NovelToon NovelToon

Beware Of Mr. Amnesia

One : The beginning

Dallas, US

23.00 PM

Sebuah sport car putih yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa itu melaju di jalanan Dallas Peak, tepat disisi puncak gunung di sneffes range.

Di belakangnya terdapat dua buah sportcar dengan warna berbeda yang mengejar dengan kecepatan tak kalah tinggi. Sosok yang berada di dalam mobil putih tersebut menampakkan senyum tipis ketika melihat salah satu mobil berwarna kuning akan membalap mobilnya.

Arshia Clarikson. Sosok yang berada dalam mobil itu langsung membanting kemudi ke arah kanan, menutup jalan yang akan dilalui oleh mobil kuning itu.

“Shit” umpat Evan, pria itu menginjak rem dengan spontan

“Kau terlalu gegabah, Evan” sahut Jacob

“Nice try, lil boy." Sambung Shia disertai kekehan kecilnya. Gadis itu menatap kearah kaca mobil. Melirik sekilas mobil kuning yang kini kembali melaju mendekatinya.

“Awas saja kau Shia!” ucap Evan kesal.

Begitu mendekati tikungan. Shia memasukkan mobil ke gigi satu. Kakinya menginjak kopling dengan penuh dan mengencangkan mesin. Setelah menaikkan RPM hingga 5000, Shia melepaskan rem pada tangannya sehingga menyebabkan roda belakang mobil berputar sangat cepat. Ketika Shia melepaskan koplingnya mobil putih tersebut langsung dipenuhi dengan asap sebelum akhirnya berhenti berputar.

Shia keluar dari mobilnya dengan melepaskan hands-free pada telinganya. Ia melangkah ringan mendekati Evan yang berdecak kesal di depan mobilnya.

“Bagaimana?” Tanya Shia disertai senyum tipis dan sebelah alis yang terangkat

“Aku mengaku kalah” Jawab Evan. Pria berambut gondrong itu membuka kembali mobilnya. Mengambil sebuah tas koper kecil dan membawanya keluar.

“Sesuai kesepakatan, 1 Juta dollar” lanjut Evan sambil menyerahkan koper tersebut pada Shia.

“Terima kasih.”

“Aku akan mengalahkanmu lain kali” ucap Evan bertekad.

Shia menyeringai tipis, ini sudah kali ke 6 pria itu selalu kalah jika balapan dengannya dan sudah jutaan dollar juga kerugian yang dialami pria itu karena taruhan yang mereka buat.

“Baiklah. Semoga kau beruntung di duel ke tujuh kita.”

“Jadi, apakah sudah berakhir seperti biasanya?” Tanya Jacob, dia menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Jacob tidak ikut balapan, dia ikut hanya sebagai wasit agar balapan yang mereka lakukan terbukti ‘bersih’.

Evan mendengus kesal “Ini semua salahmu, kau bilang dia akan kalah jika ada di rute baru.”

“Aku hanya bilang dia mungkin 'tidak terbiasa dengan rute baru' bukan berarti dia kalah” Balas Jacob sambil mendelikkan bahu dan mentap ke arah Shia

“Aku tidak menyangka kalian memikirkan itu. Mungkin memang aku terlahir untuk jadi pemenang” Jacob tersenyum miring, Evan berdecak. Keduanya tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan Shia.

“Tapi, baru kali ini aku tau kalau di Dallas Peak ada lintasan drift.” Lanjutnya sambil memandangi pepohonan yang memenuhi sisi pegunungan yang miring.

“Beberapa tahun lalu tempat ini cukup terkenal. Bukan sebagai lintasan drift, tapi sebagai jalur karena banyak wisatawan yang kesini, namun karena sering terjadi longsor jadinya jalur ini ditutup” Jelas Jacob. Shia menganggukan kepalanya tanda menyimak apa yang Jacob katakan.

“Kami menyebutnya pegunungan Greenhills karena tempat ini penuh dengan pepohonan tidak seperti bagian utara yang ditutupi dengan salju" lanjut Jacob

“Really? Mungkin aku akan berkeliling sebentar sebelum kembali. sayang sekali jika aku langsung pulang tanpa menjelajah wilayah baru" Jacob hanya tertawa geli, Shia berbicara sambil melangkah masuk ke dalam mobil, "Sampai jumpa" Shia membuka kaca mobilnya lalu melambai singkat setelahnya gadis itu mamacu mobilnya mengelilingi rute yang baru saja ia lalui.

Di sisi lain tampak seorang pria dengan kemeja putih berdiri di depan sebuah jurang yang terlihat curam. Di belakangnya terdapat tujuh orang pria berseragam yang mengejarnya.

“Cepat cari dia!" seru lelaki berambut coklat yang tampak memberikan perintah kepada orang-orang yang mengikutinya.

“Try to catch me, huh" Pria yang menjadi objek pengejaran itu berdiri dengan tegap, mengabaikan rasa sakit pada tubuhnya akibat benturan jatuhnya pesawat di pegunungan itu, seolah itu adalah hal biasa baginya.

Tangan kanannya memegang sebuah pistol Desert Eagle yang terarah kedepan, siap membidik lawannya.

“AKHH”

Sebuah tembakan tepat mengenai jantung salah satu anak buah pria berambut coklat itu diikuti ringisan kesakitan hingga akhirnya sang korban langsung jatuh tak bernyawa. Bukan karena peluru yang bersarang di jantungnya namun karena ada racun dalam peluru yang ditembakkan hingga membuatnya langsung meregang nyawa dalam hitungan detik.

Seringian licik nampak diwajah tampan sang pelaku penembakan. Ia menatap rombongan pria yang kini berjumlah 6 orang didepannya. Sang bos komplotan tampak menarik perhatian pria itu.

“Tidak bisa ku percaya jika Frank yang memimpin kalian” Pria itu berucap dengan dingin namun ada nada remeh yang terselip di ucapannya

“Awalnya aku memang curiga mengapa jet pribadiku bisa mendarat dengan sangat mulus disini. Ternyata kau sudah membuat skenario yang bagus untuk kematianku yaa” Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya. Pistol yang berada pada tangan kanannya ia mainkan dengan santai.

“Padahal bisa saja dilakukan dengan cepat, tapi kenapa kau memilih rencana yang merepotkan begini Frank?" lanjutnya

Frank mengetatkan rahangnya menahan rasa kesal atas ucapan meremehkan yang dilontarkan oleh ‘mantan tuannya’.

“Ada kata-kata terakhir, tuan?” ucap Frank, tangan kanannya mengarahkan pistol pada pria itu. Pria itu tersenyum miring ketika melihat tangan Frank yang bergetar ketika mengacungkan pistol ke arahnya.

“Entahlah, aku bertanya-tanya apa kalian mampu membunuhku?” tanya pria itu disertai kekehan kecil. Hal itu tentu saja membuat keenam pria didepannya meradang, hingga semuanya mengarahkan pistol pada pria itu.

“Wow, Kalian sangat brutal yaa”

DOR

Sebuah peluru menembus perut pria itu. Rasa terbakar oleh timah padat yang menembus kulitnya membuat ia meringis, tangan kirinya menyentuh bagian perutnya yang tertembak. Kemeja putihnya kini ternoda oleh merah darah yang sangat ketara. Ia menatap ke belakang lalu melompat, membiarkan tubuhnya menggelinding tak tentu arah. Hingga kesadaran pria itu menghilang ketika tubuhnya kehilangan banyak darah.

“Bodoh, mengapa kau menembaknya?!" marah Frank pada anak buahnya yang baru saja menembak.

Dengan langkah cepat Frank mendekat kearah jatuhnya sang ‘mantan tuan’ yang kini tak terlihat lagi raganya.

“Sekarang bagaimana kita membawa tubuhnya dalam keadaan hidup pada tuan muda kedua" lanjut Frank dengan kesal.

Pria yang menembak itu menundukkan kepalanya, saat itu ia melihat aliran darah dari salah satu rekannya yang mati tertembak.

“Boss, bagaimana jika kita menggunakan mayat Ed sebagai bukti” ucapnya.

Frank mengerutkan keningnya bingung, jelas tubuh Ed dengan ‘mantan tuannya’ berbeda. Bagaimana bisa ia mengelabui tuan muda kedua dengan itu.

“Kita bisa meledakkannya, katakan saja tuan muda pertama terjebak dalam pesawat yang jatuh dan meledak” ucap lainnya

“Ide bagus” jawab frank dengan senyum puasnya.

---------💕

Hello readers so this is my first story. Jujurly aku deg-degan banget mau up cerita ini tapi di satu sisi aku juga butuh tanggapan akan cerita yang aku buat so aku harap kalian bisa ngasih aku masukan-masukan sebagai pembaca supaya aku sebagai penulis pemula dapat berkembang.

hope you all like this story yaa🥰

Full love : Rose.vody

Two : Stranger

Shia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil membuka kaca mobil. Dia masih berada di lokasi yang sama, namun rute yang berbeda.

Ia menyadari jika pegunangan Greenhills ini sangat cocok dengan dirinya. Udara dingin beserta rintikan hujan yang pias menerpa wajahnya. Pandangannya teralih pada jam yang melingkar ditangannya. Pukul 01:30 AM sepertinya Shia tidak sadar waktu yang sudah di lewatkannya.

BRAK..

BRUK..

Dengan spontan Shia meninjak pedal rem hingga mobil berhenti, tubuhnya terlonjak ke depan secara tiba-tiba.

Shia menaikkan pandangannya, Ia mengeryit ketika melihat tumpukan tanah jatuh mengenai mobil putihnya.

'Ah mungkin tanah longsor seperti yang Jacob katakan' gumamnya

Ketika Shia hendak menggunakan wiper untuk membersihkan kaca depannya Ia justru melotot kaget ketika melihat kaca depan mobil yang tadi kotor oleh tanah kini malah ternoda oleh darah.

Dengan cepat Shia membuka pintu dan melangkah keluar mengabaikan tetesan air hujan yang membasahi tubuhnya.

Hanya mengandalkan pencahayaan dari mobil itu. Tubuhnya mematung dengan wajah yang mulai pucat. Ia tau ini tidak masuk akal. Tapi sesosok pria dengan kemeja putih yang tak sadarkan diri dengan tubuh berlumuran darah itu terkapar diatas kap mobilnya. Pakaian pria itu kotor oleh tanah namun tak menutup noda merah yang mulai menyebar.

“H-Hei” Shia menggoyangkan pelan tubuh pria itu berharap mendapatkan respon. Namun hasilnya nihil, tidak ada respon yang didapatnya.

Shia mendongak ke atas menatap arah jatuhnya pria itu. Sebuah puncak pegunungan yang menampilkan percikan warna merah samar merupakan pemandangan yang didapatnya. Ia mengernyit, cuaca saat ini hujan namun di atas puncak seperti terjadi kebakaran.

“Ukhh” Ringisan pria itu mengambil alih atensi Shia.

“Are you okay, sir?” Shia mendekat dan membantu pria itu untuk bangkit. Tubuh pria itu oleng, dengan cepat Shia menopang pria itu dan menuntunnya menuju kursi penumpang.

“Astaga, Anda sangat berat sir!" Shia menghela napas pelan lalu dengan hati-hati memindahkan pria itu kedalam mobil memasangkan safety belt. Memutari mobil dengan cepat, Shia mendudukkan dirinya dibalik kemudi, Ia melirik sekilas pria itu. Lalu melepaskan jaketnya dan melilitkannya pada tubuh pria itu.

“Dimana?” tanya Shia pada seseorang dipanggilan telpon, ia memundurkan mobilnya dan berputar arah, karena jalan didepannya sudah buntu ditutupi tanah.

“Rumah sakit, kenapa?” suara seorang wanita terdengar dari panggilan telpon.

“Sepertinya aku menabrak seseorang”.

“APA? BAGAIMANA BISA?” tanyanya tak percaya.

“Aku juga tidak tau, pria ini tiba-tiba jatuh di depan mobilku”

“Kau mengenalnya?”

“Tidak, aku akan datang ke sana. Sepertinya lukanya parah, karena itu siapkan ruang operasi darurat segera” Shia melajukan mobilnya sambil melirik kearah pria itu.

“Hei, separah apa kau menabraknya hingga harus diopera-“

TUT

Shia melempar handphone kebelakang dengan asal. Pandangannya kembali ke arah pria itu. Sebuah luka pada kening pria itu membuatnya terdiam. Hal ini mengingatkanya ke kejadian 6 tahun yang lalu.

“Meskipun kamu orang asing, setidaknya jangan mati didepanku. Aku benci melihatnya.”

Dengan kecepatan penuh Shia melajukan mobilnya ke arah kota Dallas. Perjalanan yang harusnya memakan waktu 1 jam kini hanya perlu 30 menit bagi seorang Arshia seorang mantan atlet drifting yang menjelma menjadi pembalap liar.

Shia menghentikan mobilnya ketika tiba di Parkland memorial hospital, tepat di samping wanita dengan seragam dokter yang memang menunggunya.

Erika Tylor, sahabatnya yang bekerja sebagai dokter itu menampakan raut terkejut ketika melihat bagian depan mobil Shia yang berwarna merah darah.

“Ku pikir hiasan mobilmu terlalu mencolok” ucap Erika ketika melihat Shia turun dari mobil dan memutarinya menuju pintu kursi penumpang

“Itu darahnya.” Ucap Shia bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka, Erika menatap seorang pria yang terbalut kemeja putih yang dipenuhi oleh warna merah dan tubuh yang kotor dengan tanah.

“Oh Gosh! Bagaimana dia bisa begini? Apa kamu menabraknya? Sudah kubilangkan berhentilah balapan Shia!" Cecar Erika panik. Wanita itu mengkode kepada perawat yang bersamanya agar membawa pria itu.

“Sudah kubilang dia tiba-tiba jatuh ke depan mobilku!" jawab Shia dengan atensi yang sepenuhnya tertuju pada para perawat yang memindahkan tubuh pria itu ke ranjang pasien dan membawanya masuk ke dalam.

Kedua wanita itu mengikuti dengan sedikit berlari. Langkah Shia terhenti didepan ruang operasi, ia tau ruang itu terbatas dan ia tidak boleh masuk.

“Aku akan mendengar penjelasanmu nanti untuk sekrang aku akan lakukan yang terbaik.” ucap Erika yang dibalasi anggukan Shia.

Shia mendudukkan dirinya pada kursi tunggu. Mulai dari detik, menit hingga 2 jam sudah berlalu namun belum ada satupun yang keluar dari ruang operasi tempat pria asing itu.

Shia menundukkan wajahnya, raut lelah terlihat diwajah cantiknya, rambut coklatnya yang tadi terikat kini dibiarkan digerai dengan sedikit berantakan.

Cklek

Suara pintu terbuka menyadarkan Shia. Wanita itu berdiri dan mendekat kearah Erika yang menseka peluh di dahinya.

“Bagaimana kondisinya?” Tanya Shia

“Kami sudah mengeluarkan peluru yang tertanam ditubuhnya, namun kepalanya mengalami benturan yang cukup keras sehingga menyebabkan cidera pada otaknya, cedera itu menyebabkan ia mengalami amnesia sementara”

“Amnesia?” Tanya Shia meyakinkan

“Benar, aku pernah mendapat kasus seperti ini sebelumnya. Kita akan menunggu ia sadar dan melakukan operasi lanjutan untuk mengeluarkan gumpalan darah pada otaknya dan memperbaiki fungsi otaknya. Ia akan baik-baik saja”

“Terima kasih banyak Er"

“Senang bisa membantumu Shia, tapi kurasa kau menabrak seseorang yang berpengaruh”

“Maksudnya?”

“Pria itu.. emm bagaimana ya mengatakannya, dia terlihat tampan dan berwibawa” Shia menatap Erika tak yakin, ia melihat pria itu beberapa jam yang lalu dan tidak ada aura tampan ataupun berwibawa seperti yang diucapkan Erika.

Mendapati raut tak percaya dari Shia membuat Erika terkekeh geli. “Lupakan, kamu akan tau nanti dan sebaiknya kau mencuci mobilmu. Kau tau, motifnya terlalu nyata”

“Kurasa kau benar” ucap Shia ketika mengingat darah yang ketara sekali dimobilnya yang berwarna putih.

“Oh ya, pasien akan dipindahkan keruang inap. Lantai 5 nomor 222.” Ucap Erika yang dibalasi anggukan Shia. Erika melangkahkan kakinya menjauh namun terhenti ketika ia sedikit menolehkan kepalanya ke belakang menatap pada Shia yang mengernyit bingung.

“Jangan lupa urus administrasinya. Kita memang sahabat namun aku juga butuh bayaran untuk pekerjaanku!" Ucap Erika dengan senyum kapitalis yang jelas terlihat, Shia terkekeh geli.

“Berapapun yang kau mau”

Shia menekan layar ponselnya. Mengirimi pesan pada David, seorang teman nya untuk mengurus mobilnya. Setelah menitipkan kunci pada seorang resepsionis, Shia memasuki lift menuju lantai 5. Membuka pintu ruangan nomor 222, tatapannya terkunci pada seorang pria yang kini terbaring menggunakan seragam pasien dengan perban di kepala serta infus ditangan kanannya.

Shia mendudukkan dirinya di kursi yang berada di samping ranjang pasien tepat menghadap kearah pria itu. Menatap dengan seksama rupa pria itu yang sudah bersih tanpa darah.

Kini ia tersadar apa yang dimaksud Erika tadi. Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh, hidung mancung, alis yang tajam serta kedua mata yang terpejam dengan bulu mata lentik itu membuatnya terlihat sempurna, ia bertanya-tanya bagaimana jika kedua mata itu terbuka aura seperti apakah yang akan terpancar dari pria itu.

Shia menggelengkan wajahnya, menyadarkan dirinya pada kenyataan. Pandangannya menyusur kearah kamar inap, Ia menghela napas. Erika sudah menjebaknya untuk mengeluarkan biaya yang besar, ruang inap ini tergolong kelas VIP dengan fasilitas yang lengkap termasuk AC, Televisi serta sofa yang terlihat empuk.

Shia menumpukan kepalanya pada ranjang, mengistirahatkan dirinya yang terlalu lelah. Kedua matanya tertutup hingga akhirnya wanita itu terlelap dalam mimpi.

Three : Sense of responsibility

Shia membuka matanya lalu meregangkan tubuhnya yang pegal karena tidur dengan posisi yang salah. Ia tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang berada di atas ranjang. Merapikan sedikit penampilannya, atensinya kembali tertuju pada pria yang masih memejamkan mata di depannya.

Pria itu masih sama, tidak bergerak dan hanya tertidur dengan tenang. Hanya suara dari alat medis yang terdengar menandakan jantung pria itu yang masih berdetak.

“Sebenarnya kapan kau akan sadar?” Tanya Shia entah kepada siapa

“Aku ingin meninggalkanmu, tapi entah mengapa aku merasa harus bertanggung jawab, padahal bukan aku yang mencelakaimu!" lanjutnya. Kini Shia tertawa kecil menyadari tingkahnya

“sebenarnya apa yang ku lakukan? berbicara pada orang yang tidak mungkin menjawab."

Shia melirik jam yang melingkar ditangannya. Pukul 9 pagi, itu berarti ia hanya tertidur kurang dari tiga jam.

Suara getar ponsel membuat Shia terusik. Shia menatap nama sang penelpon lalu menekan tombol hijau untuk menjawabnya.

“Apa kamu tidak berpikir untuk pulang?”

“Aku akan pulang jika ingin” Balas Shia dengan nada malas

“kamu tidak akan pulang meskipun tau ayahmu masuk rumah sakit”

Shia terkejut dengan berita yang didengarnya. Ayahnya masuk rumah sakit. Bagaimana bisa? Jelas-jelas seseorang memberitaunya kemarin siang ayahnya masih sehat tanpa ada masalah.

“Ada apa dengannya?” Tanya Shia dengan datar tak ada sedikitpun rasa khawatir dari nada suaranya

“Datang dan lihat sendiri.” ucap Lily Eriskon, sepupu Shia dengan santai.

“Kirimkan aku alamatnya.”

Panggilan diputuskan oleh Shia. Gadis itu menatap pria didepannya lalu menghela napasnya gusar.

“Aku akan kembali nanti” gumamnya.

Setelah mendapat sebuah pesan masuk dari Lily yang berisikan alamat rumah sakit. Shia keluar dari kamar itu. Langkah Shia terhenti di koridor rumah sakit, Ia baru ingat jika David membawa mobilnya.

Shia menghela nafas, sepertinya Shia harus pergi menggunakan taksi.

Di rumah sakit yang berbeda dari sebelumnya Shia melangkah dengan sedikit berlari. Ia bertanya pada resepsionis di sana lalu menuju salah satu pintu kamar dan membukanya

Sepasang ibu dan anak yang duduk di sofa sambil memainkan handphonenya adalah hal yang pertama kali Shia lihat. Pandangannya beralih pada seorang pria paruh baya yang terbaring dengan selang kecil yang menempel di hidungnya.

"Tante tidak tau jika kamu akan datang Shia" Ucap wanita paruh baya itu sambil berdiri dan berjalan ke arah Shia.

“Tante Ilya, sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Shia, ia menatap pada Lily yang tersenyum miring

"Sakit kepala seperti biasanya, tapi kali ini lebih parah"

“Dia stress karena putri tunggalnya selalu menyalahkannya atas kematian sang ibu!” celetuk Lily, yang langsung mendapat pelototan tajam Shia, dia akan menjadi sangat sensitif jika itu menyangkut ibunya.

"Jaga bicaramu lily, ibu tidak pernah mengajarkan mu begitu!" Ilya berucap tegas

"Tapi memang benar kan!" Sahut Lily tak terima. Ia tidak suka ketika ibunya lebih membela Shia dibandingkan dirinya sendiri.

“Shia maafkan Lily, dia memang suka berbicara seenaknya” Ucap tante Ilya dengan tak enak. Shia yang sudah tau watak sepupunya itu hanya menahan geraman dibalik senyum tipis yang ia berikan untuk tante Ilya.

“Tante bisa pergi, aku akan menjaganya” ucap Shia setelah mendudukkan dirinya pada kursi.

“Tentu, jika Robert sudah sadar kabari tante yaa” Ucap Ilya dengan ramah, Shia mengangguk lalu keduanya meninggalkan ruangan itu.

Di dalam kamar itu hanya tersisa Shia dan Robert. Ditatapnya tangan pria itu yang terlihat ramping. Sebenarnya sejak kapan ayahnya terlihat lebih kurus dan lelah seperti ini.

Sejenak Shia mengingat kenangan beberapa tahun silam, ketika dia selalu berada digendongan sang ayah dengan rasa bangga. Namun semua itu berubah ketika ia melihat hal keji yang diperbuat ayahnya. Semua perasaan bangga itu musnah dan berubah menjadi rasa benci ketika sang ibu memilih pergi setelah mengetahui kenyataannya.

“S..Shia” Suara serak dan sentuhan pada tangannya menyadarkan Shia.

Shia hanya diam menatap orang yang berstatus sebagai ayahnya itu dengan datar, menyembunyikam semua emosi yang ada dalam dirinya.

“A..ayah minta ma..af” Shia menatap Robert yang membuka matanya dengan sayu serta suara yang terbata.

Tak ada respon berarti yang Shia berikan selain tatapan nya yang datar, rasa bencinya sudah terlalu dalam terhadap sosok yang ia sebut ayah.

Shia menatap tangan yang menyentuhnya. Pikirannya kembali melayang, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya. Kapan terakhir kali ia berinteraksi dengan sang ayah? Mungkin 6 tahun yang lalu. Ketika ia masih tinggal di mansion yang penuh tipuan itu.

“Setelah melihatmu dengan benar, kamu semakin mirip dengan ibumu” ucap Robert lagi.

“Ya, karena aku putrinya” akhirnya Shia buka suara membuat Robert mengulas senyum tipis. Setidaknya Shia mau berbicara dengannya setelah sekian lama.

“Bagaimana keadaanmu selama diluar?” Tanya Robert

“Baik.”

“Lalu baga-“

“Jangan berbicara lagi. Aku tidak suka basa basi!” senyuman Robert kini semakin lebar. Jika orang lain mungkin ia akan marah ucapannya terpotong namun jika itu putrinya tentu saja ia senang. Bukankah ucapan itu merupakan perhatian kecil yang diberikan putrinya. Agar dirinya diam dan beristirahat saja.

Gila memang, itu yang dapat Shia ungkapkan jika dia mengetahui arti dibalik senyuman Robert.

Keheningan tercipta selama beberapa saat. Shia memainkan handphonenya mengirimkan sebuah pesan untuk Erika agar menjaga pria asing itu.

“Pulanglah Shia!" Robert kembali berucap memecahkan keheningan yang bercampur kecanggungan itu.

“Pulang? Dan membantumu dalam bisnis kotormu itu, seperti yang kau lakukan pada ibuku? Maaf aku tidak sudi!”

“Shia kau putriku”

“Then?”

“Clarikson masih ada di nama akhirmu”

Shia berdecih, ia tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika Robert sudah berbicara tentang nama Clarikson sialan yang melekat di nama belakangnya.

“Sepertinya anda sudah sehat, kalau begitu aku akan pergi” Putus Shia dengan langkah yang menjauh meninggalkan Robert yang menatap kepergian Shia dengan nanar.

Mobil putih Shia melaju membelah jalanan kota Texas, sepulang dari rumah sakit, Shia langsung mengambil mobilnya di bengkel milik David.

Kini dia telah tiba di apartemen minimalis miliknya. Shia menjatuhkan tubuhnya pada kasur dan memejamkan mata guna mengusir rasa lelahnya. Ia baru tersadar mengapa hari ini terasa sangat melelahkan baginya. Lebih melelahkan daripada saat ia melakukan dfriting.

Shia bangun lalu melangkah ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Bagai tanaman yang disiram. Air yang mengalir membasahinya membuatnya kembali merasa hidup.

Cukup membutuhkan waktu 30 menit, Shia menyelesaikan acara mandinya. Ia keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe berwarna hitam.

Shia mendudukan dirinya didepan meja rias, Ia mengoles wajahnya dengan rangkaian skincare lalu mengeringkan rambut coklatnya dengan hairdryer. Jangan salah, meskipun Shia suka balapan namun wanita itu tetap bisa merawat dirinya dengan baik. Meskipun ia tidak tertarik dengan dunia orang cantik sepertinya yang suka berbelanja dan berfoya-foya tapi dia suka merawat dirinya sendiri.

TING

Notifikasi pesan masuk membuat Shia menghentikan aktifitasnya. Ia beranjak mengambil handphone yang tergeletak di ranjang. Sebuah pesan dari Erika membuatnya melepas bathrobenya dan berganti pakaian.

From : Erika Tylor

“Dia sudah sadar”.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!