Pengenalan Tokoh 'Good Husband?'
Sheila Putri Wijaya (20 tahun)
Putri kedua dari keluarga Wijaya. Anak kedua yang seperti tak dianggap keberadaannya karena selalu menjadi bayangan dari kakaknya.
Terlahir dalam keluarga berkecukupan. Orang tua lengkap dan harmonis membuatnya tak pernah mengeluh oleh keadaan.
Walaupun begitu, sebenarnya Sheila ingin merasakan, setidaknya sekali dalam seumur hidupnya bisa menjadi seperti Keyra, kakak perempuannya.
Dibanggakan dikeluarga besar, diperkenalkan dengan bangga kepada seluruh relasi Papanya. Juga tak pernah harus bersusah payah mencari teman. Karena pada dasarnya semua orang cenderung ingin berteman dengan Keyra.
Mungkin hal itu juga yang membuat karakter dan sifat Sheila cenderung acuh dengan gaya feminim.
Bukan berarti Sheila tomboy, hanya saja karena kata cantik tak cocok dengannya. Juga, Sheila tak ingin menjadi sosok seperti kakaknya. Sheila tak ingin selalu dibandingkan.
Walaupun hal itu membuatnya tak memiliki karakter yang jelas dan membuat orang lain tak bisa memahaminya, Sheila tak perduli.
Bahkan Sheila sendiri tak bisa mengerti dirinya. Kenapa pula dia harus membuat orang lain memahaminya.
Dia hanya akan mengikuti arus hidupnya. Menghadapi segala apa yang Tuhan tuliskan dalam skenario.
Bima Endra Rahadi (34 tahun)
Merupakan anak tunggal dan cucu pertama dalam keluarga Rahadi, membuat Bima menjadi incaran banyak relasi perusahaan yang ingin menjodohkannya dengan putri mereka.
Pernikahan merupakan hal saklar bagi semua orang, begitu pula yang Bima pikirkan. Tapi dia juga menganggap pernikahan tak lebih layaknya win to win.
Lagipula Bima sudah terlanjur dibesarkan dalam keluarga konglomerat. Dia sudah terbiasa melihat pernikahan yang terjadi karena perjodohan untuk mengembangkan bisnis perusahaan.
Bima hanya merasa cukup dengan kekuasaan yang dimilikinya. Lagipula dengan uang itu Bima bisa mendapatkan wanita manapun yang diinginkannya.
Jadi, karena Bima sangat paham bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, dia memilih untuk tidak akan menikah.
Kecuali jika pernikahan itu memberikannya keuntungan. Dan jika perempuan yang dia nikahi memiliki cara berpikir yang sama dengannya, maka itu sudah cukup. Dia tak perlu menuntut hal lain lagi. Dan Bima sudah sangat paham bagaimana harus bersikap menjadi kepala rumah tangga yang baik dalam suatu pernikahan.
Lagipula tidak ada yang menjamin pernikahan yang didasari oleh cinta dapat berlangsung lebih lama dari pernikahan yang didasari oleh rasa tanggung jawab.
Keyra Putri Wijaya (25 tahun)
Memiliki kepintaran, kecantikan, keanggunan, mandiri dan keteguhan sekuat batu membuatnya menjadi wanita sempurna yang selalu diimpikan oleh setiap wanita.
Banyak wanita diluar sana yang iri dan sangat ingin menjadi seperti dirinya. Tapi sayangnya hal itu membuat banyak pria tak berani mendekatinya.
Mereka merasa, Keyra terlalu tinggi untuk diraih. Belum lagi melihat latar belakang keluarganya. Bahkan pria dengan status keluarga sama pun harus berpikir dua kali untuk memilih menikah dengannya.
Hal itulah yang membuat Keyra ingin lepas dari belenggu keluarganya. Wanita ini merasa mampu untuk hidup mandiri tanpa campur tangan nama besar Wijaya.
Bahkan saat papanya bersikeras untuk membuatnya menjadi manager perusahaan, Keyra lebih memilih menjadi dokter kecantikan dan membuka klinik dari hasil tabungannya sendiri.
Sifat keras kepala dan terbiasa mendapatkan semua hal yang dia inginkan membuat Keyra sedikit tamak untuk hidupnya.
Dia memang seorang putri dan Keyra sangat tahu betul akan hal itu.
Dewa Adi Rahadi (32 tahun)
Menjadi anak tunggal di keluarga kaya raya, merupakan hal yang paling diimpikan setiap manusia. Tentu saja karena uang dapat membeli segalanya.
Dan Dewa memiliki prinsip itu dalam hidupnya. Tak pernah sekalipun dia melakukan hal tanpa campur tangan uang.
Dia dapat membeli kesenangan, membeli jabatan, bahkan dia bisa memutar balikkan hidup orang lain dengan uang.
Hidupnya sempurna, sangat sempurna. Dan akan lebih sempurna jika dia bukan cucu dari anak kedua dalam keluarga Prakoso.
Dia akan menjadi jauh lebih sempurna kalau dia bukan bayangan dari pimpinan perusahaan keluarga Rahadi.
Bayangan yang selalu dituntut untuk lebih terang dari cahaya. Dewa tak pernah sekalipun mendengar dirinya tak dibandingkan dengan Bima.
Bahkan dalam hal kecil sekalipun seperti jas yang dipakai atau dari teman-teman yang selalu berada di sekitar mereka.
Tuntutan itulah yang membuat Dewa terbiasa hidup terpaku pada Bima. Apa yang Bima punya, entah itu teman, pacar, pekerjaan atau hal remeh seperti barang, Dewa akan selalu berusaha merebutnya.
Tentu saja hal ini sangat melelahkan baginya, tapi dia cukup bahagia saat dirinya berada selangkah lebih baik dari Bima.
Listyana Maharani Ismawan (34 tahun)
Terlahir sebagai wanita cantik dengan pesona anggun layaknya bangsawan telah membuat Listy dimanjakan dengan banyaknya pria yang silih berganti datang melamarnya.
Sayangnya dari semua pria, Listy malah mendambakan sosok pria yang bahkan tak melihatnya sekalipun bahkan sejak mereka berada di taman kanak-kanak. Tentu saja pria itu adalah Bima.
Walaupun Listy merasa Bima sangat perduli padanya, tapi pria itu tak kunjung menyatakan cinta padanya.
Bahkan dia sudah berpura-pura untuk menjalin hubungan dengan Dewa dengan harapan Bima bisa sadar akan perasaannya.
Tapi apa yang didapat Listy dari sekian lama penantiannya bukanlah kebahagiaan. Dia malah melihat Bima harus menikah dengan wanita lain.
Wanita yang menurutnya jauh dari disebut layak untuk menjadi istri Bima. Hal itu membuat Listy semakin marah.
Jika Bima memang harus menikah bukan dengan dirinya, setidaknya wanita itu harus sama atau bahkan lebih baik darinya agar dia bisa menerima pernikahan Bima dengan damai.
Kelebihan Sheila, istri Bima dibanding Listy hanyalah umur dan tak ada yang lebih. Listy benar-benar tak mengerti dengan pilihan Bima ataupun pilihan keluarganya.
#
Perjodohan mungkin sudah menjadi hal kuno di jaman serba modern seperti sekarang. Tapi nyatanya hal itu masih berlaku pada keluarga tersohor di ibu kota.
Tentu saja perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kaya bukan tanpa ada alasan. Bahkan mereka memiliki banyak alasan untuk melakukannya.
Dan perjodohan itulah yang mengawali cerita cinta dari dua anak adam, Sheila dan Bima. Disaat mereka tak saling mencintai dan bahkan tak saling mengenal, tapi harus disatukan dengan adanya ikatan pernikahan.
Jauhnya perbedaan umur, merupakan hal penting yang menjadi faktor utama perbedaan cara pandang keduanya.
Walaupun sulit tapi mereka harus mencoba menerimanya. Bahkan setelah pernikahan mereka berjalan, kesulitan itu tidak hanya datang dari diri mereka sendiri, malainkan juga dari orang lain maupun adanya kehadiran orang ketiga.
Bagaimana cinta akan memilih siapa yang akan bahagia dan siapa yang harus menderita. Mereka sendiri yang akan memilih untuk mengikuti alurnya atau memaksa keinginan yang mungkin berakhir menjadi lebih buruk.
#
Selamat membaca ;)
Sheila tak berani mengangkat kepalanya sedikitpun saat dipelaminan. Berharap tak ada orang yang akan melihat kemalangannya.
Bahkan sudut matanya mulai meneteskan air mata yang sudah susah payah ditahannya.
Sebuah sapu tangan diulurkan di depan Sheila. Dia mengintip sedikit lelaki yang ada di sebelahnya.
"Gunakan ini." Suara beratnya membuat Sheila tertegun sejenak.
Sheila juga cukup terkejut bahwa ternyata Bima diam-diam memperhatikannya.
Lelaki itu seperti tampak tak perduli. Dia terlihat hanya terus tersenyum pada tamu undangan, tapi ternyata Sheila salah.
Ternyata peribahasa jangan menilai orang dari sampulnya selalu benar.
Sheila mengambil sapu tangan itu untuk menyeka sudut matanya perlahan. "Terimakasih."
Nyatanya hal kecil itu berhasil membuat Sheila berhenti menangis walaupun dia masih ingin meratapi jalan hidupnya.
Walaupun Sheila tampak tenang. Nyatanya dia ingin berteriak dan menangis pada dunia karena selama 20 tahun ini hidup tak pernah berpihak padanya.
Kenapa sekarang dia harus duduk dipelaminan dengan orang yang tidak dia kenal. Lebih parahnya, sampai kemarin lelaki ini masih berstatus sebagai tunangan kakak perempuannya, Keyra.
Tapi hari ini, atau lebih tepatnya pagi ini. Tiba-tiba saja dia dimohon secara paksa oleh papanya untuk menggantikan posisi kakaknya sebagai calon pengantin.
Sheila tak bisa menolak saat kedua orang tuanya bahkan bersujud sambil menangis di depannya agar keluarganya tak harus menanggung malu karena membatalkan pernikahan.
Entah apa yang dipikirkan Keyra sampai dia bisa kabur di hari H pernikahan yang hampir saja membuat keluarga besar mereka dipermalukan. Mungkin karena semua ini berkat kedua orangtuanya yang terlalu memanjakan Keyra.
Sheila sudah terbiasa dengan ulah kakaknya yang selalu seenaknya, tapi bukankah hal ini sudah keterlaluan? Walaupun kakaknya selalu mendapat kasih sayang lebih, nyatanya Keyra tak pernah sekalipun bersifat dewasa.
Dan disinilah akibat dari ulah tak bertanggung jawab Keyra. Bukankah ini sudah kelewatan. Kenapa harus Sheila yang menanggung perbuatan egois kakaknya? Kenapa selalu dia?
Saat kedua orangtuanya ingin Keyra melanjutkan sekolahnya di bisnis agar kelak menjadi penerus perusahaan keluarganya, tapi dia malah berbohong dan ingin menjadi dokter spesialis kecantikan.
Apa yang bisa dilakukan kedua orangtuanya, tentu saja menerima dan beralih mendesak Sheila untuk mengambil bisnis. Padahal Sheila juga memiliki mimpinya sendiri. Sheila juga ingin meraih mimpinya menjadi arsitek.
Dari kecil selalu seperti itu dan Sheila yang harus menjadi orang yang menerima apapun pemberian yang tak diinginkan kakaknya. Sheila bahkan tak tahu sebenarnya siapa yang benar-benar menjadi kakak di sini. Kenapa dia yang selalu saja mengalah.
Meskipun begitu semuanya tak membuat Keyra kehilangan hak menjadi anak tersayang. Karena nyatanya dia memiliki kecantikan dan kecerdasan yang luar biasa.
Bahkan jika dia berbuat seenaknya, orang-orang tetap akan memujinya. Belum dia juga pandai bergaul dan mudah untuk dicintai orang lain.
Walaupun Keyra selalu membantah kedua orangtuanya, nyatanya dia selalu berhasil meraih apa yang dia inginkan dengan kedua tangannya sendiri.
Berbanding terbalik dengan Sheila. Walaupun dia sudah berusaha sedemikian rupa, nyatanya nilainya hanya akan berada di rata-rata. Dia tak pernah sekalipun menyandang gelar top student di kelas. Padahal Sheila sudah belajar siang dan malam. Bahkan dia tak pernah berani bermimpi untuk bisa mengejar keberhasilan Keyra.
Dalam ujian saja, sempat beberapa kali Sheila dibantu papanya agar bisa lulus.
Tidak hanya otak, bahkan Sheila juga tak memiliki sedikit kecantikan yang dimiliki kakaknya.
Padahal keduanya dilahirkan dari rahim yang sama. Bagaimana bisa Sheila tak bisa sedikit memiliki kecantikan tak terbantahkan seperti Keyra.
Bukannya Sheila jelek. Hanya dia juga ingin memiliki sedikit kecantikan yang dimiliki kakaknya. Sehingga orang-orang akan percaya bahwa dia adalah adik kandungnya.
Tak hanya sekali, dua kali hubungan persaudaraan mereka dipertanyakan hanya karena mereka tak memiliki kemiripan sama sekali.
Walaupun Sheila merasa dunia tak pernah memihak padanya. Tapi dia masih diberikan kenikmatan yang mungkin membuat iri beberapa orang.
Walaupun dia tak unggul dalam hal apapun. Setidaknya dia bisa menikmati kehidupan yang lebih dari cukup dan memiliki keluarga yang harmonis.
Karena apa yang dia jalani setiap harinya ini. Yang menurutnya adalah hal yang biasa, mungkin teman-temannya berharap dapat menjadi dirinya di kehidupan lain.
Mengingat semuanya membuat Sheila meneteskan air matanya kembali.
Benar. Lagi-lagi Sheila harus memikirkan rasa getir saat memikirkan pernikahan ini. Bahkan teman-temannya tak ada yang tahu bahwa dia sudah menikah.
Dia tersontak kaget dan badannya sedikit meremang saat merasakan hembusan nafas dan suara berat di telinganya.
"Tenang, semua akan baik-baik saja." Ucap Bima.
Lagi-lagi perilaku Bima berhasil membuat Sheila berhenti menitikkan air mata.
Sheila kembali melirik Bima dari sudut matanya. Padahal laki-laki itu tak pernah menatapnya, tapi bagaimana bisa dia melihat Sheila menitikkan air mata.
Padahal selama ini Sheila tak pernah sekalipun kepergok saat menangis. Karena nyatanya dia menangis tanpa suara dan tak pernah sekalipun air mata membuat wajahnya sembab.
Mungkin juga kerena dia terlalu sering menangis, jadi dia sangat terlatih untuk terlihat kuat.
Sheila menyeka ujung matanya lagi. Mungkin jika orang-orang melihatnya menyeka air mata. Mereka hanya akan mengira dirinya sedang menyeka keringat.
"Selamat ya," ucap salah seorang wanita sambil mencium pipi kanan dan kiri Sheila.
Sheila kembali tersadar dari lamunannya dan tersenyum komersil seperti topeng yang biasa dia pakai.
"Terimakasih," balas Sheila disela mereka menempelkan pipi.
Sheila tak kenal siapa wanita ini. Yang pasti dia berasal keluarga Rahadi karena memang pernikahan ini hanya dihadiri oleh keluarga besar dari masing-masing mempelai.
"Sepertinya kamu lelah, kita bisa kebelakang untuk istirahat jika kamu mau," ucap Bima berbisik di telinga Sheila.
Sheila masih belum terbiasa dengan kegiatan saling berbisik ini. Dia selalu saja dibuat terkejut dengan suara rendah Bima.
Sheila mengangguk kecil. Bima membantu Sheila saat berjalan karena gaun yang dipakainya cukup merepotkan.
"Hati-hati." Refleks Bima langsung menangkap pinggang Sheila saat hampir jatuh karena gaunnya sempat terinjak.
Sheila tak pandai memakai heels tinggi. Belum lagi gaun yang seharusnya dibuat khusus untuk Keyra yang terbilang lebih kecil dari ukuran tubuhnya, sangat tidak nyaman untuk dipakai Sheila.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Iya."
Akhirnya Sheila menatap wajah Bima dengan jelas karena mereka saling berhadapan dengan wajah yang cukup dekat.
Astaga! Mata pria ini terlalu mengintimidasinya. Membuat Sheila segera memalingkan wajah.
"Kita jalan pelan-pelan saja atau mungkin kamu lebih memilih melepas heels-nya?"
Sheila menggeleng pelan, "kita jalan pelan-pelan saja."
Bima mengangguk lalu menyerahkan lengannya lagi sebagai pegangan Sheila saat berjalan.
#
Sheila menatap canggung ke arah pelayanan yang memberi hormat kepadanya di depan pintu masuk.
"Selamat datang Nyonya Sheila," ucap semua pelayan memberi salam.
"Cukup Sheila saja," balas Sheila canggung.
Bagaimana tidak canggung jika mereka memanggilnya seformal ini. Padahal dirumahnya dia hanya dipanggil 'mbak' atau 'non'. Nyonya terlalu berlebihan untuknya.
Beberapa dari mereka menatap ke arah Bima dengan wajah keberatan dengan permintaan Sheila.
"Mereka memanggilku Tuan, maka berlaku juga denganmu," jelas Bima tegas membuat Sheila merasa sedikit takut? Mungkin.
Karena Sheila tak pernah dihadapkan dengan pria seperti Bima. Satu-satunya pria yang Sheila hadapi adalah Papanya. Dan Papanya tak pernah marah kepadanya. Beliau terlalu sering memperlihatkan keramahan dan kasih sayang dari orang tua kepada anaknya.
Dengan pacar? Sheila bahkan belum pernah berpacaran. Dia juga tak memiliki teman laki-laki. Jadi Sheila tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang.
"Ta-pi.. saya belum terbiasa dengan ini."
"Kamu akan terbiasa. Dan kenapa memanggilku seformal itu? Aku tidak suka dengan kata 'saya'. Kamu istriku."
"Maafkan sa.. maksudnya a-ku. Tapi aku benar-benar merasa aneh dengan panggilan Nyonya," kata Sheila penuh dengan kata permohonan. Berharap Bima sedikit melunakan hati dengan wajah memelesnya.
Sebenarnya dia sedikit takut jika Bima marah dengan permintaannya. Pria ini terlalu mengintimidasinya. Sheila bahkan terkejut pada dirinya sendiri untuk bisa mengatakan rasa keberatannya.
"Lakukan apa yang dia mau," ucap Bima sambil berlalu dan membuat para pelayan itu mengangguk paham.
Sheila membuang nafas lega karena masalahnya tak harus berlarut lama. Ternyata tidak begitu sulit.
Sheila tahu bahwa keluarga Rahadi sangat kaya, tapi dia tidak menyangka bahwa kekayaan yang dimiliki mereka bahkan berbeda jauh dari keluarganya.
Mungkin inilah yang disebut bilioner sebenarnya. Bahkan rumah ini sendiri sudah seperti kastil di tengah kota.
Sheila bahkan ragu jika sekarang dia benar-benar ada wilayah Indonesia.
"Oh, ternyata menantu Oma sudah datang."
Sheila terperangah menatap seseorang di lantai kedua yang berjalan anggun ke arahnya.
"Dia Omaku, Diana." bisik Bima di dekat telinga Sheila, membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
Sheila melirik Bima sebentar. Terkejut saat mendengar suara rendah tiba-tiba saja di dekat telinganya.
Selama sepersekian detik Sheila terpaku dan akhirnya berusaha mengendalikan kesadarannya kembali. Bisakah Sheila meminta Bima untuk berhenti melakukan hal itu? Mungkin dia akan membahas hal itu lain kali. Sheila berusaha memfokuskan dirinya pada nenek Bima lagi.
Kini Diana sudah berada di lantai yang sama dengannya. Sheila lebih bisa melihat dengan jelas bagaimana sosok nenek Bima ini.
Walaupun keriput sudah banyak terlihat di area matanya, tapi hal itu tak menyembunyikan kecantikannya.
Sheila membayangkan bagaimana cantiknya Diana pada masa mudanya dulu. Pasti sangat mengagumkan. Apa suatu saat Sheila juga bisa seperti Diana?
"Oma ingin berbicara dengan istrimu, apa boleh?" tanya Diana pada Bima tentu dengan senyum ramah yang sepertinya sudah menjadi kebiasaannya dan bukan hanya formalitas.
"Tentu jika dia bersedia," balas Bima sambil menatap ke arah Sheila.
"Tentu saja. Dengan senang hati," balas Sheila. Lagipula dia tak memiliki alasan untuk menolak.
Mereka seperti sangat menghargai waktu satu sama lain sampai mengobrol pun harus meminta izin.
#
Di sinilah Sheila sekarang. Duduk dihalaman belakang rumah sambil minum teh menikmati suasana sore angin sepoi.
Sheila tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya. Meminum teh di halaman luas dengan background rumah megah bak istana, jelas hal ini hanya terjadi pada komik bertema kerajaan. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu sekarang.
Masalahnya hanya satu. Sheila tak bisa menikmati suasana bak kerajaan ini. Tempat, orang dan bahkan makanan membuat Sheila merasa terintimidasi.
Tak masuk akal memang merasa terintimidasi oleh makanan, tapi itulah yang dirasakan oleh Sheila sekarang.
"Oma sangat senang akhirnya anak itu menikah juga. Apalagi dia menikahi wanita secantik dirimu," ucap Diana sambil mengusap sebelah tangan Dinda lembut dengan kedua tangannya.
Sheila tersenyum malu mendengar pujian dari wanita yang bahkan lebih cantik dan anggun darinya. Apalagi Sheila tak pernah dipuji cantik yang terasa setulus ini.
"Tapi Nyonya..."
"Cukup panggil Oma." Intrupsi Diana saat melihat Sheila akan memanggilnya secara formal.
Sheila mengangguk pelan, "iya Oma, tapi maaf jika Mas Bima harus menikah dengan saya," ucapnya merasa bersalah karena seharusnya Bima menikah dengan Keyra yang mungkin bisa sebanding bersanding dengan cucunya.
"Kenapa kamu meminta maaf? Apa yang perlu dimaafkan disini?" tanya Diana tak paham.
Tentu Diana tahu bahwa gadis malang ini harus menikah untuk menggantikan saudara perempuannya. Bagaimana bisa dia meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahannya.
Bahkan Diana merasa sangat berterimakasih karena Sheila mau menerima cucunya itu.
"Jika Mas Bima menikah dengan Kak Keyra, pasti Oma bisa dapat cucu yang lebih cantik dan pintar."
"Oma tak akan membicarakan perihal kakakmu. Oma hanya ingin berterimakasih karena kamu bersedia menikah dengan cucu Oma. Kamu tahu betapa khawatirnya Oma melihat anak itu tak kunjung menikah. Mengingat umurnya juga tak lagi muda, tapi dia tetap bersikeras keberatan untuk menikah."
Benar juga. Sheila baru ingat bahwa dia tak tahu apapun soal Bima. Bahkan dia tak tahu berapa umurnya. Sheila hanya menebak mungkin Bima berumur 1 atau 2 tahun di atas kakak perempuannya.
"Mungkin Oma terlalu memikirkannya. Mas Bima masih cukup muda untuk usia pria menikah. Mungkin dia masih mau fokus dibisnisnya."
"Bisnis apalagi yang mau difokuskan. Dia hampir sudah punya segalanya. Tidak akan ada habisnya jika tak ingin sedikit mengurangi jam kerjanya."
Sheila mengangguk kecil. Benar juga, Bima sudah sangat sukses sekarang.
"Dan bagaimana bisa 34 tahun dibilang muda. Oma benar-benar tak pernah mengerti jalan pikiran anak jaman sekarang."
Sheila terbelalak kaget. "Apa Oma?! Mas Bima 34 tahun?!" Tanyanya kaget dengan umur Bima dan kaget juga dengan nada suaranya yang ikut meninggi. Sheila langsung menutup mulut bodohnya yang tak mampu mengontrol diri.
Diana tersenyum geli melihat tingkah polos Sheila. "Tidak apa-apa, kamu bisa bersikap santai. Ini juga rumahmu."
Sheila mengangguk canggung mendengar jawaban Diana. Dia masih tak percaya mendengar berapa umur Bima yang sebenarnya. Bima masih terlihat sangat muda dari usianya. Bahkan Sheila pikir orang-orang yang bekerja menggunakan otak akan lebih cepat terlihat tua, ternyata dia salah.
"Maaf Nyonya sudah jam makan malam. Tuan Bima sudah menunggu di meja makan."
"Ah benar. Katakan padanya kita akan segera kesana."
#
Sheila duduk di tepian kamar tidur milik Bima dengan perasaan bercampur aduk. Merasa gusar dengan apa yang akan terjadi padanya.
Sheila menggeleng kencang. Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi. Dia akan berusaha menghadapi seburuk apapun nantinya.
Sheila memilih mengalihkan perhatiannya pada seisi kamar. Menatap sekeliling dan selalu dibuat takjub oleh rumah ini.
Padahal Gia selalu merasa kamar Sheila merupakan kamar terluas yang pernah dia lihat dan Sheila pun setuju dengan itu. Dia merasa kamarnya sudah sangat besar, tapi apa-apaan dengan kamar ini. Kamar ini jauh lebih besar berkali-kali lipat dari miliknya.
"Sudah mau tidur?"
Sheila terperanjat kaget. Dia benar-benar tidak akan mudah terbiasa dengan suara rendah Bima. Belum lagi dengan mata kharismatik yang tak berani Sheila tatap lagi.
"Kurasa begitu, aku sudah mulai mengantuk," bohong Sheila sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Bima mengangguk mengerti kemudian ikut masuk ke dalam selimut bersama Sheila. Membuat Sheila terperanjat kaget dengan apa yang Bima lakukan.
"Apa? Kenapa? Apa ada yang salah?" Tanya Bima khawatir melihat Sheila yang seperti kaget ketakutan saat berada di sebelahnya.
Sheila meratapi kebodohannya sendiri saat baru sadar bahwa keduanya sudah resmi menikah. Bahkan sangat resmi. Jadi tak ada salahnya mereka tidur satu tempat tidur.
"Tidak, tidak ada yang salah," jawabnya sambil kembali berbaring dan menyelimuti dirinya.
Bima hanya menatap Sheila yang tertidur sambil memunggunginya. Tanpa sepatah kata dia juga ikut berbaring di sebelah Sheila.
Tak berselang lama Sheila mendengar dengkuran halus dari Bima yang membuatnya bernafas lega. Setidaknya tidak ada yang terjadi malam ini. Meskipun begitu Sheila masih merasa aneh dengan keadaan ini.
Sheila masih belum percaya bahwa dia telah menikah dan harus berbagi tempat tidur dengan orang lain seperti sekarang.
Sheila melihat sofa yang sepertinya terlihat lebih nyaman untuk ditiduri daripada kasur empuk ini.
Dia pun melangkah ke sana dan memilih tidur di sofa. Menyelimuti kakinya dengan bantal sofa karena Sheila tak berani merebut selimut di tempat tidur.
#
Sheila terbangun saat cahaya silau matahari dari celah tirai mengganggu tidur lelapnya. Dengan perlahan dia menarik selimut sampai ke wajahnya agar cahaya itu tak lagi mengganggu.
Setelah beberapa detik Sheila langsung bangun dari tidurnya saat mengingat bahwa tidak seharusnya dia berada di atas tempat tidur.
Menahan sedikit rasa takut, Sheila mengintip bagaimana kondisinya di bawah selimut. Dia bernafas lega saat mendapati dirinya masih dengan pakaian lengkap tanpa kurang satu apapun.
Sheila menatap sofa tempat dia tidur kemarin dan mendapati selimut yang sudah terlipat rapi di atasnya.
Jadi kemarin Bima menukar tempat tidur mereka. Sheila membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Bagaimana bisa dia tidak terbangun sama sekali saat Bima memindahkannya.
"Dasar cewek bodoh. Bisa-bisanya..." Sesal Dinda lirih.
Sheila mengintip jam di meja nakas. Dia terkejut saat mendapati jam menunjukkan pukul 08.00.
Sheila langsung menendang selimut dan bergegas turun untuk menyapa orang rumah. Bagaimana bisa dia seceroboh ini dihari pertama di rumah mertua.
#
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!