamu ngapain Mas? Apa ada nasabah di sini?" Mita bergumam pelan sembari memayungi dirinya sendiri.
Jedar! Jedar!
Kepala Mita celingak-celinguk mengamati punggung Bagas sudah menghilang di ujung sana. Dengan langkah gesit ia menapaki jalanan aspal yang sudah digenangi air. Sesampainya di depan bangunan Mita di sambut seorang pemuda berparas oppa-oppa Korea.
"Mau kemana Mbak?" tanyanya penasaran sebab wajah Mita nampak asing baginya.
Lantas Mita tak langsung menjawab. Tengah merangkai kalimat yang tepat agar kedatangannya ke sini tak menimbulkan kecurigaan dan keributan.
"Hm, saya mau bertemu teman, dia baru sebulan tinggal di sini. Dari tadi saya telepon nggak di angkat," kilah Mita. Walaupun kenyataannya memang benar jika Mita memiliki teman akrab bernama Nadia dan baru saja pindah ke apartment sekitar sebulan yang lalu.
"Oh, gitu. Ya sudah, Mbak. Kalau bisa payungnya taruh di situ saja. Karena di sini rawan dimalingin orang." Pemuda itu menunjuk tempat penyimpanan payung di sisi pilar.
Mita mengangguk kemudian meletakkan payung di tempat yang pemuda tadi tunjuk.
"Saya permisi dulu mbak," sahut si pemuda.
Mita membalas dengan tersenyum tipis. Selepas kepergian si pemuda Mita mengedarkan pandangan di koridor melihat keadaan sekitar yang nampak sunyi dan senyap. Mengikuti feelingnya, Mita berjalan ke lantai dua tempat di mana apartment Nadia berada. Sebenarnya Mita takut jika praduganya benar.
*
*
*
"Ah..ah! Ah! Terus Bagas, lebih cepat!"
"Shftt, pelankan suaramu, mengapa kau sangat agresif."
"Ahhh... Bagas...."
Suara sang wanita terdengar syadu di telinga Bagas. Membuat ia semakin bersemangat melancarkan serangan. Padahal sedari tadi pakaiannya yang basah masih menempel di tubuhnya. Entah karena nafsu atau memang sudah tak tahan lagi. Melihat si wanita memakai baju transparan Bagas langsung mengeksekusi wanita berambut panjang itu, di atas sofa tanpa melepaskan semua pakaiannya dan hanya menurunkan retsleting-nya saja.
"Ah! Ah...." Akhirnya Bagas dan si wanita merasa puas setelah menahan hasratnya tadi. Seketika Bagas menjatuhkan kepalanya tepat di dada sang wanita.
"Kau sangat pandai memuaskanku. Aku mencintaimu," kata Bagas dengan nafas yang terengah-engah.
"Benarkah? Nanti kita mencoba gaya bercinta yang lain, Bagas. Aku mencintaimu juga, jadi kapan kamu menikahiku?" tanya si wanita.
Keduanya tak sadar jika pintu apartment belum tertutup rapat. Sedari tadi Mita mendengar semua racauan Bagas dan suara wanita yang sangat ia kenali. Yaps, siapa lagi kalau bukan Nadia, sahabat, teman dan wanita yang selalu ia anggap sebagai keluarga.
Bagai di sambar petir' Mita terpaku di tempat. Nafasnya tercekat dan sesak. Dunianya hancur dalam sekejap mata mendapati suami yang selama ini ia cintai dan ia sayangi telah mengingkari janji suci pernikahannya.
Saat ini bayang-bayang Bagas dan Nadia berbagi peluh di dalam sana menari-nari dibenaknya. Cukup lama Mita berdiri di depan pintu apartment Nadia.
Brak!
...****************...
Ini novel keempat author' apabila ada kesalahan dalam penulisan, kalimat yang rancu dan sebagainya, komentar saja ya. Auhtor masih harus banyak belajar dalam menulis.
Selamat menikmati novel kak Nana 🙂
VISUAL
Mita Benedikta
Bagas Pramudika
Nadia Laraswati
Brak!
"Bi@dab!!!" Tanpa banyak kata Mita menendang pintu kamar Nadia sembari mengambil pisau di atas meja.
Mendengar suara yang tak asing membuat Bagas dan Nadia menoleh seketika. Keduanya nampak panik melihat Mita menatap mereka seperti orang kerasukan. Dengan cepat Bagas menarik rudalnya dari inti tubuh Nadia kemudian bergegas menahan tangan Mita agar tak menyerang Nadia.
"Mita ini salah paham, aku bisa menjelaskannya! Dengar kan aku!" Bagas berseru membuat Mita tersenyum penuh arti.
"Haha! Kau pikir aku bodoh! Kalian tak pantas di sebut sebagai manusia! Lebih tepatnya sepasang binatang!"
Nafas mita memburu membuat Bagas kelimpungan sebab pancaran mata Mita teramat lain. Selama hidup berumah tangga Mita tak pernah membentak ataupun berani melawannya.
"Sayang dengarkan aku! Aku khilaf, kami tak sengaja, sungguh sayang." Bagas masih menahan tangan Mita yang sedari tadi melayangkan tatapan tajam dan dingin kepada Nadia yang saat ini bersembunyi di balik sofa. Nadia semakin panik tatkala sebagian penghuni apartment berada di depan kamarnya menyaksikan perkelahian.
"Cuih! Laki-laki bedebah?!" Mita meludahi wajah Bagas kemudian tanpa aba-aba menancapkan pisau ke perut suaminya sebanyak tiga kali. Penghuni apartment menjerit histeris melihat aksi penikaman yang cepat itu. Bukannya membantu mereka malah merekam aksi tersebut menggunakan ponselnya. Sampai-sampai ada yang membuat siaran langsung di tik-tok maupun instagram.
"Mita!! Apa yang kamu lakukan?!" jerit Nadia sembari berdiri melihat Bagas merosot ke bawah dengan pelan. Nampak darah menetes ke lantai.
Jejak kemarahan terlihat jelas di mata Mita. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Mita mendekati Nadia kemudian mengores wajah Nadia dengan membabi buta.
"Dasar wanita gila! Aku membencimu Nadia!? Aku sudah menganggapmu keluargaku! Tapi apa balasanmu padaku ha?! Bedebah kau! Mati saja kau!!!" Mita mengukir wajah Nadia tanpa ampun hingga Nadia terkulai lemas di atas sofa.
"Argh! Ampun Mita, ini semua salah dirimu yang tidak pandai memuaskan Bagas!" Walaupun wajah Nadia sudah tergores-gores karena ulah Mita. Ia masih sempat melontarkan sebuah kalimat yang membuat perasaan Mita kembali remuk redam dan semakin naik pitam.
"Dasar wanita tidak tahu diri!!!" Mita mengangkat gunting tersebut ke udara kemudian mengarahkan benda tajam itu ke mata Nadia.
"Argh!!!"
Mita menggeleng cepat menghayalkan kejadian barusan. Alam bawah sadarnya masih mencoba bernegosisi. Ingin sekali Mita mewujudkan khayalan tersebut akan tetapi dia tak mau bertindak gegabah. Mita tak mau halusinasinya menjadi boomerang baginya di kemudian hari.
Sudah dua menit berlalu Mita bergeming di posisi semula. Dengan seksama telinganya menangkap pembicaraan Bagas dan Nadia di dalam ruangan. Dia terisak pelan sambil menyentuh dadanya yang sesak.
"Sabar dulu Nadia. Tunggu waktu yang tepat, kamu tau sendiri kan, Mita tidak mau di madu, belum lagi nenek ku sangat menyukai Mita." Mendengar suara Bagas membuat Mita menitihkan air matanya dengan deras.
"Tapi, Bagas. Ibumu kan sudah tau hubungan kita, jadi–"
'Cukup!'
Mita tak mau mendengar lagi obrolan kedua orang yang selama ini dia percayai. Ia tak mau khalayan tadi terwujud. Secepat kilat Mita melenggang pergi dari pintu apartment Nadia. Menerobos hujan dengan cepat. Tak perduli kilatan menyambar-nyambar di atas sana. Tubuhnya basah kuyup akibat air hujan yang menguyurnya.
"Pak, jalan!"
Mita menutup pintu mobil kemudian melirik sang supir di kaca tengah memberikan kode agar meninggalkan bangunan kumuh itu secepat mungkin. Mengerti dengan bahasa isyarat sang supir segera melajukan kendaraannya.
***
"Mama!"
Marisa, putri kandungnya berhamburan memeluk Mita begitu melihat ibunya berdiri di depan pintu rumah. Tetangga yang bertugas menjaga Marisa tadi mengerutkan dahi melihat kedatangan Mita yang nampak basah kuyup dan berwajah sembab.
"Mbak, kok pakai taksi malah basah bajunya, kenapa matanya bengkak toh?" tanyanya penasaran.
'Jangan sampai Kira tau, ini aib keluargaku. Aku nggak mau orang komplek tau kalau Bagas selingkuhin aku.'
Mita menbatin sendiri. Ia tak mau orang lain sampai mengetahui kebusukan Bagas selama ini. Cukup lama ia tak membalas perkataan tetangganya itu. Sebab dia tahu jika Kira salah satu tetangga yang selalu kepo tingkat dewa.
"Tadi Mbak nggak sengaja kena hujan pas mau beliin Marisa susu ke alfamart," kata Mita sembari mengelus kepala Marisa.
Dahi Kira berkerut kuat, tengah kebingungan, karena nyatanya Mita tak membawa barang belanjaannya. "Susu? Terus mana Mbak, matanya bengkak belum Mbak jelasin? Nggak mungkin kena sengat tawon Kan?" tanyanya dengan nada bercanda.
Mita terkekeh sesaat mendengar guyonan Kira' tetangga yang berumur lebih muda darinya itu.
"Nggak ada, Kira. Stok susunya habis kata karyawannya, kamu tau sendiri kan Marisa suka susu mi*o. Kalau masalah mata Mbak yang bengkak tadi nggak sengaja lihat pengemis di jalanan, mbak mikir mereka sama kayak mbak nggak punya orangtua lagi, jadinya nangis deh," kilah Mita dengan tersenyum tipis.
"Kirain kenapa. Ya udah Kira pulang dulu ya Mbak, oh ya hehe tadi Kira makan ayam geprek punyanya Bagas yang di atas meja, Mbak. Habisnya Mbak lama sih, makanya Kira makan," kata Kira dengan menampilkan wajah tak enak hati. Sebab sudah menghabiskan makanan yang katanya diperuntukkan untuk suami Mita.
"Nggak apa-apa lagian suamiku juga gak pulang kayaknya."
Kira nampak kebingungan. "Loh kok nggak pulang? Emangnya Bagas kemana toh mbak? Ini kan hari minggu masa istri sama anak dianggurin."
"Tadi dia chat Mbak katanya ada pekerjaan tambahan," kilah Mita seketika bayangan Bagas dan Nadia berhubungan badan tadi menari-nari dibenaknya lagi. Tanpa sadar Mita mengepalkan kedua tangannya namun secepat kilat ia bersikap tenang agar Kira tak kembali bertanya dengan perubahan raut wajahnya.
"Oh gitu toh, ya udah Kira pulang ya Mbak. Da da Marisa. Kakak pulang dulu ya." Tak lupa Kira mengecup gemes pipi bulat Marisa.
"Da, da, da, Kak Kira." Marisa melambaikan tangannya kepada Kira.
Selepas kepergian Kira. Mita mengajak Marisa ke ruang tengah. Marisa tampak kebingungan melihat mamanya tak seperti biasanya.
"Ma, papa nggak pulang hari ini?"
Mendapatkan pertanyaan dari Marisa. Seketika Mita memeluk erat tubuh sang anak. Marisa begitu terkejut saat tubuh Mamanya bergetar pelan.
"Ma.. Mama kenapa?" Marisa mengurai pelukan kemudian mengusap jejak tangis Mamanya.
"Nggak kenapa-kenapa sayang, Mama kangen sama Marisa. Sekarang Marisa ke kamar ya, Mama mau ganti baju dulu."
Marisa mengulum senyum kemudian mengangkat jari jempolnya. "Oke Ma bos! Hehe!"
*
*
*
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Selepas membaca dongeng pengantar tidur anaknya. Mita bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Mita terduduk lesu di tepi ranjang, memikirkan nasib pernikahannya, ingin sekali tadi Mita melabrak keduanya akan tetapi dia tak mau bertindak gegabah. Sebab dia tahu sendiri jika sedang marah akan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya dan orang lain.
Masih terekam jelas dibenaknya suara des@han Bagas dan Nadia. Dadanya sesak mengapa Bagas begitu tega mengkhianati dirinya. Apa kurang dirinya? Padahal dia sudah berusaha menjadi istri yang baik dan selalu patuh menuruti perkataan Bagas.
Mita menarik nafas pelan, melihat pantulan dirinya di depan cermin. Mengamati dengan seksama wajah dan tubuhnya. Bayangan ketika ia dan Bagas berpacaran semasa SMA melintas dibenaknya seketika. Mita terisak pelan mencoba menerima kenyataan yang telah terjadi. Cukup lama ia memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Setelah puas melihat-lihat, Mita memilih merebahkan dirinya di atas kasur.
Sekitar pukul sebelas malam terdengar bunyi pintu terbuka dari luar. Mita yang memang belum tertidur hanya melirik sekilas daun pintu. Meski dalam keadaan cahaya yang remang-remang. Mita dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan suaminya. Bagas masuk mengendap-endap ke dalam kamar. Saat ini suaminya itu tengah menyembunyikan sesuatu di dalam lemari pakaiannya.
'Pasti hp itu Bagas yang pake untuk nelepon Nadia? Suami edan. Jadi selama ini aku dibodohinya." Kali ini Mita tak mau lagi memanggil Bagas dengan sebutan 'Mas'.
Di ujung sana. Bagas menganti baju kerjanya lalu mulai menaiki tempat tidurnya. Begitu melihat Bagas hendak mengambil selimut. Secepat kilat tangan Mita menekan tombol lampu tidur di atas nakas.
"Baru pulang?" tanya Mita datar. Berusaha setenang mungkin.
Bagas sontak terkejut melihat Mita ternyata belum tertidur. "Eh sa-yang, aku pikir kamu sudah tidur," katanya sembari mengaruk kepalanya sesaat.
"Belum, sudah selesai kerjaannya?" Suara minta terdengar dingin membuat Bagas mengerutkan dahinya. Terlebih lagi tak ada kata Mas, ataupun sayang di setiap kalimat yang dilontarkan Mita barusan. Namun dia tak mau ambil pusing.
"Sudah dunk, nasabah suka ngerepotin sayang. Gara-gara mereka aku jadi susah bagi waktu untuk kamu sama Marisa. Minggu depan kita pergi ke pantai ya?"
Mita enggan menyahut hanya melayangkan tatapan datar tanpa ekspresi sekalipun. Membuat perasaan Bagas sangat tak karuan. Biasanya Mita akan berbicara panjang lebar tapi mengapa sekarang sikap Mita berbeda.
"Sayang kok diam? Minggu depan kita ke pantai ya?" tanyanya lagi.
"Iya," Mita menjawab singkat. Detik selanjutnya ia berkata,"Bagas, apa aku cantik?"
Bagas nampak kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan Mita. "Tentu saja cantik." Ia menebarkan senyuman kemudian hendak menyentuh tangan Mita namun segera di tepis oleh istrinya.
"Hm kalau di suruh memilih aku atau Nadia yang lebih cantik?" tanya Mita membuat jantung Bagas berdetak cepat manakala nama Nadia di sebut Mita. Apalagi mendapat penolakan dari Mita barusan membuat Bagas semakin gusar.
"Kenapa kamu diam?" tanya Mita melihat Bagas tak langsung membalas pertanyannya.
"Jelas kamu yang paling cantik, sayang. Kok malah bandingin diri kamu sama Nadia. Dia kan teman kamu," kata Bagas.
"Hm, aku cuma penasaran aja. Soalnya aku tadi mimpiin kamu selingkuh sama Nadia." Mita memicingkan matanya ingin melihat reaksi Bagas.
"Haha, cuma mimpi kan sayang. Kamu ini ada-ada saja, buat Mas kaget tau, kirain ada apa. Nggak akan mungkin Mas selingkuh sama Nadia. Nadia itu gak sepadan sama kamu sayang."
"Walaupun hanya mimpi. Siapa tau saja mimpi itu bisa menjadi kenyataan."
Deg.
Untuk sesaat Bagas terpaku di tempat mendengar perkataan Mita. Setelah mengucap kalimat yang berhasil membuat Bagas terdiam, secepat kilat Mita membalik tubuhnya kemudian mematikan lampu kamar tidurnya.
Bagas masih bergeming, menatap punggung Mita yang membelakangi dirinya.
'Mita nggak mungkin tau kan kalau aku selingkuh sama Nadia? Lagian aku sama Nadia kan selalu bermain aman." Tak mau mengambil pusing Bagas segera melingkarkan tangannya ke perut Mita.
Mita melirik sekilas tangan kokoh yang melingkar sempurna ditubuhnya. Dahulu tangan itu selalu dia rindukan tapi sekarang yang ada rasa benci di relung hatinya kala Bagas tak jujur padanya. Tadi Mita sengaja melontarkan pertanyaan kepada Bagas ingin melihat respon suaminya.
Dada Mita nampak naik dan turun sedang menahan amarah di dalam hatinya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Bagas tapi ia berusaha meredam semua itu karena ia yakin Bagas tak mau berkata jujur padanya.
Dalam kesunyian malam Mita memejamkan matanya. Sembari memikirkan apa yang harus dia lakukan dengan nasib pernikahan mereka. Setelah menimbang-nimbang Mita memutuskan ingin berpisah dengan Bagas namun sebelum dia mengungkap aksi perselingkuhan Bagas dan Nadia.
Mita berencana akan mengambil apa yang menjadi haknya saat ini. Rumah, yaps rumah ini. Dia ada andil dalam membeli rumah. Dia tak mau Nadia menikmati hasil jerih payahnya selama ini. Mita tengah mengatur strateginya agar rumah ini jatuh ke tangannya. Apalagi dia tak tahu sama sekali di mana Bagas menyimpan berkas-berkas sertifikat rumah.
'Maaf, aku mundur, Mas. Aku tak ingin dimadu.'
*
*
*
Pagi menyongsong. Bagas menggeliat sejenak kala sinar mentari menerpa wajahnya. Dia mengerutkan dahi mengapa tak dapat merasakan Mita berada di sampingnya. Dengan cepat ia membuka matanya. Kemudian menelisik keadaan di kamar yang nampak kosong.
"Kemana Mita?! Kok nggak bangunin aku! Kan aku mau kerja! Si@lan, ini mah bakalan telat aku!"
Bergegas Bagas membersihkan diri kemudian memakai pakaiannya. Ia sedikit kebingungan saat Mita tak menyiapkan pakaian kerjanya. Setelah selesai berpakaian Bagas keluar dari kamar. Lalu mencari istrinya di dapur.
"Mita! Kamu di mana?! Dasar istri nggak becus!"
"Apa?! Kamu bilang apa barusan?!" Mita menyembul di balik pintu belakang sembari membawa sebilah pisau dapur.
Bagas tergugu. Untuk pertama kalinya Mita berani melawannya padahal sebelum-belumnya jika di bentak Mita terdiam dan hanya bisa menangis saja.
Gleg! Gleg!
Bagas menelan ludah berulang kali melihat pisau bertengker di tangan Mita. Belum lagi pancaran Mita sangat menyeramkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!