Aku menatap cowok yang ada di sampingku. Muka seriusnya membuat perasaan makin kacau. Entah sejak kapan perasaan tak tenang ini mulai terasa, seperti ada ribuan kupu-kupu yang mengembangkan sayapnya di perutku. Kadangkala serasa seperti hendak menaiki pentas pertandingan, degub jantung terasa tak beraturan. Buru-buru mengalihkan pandangan, agar perasaan ini bisa sedikit ku tenangkan.
Mereka bilang aku perempuan beruntung, bisa berada dekat dengan Arjun. Cowok ganteng idola Fakultas, bahkan kampus juga, sepertinya.
Delapan tahun memang aku dan Arjun sudah bersahabat, dari kelas satu SMP. Arjuna Dinata, kala itu masih cowok culun dan cengeng. Suatu hari aku melihatnya di-bully para senior, membuat jiwa pahlawanku seketika bangun. Aku yang kala itu sudah memegang sabuk hijau di taekwondo, dengan entengnya menghajar para senior yang membully Arjun yang kemudian membuatku berakhir di ruang BP.
Masih berasa segar diingatanku, kala itu ibu mengomel seperti tak berkesudahan tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri. Mendapatkan skors seminggu, tidak diijinkan masuk sekolah, membuat ibu bebas mengomeliku pagi-siang-malam seolah tanpa jeda.
Sore itu, ketika ibu masih melanjutkan ritual ngomelnya di hari ketiga aku kena skors, tiba-tiba ada tamu yang mengunjungi rumah mungil kami. Aku merasa Tuhan menjawab doaku, untuk sejenak mengistirahatkan telingaku dari kejenuhan kalimat yang di ulang-ulang ibu dari mulai aku membuka mata sampai menutup mata dan membuka mata lagi esok hari nya.
"Mari Pak, Bu, silahkan duduk." Ibu mempersilahkan para tamu yang datang untuk duduk sambil merapikan kunciran rambutnya yang agak berantakan. Wajahnya yang sedari pagi terlihat sangar tiba-tiba berubah manis.
"Terima kasih, Bu," balas para tamu itu, seorang laki-laki paruh baya dan seorang perempuan anggun yang mungkin masih berumur pertengahan empat puluhan.
"Sebentar saya buatkan minum dulu ya," lanjut ibu ketika para tamu itu sudah duduk di sofa tua rumah kami.
"Oh, tidak usah repot-repot Bu, kami hanya sebentar ... Maaf mengganggu waktu Ibu dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. " Tamu yang perempuan menjawab dengan suaranya yang lembut. Langsung berhayal, andai ibuku seperti perempuan itu, bahagia sekali aku. Haha, aku tersenyum sendiri ketika mengintip para tamu dari kamar.
"Ah tidak, cuma minum aja," sahut ibu sambil beranjak ke dapur.
Tidak lama berselang, ibu datang dengan dua cangkir teh melati hangat dan sepiring singkong yang baru digorengnya tak lama sebelum para tamu itu datang.
"Aduuh, jadi ngerepotin," sambut tamu perempuan dengan senyumannya yang menyejukkan.
"Hehe, cuma ini yang ada ... Silahkan dicicipi, " tawar ibu sambil memberikan senyum termanisnya yang sudah jarang aku lihat.
"Terima kasih, Bu." Si tamu menyeruput tehnya dengan anggun.
"Uhm, kalau boleh tahu ada apa ya Ibu sama Bapak datang kesini?" tanya ibu langsung tanpa basa-basi lagi, ah memang ciri khasnya.
Perempuan yang tidak bisa berbasa-basi. Orang lain melihat beliau perempuan yang kurang mengerti tata krama, tapi bagiku, ibu itu orang nya apa adanya, bukan tipe orang yang bisa bermanis-manis kepada orang lain.
"Ah ... ya, begini Bu, anak kami Arjun sudah menceritakan kronologi Aruna menghajar para senior itu...."
Aha! Ternyata mereka adalah orangtua anak culun yang ku bela tempo hari. Oh! Namanya Arjun, padahal aku sekelas dengannya, tapi karena lemah dalam mengingat nama-nama orang baru, aku jadi tidak begitu ingat nama anak itu. Mencoba untuk makin menajamkan pendengaranku menguping pembicaraan orangtua Arjun dan ibu.
"Tapi tetap anak saya itu harus dihukum Bu, dia seenaknya saja main hajar-hajar anak orang, kalo saya di posisi orangtua anak yang dihajar juga bakal meradang lah, Bu." Ibu sepertinya masih belum rela menerima kalau aku tidak bersalah.
"Tapi, menurut anak kami, Aruna juga sebelumnya sudah memperingati para senior itu untuk tidak mengganggu mereka, mereka yang mulai main fisik." Orangtua Arjun melanjutkan pembelaannya.
"Ya Allah, apakah aku anak yang tertukar? Kenapa malah orang lain yang membelaku bukan ibuku sendiri?" bisikku dalam hati ketika melihat ibunya Arjun berusaha meyakinkan ibu bahwa aku berada dipihak yang benar.
Ibu tampak tercenung sesaat, berusaha untuk mencerna pembicaraan orangtua Arjun.
"Yaa, sekarang tidak ada gunanya juga sih. Anak saya sudah diskors ini." Akhirnya Ibu seperti menerima penjelasan dari ibunya Arjun.
"Nah, kami kesini mau mengajak Ibu ke sekolah besok, menjelaskan pada pihak sekolah, bahwa anak Ibu tidak bersalah. Sekarang, yang ada orang yang salah malah bisa bebas berkeliaran di sekolah, anak Ibu malah kena skors. Bukan tidak mungkin, ada anak lain yang jadi korban bully dari senior itu. Ya kan?"
Ibu tampak hanya manggut-manggut menanggapi pembicaraan ibunya Arjun. Tak lama kedua orangtua Arjun pamit pulang, dengan kesepakatan ibuku dan orangtua Arjun besok akan menemui kepala sekolah.
Semenjak kejadian itu aku dan Arjun menjadi sahabat akrab. Sampai sekarang kuliah pun kami masih satu universitas dan satu fakultas. walaupun beda jurusan, tapi kami tetap menyempatkan sekedar makan bareng ketika jam pergantian mata kuliah. Bahkan pulang pun masih selalu bareng.
"Woooi ngelamun aja Lo!"
Aku gelagapan ketika tangan keras Arjun menepuk punggungku.
"Ah sialan Lo!" gerutu ku
"Lagian Lo diajakin ngobrol malah bengong."
Aaah Jun, masa puber benar-benar merombak total rupamu. Siapa sangka cowok culun kurus ceking yang aku kenal dulu bisa tumbuh jadi laki-laki bertubuh atletis, berwajah bak pangeran negeri dongeng. Muka tirusnya dulu, sudah agak melebar dengan rahang kokoh seakan dipahat hati-hati oleh pemahatnya. Matanya yang dulu selalu menyorotkan tatapan tak berdaya di balik kaca mata, sekarang menatap tajam dengan bingkai alis tebal dan tertata rapi di atas batang hidungnya yang tinggi. Kalau dulu Arjun selalu berjalan menunduk, sekarang dia berjalan dengan percaya diri.
"Woi, Lo mikirin apaan siy? Ga kaya Runa yang gwe kenal," selidiknya dengan muka serius.
"Mau tau aja deh Lo cumi!" elakku lalu berlalu dari hadapan Arjun.
"Eh malah ngeloyor pergi ... Run ... Lo lagi kenapa siy? Gwe serius nanya." Arjun masih penasaran dengan sikapku hari ini.
"PMS!" jawab ku sambil mempercepat langkahku menjauhi cowok itu.
****
[Jun, Lo duluan aja pulang ya, ga usah nungguin gue. Kelas gue lagi ada proyek kerja kelompok] aku menulis kan pesan whatsapp ke Arjun.
[Lah, biasa gue tungguin ini] balasnya tak lama berselang.
[Udah Lo duluan aja balik, cerewet amat]
[Biasa Lo PMS ga gini-gini amat deh perasaan]
Aku tercenung membaca balasannya.
Dia ternyata selama ini memperhatikan sikapku.
[Mo kerja kelompok dimana emang?] lanjutnya.
[Blom tau niy, gue juga lagi nungguin mo dimananya]
Padahal aku bohong, sebenarnya tidak ada kerja kelompok. Aku hanya ingin sejenak menghindar dari cowok itu. Mencoba sedikit menenangkan hati yang belakangan mulai tak ku mengerti. Mungkin saja perasaan ini tiba-tiba hadir karena aku terlalu sering bersama Juna. Semoga dengan sedikit menjaga jarak, aku bisa menetralkan kembali perasaan ini.
Aruna, pancaran matahari pagi, seperti itu lah yang aku rasakan saat pertama kali melihat cewek itu menghajar dengan tenang senior-senior yang me-bully ku. Ada rasa hangat menjalar, ketika melihat senyum dari wajah orientalnya. Lesung pipi di pipinya yang kemerahan membuat senyum itu makin memukau.
Kala itu aku masih kelas satu SMP, kalau kata orang, perasaan itu tak lebih dari perasaan cinta monyet. Tidak bagiku, rasa itu makin hari makin kuat. Aku benar-benar terpesona dengan caranya yang tenang menghadapi senior yang sering me-bully ku itu. Sayang, pihak sekolah tidak mau mendengarkan pembelaan Aruna. Sedangkan aku? Jangankan membela gadis yang telah menyelamatkanku, membela diri saja aku tak mampu, akibatnya Aruna harus menjalani hukuman skors selama satu minggu.
Tak mau berlama-lama absen kehilangan gadis itu, mengumpulkan sedikit keberanian, aku pun menceritakan pada orangtuaku apa yang terjadi di sekolah. Dengan memanfaatkan relasi papa dengan kepala sekolah, akhirnya gadis mentari pagi ku kembali menghangatkan hari-hariku disekolah.
Setelah kejadian itu, aku dan Runa jadi semakin dekat. Ternyata gadis itu tak hanya kuat secara fisik, otaknya pun cemerlang. Pembawaannya yang santai dan ceria membuatnya mudah mendapatkan teman, tidak hanya yang seangkatan, tetapi kakak kelas juga banyak yang dekat dengannya.
Sementara aku? Aku masih teman yang paling dekat dengannya, setidaknya itu yang membuatku bersyukur saat itu. Walaupun terkadang aku tau, beberapa teman-teman menjuluki ku si laron yang selalu mengikuti api, apa peduliku, toh Runa tak pernah menyatakan keberatannya.
"Run, gue juga mau ikut Taekwondo donk," pintaku pada Aruna suatu waktu ketika jam istirahat di kantin.
Seperti biasa, kami duduk di pojokan, menghindari bingarnya suasana kantin. Lebih tepatnya, Runa tak ingin membuatku jadi tak nyaman berada di tengah keriuhan. Ia memang gadis yang amat sangat pengertian. Untuk hal-hal kecil seperti itu pun tak luput dari perhatiannya.
"Lah kenapa tiba-tiba?" ia menghentikan suapan basonya dan menatapku lekat.
Ya Tuhaan... Sebenarnya aku tak pernah mampu menata irama jantungku jika ditatap oleh mata bening itu. Aku selalu saja menundukkan wajah agar ia tak perlu melihatnya memerah. Aku mendorong kacamata yang mulai merosot di puncak hidung yang basah oleh keringat untuk menghilangkan kegugupan.
"Yaa buat jaga diri lah. Kalo gue tanya kenapa Lo ikut Taekwondo, pasti bakal jawab yang sama kan?" Padahal alasan sebenarnya, aku hanya ingin memperpanjang waktu ku untuk bertemu dengan gadis mentari itu.
Runa hanya mengangguk-angguk. Menghabiskan baso dalam mulutnya, lalu berkata, "tapi Lo kuat, enggak?"
"Maksud, Lo?"
"Kemarin ini, gue liat Lo udah kaya mau pingsan pas dikata-katain. Apalagi klo dihajar," sahutnya dengan wajah penuh keraguan.
"Yaa ... Kan maksud gue juga biar melatih mental juga, gue kan cowok, biar engga klemer-klemer gini terus," sahutku hampir menyerupai cicitan. Ah, cowok payah memang.
Dimana-mana, cowok yang harus ngelindungi cewek, tapi ini kebalik. Aku tak mau terus-terusan terlihat terlalu lemah di mata Runa. Walaupun untuk nilai pelajaran aku masih unggul dari dia.
"Tapi nyokap Lo kasih ijin engga? Gue takut ntar dikira ngajarin anaknya yang enggak-enggak," kembali sorot keraguan terpancar dari matanya.
Ya, mama memang over protektif. Beliau tak mau aku lecet sedikit pun. Walaupun kadang papa sering menyatakan keberatannya terhadap perlakuan mama yang terlalu berlebihan, tapi mama tak peduli. Aku juga tak bisa menyalahkan, karena bagi mama aku adalah harta yang amat sangat berharga. Tiga kali mengalami keguguran sebelum akhirnya beliau bisa melahirkan ku ke dunia dengan perjuangan yang berat, membuat ia benar-benar berusaha menjaga ku sebaik mungkin.
"Ya, nanti gue nego mama deh. Lagian ini kan juga buat jaga diri. Coba kalo Lo kemarin engga mergokin senior yang bully, kan udah bonyok gue."
"Hu-um, harus. Jangan sampai Lo ikut tanpa izin. Bisa kualat entar," sahutnya sambil menyeruput jeruk hangat pesanannya.
Itulah yang membuatku makin mengidolakan si cewek sinar mentari ini. Dia tak pernah meremehkan orang lain. Jika yang lain suka menjulukiku 'si anak mami', tidak dengan gadis itu. Karena dia juga penganut 'bertekuk di bawah kaki ibu', sehingga tak pernah terlontar ejekan dari mulutnya ketika aku harus meminta pertimbangan mama untuk melakukan kegiatan apapun.
****
Setelah membujuk dan merayu, dengan memaparkan sekian banyak keuntungan jika ikut latihan taekwondo, akhirnya mama memberiku izin. Bagaikan mendapatkan hadiah yang teramat besar seumur hidup, itulah yang aku rasakan saat itu.
Semakin hari, makin dekat dengan gadis itu membuat ku mulai sedikit percaya diri. Tampilan cupu yang disematkan oleh teman sekelas mulai hilang. Runa memang seperti mentari pagi yang menghalau kabut bagi hidupku.
***
Memasuki masa SMA, aku pun mulai memasuki masa puber, segala perubahan fisik mulai terlihat, tubuhku yang dulu lebih pendek dari Runa, mulai menjulang. Bahu yang dulu terlihat ringkih pun mulai melebar. Lalu, tiba-tiba saja aku yang dulu seperti tak dikenal, mendadak menjadi pusat perhatian para cewek di sekolah.
Tentu saja semua perhatian itu membuat ku jengah. Aku bukan orang yang terbiasa menerima perhatian, lebih suka berdiri di balik layar, memainkan peranku dalam diam.
Kembali Runa menjadi tameng, disaat beberapa cewek yang terlihat mulai nekat mendekati ku dengan cara yang menurut ku sudah mulai tak masuk akal.
"Run, Lo jangan jauh-jauh dari gue donk," pintaku suatu hari layaknya seorang anak merengek minta dibelikan mainan pada ibunya.
"Ih, ntar gue dimusuhin cewek-cewek satu sekolahan, Jun," kekeh gadis itu dengan tawa khasnya yang renyah.
"Sejak kapan Lo mikirin itu sih? Dulu ga terlalu peduli amat apa kata orang."
"Sejak Lo jadi idola para cewek. Gue tak ubahnya kaya laler ijo yang ngider-ngider di makanan mereka aja."
"Bagi gue, Lo masih sama kayak dulu, Run. Lo jangan berubah dong," pintaku setengah memohon.
Sedikit perasaan takut menjalari hati. Aku tak ingin mentari yang selalu menyinari hariku menjauh. Dia yang selama ini ada disaat gelap ku. Mana mungkin aku akan bisa hidup tanpa kehangatannya. Aku tak peduli seberapa banyak cewek yang mulai mendekat, mereka hanya tau diri ku yang terlihat menarik di mata mereka. Sementara Runa, ia yang telah ada dari masa aku masih bukan siapa-siapa, di saat aku hanya dipandang sebelah mata.
Mungkin bisa dikatakan sebuah obsesi bagiku untuk terus berada di sisi gadis mentari. Bahkan aku pun memilih universitas dan fakultas yang sama dengannya setelah lulus dari SMA, hanya saja nilai semester awalku tidak mencukupi untuk bisa masuk ke jurusan yang sama dengan gadis itu, membuat ku akhirnya terpisah oleh jurusan.
Siapa yang tak akan tergila-gila pada cewek tangguh berontak encer dengan paras yang juga menarik. Tak sedikit cowok yang juga menaruh hati pada Runa, namun selalu ditolak mentah-mentah. Alasannya selalu 'tak ingin berpacaran sampai lulus kuliah'. Ya, gadis itu termasuk saklek dalam urusan pendidikan. Ia yang hanya tinggal bersama ibunya, tak ingin pendidikannya berantakan begitu saja hanya karena urusan hati.
"Gue ga bisa bagi fokus, Jun. Urusan cowok belakangan aja, toh gue masih punya Lo yang nemenin gue kemana aja, ya kan," sahutnya ketika ku tanya kenapa ia tak pernah mau menerima cowok yang tertarik padanya.
Boleh kan aku sedikit berbesar hati, karena dari SMP sainganku cukup banyak. Tak sedikit yang ingin menyingkirkanku, tapi Runa terus mempertahankan ku untuk selalu dekat dengannya.
Aku akhirnya memilih untuk menyukainya diam-diam, agar aku bisa terus berada di dekatnya. Tak ingin nantinya ia akan menjauh ketika aku menyatakan perasaan. Berapa banyak persahabatan akhirnya hancur ketika salah seorang menyatakan perasaan.
***
Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini Runa sedikit aneh. Dia lebih sering menghindar. Bahkan tak jarang aku memergokinya sedang melamun. Jika biasa dia cerewet, beberapa hari belakangan lebih pendiam. Beberapa kali aku menanyakan alasannya, sesering itu pula dia menyatakan tak ada yang perlu dirisaukan.
Ah! Bagaimana mungkin aku tak kan risau, cahaya mentari yang dulu selalu bersinar hangat seakan tertutup awan gelap. Aku rindu kehangatannya yang dulu.
Jika menyukai diam-diam adalah lebih baik daripada menghadapi kecanggungan setelah menyatakan perasaan, maka aku lebih memilih untuk memendam saja rasa ini. Mungkin bagi sebagian orang sikapku tak jantan. Namun, mulutku tak pernah mampu menyatakan perasaan jika teringat nantinya Runa akan menjauh karena merasa tidak nyaman dengan pernyataanku.
Dari awal mengenalnya, rasa itu tak pernah berubah. Masih sama, bahkan makin bertambah besar. Kalau dulu aku tak berani menyatakan, karena aku cukup tau diri dengan penampilanku yang cupu dan masih cengeng. Namun, kini keberanianku masih saja belum ada.
"Tangan Lo kenapa keringetan, Jun? Santai aja," hibur gadis itu menarik tangan ku, ketika gugup disaat pertama kali ikut latihan taekwondo.
"Gue takut keramaian, Run," sahutku makin gugup sambil menaikkan kacamata yang makin melorot.
Aku yang mengidap Agoraphobia, memang paling takut dengan keramaian. Suara-suara yang saling tumpang tindih di sekitarku membuat jantungku berdetak lebih kencang, menimbulkan rasa tertekan yang teramat sangat. Fobia ini mulai muncul setelah berkali-kali menjadi korban bully ketika di sekolah dasar. Bagiku, suara riuh mereka saat bergembira melihatku tersiksa hampir mirip dengan suara riuh keramaian.
"Yaudah, Lo pelan-pelan tenangin diri dulu, engga usah maksa." Suara lembut Runa begitu terasa menyejukkan. Tak ada nada merendahkan yang terdengar dari bibirnya.
Hari pertama ikut latihan taekwondo, aku hanya memperhatikan dari pinggir lapangan, mencoba melakukan latihan pernafasan seperti yang diajarkan oleh psikolog-ku ketika serangan panik mulai mendera. Sesekali Runa menghampiri untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Lo yakin bakal terus lanjut latihan, Jun?" tanyanya ketika di jalan pulang.
"I-iya ... Gue engga boleh nyerah," sahutku.
Kulirik wajah manis di sampingku. Senyumnya kembali terkembang.
"Tapi jangan maksain diri juga."
"Kata psikolog gue, ketakutan itu harus gue hadapin, engga boleh di hindari."
"Oo ... Terus, Lo masih suka terapi?"
"Masih, cuma sekarang jadwal nya udah engga sesering setahun yang lalu."
"Coba dulu adek gue ketauan lebih cepat kalau dia korban bully, pasti sekarang bisa kenal ama Lo, Jun." Wajah Runa yang biasa selalu cerah berubah murung, seperti awan menutupi cahaya mentari.
"Emang adek Lo sekarang dimana?"
Runa menarik nafas agak berat, melepaskannya perlahan. Selaput bening mengambang di kelopak mata jernihnya.
"Dia memilih mengakhiri hidupnya karena engga tahan jadi korban bully. Nyokap sempat stress karena menyesal, selama ini beliau tak begitu menghiraukan perubahan sikap adek gue. Gue juga sampai sekarang masih belum mampu memaafkan diri gue, kenapa dulu gue ga perhatian sama adek gue."
"Gue turut berduka, Run. Sorry kalau jadi ingetin ama kesedihan, Lo."
"Ah, engga apa-apa. Sorry malah jadi curhat," kekehnya dengan senyum yang kembali menghiasi bibir mungilnya, memamerkan sepasang lesung pipi.
Dari cerita itu aku baru sadar, kehadiranku ternyata mengingatkan Runa pada adiknya. Ia tak mau ada yang bernasib sama dengan Anton—adiknya. Hampir sama dengan mama, Runa juga sedikit protektif. Terkadang ada rasa malu, ketika Runa selalu mengkhawatirkan diriku. Bagaimana tidak, biasanya cowok yang melindungi cewek, kalau pada kasusku, malah sebaliknya.
Mungkin bagi sebagian orang menyukai diam-diam itu menyesakkan, tapi tidak bagiku. Karena selama ini Runa juga tak berniat menjalin hubungan serius dengan cowok yang mendekatinya. Jadi bagiku status bukan masalah besar, asal berada di dekatnya saja sudah cukup.
***
Aku tak mau merusak hubungan persahabatan dengan Arjun yang sudah terjalin beberapa tahun ini hanya karena masalah perasaan. Apa aku terlalu egois jika selama ini Arjun hampir setiap saat selalu bersama ku, tetapi aku masih berharap hubungan yang lebih.
Memang benar kata orang, jarang ada persahabatan berlawanan jenis yang tak akan melibatkan hati. Pada akhirnya akan tumbuh rasa yang lebih kuat dari rasa persahabatan itu sendiri dari salah satu diantara mereka. Namun, tak sedikit akhirnya hubungan persahabatan itu malah kandas karena perasaan nyaman yang selama ini mereka rasakan pada saat berstatus sahabat, hilang begitu saja karena perasaan yang menuntut dari salah satu pasangan setelah mereka menjalin hubungan yang serius. Aku tak mau itu terjadi. Lebih baik begini saja, diam-diam menikmati perasaan nyaman ketika bersamanya. Aku tak boleh serakah. Bukankah tujuan menjalin hubungan itu agar mendapatkan kenyamanan, apalagi yang ku cari.
Setelah beberapa hari menghindari Arjun, akhirnya aku memutuskan untuk kembali bareng dengan si pangeran yang fobia keramaian itu. Berasa ada yang kurang dalam hidup ku ketika beberapa hari terus menghindar darinya. Mungkin seperti es teler yang kurang di kasih susu, kurang legit.
"Run, Lo kenapa beberapa hari ini bengong aja sih." Suara Arjun membuyarkan lamunanku, menyeretku kembali ke dalam mobil SUV yang dikendarainya.
"Biasa Lo kalau PMS doyan makan, sekarang malah doyan diem," kembali ia melanjutkan kalimatnya.
"Jun, Lo ga bosen apa tiap hari bareng gue terus?" Aku menjawab pertanyaan Arjun dengan pertanyaan.
"Lo engga lagi sakit kan, Run?" ia balik bertanya dengan menempelkan punggung tangannya di keningku.
"Apaan, sih ... Gue nanya serius," sungutku menarik telapak tangannya yang kokoh dari keningku. Dulu telapak tangan itu begitu kecil ketika ku genggam, sekarang malah telapak tangan ku yang terlihat mungil dalam genggamannya.
"Yang ada gue yang nanya gitu, selama ini gue yang selalu ngikutin Lo. Apa jangan-jangan Lo yang udah bosen bareng gue terus?" selidiknya, menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan.
"Engga lah, mana mungkin gue bosen, kan gue sering di traktir," seringaiku mencoba menepiskan segala perasaan tak nyaman yang beberapa hari menghinggapi.
"Yee ... Bilang aja minta di traktir lagi," ledeknya dengan seringai jenaka, memamerkan sederet gigi rapi yang sudah tidak lagi terpasang kawat seperti lima tahun lalu.
"Ke Zoe aja yuk," ajakku.
Tempat itu adalah tempat penyewaan komik favorit kami. Walaupun di rumahnya, koleksi komik Arjun hampir sama banyak dengan tempat penyewaan komik, tetapi ada daya tarik tersendiri buat nongkrong disana.
Terlebih Arjun yang selama ini mengidap Agoraphobia, dia tak begitu suka dengan tempat keramaian, di tempat itu walaupun tidak terlalu sepi, tapi adanya buku-buku bacaan membuat Arjun bisa sedikit menghilangkan kepanikannya di tengah orang ramai.
Zoe tak begitu ramai ketika kami sampai disana. Tempat itu tak lagi seramai pada masa kami masih memakai seragam putih-biru. Mungkin karena remaja sekarang lebih memilih bermain game pada gawai mereka daripada berlama-lama menghabiskan waktu untuk membaca buku, sehingga tempat ini tak begitu diminati oleh remaja seperti pada masa kami dulu.
"Mau makan dulu ga?" tanya Arjun ketika aku baru turun dari mobil.
"Engga ah, gue mau nyari buku aja," tolakku. Sebenarnya aku masih berusaha untuk mengelak agar tak terlalu lama berdekatan dengan Arjun.
Bagaimana pun juga aku berusaha menetralkan perasaan, hati ini masih saja tak mau dibujuk untuk sedikit berdamai ketika berada dekatnya. Entah sampai kapan aku akan bertahan menyukainya diam-diam seperti ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!