NovelToon NovelToon

Hantu Senja

Bab 1 - Hantu Tampan Bernama June

...༻◈༺...

'Bagiku hantu itu nyata. Mereka selalu terlihat dimana-mana. Satu-satunya jalan untuk menghindari mereka adalah dengan sengaja berpura-pura tidak melihat. Itulah yang aku lakukan sekarang.Tapi melakukannya terkadang tidak mudah.' Julie menatap pantulan dirinya di cermin toilet. Dia baru selesai membasuh muka.

Tepat di belakang Julie, terdapat seorang wanita dengan kepala memiring dan lidah yang terjulur. Di lehernya terdapat tali tambang yang mengalung. Jelas dia bukan manusia.

Julie menghela nafas. Ia berusaha tenang dan bersikap normal. Julie yang sempat menundukkan kepala, mendongak untuk kembali menatap cermin.

Tanpa diduga, hantu yang ada di belakang tadi sudah berada tepat di samping. Julie membulatkan mata. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Julie berlagak tidak melihat. Dia merapikan rambut dan pakaian. Lalu bergegas pergi dari toilet.

Dengan langkah cepat, Julie kembali ke ruang kerjanya. Dia langsung di sapa oleh semua karyawan.

Julie mengelus dada setelah masuk ke kantor. Dia duduk dan segera berkutat dengan berkas laporan dan laptop.

Julie Anastasya, dia merupakan CEO perusahaan dekor dan properti. Dia sangat sukses memimpin perusahaan. Bahkan setelah kecelakaan besar yang sempat menimpanya.

Perusahaan yang dikelola Julie merupakan salah satu cabang milik sang ayah. Dia memegang kendali perusahaan di kota California, Amerika Serikat.

Pintu terdengar diketuk. Julie segera menyuruh masuk. Sekretarisnya yang bernama Gavin muncul dari balik pintu.

"Terlambat lagi?" terka Julia sembari bangkit dari tempat duduk. Matanya memicing sambil melipat tangan ke depan dada.

Gavin tersenyum sambil memegang tengkuk. "Maaf, tapi aku berjanji ini tidak akan terulang lagi," ucapnya.

"Kau sudah mengatakan itu lebih dari tiga kali. Tapi tetap saja kau datang terlambat!" Julie berjalan ke hadapan Gavin.

"Maafkan aku, my beauty boss. Kali ini benar-benar yang terakhir!" Gavin mengangkat satu tangannya ke depan wajah.

"Baiklah. Aku akan membiarkanmu tetap bekerja," tanggap Julie seraya melihat kuku-kukunya yang berhiaskan kotex biru.

"Terima kasih, Julie!" Gavin kegirangan. Dia tersenyum lebar.

"Aku akan membiarkanmu tetap bekerja, sampai aku menemukan orang yang tepat untuk menggantimu!" Julie memperbaiki perkataannya.

Kesenangan Gavin langsung hangus seketika. Dia ingin kembali memohon. Tetapi Julie langsung membuka pintu dan menyuruhnya keluar.

Gavin mendengus kasar. Dia tahu betapa tegasnya seorang Julie.

Waktu menunjukkan jam empat sore. Julie mempercepat kinerjanya. Dia selalu berusaha pulang sebelum malam tiba. Karena saat malam tiba, makhluk gaib yang dilihatnya akan semakin banyak.

Semenjak mata batinnya terbuka, Julie tidak pernah lagi bekerja sampai malam. Jika memang ada yang mendesak, dia selalu menyuruh orang untuk menggantikan. Atau bisa saja menyelesaikan pekerjaan di rumah.

Merasa sudah menyelesaikan pekerjaan, Julie segera mengambil tas dan pulang. Dia tidak lupa menyapa para karyawannya yang masih bekerja.

Julie selalu menaiki kereta bawah tanah. Karena sejak kecelakaan, dia sudah tidak berani mengemudi mobil.

Kini Julie baru keluar dari gedung perusahaan. Dia harus berjalan kaki dahulu untuk pergi ke stasiun.

"Sebentar lagi musim dingin. Cokelat hangat sepertinya enak," gumam Julie seraya merapatkan mantelnya lebih erat. Dia berniat pergi ke cafe favoritnya untuk membeli minuman.

Langkah Julie terhenti saat menyaksikan sosok tidak asing dari kejauhan. Jantungnya berdegub sangat kencang saat melihat sosok tersebut. Yaitu sosok lelaki berkemeja garis-garis putih dan celana panjang hitam. Lelaki itu sangat tampan. Berkulit putih bersih, hidung mancung, badan tinggi semampai dan berambut hitam pekat. Tetapi sayang, lelaki tersebut bukan manusia. Melainkan hantu. Semuanya dapat terlihat jelas dari wajah pucat dan bercak darah yang ada di pakaian lelaki itu.

Julie segera memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan. Dia melihat waktu sudah menunjukkan jam enam sore. Hantu tampan tersebut memang selalu muncul saat senja. Anehnya dia selalu muncul di tempat Julie sering menghabiskan waktu.

Hantu tampan itu selalu tersenyum ketika melihat Julie. Dia bahkan sering mengajak Julie bicara. Akan tetapi Julie selalu berpura-pura tidak mendengar dan melihat.

Julie membalikkan badan untuk membelakangi posisi hantu tampan yang dilihatnya. Dia memegangi dada kiri. Julie tidak tahu kenapa? Jantungnya selalu berdebar saat melihat hantu tampan yang menyebut namanya dengan sebutan June itu.

'Tenanglah, Julie. Ini hanya debaran ketakutan yang biasa kau rasakan saat melihat hantu,' batin Julie. Mencoba mencuci otaknya sendiri.

Julie menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengeluarkannya dari mulut. Ia segera berjalan melewati June dan masuk ke cafe.

"Aku yakin kau ingin cokelat hangat kali ini," ujar June seraya mengekori Julie dari belakang. Hantu itu seolah seperti penguntit yang tahu segalanya tentang Julie.

Bola mata Julie mendelik ke belakang. Dia sudah biasa mendengar semua tebakan June. Julie segera memesan cokelat hangat yang sejak tadi di inginkan.

"Apa kau mau sekalian memesan kue. Kebetulan kuenya baru dikeluarkan dari oven. Jadi rasanya lebih enak," tawar pelayan cafe.

"Boleh juga," tanggap Julie seraya tersenyum ramah.

"Ya, kau sangat suka kue. Tapi dari semua kue, kau paling suka kue macaron," ucap June yang kini berdiri di sebelah Julie.

Tebakan June benar lagi. Julie memang ingin memilih kue macaroon. Tetapi dia kali ini ingin membuat tebakan June salah.

"Aku pesan kue cookies cokelat. Cukup serasi dengan pesanan yang kupesan," ujar Julie. Membuat June memicingkan mata.

"Kau yakin?" tanya June sembari mendekatkan wajahnya yang putih pucat. "Ah, sepertinya sekarang tebakanku salah," lanjutnya kecewa.

Julie merasa menang. Dia segera mendapatkan pesanannya dan pergi dari cafe.

"Apa kau akan pulang naik kereta lagi?" tanya June. Dia terus berceloteh walau tidak dihiraukan oleh Julie. Gadis tersebut tetap berlagak tidak melihat dan mendengar.

"Kau selalu terlihat luar biasa, Julie. Aku senang bisa terus melihatmu meski di waktu yang sangat singkat," ungkap June. Dia terus berjalan di samping Julie. "Ck, andai saja senja bisa berlangsung lebih lama," sambungnya sembari mendongak menatap langit yang sudah menjingga.

Julie menghembuskan nafas dari mulut. Dia telah berada di kereta bawah tanah. Duduk sambil sesekali menyesap cokelat hangat. Sementara June masih ada di sampingnya. Hantu itu duduk di sebelah Julie.

"Apa itu enak?" tanya June. Dia tidak berhenti memandangi Julie.

Saat itulah jantung Julie kembali berdebar-debar. Dia tidak tahu kenapa. Namun satu hal yang pasti. Debaran yang dirasakannya bukanlah rasa takut saat melihat hantu. Melainkan sesuatu yang lain.

Perjalanan menuju kediaman Julie membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Dia menggunakan waktu dengan mendengarkan lagu.

June mendekatkan telinga ke headset Julie. Sepertinya dia berusaha mencari tahu lagu yang didengar Julie.

"Apa ini band The 1975? Apa ini lagu baru mereka?" June melebarkan kelopak matanya. Dia ikut mendengarkan musik bersama Julie.

Jantung Julie kembali tidak bisa terkendali. Entah kenapa dia selalu menikmati kebersamaannya bersama June.

Saat waktu hampir jam tujuh, maka senja akan berakhir. June lantas memudarkan raut wajah cerianya.

"Senja sudah usai. Sampai jumpa besok, Julie." Setiap June berkata begitu, sosoknya langsung menghilang.

Julie menghela nafas panjang. Dia memang merasa lega. Tetapi ada juga rasa sedih yang menyelimuti.

Bab 2 - Sektretaris Culun

...༻◈༺...

Julie tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah. Sekarang dia baru saja tiba di kediamannya yang nyaman tersebut.

Ibunya yang bernama Sasya langsung menyambut kedatangan Julie. Dia tidak sendiri. Ada Axton yang menemaninya.

Julie mendengus kasar. Jujur saja, keluarganya tidak pernah absen mendatanginya setiap hari. Itu terjadi semenjak Julie mengalami kecelakaan satu tahun lalu.

Tetapi mengenai mata batin Julie, tidak ada satu orang pun yang tahu. Gadis itu sengaja merahasiakan agar orang tersayangnya tidak takut.

"Julie, akhirnya kau datang. Aku dan Axton membawakan pie kesukaanmu. Aku juga sudah memasak sesuatu untuk makan malam," sambut Sasya antusias.

"Lagi? Ayolah, Mom. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak kecil," tanggap Julie sembari duduk menghempas ke sofa.

"Aku tahu kau bukan anak kecil. Tapi apa salahnya aku menunjukkan kasih sayang kepadamu setiap hari. Kau tinggal sendirian. Dari yang aku dengar dari tetangga, kau katanya tidak pernah membawa siapapun ke apartemen. Jadi dari sana aku menyimpulkan bahwa kau belum punya teman dan pacar." Sasya berucap panjang lebar. Ia memegang pundak Julie dan meneruskan, "we just worry about you..."

Julie melirik ke arah Axton yang sejak tadi asyik bermain ponsel. Dia menatap tajam kakaknya tersebut. Hal itu karena terakhir kali Julie meminta bantuan Axton untuk menghentikan ibunya datang ke apartemen.

Sadar sedang mendapat pelototan dari sang adik, Axton menoleh. "Aku sudah mencoba, Julie. Tapi ibu kita itu sangat keras kepala," jelasnya seakan mengerti tatapan dari Julie.

"Terserah." Julie bangkit dari sofa. Dia segera membersihkan diri ke kamar mandi. Setelah itu, barulah dia makan malam bersama Axton dan Sasya.

"Mom, kumohon lain kali jangan memasak daging. Karena daging buatanmu selalu keras. Ini selalu tersangkut di gigiku!" protes Axton yang sudah berhenti memakan daging barbeque buatan Sasya. Dia tampak mengambil daging yang terselip di antara giginya.

"Keras? Menurutku tidak. Benarkan, Julie?" Sasya meminta pendapat anak bungsunya.

"Ini enak. Mungkin gigi Axton yang bermasalah, Mom." Julie berusaha menahan tawa menyaksikan sikap Axton. Kakaknya tersebut juga seorang CEO perusahaan. Dia mengelola perusahaan yang lebih besar dibanding Julie. Hanya saja Axton adalah tipe lelaki yang dekat dengan keluarga. Ia selalu berusaha meluangkan waktu demi keluarganya. Terutama setelah insiden kecelakaan Julie satu tahun lalu. Perhatiannya kepada Julie kian bertambah.

"Julie, kapan kau jujur mengenai masakan ibu? Makanan buatannya tidak ada yang normal," cetus Axton. Dia langsung mendapat pukulan di kepala dari Sasya.

"Makan saja! Tidak usah mengeluh! Di luar sana ada banyak manusia yang kelaparan," ujar Sasya.

Axton menghela nafas berat. Lalu terpaksa menghabiskan makanannya. Julie yang melihat lantas tergelak kecil.

Memang Julie selalu tidak suka diberi perhatian berlebihan. Namun dia tidak bisa membantah bahwa kehadiran keluarganya selalu membawa senyum dan tawa.

Karena keberadaan keluarganya juga, Julie mengabaikan makhluk gaib yang muncul. Padahal semenjak melakukan makan malam tadi, Julie melihat sesosok hantu wanita yang dipenuhi darah.

Ponsel Axton mendadak berdering. Dia langsung mengangkat panggilan yang ternyata dari pacarnya itu.

Selepas bicara ditelepon, Axton ingin cepat-cepat pergi. Dia menyisakan sepotong daging di piringnya.

"Hei! Habiskan dulu makananmu!" tukas Sasya.

"Tidak, Mom. Aku tidak mau membuat Agnes menunggu." Axton beranjak dari meja makan. Dia segera menghilang ditelan pintu.

"Lihatlah kakakmu. Sepertinya sebentar lagi kita akan mengadakan acara pernikahan untuknya," ucap Sasya. Menatap Julie dengan tatapan dalam.

"Ya, Axton sangat mencintai Agnes. Mereka memang harus segera menikah," sahut Julie. Dia terlihat meminum segelas air putih.

"Bagaimana denganmu? Apa kau sudah punya seseorang?" tanya Sasya seraya menopang dagu dengan satu tangan.

"Seseorang?" Julie tak mengerti. Sebab pertanyaan Sasya sedikit ambigu.

"Maksudku seseorang yang membuatmu nyaman dan membuat jantungmu berdebar," terang Sasya.

Julie terdiam. Lelaki yang pertama kali di ingatnya justru adalah June. Jantungnya lagi-lagi berdegub lebih kencang. Padahal Julie hanya sedang mengingat lelaki tersebut.

'Astaga, kenapa aku memikirkannya?!' Julie langsung menggeleng kuat. Dia menepis segala pikirannya tentang June. Mengingat lelaki itu bukanlah manusia.

"Wah... Dari ekspresimu sepertinya ada." Sasya menyimpulkan.

"Hell no, Mom!" bantah Julie.

"Aku akan menunggu kabar baiknya." Sasya mengangkat kedua bahunya bersamaan. Dia tidak peduli dengan bantahan Julie.

"Mom! Percayalah, aku sedang tidak menyukai atau dekat dengan lelaki manapun sekarang!" Julie berusaha keras meyakinkan sang ibu.

"Aku tak percaya. Aku lebih percaya dengan raut wajah yang kau tunjukkan tadi." Sasya terkekeh. Dia tetap percaya dengan kesimpulan pertama.

Julie lantas hanya bisa menghembuskan nafas dari mulut. Usai melepas kepergian Sasya, dia segera tidur.

Bagi Julie, hal paling menantang adalah saat tidur. Karena seringkali ada makhluk gaib yang tiba-tiba muncul dan iseng mengganggu. Tidak heran dia selalu tidur dengan lampu menyala. Menggunakan penutup mata. Lalu menutup telinganya dengan kapas.

...***...

Mentari pagi bersinar cerah. Waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Julie sudah berada di kantor. Hari itu kebetulan tim HRD perusahaan Julie akan merekrut sekretaris baru.

Sebagai direktur, tugas Julie adalah percaya kepada tim HRD-nya. Dia akan menunggu sekretaris yang akan menggantikan Gavin.

Ketukan pintu terdengar. Julie segera mempersilahkan masuk orang yang datang. Dia tidak lain adalah Gavin. Lelaki itu memohon agar tidak dipecat.

"Aku sudah minta maaf berulang kali. Aku harap kau bisa berubah pikiran, Bos..." ungkap Gavin penuh harap.

"Maaf, Gave. Aku sudah memberimu kesempatan terlalu banyak. Sekarang kau tidak bisa mendapatkannya lagi. Sebaiknya kau rapikan barang-barangmu dan pergi," sahut Julie tegas. Dia tidak mentolelir karyawan yang sering datang terlambat. Terlebih Gavin memegang posisi sekretaris.

Dengan perasaan sedih, Gavin keluar dari kantor Julie. Dia segera memasukkan barang-barangnya ke kardus dan pergi.

Waktu menunjukkan jam tiga sore. Ketua HRD mendatangi kantor Julie. Ia membawa seseorang bernama Shane bersamanya.

"Bos, ini dia sekretaris baru kita. Dia sangat kompeten dan pintar. Namanya adalah Shane Randall," ujar Jeff memperkenalkan.

"Halo, Mr. Randall. Senang bertemu denganmu. Aku Julie Anastasya." Julie saling berjabat tangan dengan Shane.

"Aku Shane." Shane menjawab singkat. Dia tampak kaku dan culun. Sepertinya Shane tipe orang yang irit bicara.

Rambut Shane terlihat di oles dengan banyak minyak. Hingga rambut cokelatnya tersebut agak lepek. Dia juga selalu berdiri dalam keadaan tangan yang menyatu di depan. Shane juga merapatkan kakinya saat berdiri. Meskipun begitu, dia memiliki badan tinggi semampai, berkulit putih bersih, dan bermata biru. Mungkin Shane akan sangat tampan jika melakukan make over. Karena dalam tampilan begitu saja ketampanannya masih nampak jelas.

"Semoga kita bisa menjadi rekan kerja yang baik," ucap Julie.

"Iya." Shane lagi-lagi menjawab singkat. Dia tersenyum singkat. Hingga lesung pipit yang ada di pipinya juga muncul dalam waktu singkat.

Julie sama sekali tidak masalah dengan karakter Shane. Baginya yang terpenting adalah bisa mengerjakan pekerjaan dengan disiplin dan bertanggung jawab.

Shane diperbolehkan untuk menempati mejanya di hari pertama diterima. Dia disuruh untuk berbaur dan mengenal lingkungan kerja. Shane akan sepenuhnya bekerja besok hari.

Bab 3 - Kecurigaan June

...༻◈༺...

Hari sudah sangat sore. Julie bergegas menyelesaikan pekerjaan. Kebetulan pekerjaannya hari itu lumayan banyak.

Julie selesai saat waktu hampir menunjukkan jam enam sore. Dia buru-buru menggandeng tas dan beranjak dari kantor.

Saat berjalan menuju pintu keluar, Julie melihat June menunggu di luar. Hantu tampan itu tampak berdiri sambil memasukkan dua tangan ke saku celana. Bersiul sambil sesekali mengamati orang yang lalu lalang. Dia bersikap seakan-akan seperti manusia pada umumnya.

Julie menghembuskan nafas berat. Tangannya perlahan memegangi dada. Dia berusaha menenangkan diri. Sebab kemunculan June lagi-lagi membuat jantung Julie berdebar.

'Ah... Aku benci debaran ini,' keluh Julie dalam hati. Ia mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata untuk sejenak. Selanjutnya, barulah Julie melangkah melewati pintu.

"Finally!" June langsung berseru. Dia segera menghampiri Julie. Berjalan senada dengan pergerakan kaki gadis itu.

"Kenapa kau pulang agak larut hari ini? Apa banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan?" tanya June. Berjalan sambil menautkan tangan ke balik punggung. Dia menatap Julie dengan senyuman. Tatapan June begitu dalam. Seolah ada cinta yang bersarang di sana.

Julie berhenti melangkah saat lampu merah menyala. June lantas ikut berhenti.

"Aku harap kau bisa mendengarku. Aku tidak masalah meski itu hanya satu menit," ungkap June tulus. "Aku tidak tahu kenapa saat pertama kali melihatmu aku merasa berbeda. Jika kau ingin tahu, itulah alasanku terus menemuimu. Kau tidak bisa membayangkan bagaimana perjuanganku agar bisa berkeliaran begini bersamamu," sambungnya.

Julie mendengar semua pernyataan June. Namun seperti biasa, dia selalu berlagak tidak mendengar.

Lampu hijau menyala, Julie melangkah maju. Hal serupa tentu dilakukan June.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba lelaki berperawakan gemuk menabrak Julie. Hingga membuat sepatu hak tinggi gadis tersebut terseok. Julie sontak terhuyung dan jatuh di tengah jalan.

"Aaa!" Julie memekik kesakitan. Pergelangan kakinya terasa begitu perih.

"Maaf, Miss. Tapi aku sedang terburu-buru!" ujar lelaki yang menabrak Julie. Dia hanya mengatakan kata maaf dan pergi.

"Hei! Dasar sialan!" June marah besar melihat sikap lelaki yang menabrak Julie. Usai melampiaskan kekesalan, dia buru-buru memeriksa keadaan Julie.

"Julie! Kau tidak apa-apa?" tanya June cemas. Dia berusaha membantu Julie berdiri. Tetapi tidak bisa. Karena ketika June mencoba menyentuh Julie, tangannya selalu menembus tubuh gadis itu.

"Sial!" umpat June yang merasa frustasi. Dia menatap orang-orang sekitar. June heran kenapa tidak ada orang yang membantu. "Hei kalian! Apa kalian sama sekali tidak punya empati?!" teriaknya. Mempelototi orang-orang sekitar.

Julie meringiskan wajah. Dia memaksakan diri untuk berdiri. Akan tetapi kakinya terasa begitu sakit. Saat Julie nyaris berdiri, dia selalu berakhir terduduk di aspal.

"Julie!" pekik June. Dia tampak sangat khawatir. Hal itu bisa terlihat dari getaran matanya yang terlihat seperti ingin menangis.

Tanpa diduga, seorang lelaki mendekati Julie. Dia tidak lain adalah Shane. Lelaki itu bergegas membantu Julie melangkah ke pinggir jalan. Tepat sebelum lampu merah pejalan kaki menyala.

"Terima kasih," ucap Julie. Shane segera mendudukkannya ke sebuah bangku depan toko.

"Boleh aku melihat kakimu?" tanya Shane.

"Ya, sepertinya aku hanya mengalami kram," sahut Julie seraya melepas sepatu hak dari kaki.

Shane tidak menjawab lagi. Dia fokus memeriksa kondisi kaki Julie. Shane menemukan ada memar di kaki gadis itu.

June yang sejak tadi duduk di sebelah Julie, menatap sinis ke arah Shane. Dia tidak suka lelaki tersebut menyentuh kaki Julie seenaknya.

"Siapa lelaki ini, Julie? Kalian sepertinya saling mengenal," imbuh June sembari memegangi dagu dengan satu tangan. "Tapi dilihat dari gayanya, dia jelas bukan tipemu. Kau tidak mungkin dekat dengan lelaki sepertinya," tambahnya.

"Aku akan membawamu ke klinik kakakku," ujar Shane. Dia berdiri. Mengharuskan Julie mendongak untuk menatapnya.

"Baiklah." Julie lantas bangkit dari tempat duduk. Dia melakukannya secara perlahan. Julie berupaya keras menahan sakit di kakinya.

Shane hanya diam dan mengamati. Membuat June merasa geram.

"Hei! Kutu buku! Apa kau akan diam dan memandanginya seperti orang bodoh?! Meskipun kliniknya dekat, tapi Julie tidak bisa memaksakan diri untuk berjalan!" omel June sembari berkacak pinggang. "Cepat pesankan taksi untuknya!" ucapnya mendesak.

"Aku akan menggendongmu," cetus Shane. Dia segera membungkukkan badan ke depan Julie. Dalam posisi membelakangi gadis itu. Jelas Shane bersungguh-sungguh ingin menggendong Julie.

Mata June langsung membulat sempurna. Dia tidak menduga Shane akan menawarkan Julie untuk digendong.

June jelas tidak menerima. Karena jika Julie digendong oleh Shane, maka otomatis tubuh keduanya akan saling bersentuhan.

"Jangan mau, Julie. Aku akan kecewa jika kau mau digendong olehnya," ungkap June. Menatap penuh harap kepada Julie.

"Kau tidak perlu repot begini, Shane. Aku akan naik taksi saja," kata Julie. June lantas tersenyum lebar.

Shane berdiri tegak dan berbalik menghadap Julie. Dia mengangguk dan segera memberhentikan taksi yang kebetulan lewat. Lalu membantu Julie masuk ke dalam taksi. Dia juga memutuskan ikut untuk menemani.

Hal yang sama juga dilakukan June. Dia duduk di tengah. Di antara Julie dan Shane. Kebetulan keduanya duduk di jarak yang jauh.

"Terima kasih, Shane. Kau memberi kesan yang baik di hari pertamamu bekerja," cetus Julie.

Shane hanya mengangguk sambil memegangi tengkuk. Dia tidak berani membalas tatapan Julie. Shane benar-benar kaku dan pendiam.

"Oh, ternyata dia karyawan barumu? Sudah kuduga dia tidak mungkin dekat denganmu," celetuk June. Melirik ke arah Shane. Kemudian barulah menatap Julie.

Dalam perjalanan, June hanya sibuk memandangi Julie dari samping. Hal itu tentu membuat perasaan Julie tidak karuan. Terlebih tatapan June begitu intim dan dalam.

Tanpa diduga, mata Julie tidak sengaja melirik ke arah June. Merasa keceplosan dengan tindakannya, dia langsung membuang muka.

June mengerutkan dahi. Entah kenapa dia merasa Julie tadi sempat melihat ke arahnya. June mulai curiga kalau Julie bisa melihat keberadaannya.

"Julie? Apa kau tadi melihatku?" tanya June memastikan.

Julie tentu hanya diam. Ia fokus menatap keluar jendela. Jujur saja, keringat panas dingin menyelimutinya. Julie sesekali mengelap peluh yang menetes di pelipis. Jantungnya berdetak kencang tak terkendali.

Selang sekian menit, Julie, June, dan Shane tiba di klinik. Langit jingga terlihat mulai menggelap.

"Ya ampun, sudah mau malam saja. Kenapa waktu berlalu sangat cepat saat aku menghabiskan waktu bersama Julie," keluh June. Tubuhnya ditembus oleh Shane yang membukakan pintu untuk Julie. Lelaki tersebut segera membawa Julie masuk ke klinik.

Kaki Julie mendapat perawatan. Rasa sakitnya perlahan menurun. Kini dia disuruh beristirahat sebentar di klinik. Ditemani oleh Shane yang duduk menunggunya.

"Kau bisa pulang sekarang, Shane. Terima kasih sekali lagi," ujar Julie.

"A-pa aku perlu menghubungi Axton untukmu?" tanggap Shane. Dia hanya menatap Julie sesekali. Kepalanya selalu tertunduk kikuk.

"Axton? Apa kau mengenal kakakku?" Julie merasa heran.

"Ya! Itu memang aneh, Julie. Jangan-jangan lelaki ini sudah sering menguntitmu!" June yang sejak awal duduk di tepi ranjang Julie, segera ikut bersuara.

"Dulu kita pernah bersekolah di SMA yang sama," jelas Shane.

"Benarkah?!" Julie dan June mengucapkannya secara bersamaan. Hal tersebut membuat Julie reflek menoleh ke arah June. Namun dia segera membuang muka karena takut June akan curiga lagi. Untung saja hantu tampan itu sedang tidak menoleh ke arahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!