"Suci! Suci!" teriak seorang wanita paruh baya di sebuah kandang bebek.
"Ada apa, Bude? Kok teriak-teriak."
"Itu bapak kamu!"
"Kenapa dengan bapak?"
"Cepat kamu pulang sekarang!"
Suci bergegas mencuci tangannya. Setelah memastikan pintu kandang yang terbuat dari bambu itu tertutup sempurna, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Namanya Suci, gadis berusia dua puluh tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai pemberi pakan ternak milik seorang pengusaha yang cukup terkenal di kampung tempat tinggalnya. Ia memiliki sifat periang, tegas dan mandiri.
Suci sendiri adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya masih duduk di bangku sekolah. Seorang duduk di bangku SMP, sementara si bungsu baru duduk di bangku SD. Sang ibu meninggal dunia sesaat setelah melahirkan si bungsu dan dua tahun yang lalu sang ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak satu yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya.
Memiliki ibu sambung tak serta merta membuat kehidupannya lebih baik. Sebaliknya, istri baru sang ayah justru seringkali mendatangkan masalah untuknya. Seolah tak peka dengan penghasilan sang ayah hanya bekerja sebagai buruh pencari rumput ternak, sang ibu tiri justru memiliki gaya hidup bak sosialita. Ia tak pernah pikir panjang untuk berhutang yang tentu saja hanya ia gunakan untuk kebutuhan pribadinya dan anak kandungnya yang kini tengah melanjutkan pendidikan di sebuah universitas di kota Y.
Jarak dari kandang ternak menuju rumahnya cukup jauh, sekitar satu kilometer. Dengan berjalan setengah berlari tentu saja keduanya bisa tiba lebih cepat di rumah itu. Rumah berdinding batu bata, lantai nya pun masih beralaskan tanah.
"Bapak!" pekiknya saat mendapati pria yang begitu dikasihinya itu jatuh tersungkur di atas tanah. Wajahnya tampak lebam menandakan jika ia baru saja dipukuli. Ya, pelakunya tak lain dan tak bukan adalah dua orang penagih hutang berbadan kekar yang berdiri dengan bekacak pinggang di tengah pintu rumahnya.
"Mbak Suci!"
Melihat kedatangan Suci, kedua adik perempuannya yang sedari tadi bersembunyi di dalam rumah itu pun lekas keluar dan menghambur ke dalam pelukannya. Ia bisa menangkap ketakutan di raut wajah keduanya.
"Kalian tidak perlu takut, ada mbak," hiburnya.
"Kenapa kalian menyakiti bapak saya 'hah!" serunya pada kedua pria berwajah garang itu.
"Sudah tiga bulan ibu Widya tidak membayar cicilan hutang. Hari ini adalah batas terakhir pembayaran cicilan," jelas salah satu pria itu.
"Hutang?"
"Ya. Bu Widya telah menggadaikan rumah ini senilai dus puluh juta. Menurut isi surat perjanjian ini, jika dalam waktu tiga bulan berturut-turut peminjam tidak membayar cicilan hutang beserta bunganya, maka kami berhak menyita rumah ini." Pria lainnya menimpali.
Suci merebut map berwarna biru yang berada di genggaman salah satu pria berbadan kekar itu kemudian membaca surat perjanjian di dalamnya. Benar saja, tiga bulan yang lalu ibu tirinya meminjam uang sebesar dua puluh juta dengan tempat tinggal mereka sebagai jaminannya.
"Keterlaluan!" gumamnya.
"Bagaimana, apa kamu punya uang untuk membayar hutang itu?" tanya salah satu pria.
"Dari mana saya mendapatkan uang sebesar itu dalam hitungan detik. Memangnya saya tukang sulap?"
Kedua pria itu saling memandang.
"Kalau dalam waktu satu Minggu kamu tidak bisa membayar hutang ini, kalian harus angkat kaki dari rumah ini!" ancam pria bertato itu.
"Ya. Saya janji. Satu Minggu lagi saya akan membayar hutang ini beserta bunganya!" tegas Suci.
"Baiklah, awas kalau kamu ingkar janji!"
"Ya sudah, sana pergi! Jangan membuat adik-adik saya semakin ketakutan!"
Kedua pria penagih hutang itu pun lantas meninggalkan rumah tersebut.
"Kenapa kamu harus janji membayar hutang ibumu Minggu depan, Nduk? Memangnya kamu punya uang dari mana?" tanya sang ayah.
"Aku tidak tega melihat ayah dipukuli begini."
"Ibumu itu memang sudah keterlaluan! Dia menggadaikan rumah ini tanpa sepengetahuan bapak."
"Di mana sekarang wanita tidak tahu diri itu? Sudah bagus ada yang mau menikahi janda beranak satu sepertinya. Ini kerjanya hanya menyusahkan saja," gerutu wanita yang dipanggil budhe itu kesal.
"Tadi ibu bilang mau arisan di rumah bu Rina." Sang adik Murni menimpali.
"Lagaknya saja kaya orang berduit. Tapi hutang pada rentenir lepas tangan begitu saja!"
Tidak berselang lama seseorang muncul .
"Ada apa ini? Kok rame-rame?" tanyanya.
"Istri durhaka! Lihat. Gara-gara perbuatanmu adikku babak belur dipukuli penagih hutang!" seru wanita bernama Tini itu.
"Mbak Tini ini kenapa? Saya baru datang kok nyerocos gitu?" protes Widya.
"Apa benar kamu hutang pada rentenir sebesar dua puluh juta? Uang sebanyak itu kamu gunakan untuk apa?" tanya sang ayah.
"Aku hutang untuk membeli sepeda motor buat Siska di kota. Dia malu setiap hari harus naik angkutan kalau berangkat ke kampusnya," ucap Widya enteng.
"Jadi, demi Siska Ibu ingin mempermalukan keluarga Ibu sendiri? Lantas, Jika kita benar-benar diusir dari rumah ini, kita mau tinggal di mana?" Suci menimpali.
"Kita? Kalau aku gampang. Berangkat ke kota saja. Aku bisa tinggal di tempat kost Siska. Sekarang dia sudah punya pacar orang kaya, jadi tidak perlu pusing-pusing membayar biaya kuliah ataupun membayar sewa kost. Memangnya kamu, kampungan dan hanya tamatan SMP. Mana ada laki-laki yang mau sama kamu."
"Paling-paling anak gadis kamu yang centil itu jual diri di kota. Zaman sekarang mana ada laki-laki yang mau membiayai hidup orang lain tanpa syarat?" cibir Tini.
"Mbak Tini ini kalau ngomong suka ngawur! Menuduh tanpa bukti itu sama saja memfitnah!"
"Sudah, jangan ribut lagi. Malu kalau didengar tetangga," pria bernama Bimo itu.
"Mbakyumu saja yang kebanyakan mulut. Aku tahu dari dulu dia tidak pernah menyukaiku. Jadi apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya."
"Apa yang Ibu lakukan memang salah. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya melunasi hutang itu. Aku tidak rela jika rumah ini sampai diambil rentenir." Suci menimpali.
"Kalaupun ada yang salah, itu bapak kamu. Kalau saja dia punya pekerjaan bagus dan uang yang banyak, aku tidak akan berhutang kesana kemari," ucap Widya.
"Kamu kan sudah tahu bagaimana keadaan Bimo. Dia duda beranak tiga, dan pekerjaannya hanya buruh pencari rumput. Dari awal kamu yang selalu kegatelan menggodanya. Kalau tahu setelah menikah kamu hanya membuatnya susah, lebih baik dia menikahi Fatimah. Sudah cantik, santun lagi. Tidak seperti kamu yang suka membangkang dan sulit diatur," ucap Tini.
"Ah! Bicara dengan Mbak Tini hanya membuat tekanan darahku naik saja!" gerutu Widya.
"Kalau tekanan darah tinggi kamu naik, paling-paling kamu stroke dan mati." Tini terkekeh.
"Astaga. Sekarang malah nyumpahin mati. Yang ada Mbak duluan yang mati karena kebanyakan dosa. Suka ikut campur urusan rumah tangga orang!"
Widya berlalu dari hadapan Tini lalu melengang masuk ke dalam rumah.
"Ya Allah, Bimo … Bimo. Punya istri kok begini amat. Beda banget sama almarhumah Mirna."
Bimo membuang nafas.
"Sifat buruk Widya baru kelihatan setelah kami menikah, Mbak," ujarnya.
"Masalahnya sekarang bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar dua puluh juta dalam waktu seminggu?"
tanya Tini.
Bersambung …
Sebuah sepeda motor matic berhenti tepat di depan rumah Suci. Pemiliknya adalah seorang gadis seusianya.
"Suci, …"
"Maaf, anda siapa dan ada perlu apa?" tanya Suci.
"Astaga. Bagaimana mungkin kamu tidak mengenaliku? Ini aku, Dina. Kawan bermainmu."
Suci pun lantas mengamati penampilan gadis berambut kecoklatan itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Tentu saja ia masih ingat Dina, kawannya semasa kecil dulu. Dia bukanlah dari keluarga berada. Sama sepertinya, saat sekolah dulu sepatu atau tas yang dikenakannya dibelikan oleh kedua orangtuanya di pasar.
Setelah hampir delapan tahun tidak bertemu, penampilan Dina benar-benar berubah total. Wajahnya yang dulu begitu kusam, kini tampak glowing. Tidak hanya wajahnya saja. Pakaian, tas ataupun sepatu yang dikenakannya adalah barang mahal yang mungkin hanya bisa ditemukannya di Mall.
"Suci. Kamu kok bengong?"
"Kamu benar Dina Anggraeni?" tanya Suci. Gadis itu menganggukan kepalanya.
"Maaf, aku nyaris tidak mengenalimu karena penampilan kamu sekarang jauh berbeda saat masih SMP dulu."
"Ya jelas beda. Sekarang aku sudah kenal
Skincare, salon, dan tentu saja cowok. Itulah sebabnya aku harus pintar-pintar menjaga penampilan."
"Skin-skin-apa?" tanya Suci dengan polosnya.
"Skincare, atau produk perawatan wajah. Kamu lihat 'kan sekarang? Wajahku yang dulu dekil dan berjerawat sekarang putih dan mulus. Itu karena aku rutin menggunakan skincare."
"Begitu ya." Suci manggut-manggut.
"Apa kamu nggak pingin juga cantik sepertiku? Kalau penampilan kamu kuno begini mana ada laki-laki yang mau mendekatimu, apalagi melamarmu."
"Buat apa aku mikir penampilan? Setiap hari kerjaku hanya memberi makan ribuan ekor bebek. Belum lagi membersihkan kandangnya. Ehm … ngomong-ngomong kamu sekarang kerja di mana, Din?"
Pertanyaan yang sedari tadi ditunggu akhirnya meluncur juga dari mulut Suci.
"Aku bekerja di kota sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang artis Rapi amat."
"Asisten rumah tangga? Pekerjaan apa itu?" tanya Suci.
"Astaga. Masa itu saja kamu nggak tahu. Itu bahasa modern untuk pembantu."
"Memangnya berapa gaji kamu?" tanya Suci lagi.
"Hampir lima juta."
"Lima juta? Itu uang semua, Din?"
"Bukan, … daun. Tentu saja uang. Padahal pekerjaanku setiap hari hanya menyuci dan menyetrika bajunya saja. Itulah sebabnya dalam waktu satu tahun saja aku bisa membeli sepeda motor baru. Aku juga bisa merenovasi rumah orangtuaku."
"Ckckckck." Suci berdecak kagum.
"Memangnya kamu tidak pingin kerja di kota juga?" tanya Dina.
"Sebenarnya aku sedang dipusingkan oleh hutang. Ini semua karena ibu tiriku yang sok bergaya hidup mewah itu. Tanpa sepengetahuan bapak ia berhutang pada rentenir dengan menggadaikan rumah ini sebagai jaminannya. Jumlahnya tidak main-main, dua puluh juta."
"Ibu tiri kamu itu memang benar-benar sudah gila! Bisa-bisanya dia menggadaikan rumahnya sendiri sebagai jaminan hutang."
"Sssst … jangan keras-keras. Nanti ibuku dengar. Aku tidak mau kamu ribut dengannya," ucap Suci setengah berbisik.
"Memangnya uang sebanyak itu buat apa?"
"Katanya untuk membeli sepeda motor buat Siska yang kini sedang kuliah di kota. Sekarang aku pusing memikirkan bagaimana caranya melunasi hutang itu beserta bunganya. Aku sudah berjanji pada orang suruhan rentenir itu untuk melunasinya dalam waktu seminggu."
"Seminggu? Nekat banget kamu. Memangnya kamu mau cari duit sebanyak itu ke mana? Ngepet? Merampok? Atau menjual bebek-bebek di kandang pak Burhan secara diam-diam?"
"Hushh! Ngawur kamu. Aku terpaksa mengatakan itu biar orang suruhan pak Burhan cepat pergi. Aku tidak tega melihat bapak dipukuli mereka," ungkap Suci.
"Oh, begitu."
"Ehm … setelah kupikir, kerja di kota itu lumayan juga gajinya. Kalau penghasilannya lima juta perbulan aku bisa melunasi hutang pada rentenir itu dalam waktu empat bulan saja."
"Tapi masalahnya kamu sudah terlanjur berjanji melunasi hutang itu dalam waktu seminggu. Bagaimana jika rentenir itu nekat mengusir paksa kalian dari rumah ini?"
Suasana hening sejenak.
"Kamu bisa bantu aku bekerja di kota? Tidak masalah jadi pembantu juga. Yang penting keluargaku tetap punya tempat tinggal," ucap Suci.
"Ehm … aku mendengar informasi sebuah keluarga kaya tengah mencari jasa seorang babby sitter."
"Babby sitter? Apa pekerjaan itu pembantu rumah tangga juga?" tanya Suci.
"Beda. Tugas babby sitter itu mengasuh dan merawat bayi. Kudengar ibu bayi itu meninggal dunia karena sakit."
"Hanya mengurus bayi saja 'bukan? Saat Murni dan Fitri masih kecil aku juga sering membantu almarhumah ibuku merawat mereka."
"Jangan kamu pikir cara merawat dan mengurus bayi orang kaya itu gampang. Apalagi nenek bayi itu begitu galak. Entah sudah berapa orang pengasuh yang keluar masuk di rumah itu. Hampir semua tidak betah karena sikap nenek bayi itu," ungkap Dina.
"Aku jadi penasaran, seperti apa penampakan nenek si bayi itu. Seseram apapun dia, tidak akan mungkin memakan orang 'bukan?" ucapbSuci yang sontak membuat tawa Dina meledak.
"Kebetulan security yang bekerja di rumah itu adalah kawan pacarku. Jika kamu tertarik dengan pekerjaan ini, aku akan menghubunginya lebih dulu. Tapi kamu juga harus minta izin pada kedua orangtua mu," ucap Dina.
"Kamu jangan khawatir. Aku pasti akan minta izin pada bapak dan ibu. Bagaimana pun juga niatanku bekerja untuk membayar hutang. Mereka pasti mengizinkanku."
"Ya sudah, aku pulang dulu. Aku harus bersiap-siap. Jam tiga sore ini aku harus sudah kembali bekerja. Oh ya, kamu punya handphone 'kan?"
"Ada, tunggu sebentar."
Suci masuk ke dalam rumah. Tidak berselang lama ia kembali dengan membawa ponsel miliknya."
"Aku sudah menyimpan nomormu di handphone ku. Semoga keluarga itu belum menemukan pengasuh bayi," ucap Fina setelah menyalin nomor handphone Suci di ponselnya.
"Aku tunggu kabar baiknya."
"Sampaikan salamku untuk bapakmu dan kedua adikmu." Dina menaiki sepeda motornya. Tidak berselang lama ia pun meninggalkan rumah Suci.
"Siapa yang tadi itu, Nduk?" tanya sang ayah saat ia kembali dari bekerja.
"Dina, Pak."
"Dina anaknya pak Hasan 'bukan? Sudah lama sekali tidak main ke sini."
"Dina sekarang bekerja di kota. Mungkin hanya beberapa bulan sekali pulang. Ehm … anu … Pak."
Pak Bimo meletakkan sabitnya di bawah balai lalu ia merebahkan diri di dipan yang terbuat dari bambu itu.
"Kenapa, Nduk?"
"Aku-aku minta izin untuk bekerja di kota."
"Apa?! Sedari kecil kamu nyaris tidak pernah pergi kemana pun selain ke sekolah dan ke pasar. Bagaimana kamu tiba-tiba mempunyai keinginan untuk bekerja di kota?"
"Apa Bapak lupa ancaman penagih hutang itu? Kita diberi waktu satu Minggu untuk melunasi hutang. Jika tidak, kita harus angkat kaki dari rumah ini."
"Iya, bapak tahu. Tapi, apa kamu sanggup tinggal berjauhan dari ayah dan kedua adikmu? Hidup di kota itu tidak semanis yang kamu pikirkan. Kamu tahu mbak Nia 'kan? Dia berbangga diri saat mendapatkan pekerjaan di kota. Tapi nyatanya nasibnya begitu menyedihkan. Dia pulang ke kampung ini dalam keadaan berbadan dua tanpa menikah ataupun suami. Setelah melahirkan dia menghabisi anaknya lalu mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri."
"Bapak percaya sama aku. Aku akan menjaga diriku baik-baik, juga kehormatanku. Aku melakukan ini demi keluarga kita," ujar Suci.
"Maafkan bapak, Nduk. Gara-gara salah memilih istri, kini kita harus menghadapi masalah berat ini."
"Sudahlah, Pak. Tidak perlu menyesal. Ini semua adalah bagian dari takdir Allah."
Obrolan keduanya terhenti saat tiba-tiba Widya keluar dari dalam rumah dengan membawa tas berukuran besar.
"Kamu mau kemana?" tanya Bimo.
Bersambung …
"Sekarang atau besok sama saja 'bukan? Kita pasti dipaksa penagih hutang itu untuk meninggalkan rumah ini," ucap Widya dengan entengnya.
"Kita seharusnya mencari jalan keluar, bukan pasrah begitu saja dengan keadaan," ucap Bimo.
"Mau usaha sampai jungkir balik sekalipun mustahil kita mendapatkan uang dua puluh juta dalam waktu seminggu."
"Apa Ibu sadar, Ibu lah penyebab masalah ini. Kalau Ibu tidak egois mementingkan Siska, kita tidak akan terlibat hutang dengan lintah darat itu," ucap Suci.
"Kalaupun ada yang salah, itu bapak kamu. Seharusnya dia bisa memberikan apapun yang aku inginkan."
"Ibu saja yang kurang bersyukur. Sebelum memutuskan menikah, Ibu sudah tahu 'bukan? Apa pekerjaan bapak, dan bagaimana kondisi keluarga kami? Kalau Ibu memang ingin hidup mewah dan bergelimang harta, kenapa Ibu tidak cari suami yang kaya?"
"Inilah salah satu sebab yang membuatku tidak betah tinggal di rumah ini. Selain pembangkang, kamu juga berani pada orangtua. Apa begini cara ibumu yang sudah membusuk di dalam tanah itu mengajarimu?"
"Widya! Jaga mulutmu! Tidak sepantasnya kamu bicara begitu. Kami tidak pernah mengajarkan hal-hal buruk kepada putri-putri kami. Kalaupun Suci membantahmu, itu karena sikapmu yang sudah keterlaluan!"
"Dia anak kandungmu, sudah pasti kamu akan membelanya."
"Aku membelanya karena dia benar."
"Sudahlah, lebih baik aku pergi ke kota dan tinggal bersama Siska. Aku sudah muak hidup bersama kalian, orang miskin!"
"Kamu mau pergi, Silahkan! Aku juga sudah tidak tahan lagi menghadapimu! Detik ini juga aku jatuhkan talak padamu! Kita bukan suami istri lagi!" tegas Bimo.
"Kamu pikir aku sedih berpisah darimu?" Aku masih cantik dan menarik. Aku pasti bisa mendapatkan suami baru yang lebih segalanya darimu," ucap Widya dengan angkuhnya.
Tidak berselang lama sebuah mobil berhenti tepat di hadapan rumah Suci. Pasti Widya yang telah memesannya melalui aplikasi.
"Ke kota, Pak," ucapnya pada pengemudi taksi. Tanpa salam Widya masuk ke dalam mobil berwarna hitam itu lalu menutup pintu dengan kerasnya.
"Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan," gumam Bimo.
"Apa Bapak yakin dengan keputusan Bapak?" tanya Suci sesaat setelah mobil itu berlalu.
"Sebenarnya sudah lama bapak ingin mengutarakan niatan itu. Bapak mencoba bersabar dan berharap ibu sambung mu itu bisa berubah. Tapi, ternyata bapak salah. Dia justru semakin menjadi. Kini kesabaran bapak sudah benar-benar habis."
"Semoga ini keputusan terbaik," ujar Suci.
****
Keesokan paginya.
Suci beserta bapak dan kedua adiknya tengah mengitari meja makan. Seperti biasanya, Murni dan si bungsu Fitri akan pergi ke sekolah. Suci akan pergi ke kandang bebek, sementara sang ayah akan menjadi buruh pencari rumput.
Meskipun hanya sebakul nasi putih hangat dan sepiring telur dadar yang dipotong menjadi empat bagian, tak terdengar sedikit pun protes dari kedua bocah perempuan itu. Keduanya menikmati sarapan pagi mereka dengan penuh rasa syukur.
"Ibu kemana? Kok semalam tidak tidur di rumah?" tanya si bungsu Fitri dengan mata polosnya.
Suci dan sang ayah saling bersitatap. Tentu saja pertanyaan itu cukup sulit dijawab. Gadis sekecil itu belum paham apa arti perpisahan.
"Ehm … ibu-ibu berkunjung ke rumah sanak saudaranya," jawab Suci.
"Berapa hari, Mbak?" Giliran si sulung Murni yang bertanya.
"Ehm … entahlah. Mungkin berhari-hari."
"Kenapa kalian menanyakannya? Memangnya selama ini ibu sambungmu itu peduli pada kalian? Apa pernah dia menyediakan makanan di meja makan? Apa pernah dia mencuci baju kalian?"
"Walaupun ibu Widya tidak sebaik almarhumah ibu, tapi ibu Widya sering membelikanku mainan," ujar Fitri.
"Mainan itu dia beli dari uang hasil berhutang, dan pada akhirnya bapak dan mbakyumu yang repot," ucap sang ayah.
"Sudah jam setengah tujuh. Cepat habiskan sarapan kalian. Nanti kalian terlambat." Suci sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Kami berangkat dulu, Pak … Mbak."
Kedua bocah perempuan itu bergantian menyalami sang ayah dan sang kakak secara bergantian.
"Kalian belajar yang benar," ucap Suci.
"Ya, Mbak. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Kedua kakak beradik itu pun beranjak meninggalkan ruang makan.
"Tidak seharusnya Bapak berkata begitu di hadapan Murni dan Fitri. Murni mungkin sudah paham, tapi bagaimana dengan Fitri? Anak seusianya pasti belum cukup mengerti permasalahan orang dewasa," ucap Suci sesaat setelah kedua adik perempuannya berangkat sekolah.
"Bapak minta maaf, Nduk. Bapak hanya kesal saja dengan sikap ibu sambungmu itu. Dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Dia hanya melakukan apa yang dia inginkan tanpa peduli pada perasaan kita sebagai keluarganya."
"Tok tok tok!"
Obrolan keduanya terhenti saat tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan rumah mereka.
"Budhe Tini. Mari masuk," ucap Suci.
"Hari ini budhe memasak soto. Budhe sengaja membuat kuahnya lebih banyak agar bisa berbagi dengan kalian."
Wanita paruh baya itu meletakkan rantang dua susun di atas meja.
"Terima kasih, Budhe."
Wanita yang dipanggil budhe itu adalah kakak perempuan pak Bimo. Usianya sudah lebih dari empat puluh tahun tetapi ia tak kunjung mendapatkan jodoh. Tempat tinggalnya persis di belakang rumah Suci. Tentu saja di atas tanah peninggalan almarhum orangtua mereka.
Dulunya Tini pernah menjalin kasih dengan seorang pemuda di desa itu. Keduanya sudah sepakat untuk saling menikah. Namun, manusia hanyalah perencana. Calon suami Tini meninggal dunia di hari pernikahan mereka, hanya selang beberapa menit sebelum acara ijab qobul. Aji, begitulah nama pemuda itu. Ia ditemukan meninggal dunia di dalam kamarnya dalam keadaan telah mengenakan jas pengantin. Tidak diketahui pasti penyebab kematiannya yang mendadak itu. Tapi menurut pengakuan keluarganya, malam sebelum hari pernikahan itu, Aji sempat mengatakan tidak enak badan.
Tentu saja kematian Aji memberi pukulan hebat bagi Tini. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi dekat ataupun menjalin hubungan dengan pria manapun.
"Anak-anak sudah berangkat sekolah ya?" tanyanya.
"Sudah, Budhe."
"Pasti nyonya besar masih asyik berkelana di alam mimpinya."
Nyonya besar yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah Widya.
"Ehm … ibu Widya kemarin siang pergi ke kota, Budhe."
"Hah? Mau apa dia di kota? Tidak mungkin dia bekerja."
"Ibu bilang mau tinggal bersama Siska di tempat kost nya."
"Ckckck. Benar-benar perempuan tidak punya adab. Setelah berhutang pada rentenir dengan menjaminkan rumah ini, sekarang dia pergi begitu saja. Aku tidak tahu lagi di mana letak pikirannya. Apa memang dia tidak punya pikiran?"
"Aku sudah menjatuhkan talak pada Widya, Mbak," ucap Bimo.
"Bagus! Mbak dukung 1000 persen keputusanmu. Seharusnya dari dulu kamu melakukannya."
"Selama dua tahun ini aku mencoba bersabar dan berharap dia berubah. Tapi ternyata dia semakin menjadi dan tidak bisa diatur. Semoga keputusan yang kuambil tepat."
"Dari awal Mbak tidak menyukai hubungan kalian. Mbak sudah mengingatkanmu, tapi kamu tidak menggubris ucapan Mbak."
Suara dering ponsel Suci membuat obrolan mereka terjeda. Suci pun bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia lantas menjawab panggilan tersebut.
"Siapa yang nelpon, Nduk?" tanya sang ayah.
"Dina, Pak. Dia memberi kabar jika hari ini juga aku disuruh berangkat ke kota."
"Kamu benar-benar tega ninggalin bapak dan adik-adikmu, Nduk?" tanya pak Bimo dengan mata berkaca-kaca.
Bersambung …
Hai, pembaca setia….
Ditunggu dukungannya ya….
Jangan lupa tinggalkan like, komentar positif, vote, dan hadiah. Sekecil apapun dukungan kalian. Akan sangat berarti bagi Author 🥰🥰🥰🥰
🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!