...°...
...☆...
...☆☆...
...☆☆☆...
"Langit ku kelam, awan ku menghilang.. Putih ku ternoda oleh tinta tinta hitam, yang menjadi warna sebuah kepolosan dalam diri..
Aku bertanya pada hati, mengapa harus harus merah? Jika biru lebih indah...
Mengapa bermacam macam warna? Jika satu warna saja mampu membuatnya lebih bermakna..
Banyak hal yang telah ku lalui, hanya mampu berpegang pada keteguhan diri..
Kini aku mengerti...
Putih adalah jiwamu,, dan hitam adalah dirimu...
Kini aku pahami...
Biru adalah pribadi mu,, dan merah adalah darah yang mengalir dalam tubuh mu...
Kini telah ku sadari...
Satu warna adalah aku,, dan begitu banyak warna lain yang telah kau hiaskan dalam hidup ku..
Menjadikan sebuah pelangi, menghiasi indah hari ku yang selalu sepi dengan kesendirian ku..
Dan tak kan aku pungkiri,.
'Hanya dirimu...'
Apa yang telah ku mengerti,. 'Adalah dirimu...'
Dan apa yang ku pahami,.
'Selalu dirimu...'
Hingga saat ini ku sadari,.
'Dirimu satu di dalam hatiku...'
Aku berpegang teguh pada hatiku, untuk selalu bersama mu..
Meski dunia menentang ku, tak kan mampu menyurutkan rasa cintaku untuk mu di hatiku..
Karna aku mencintai mu.."
...☆☆☆...
Itulah ungkapan hati seorang Wang Yue, seorang laki laki yang begitu setia pada kekasihnya. Atau lebih tepatnya di sebut istri, sang pemilik hatinya.
Meski telah pergi meninggalkannya untuk selamanya, Wang Yue akan tetap mempertahankan perasaannya, dan selalu menjaga apa yang telah menjadi miliknya.
Walau hanya sekedar ungkapan dari hati yang tak bisa ia utarakan pada sang pemilik hatinya, namun ia akan tetap mengungkapkan setiap perasaan rindu padanya.
Ia meyakini dirinya sendiri, bahwa setiap kata yang hatinya ungkapkan,, akan sampai pada pemiliknya, meski tanpa ia mengucapkan. Semua itu karna mereka satu, hati dan perasaan mereka berada pada titik yang sama.
Dimana tidak ada seorang pun, dan apapun yang bisa memisahkan mereka. Walau raga mereka tak lagi bisa bersama..
"Yi Paa..."
Seorang anak kecil berlarian mendekat dan memeluk lututnya.
"Yi Paa,,, temani a Yi tidur.." Katanya dengan nada sayup.
Wang Yue menunduk untuk menyamakan tingginya dengan anak kecil tersebut.
"Apa a Yi sudah mengantuk?" Tanyanya kemudian pada anak kecil tersebut yang tak lain ialah putranya.
Yang lebih kecil mengangguk mengiyakan pertanyaan sang ayah.
"Mn, a Yi sangat mengantuk.."
Wang Yue tersenyum sambil mengusap puncak kepala putranya.
"Maafkan Papa membuat jangoan kecil tampan ini menunggu,, apa a Yi lelah?" Di gendong nya tubuh kecil a Yi.
"Mn. A Yi lelah,," Sahutnya dengan menggosok kedua matanya yang terlihat memerah.
"Baiklah,, sekarang bersihkan badan a Yi terlebih dulu, gosok gigi, lalu cuci wajah, kaki dan tangan mu, setelah itu kita istirahat.." Titahnya menggendong putranya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.
Selesai dengan acara membersihkan dirinya, Wang Yue membawa putranya untuk beristirahat. Seperti biasa, dia akan menceritakan dongeng pada putranya sebelum tidur.
Wang Yue selalu menceritakan kisah hidup mendiang istrinya sebagai dongeng pengantar tidur sang anak.
Dan tak pernah menceritakan kisah lain pada putranya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan agar putranya dapat mengenali ibunya meski ia telah pergi terlebih dulu sebelum melihat putranya tumbuh menjadi anak yang sangat lucu dan begitu menggemaskan.
• ~
Sang surya telah menampakkan dirinya menghangatkan alam semesta, kini Wang Yue telah selesai membersihkan diri dan bersiap untuk bekerja. Tiba waktunya ia membangunkan si kecil yang masih nyaman terlelap dalam tidurnya.
"Jagoan kecil Papa, waktunya bangun.."
Wang Yue terus menciumi seluruh wajah putranya yang mulai terganggu dengan ulah sang ayah.
"Eumhh,, sebentar lagi Yi Paa,, a Yi masih mengantuk.."
Pria itu menggelengkan kepalanya gemas memandang buah hatinya. Selalu seperti itu setiap kali ia membangunkan si kecil.
"Tidak ada. Sekarang bangun, atau a Yi akan telat ke sekolah.."
Namun nampaknya putra kecilnya itu enggan untuk membuka matanya.
"Yi Paa,, 5 menit lagi,,," Rengeknya yang tak di pedulikan sang ayah.
"Baiklah,, jika begitu tidak ada lagi cerita untuk a Yi malam ini.!"
"TIDAK...!!! Jangan lakukan itu.! Lihatlah. Yi Paa,, a Yi sudah bangun dan sudah tak mengantuk lagi,, hoamhh..."
"Haahh,,,"
Terdengar jelas ia menghela nafas dengan senyum di bibirnya, melihat tingkah putra kecilnya.
"Kau sama seperti ibumu,, jika saja saat ini dia masih ada, mungkin akan lebih sulit bagi papa untuk membangunkan kalian."
"Heum???"
Si kecil memiringkan kepalanya disertai kerutan di keningnya mendengar gumaman sang ayah.
"Apa maksud Yi Paa,,? Siapa yang mirip??" Tanyanya dengan bingung, yang merasa mendengar tentang gumaman sang ayah, tetapi merasa tak yakin jika ia salah mendengar.
"Apa yang mirip?? A Yi bahkan harus menuruti semua yang Yi Paa katakan,, meskipun a Yi tak menyukainya.." Keluhnya dengan wajah memelas.
"Eh???"
Jelas Wang Yue merasa terkejut dengan pengakuan putranya.
Pasalnya, ia tak pernah mengetahui jika putra nya tak selalu menyukai apa yang ia ajarkan selama ini.
"Apa a Yi marah?"
Di pegangnya kedua pipi chuby milik a Yi, pandangnya tertuju pada kedua bola mata indah milik putranya yang begitu ia kagumi.
"Tidak." Ucap si kecil lirih.
"Jadi katakan pada Papa,, apa hal yang membuat a Yi tak suka atau tak nyaman,, agar papa tahu dan tak membiarkan a Yi melakukannya lagi,,"
Yang lebih kecil tersenyum, senyum yang begitu indah,, senyum milik sang ibu yang tak lagi ada bersamanya.
"Tidak. Apapun yang Yi paa katakan,, akan a Yi lakukan, karena itu adalah perintah yang harus a Yi turuti. Itu adalah kewajiban sebagai seorang anak. Bukankah a Yi harus menghormati yang lebih tua dari a Yi?"
Wang Yue terdiam mendengar putra kecilnya berbicara.
"Itu yang selalu Papa katakan tentang Yi Maa pada a Yi. Yi Maa yang selalu menghormati kedua orang tuanya, dan menuruti semua perkataannya. Jadi a Yi ingin seperti Yi Maa, agar Yi Maa bahagia di surga melihat a Yi menjadi anak yang selalu menghormati Papa, seperti Yi Maa menghormati kakek dan nenek."
"Mn."
Wang Yue hanya mengangguk dengan gumaman singkat. Ada setitik air mata di sudut matanya. Kemudian tersenyum membayangkan wajah mendiang istrinya.
"Terima kasih. Terimakasih karena kau telah memberiku seorang malaikat yang memiliki hatimu, senyummu, juga mata indahmu.
Apa kau tahu sayang? Aku yakin kau melihatnya di sana,, putra kita,, dia sama sepertimu, dia akan selalu membuatku mengingatmu dan semakin menambah rasa cintaku padamu."
"Yi Paa.! Yi Paa,, mengapa Yi paa menangis? Apa a Yi mengatakan hal yang salah?"
Wang Yue tersadar dari lamunannya saat merasakan tangan mungil mengusap sudut matanya yang telah mengalirkan genangan air.
Tersenyum dengan menggelengkan kepalanya, kemudian di peluknya si kecil.
"Terima kasih sayang,, terimakasih telah mengerti dan menghormati Papa.."
"Yi Paa jangan sedih,, Yi Maa akan ikut sedih jika melihat Yi Paa menangis,, sekarang lebih baik Yi Paa ceritakan pada a Yi lagi,, a Yi ingin mendengar tentang Yi Maa.."
Rengek si kecil a Yi, yang begitu malas saat di bangunkan, namun akan begitu bersemangat jika itu mengenai sang ibu.
"Mn, nanti Papa ceritakan. Karena sebaiknya, sekarang a Yi harus mandi, lalu kita sarapan,, setelah itu kita berangkat sekolah."
Wang Yue mengangkat tubuh mungil putranya dan segera memandikan nya.
Usai memandikan putranya dan memakaikan seragam putra kecilnya, keduanya lekas menyantap sarapannya.
"Yi Paa,,, tangan a Yi masih lemas..."
"Hemph.."
Yang lebih tua menggeleng dan tersenyum mendengar kalimat yang di ucapkan putranya, dengan wajah lesu yang begitu memelas.
"Sayang,, jika saja kau ada disini bersama ku dan putra kecil kita, percayalah,, kalian sangat mirip. Dan akan semakin lengkap kebahagiaan ku karna adanya kalian berdua disisiku.."
•
Kriiiiiinngg....! (Anggap saja bunyi bel)😅
Pagi ini adalah hari pertama a Yi masuk sekolah taman kanak kanak, jadi Wang Yue mengantarnya dan menunggunya hingga jam belajar a Yi selesai.
Ia begitu sabar menunggu a Yi, meski harus merasakan sakit di telinganya karna terus berdengung akibat ulah para orang tua murid lainnya, yang saat ini tengah mengerumuninya dan terus saja menjerit memuji ketampanan alami yang miliknya.
Namun Wang Yue tak memperdulikan hal itu, karna baginya,, a Yi adalah prioritas utama. Wang Yue dengan senang hati meluangkan waktunya, dan menunda semua pekerjaannya demi putra kecilnya yang begitu ia sayangi.
°
Menit demi menit berganti, cukup lama Wang Yue menunggu a Yi , tak terlihat ia merasa bosan telah menunggu sang putra. Justru ia terlihat begitu santai dan tenang meski telah berdiri di luar kelas cukup lama, hanya untuk memandangi putra kecilnya dari luar saja.
"Ekheem,,,! Permisi,,," Terdengar suara halus seseorang menyapanya.
"Ya.." Sahutnya singkat.
"Maaf tuan,, apa anda wali murid?" Tanya seseorang tersebut dengan sopan.
"Ya,, saya orang tua a Yi"
"A Yi??"
Melihat raut kebingungan di wajah orang tersebut, Wang Yue melanjutkan ucapannya.
"Wang XiaoYi. Saya adalah ayahnya.." Jelasnya.
"Ah,, rupanya anda adalah tuan Wang Yue. Maafkan saya baru mengetahuinya."
"Tidak apa."
Wang Yue berbicara dengan sangat tenang, tanpa senyum di wajahnya.
"Perkenalkan,, saya Guru Chen, wali kelas murid disini. Dan juga saya baru saja mulai mengajar disini hari ini."
Ya. Seseorang tersebut adalah seorang guru, ia sedikit membungkukkan badan memperkenalkan dirinya.
"Mn. Salam kenal," Jawab Wang Yue seperlunya.
"Ah,, begini tuan Wang,, perkenalan wali kelas dan murid baru telah selesai,, maka anda bisa menemani putra anda di dalam.
Hari ini adalah hari pertama untuk semua murid baru, jadi di mohon untuk semua wali murid bisa menemani putra putrinya. Karena akan ada beberapa hal yang akan di umumkan untuk para wali murid mengenai kegiatan murid kedepannya."
Wang Yue hanya menganggukkan kepalanya, tanpa menjawab. Dan mulai memasuki kelas menuju meja putra kecilnya, usai sang guru mempersilahkannya untuk masuk.
30 menit terlewati. Dengan terpaksa Wang Yue harus meninggalkan a Yi, karena urusan pekerjaan yang memang tak bisa lagi ia tunda.
Dengan berat hati ia menitipkan a Yi sementara pada sang guru. Beruntung a Yi adalah anak yang baik jadi tak sedikitpun ia mengeluh saat sang ayah pergi.
A Yi sangat mengerti dengan kesibukan sang ayah, yang memang tak pernah bisa memberi celah bagi ayahnya untuk beristirahat.
Bersyukur karna Wang Yue adalah orang yang bertanggung jawab, dan sangat menyayangi putranya,, jadi, selalu ada kesempatan untuk a Yi bersama sang ayah karena ayahnya selalu menyempatkan diri bersama putra kecilnya itu.
Tentu saja karena Wang Yue adalah orang tuanya, dan a Yi adalah putranya. Juga,, Wang Yue begitu mencintai nya, jadi tak mungkin baginya membiarkan si kecil kesepian dan tak merasakan kasih sayang orang tua.
Sebab itulah ia selalu menyempatkan diri untuk membagi sedikit waktu dari semua kegiatannya untuk a Yi.
•
•
•
•
•
°
~
1 jam berlalu sejak Wang Yue pergi, pikirannya semakin tak tenang setelah meninggalkan putranya di sekolah. Ia begitu mengkhawatirkan a Yi karna ini adalah kali pertamanya Wang Yue terpisah dari putra tercintanya.
Sejak a Yi lahir, Wang Yue tak pernah meninggalkannya atau menitipkan kepada orang lain meski sebentar saja.
Bahkan Wang Yue tak segan membawa serta a Yi ke kantornya karna tak ingin meninggalkan putranya sendiri, sungguh tak terbayang betapa lelahnya ia melakukan semua itu sendiri tanpa seorang istri menemani disisinya.
Namun itulah Wang Yue,, ia tak pernah mengeluh atau merasakan lelah sedikit pun dalam dirinya, semua itu karna a Yi juga mendiang istrinya, Xiao Lin. Yang telah pergi untuk selamanya setelah melahirkan putra tercintanya a Yi.
Setelah ketiadaan sang istri, Wang Yue berjanji kepada dirinya sendiri akan selalu menjaga dan menyayangi putra kecil mereka.
Bahkan meski tanpa berjanji pun, Wang Yue akan tetap merawat dan menjaganya dengan kasih sayang penuh darinya. Agar buah hatinya tak merasa kekurangan sedikitpun perhatian, meski hanya memiliki orang tua tunggal saja.
Kini a Yi lah semangatnya,, a Yi lah separuh nyawanya,, a Yi adalah segalanya,, dan a Yi lah satu satunya yang ia miliki setelah Xiao Lin.
A Yi lah kehidupannya, kebahagiaannya, juga satu satunya harta yang paling berharga untuknya.
Tiada lelah yang Wang Yue rasakan setelah melihat wajah polos putra kecilnya,, beban yang Wang Yue pikul akan hilang saat melihat senyum tulus putra mungilnya,, dan kesedihan yang terpendam di hatinya akan lenyap ketika mendengar celoteh si kecil pada dirinya, seolah menjadi mantra abadi yang akan selalu sukses menghipnotis Wang Yue masuk kedalam dunia indah milik putranya.
Alasan Wang Yue mampu bertahan dari rasa sakitnya adalah a Yi,, dan itulah sebab Wang Yue begitu tak menginginkan a Yi terpisah darinya.
Namun dunianya serasa berhenti saat ini, kini ia benar benar telah meninggalkan putranya. Merasa berdosa sebab ia tak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua yang selalu ada, dan menemani buah hatinya setiap waktu.
Begitu banyak pikiran buruk memenuhi kepala Wang Yue, membuatnya tak bisa fokus pada pekerjaan nya saat ini. Beberapa kali ia mencoba menghubungi pihak sekolah a Yi, namun tak kunjung mendapat jawaban.
Tak ingin terjadi hal buruk menimpa putranya, Wang Yue memutuskan untuk pergi meninggalkan rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang saat ini masih berlangsung, tanpa memperdulikan jika proyeknya kali ini bisa saja gagal akibat tidak profesionalnya ia dalam hal berbisnis.
"Sial.!! Jika terjadi sesuatu yang buruk pada a Yi,, aku takkan pernah memaafkan diriku sendiri.!!"
Wang Yue mengumpati dirinya sendiri karna telah meninggalkan putranya.
"Bodoh..!!! Wang Yue,, kau seharusnya tak meninggalkannya di sana.! Kau bahkan masih bisa menunggunya.! Atau membawanya bersama mu,! Atau kau bisa membatalkannya kapan saja!! Haakh..!! Persetan dengan proyek itu.!!!"
Bak orang kesetanan, Wang Yue terus memaki dirinya sendiri. Jika saja saat ini ada orang lain berada bersama nya, mungkin akan berpendapat jika dirinya telah gila saat ini.
Mungkin dia lupa, Jika putranya berada di sekolah,. Bukankah itu adalah tempat yang aman untuk putranya? Mengapa sebegitu panikkah dia,,? Mungkin sebaiknya ingatkan Wang Yue untuk memiliki beberapa bodyguard untuk a Yi nanti.
Sebuah pesan masuk mengalihkan perhatiannya, dengan cepat ia membuka pesan tersebut berharap jika itu adalah kabar baik tentang putranya.
Hello,,,, apakah putranya telah menghilang? Mengapa dia seolah mendrama?
Wang Yue bernafas lega setelah membaca pesan tersebut yang di kirimkan oleh wali kelas putranya. Setelahnya ia kembali melajukan mobilnya dengan secepat kilat agar segera sampai pada alamat yang telah tertulis lewat pesan tersebut.
•
Tibalah kini dirinya di sebuah rumah yang untuk pertama kali ia datangi.
"Permisi,, maaf saya terlambat.." Ucapnya pada seorang wanita yang kini menyambutnya.
"Ah,, tuan Wang,, maafkan saya membuat anda terpaksa harus datang ke tempat ini.. Mari tuan silahkan masuk, a Yi ada di dalam."
Wang Yue tak bergeming, wajahnya terlihat tak baik.
Merasa tak ada pergerakan dari lawan bicaranya, wanita yang tak lain adalah wali kelas a Yi kini tersenyum.
"Ah,, maaf jika saya kurang sopan. Saya akan memanggil a Yi sebentar. Maaf membuat anda harus menunggu di luar."
Chen Xiao, atau yang kerap di sapa Cc itu jelas paham apa arti raut wajah yang Wang Yue tampilkan saat ini.
Jadi ia tak memaksa untuk mempersilahkan tamunya masuk, dan membiarkannya di luar.
Tak berselang lama terdengar suara nyaring khas milik putra kecilnya.
"Yi Paa,,,"
Ya. Anak kecil itu berlarian menghambur kepelukan sang ayah yang kini datang menjemputnya.
"Bagaimana kabar a Yi? Apa a Yi nakal?"
Dengan cepat si kecil menggeleng.
"Sangat baik,, a Yi merindukan Yi Paa,,"
Wang Yue tersenyum sumringah mendengar ucapan putranya yang memeluknya begitu erat dengan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher miliknya.
"Anak pintar,, baiklah, sekarang a Yi ucapkan terima pada Guru Chen dulu,, dan pamit padanya. Ok?"
Anak kecil itu menuruti apa yang ayahnya perintahkan. Ia turun dari gendongan sang ayah, dan mendekati sang guru untuk berpamitan.
"Bibi,," Ucap sang guru membuat yang lebih kecil mengerutkan dahi kebingungan.
"Panggil aku Bibi." Jelasnya kemudian, membuat a Yi lebih mengerti.
"Euu,, Bi,_"
AYi tak melanjutkan ucapannya, ia melirik ke arah sang ayah terlebih dahulu seolah meminta persetujuan untuk memanggil seseorang yang baru saja di kenalnya.
Mengerti arti tatapan dari putra nya, Wang Yue angkat bicara.
"Tidak Guru Chen,, itu tidak sopan,, lebih baik a Yi memanggil anda dengan sebutan yang pantas dan sopan saja."
"Tidak apa tuan Wang,, saya akan sangat senang jika a Yi melakukannya. Saya hanya ingin merasakan mengenal seseorang lebih dekat saja."
Sungguh,, itu terdengar begitu aneh bagi Wang Yue. Ia mulai merasa curiga ada motif tertentu pada Wanita di hadapannya kini.
Mungkin mulai saat ini ia harus lebih hati hati lagi, agar tak ada hal buruk yang terjadi pada putranya nanti.
Sementara Cc kini hanya tersenyum geli melihat perubahan di wajah orang tua dari muridnya itu yang menurutnya aneh.
"Tuan Wang,, maaf jika ucapan saya terdengar aneh. Saya hanya ingin mengenal a Yi lebih dekat saja."
Ada perubahan di wajah wanita cantik itu.
"Bukan. Saya tidak memiliki hal buruk yang akan saya lakukan pada a Yi,, hanya saja saya merasa begitu dekat dengan a Yi setelah kami bertemu. Entah mengapa saya merasa jika mungkin saat itu bayi dari kakak perempuan saya masih ada, dia pasti sudah seumuran a Yi."
Jelas sekali, wanita di hadapannya kini benar-benar terlihat murung.
Ada setitik rasa simpati mendengar penuturan orang di hadapannya, begitu tulus. Tetapi sebagai orang tua yang begitu menyayangi buah hatinya,, tentu Wang Yue tetap harus waspada bukan? Agar tak tertipu dengan orang yang baru di kenalnya.
Bisa saja orang itu bukan orang baik, tak mau berlama lama berada di tempat tersebut, Wang Yue memutuskan untuk pergi.
"Jiě,, entah mengapa aku merasa anak itu begitu mirip dengan mu. Sifatnya sama dengan dirimu, senyum itu,, adalah milikmu. Dan mata itu,, jelas itu milikmu. ." Cc membatin menatap kepergian a Yi bersama ayahnya.
•
1 bulan tak terasa, a Yi menjalani harinya sebagai anak didik Cc di sekolah, ia menjadi anak yang lebih ceria dengan begitu banyak teman yang menyukainya.
A Yi pun menjadi semakin dekat dengan Cc sang wali kelas, ia bahkan dengan senang hati menawarkan diri untuk mampir ke tempat sang guru sebelum ayahnya datang menjemput.
Bukan hanya Cc saja yang merasa begitu dekat dengan a Yi,, namun, si kecil a Yi pula rupanya merasakan hal yang sama dengannya, ada kehangatan juga ke nyamanan saat berada bersama sang guru.
Entah apapun itu,, yang pasti hal itu membuat keduanya semakin dekat.
"Yi Paa,,," Suara lembut si kecil mengganggu pendengaran Wang Yue.
"Emn," Sahutnya sekenanya.
"Euu,,,"
Wang Yue menunggu kelanjutan ucapan a Yi, namun nampaknya putranya tersebut sengaja tak ingin melanjutkan ucapannya tersebut.
Merasa penasaran putranya tak lagi mengucapkan sepatah kata, Wang Yue yang memang telah memejamkan mata dan bersiap pergi ke alam mimpinya itu lantas kembali membuka matanya.
Terlihat si kecil a Yi yang memiliki pertanyaan untuknya, namun ragu untuk ia katakan pada sang ayah.
"A Yi,,," Panggilnya.
"Heumm,?"
Si kecil terkejut melihat sang ayah yang ternyata memandangnya lekat.
"Mengapa tak melanjutkannya?"
Merasa tak ada jawaban dari yang lebih kecil, Wang Yue kembali bertanya.
"Apa yang ingin a Yi sampaikan hm? Katakan jika memang itu mengganggu.."
"Apa a Yi boleh bertanya?"
Wang Yue mengangguki putranya dengan senyuman.
"Bolehkah a Yi melihatnya, Yi Paa??"
Si kecil memberanikan diri bertanya, meski dengan ragu dan takut, namun ada harapan di dalam ucapannya.
Wang Yue kembali tersenyum, di bawanya a Yi ke pelukannya tak lupa ia mengecup sayang puncak kepala sang putra.
"Apa a Yi merindukannya hm??"
"A Yi ingin melihat wajahnya,, a Yi ingin tahu seperti apa ibu a Yi,," Ucapnya sedih.
Wang Yue beranjak dari tempat tidurnya, lalu ia mengambil sebuah kotak besar berwarna merah dan hitam dengan hiasan pita biru melingkari kotak besar tersebut.
A Yi hanya melihat dengan bingung, pasalnya sang ayah tanpa perlu menjawabnya dan justru mengambil benda yang entah apa isinya.
Wang Yue kembali tersenyum sambil membawanya pada a Yi dan membuka kotak besar tersebut yang ternyata berisi sebuah album foto, dan beberapa bingkai foto yang menampilkan wajah cantik milik istrinya.
"Ini,,,"
A Yi tak dapat melanjutkan ucapannya, dirinya yang begitu penasaran saat melihat wajar yang tergambar di bingkai bingkai tersebut dengan cepat mengambilnya.
Mata bulatnya berkaca kaca saat dengan jelas ia melihat wajah sang ibu, yang untuk pertama kalinya ia lihat sedari ia di lahirkan.
Sejak a Yi lahir ayahnya hanya menceritakan kisah tentang mendiang ibunya saja, dan tak pernah menunjukan atau memberi tahukan seperti apa rupa sang ibunda tercinta.
"Dia adalah Wang Xiao Lin,, istri Papa. Dialah yang melahirkan mu nak, dia Ibumu.." Jelas Wang Yue sembari mengusap sayang kepala putranya yang kini telah menangis.
"Hiks,, apa benar dia ibu a Yi?" Tanyanya dengan sesenggukan.
"Hey,, nak. Lihatlah,, wajah mu begitu mirip dengannya,, apa kau meragukan jika dia adalah Ibumu hm?"
A Yi menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Hiks,, mana mungkin dia Ibu a Yi,, hiks,, wajahnya saja begitu cantik. Hiks,, mana bisa di samakan dengan a Yi yang tampan seperti Papa.. Hiks,,"
Wang Yue di buat menganga mendengar ucapan putranya.
"Tidak.! Hiks,, jelas saja dia adalah Yi Maa.! Hiks,, tentu saja dialah Ibu a Yi. Hiks,, sangat cantik,, hiks,,hiks,, mengapa dia sangat cantik,,? Hiks,, mengapa tak memiliki wajah, hiks,, yang tampan seperti a Yi ini,,? Hiks,,"
"Sungguh menggemaskan," Batin Wang Yue.
Wang Yue membuang nafasnya kasar dengan tawa pelan melihat tingkah putranya yang begitu menggemaskan, meskipun putranya berkata demikian,, namun jelas, dapat ia lihat putranya begitu antusias melihat potret sang ibu.
Begitu bangga pada sang ibu juga ada kesedihan pada matanya, serta kerinduan mendalam pada sang ibu yang tak mungkin dapat ia temui di dunia yang sama sampai kapanpun. Sungguh malang..
•
•
•
•
°
~ Kediaman Wang.
°
"Pagi Gē,,"
Wang Yue mendongak menatap seseorang yang menyapanya.
"Mn, pagi. Kau ingin sarapan bersama?" Sahutnya dengan mengambil beberapa potong sandwich untuk a Yi dan dirinya.
"Selamat pagi jagoan,," Sapa seseorang tersebut pada si kecil a Yi.
"Tentu saja Gē. Lagu pula aku tak suka sarapan sendiri." Lanjutnya menyahuti Wang Yue.
Ia adalah Wang Hao, si bungsu yang lahir setelah Wang Yue. Hao baru saja kembali dari studinya 2 Minggu lalu, karna alasan hanya ingin dekat dengan keluarganya, jadi ia memutuskan untuk tinggal di tempat sang Gēgē atas perintahnya.
"Pagi paman Hao,,"
Seperti biasa, si kecil menyambut sang paman dengan senyuman.
Sarapan pagi ini cukup ramai bagi Wang Yue dan a Yi karna adanya si bungsu Wang Hao. Setidak nya itu cukup menghilangkan kesunyian di antara mereka berdua yang biasanya sepi karna hanya ada Wang Yue dan si kecil a Yi saja.
"Sudah?"
Si kecil mengangguki sang ayah sambil mengelap sudut bibirnya.
"Ayo, kita berangkat sekarang,"
Pasangan ayah dan anak tersebut pergi, meninggalkan seseorang di belakang mereka yang terus memandangi punggung keduanya dengan rasa bimbang di hatinya.
°
~Kantor Wang.
°
"Apa yang kau inginkan, hingga membuat mu datang kemari."
Ucapan itu terlontar begitu saja dari Wang Yue saat Hao memasuki ruang kerjanya.
"Aw,, Gē. Kau itu bertanya padaku atau apa? Itu sama sekali tak terdengar seperti pertanyaan. Kau seperti tak suka aku datang kesini."
Tanpa permisi Hao mendudukkan dirinya tepat di seberang meja Wang Yue duduk.
"Ah,, dan dari mana kau tahu jika ini aku, Dìdì tersayang mu yang begitu tampan ini,," Lanjutnya dengan menaik turunkan alisnya serta cengiran khasnya yang terlihat menyebalkan bagi Wang Yue.
"Kau bahkan tak menoleh sedikitpun dari tumpukan kertas tak berguna itu." Imbuh Hao dengan nada menyebalkan, yang memang dirinya sedikit kesal melihat sang Gēgē lebih suka menyibukkan diri dengan tumpukan kertas di hadapannya, ketimbang membiarkan dirinya beristirahat berang sejenak saja.
Wang Yue sendiri hanya merotasikan matanya malas mendengar ucapan si bungsu itu.
"Gē."
"Mn."
"Gē."
"Mn."
"Gēgē,.!!!"
Yang lebih tua menghela nafasnya, karna sikap kekanakan Hao.
"Kembalikan."
Hao melirik sekilas beberapa kertas yang ia pegang, lalu kembali menghadap Wang Yue.
"Haakh,!! Gēgē.! Apa sebegitu pentingkah kertas kertas tak berguna ini untuk mu?!! Sampai kau tega mengabaikan ku disini.!!!"
"Katakan. Apa yang sebenarnya kau inginkan, lalu pergilah. Jangan mengganggu pekerjaan Gēgē." Ucap Wang Yue dengan wajah datar.
Hao merasa geram karena sang Gēgē mengalihkan pembicaraan nya tanpa niat menjawab ucapannya.
"Baiklah,, jika begitu jangan salahkan aku jika kertas ini ku hancurkan."
Seketika mata Wang Yue melebar, saat Wang Hao benar benar merobek berkas berkas proyeknya hancur berhamburan di lantai.
"Kau.!!!" Wang Yue menggeram marah.
"Apa?!! Apa Gēgē marah padaku? Lakukan sesuatu, lakukan apapun yang kau inginkan padaku.!" Hao terus memancing kemarahan Wang Yue.
"Kau menghancurkan proyek Gēgē. Tidakkah kau merasa bersalah?!"
Sementara Wang Yue masih berusaha menahan emosinya karna tak ingin terpancing.
"Hemph.!! Kau seharusnya berterima kasih padaku Gē, karna setelah ini kau tak akan sesibuk sebelumnya. Waktumu akan lebih banyak yang kosong, kau bisa menemani putramu sepanjang hari, dan kau bisa menceritakan semua padaku sekarang juga."
" Dìdì,, tidakkah kau merasa sangat kekanakan? Berapa usiamu sekarang? Mengapa kau melakukan hal konyol seperti ini pada Gēgē?"
Wang Yue memandang tajam yang lebih muda yang tak memiliki rasa bersalah atas tingkahnya.
"Berkas itu,,, bahkan belum sempat ku tanda tangani. Aish,jika saja kau tahu itulah caraku. Akh,, sudahlah.! Haohao bodoh.!!" Batin Wang Yue mengesedih.
Meski marah, Wang Yue tak bisa mengungkapkan secara gamblang alasan dirinya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan.
"Ya. Dan tidakkah Gēgē mengalah sedikit saja padaku? Apa susahnya untuk menjelaskan semua yang terjadi.! Aku bukan lagi anak kecil Gē.!! Kau tak bisa terus menyembunyikan nya dariku,"
Dering ponsel mengalihkan perhatian keduanya.
Cukup menguntungkan bagi Wang Yue, karna tentunya itu bisa menjadi alasan dirinya untuk tidak menjawab pertanyaan Hao.
Namun lagi lagi ia hanya menggeram marah oleh tingkah si bungsu. Pasalnya, saat ia ingin mengambil benda pipih berbunyi tersebut, Hao lebih dulu mengambilnya dan tanpa perlu repot meminta ijin pada sang pemilik ia menjawab panggilan tersebut.
"Baiklah,, terima kasih." Hao menutup panggilan tersebut.
"Wang Hao..! Apa yang kau lakukan dengan ponsel Gēgē.? Cepat kembalikan. Kau bahkan tak dapat mengubah dirimu setelah menjalani kehidupan mu yang panjang disana."
Wang Yue merasa bingung melihat gelagat aneh Hao yang memainkan ponselnya, seolah tengah mengirim pesan.
"Nah. Aku pergi."
Wang Yue semakin di buat heran saat Hao pergi begitu saja, setelah mengembalikan ponsel miliknya.
"Hahh,, kau masihlah Haohao kecil Gēgē yang dulu. Seperti Hao kecil yang selalu melakukan apapun atas kemauanmu sendiri tanpa memikirkan tentang hatimu yang akan siap atau tidak untuk menerima nya."
Pandangan Wang Yue menyendu, perasaan kecewa menyeruak kedalam hatinya pada dirinya sendiri.
"Ingat Gē,, meski kau menutupinya dariku, aku takkan tinggal diam. Cepat atau lambat aku akan mengetahui kebenarannya. Dan,, yang bersalah ku jamin akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.!!"
"Ha,,,"
Wang Yue tak bisa melanjutkan kalimatnya dan hanya bisa terdiam menatap pintu tak bernyawa yang benar benar telah tertutup setelah kepergian Hao.
°
~Kediaman Chen>
°
"Baik, tolong jaga dia sebentar untukku jie, sepertinya Cc akan sedikit terlambat." Chen Xiao menutup sambungan telepon nya.
"Bibi Cc,, apa sudah selesai?"
Guru cantik itu menurunkan pandangannya pada anak kecil yang tengah menarik narik ujung bajunya.
"Aiyo,, maafkan Bibi karna mengabaikan a Yi,," Ucapnya sembari memasukkan ponsel miliknya.
"Bibi,, apa Yi Paa akan datang?" Tanya a Yi dengan mengamati wajah orang dewasa di hadapannya.
"Mnh.! Tentu."
Beberapa menit kemudian terdengar bel berbunyi, Chen Xiao dan a Yi bergegas untuk membuka pintu karna mereka mengira itu adalah Wang Yue.
"Yi Paa,,, paman Hao?!!"
Hao mengeluarkan cengiran menyebalkan melihat perubahan di wajah sang keponakan.
"Halo jagoan.." Sapanya dengan melambaikan tangan, pandangannya teralihkan pada mahluk dewasa yang tengah tersenyum pada si kecil yang tengah di gandengnya.
"Wuah,, siapa gadis cantik ini.. Benar benar cantik.."
Batin Hao mengagumi sosok di hadapannya yang menurutnya sangat cantik.
"Dimana Yi paa? Mengapa paman yang menjemput??"
A Yi mengerutkan wajahnya sebal karna sang paman tak menjawab pertanyaannya, yang justru malah asik memandangi mahluk dewasa yang kini menggandeng tangannya.
"Ekhemm.. Maaf,, apa anda paman a Yi?"
"Wuahh,, suaranya sangat halus. Sehalus wajahnya."
Bukan hanya wajah rupanya, ternyata suara Chen Xiao mampu membuat Wang Hao terhipnotis karenanya.
"Eh,,? Tunggu.! Tidak tidak.! Aku tidak boleh menyukainya,, tidak Haohao,, kendalikan dirimu. Tapi,, sungguh. Dia benar benar indah.."
Lamunannya terhenti saat merasakan ngilu di punggung tangannya.
"Heyy,! Apa yang kau lakukan bocah kecil. Mengapa menggigit paman? Apa kau lapar hm?"
Bukannya marah karna a Yi menggigit tangannya, Hao justru khawatir jika sang keponakan tengah kelaparan.
"Paman Hao menakutkan.! Paman terus menggelengkan kepala paman dan memandangi Bibi Cc. Paman Hao juga mengabaikan a Yi jadi a Yi menggigit tangan paman agar paman tidak mengabaikan a Yi lagi.." Ucap a Yi dengan polos.
"Aiyo,, maafkan paman, paman tidak bermaksud mengabaikan a Yi. Tolong maafkan paman ya,,?"
Meskipun Hao juga mengabaikan sapaannya tadi, tapi entah mengapa melihat kedekatan antara murid dan pamannya di hadapannya itu membuatnya begitu bahagia. Dan,,, hangat.
Ya,, Guru cantik itu merasakan kehangatan di dalam hatinya, namun ada sebagian dari hatinya yang merasa kosong juga kehilangan.
"Eu,, ma,maaf,,, saya Wang Hao. Paman a Yi." Ucapnya sambil mengulurkan tangan yang di sambut dengan senyum oleh lawan bicaranya.
"Saya Chen Xiao, wali kelas a Yi."
Keduanya pun berjabat tangan.
"Aakh..! Aku tidak peduli, aku sungguh mengaguminya.! Chen Xiao,,! Jadilah milikku,,! Aku mencintaimu..!"
Lagi lagi lamunannya buyar, karna a Yi melepaskan dengan paksa jabatan tangan di antara kedua orang dewasa di hadapannya.
"Paman Hao.! Sebaiknya kita pulang sekarang, sebelum paman membuat Bibi Cc semakin tak nyaman."
"Ah,ha,haha,,,"
Merasa malu karna ucapan a Yi, Hao kembali tertawa konyol.
"Ayo,, eu,, Cc,, kami pamit dulu.."
Hao seketika membungkam dan menepuk nepuk bibirnya, saat menyadari apa yang salah dengan ucapannya. Yang kadang tak bisa terkontrol saat dirinya mengagumi sesuatu yang ia lihat.
°
~
"Cc,, kau datang?" Sapa halus seorang gadis cantik dengan senyum hangat terukir di bibirnya.
"Maaf Jiě, Cc terlambat."
Saat ini Chen Xiao berada di rumah sakit, tepatnya di ruangan Lulu. Setelah a Yi dan pamannya pamit, ia bergegas pergi untuk menemui sang Jiějiě.
Lulu, seorang dokter cantik terbaik di negaranya. Gadis cantik itulah yang menghubungi Cc sebelumnya.
Flash back>>
"Cc,, Jiějiě sudah selesai. Apa kau akan datang?"
"Ah,, sebentar lagi Jiě, ada yang masih harus Cc kerjakan."
"Emn,, kalau begitu kerjakan dengan benar, Jiějiě akan menunggumu."
"Baik, tolong jaga dia sebentar untukku Jiě, sepertinya Cc akan sedikit terlambat."
"Jangan terlalu bersemangat Ok."
Flashback off>>
"Tidak apa,, kau terlihat begitu lelah.."
Lulu mengusap lembut bulir embun yang menempel hampir menutupi seluruh permukaan wajah Cc.
"Tidak Jiě, hanya mengejar waktu saja agar tak membuat mu menunggu terlalu lama. Maaf,, kali ini merepotkan Jiějiě lagi."
"Kau ini,, aku ini adalah Jiějiě mu,, jangan terlalu sungkan padaku. Apapun yang menyangkut dirimu, adalah tanggung jawab ku."
Cc begitu bersyukur karna dirinya dapat mengenal bahkan bisa dekat dengan perempuan cantik di hadapannya, ia begitu baik tanpa memiliki sedikit kejelekan di hatinya pada orang lain.
"Cc,, Jiějiě telah memesan beberapa menu untuk makan siang,, kau bangunkan Jiějiě mu di dalam dan ajak dia makan bersama."
Bertepatan saat Cc membangunkan seseorang di dalam bilik kamar sang dokter, pesanan makan siang mereka pun datang. Kemudian Lulu menyiapkan semua hidangan tersebut untuk santapan makan siang mereka bertiga.
Acara makan siang itupun di penuhi dengan sedikit canda dan tawa yang cukup membuat bahagia. Mengapa hanya cukup?
Ya, setidaknya itu membuat Cc dan Lulu merasa bahagia dan bersyukur seseorang yang berada di antara mereka berdua perlahan pulih dari sakit yang di alaminya.
Bukan sakit yang disebabkan suatu penyakit, tetapi sakit dalam artian lain yang membuat guncangan mentalnya.
Sementara seseorang tersebut hanya menyahuti seperlunya saja, bahkan tanpa ada senyum yang terukir di wajahnya.
Entah apa yang ia pikirkan, yang ia tahu,, hatinya merasakan perasaan aneh dalam dirinya. Seperti,,, 'Kosong...'
"A Lin,, apa makanannya tak enak hm?"
Lulu menghentikan suapan di mulutnya, melihat seseorang di sampingnya yang tak berselera menyantap makanannya.
Senyum tulus tercetak di bibir seseorang yang Lulu sebut tadi, ia menggelengkan kepalanya tanpa menjawab.
Namun bagi Lulu, meski itu adalah senyum yang tulus,, tetapi sorot mata itu tak dapat membohongi dirinya. Ia tahu, dan ia mengerti, arti dari pandangan itu.
"Emn,, Jiě, setelah ini Cc akan langsung mengajak a Lin Jiějiě pulang. Apa tak apa?"
Cc dengan cepat menyelesaikan suapan terakhir nya, ia menyadari jika sang Jiějiě merasa kurang nyaman saat ini.
Lulu tersenyum, "Apa yang membuatmu khawatir Cc? Kau bisa membawanya pulang tanpa harus meminta ijin padaku terlebih dahulu,, kau lebih tahu apa yang harus kau lakukan.." Ucapnya kemudian.
"Baiklah,, a Lin Jiějiě, sekarang sudah waktunya kita kembali ke rumah. Apa Jiějiě siap?"
Meski tak langsung menjawab, namun seperkian detik kemudian si empunya mengangguki apa yang Cc katakan.
Cc membawa sang Jiějiě untuk pulang karena tak ingin sang Jiějiě terlalu lelah. Namun, baru saja keluar dari ruangan Lulu, keduanya di kejutkan dengan seorang anak kecil yang tiba tiba berlari dengan teriakan menggema di sepanjang koridor rumah sakit tersebut.
Tiba tiba saja,,,
*Brruugkk.!!
•
•
•
•
•
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!