Di siang panas teriknya matahari, gadis duduk seorang diri di salah satu halte bus, dengan sabar menunggu abangnya yang sedang menuju kemari untuk menjemputnya. Karena sebelumnya, ia sudah berjanji kepada abangnya jika ia menunggu di halte bus.
Suara adzan berkumandang terdengar sangat jelas di telinga gadis tersebut.
Sebelum melangkah meninggalkan halte, ia lebih dulu mengirim pesan.
“Alhamdullilah,” ucapnya dalam hati.
Ia mulai melangkah mendekati mesjid terdekat, untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.
Ia mengambil air wudhu terlebih dahulu, lalu masuk ke dalam mesjid.
Setelah melakukan sujud terakhir, lalu di iringi dengan salam. Ia menadahkan kedua tangannya, berdoa dengan khusyuk. Ia tak sadar jika air matanya menetes begitu saja, hingga ada beberapa makmum wanita tanpa sengaja melihatnya.
Setelah selesai menjalan ibadah Shalat, ia melangkahkan kaki keluar dari masjid tersebut, ia harus kembali ke halte untuk menunggu abangnya.
Namun, baru beberapa langkah dirinya menabrak seseorang penjual buku yang baru keluar dari masjid, karena terburu-buru ia tidak melihat orang yang ada di depannya.
Bruk!
“Astagfirullah. Maaf mas, saya tidak sengaja!” ucapnya sembari membantu mengumpulkan buku-buku yang berserakan di tanah.
"Iya, gak apa-apa Ukhti,” sahut pria tersebut.
Sontak membuatnya menatap sekilas wajah pria tersebut, mereka saling menatap satu sama lain, ia langsung tersadar dengan cepat ia mengalihkan pandangannya.
“Terima kasih Ukhti.”
“Sama-sama,” sahutnya menyerahkan semua buku tersebut.
“Apa Ukhti mau membeli salah satu buku saya? Saya jual buku islami keliling dan ada juga di toko,” tutur pria tersebut memperlihatkan bukunya.
Gadis itu melihat buku yang di tangan pria tersebut, ada salah satu buku yang menarik perhatiannya.
“Ini, berapa?” tanyanya menunjuk buku tersebut.
“Itu delapan puluh ribu saja,” sahutnya.
“Aku ambil ini saja,” ujarnya mengambil uang kertas dalam tasnya.
“Terima kasih banyak Ukhti.”
Gadis itu mengangguk.
“Sama-sama,” sahutnya.
Setelah mendapatkan buku tersebut, ia berlalu pergi karena abangnya sudah menghubunginya.
“Assalamualaikum Ukhti,” ujar pria tersebut memberi salam.
Langkah gadis itu terhenti, akibat terburu-buru hingga ia lupa mengucap salam.
“Waalaikumsalam,” sahutnya membalikkan badannya lalu tersenyum.
“Semoga kita bisa bertemu kembali, ya Ukhti.”
Gadis itu tersenyum simpul, lalu berpamitan pergi.
“Saya permisi,” ujarnya.
Pria tersebut mengangguk, ia masih menatap kepergian gadis tersebut. Ia melihat gadis itu masuk ke dalam mobil, tampak jelas yang menjemputnya adalah seorang pria. Bahkan gadis itu sangat terlihat bahagia saat bertemu dengan pria yang ada di dalam mobilnya.
“Ternyata gadis itu sudah bersuami,” gumamnya dan berlalu pergi.
Di dalam mobil.
“Maaf dek, tadi jalannya macet,” ucapnya.
“Assalamualaikum Bang. Iya gak apa-apa Bang,” sahutnya dengan lembut.
“Waalaikumsalam,” sahut Abangnya.
Marissa putri Heriyanto, biasa di panggil Icha. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Setelah lulus sekolah menengah atas Icha nekat kabur dari rumah dan masuk pesantren tanpa persetujuan orang tuanya dan saat ini ia baru saja lulus dari pesantren.
“Apa kabar Bang?” tanya Icha yang duduk di samping.
“Alhamdulillah baik,” sahutnya.
Andika Putra Heriyanto, biasa di panggil Dika. Anak sulung dari pak Heriyanto dan Bu Sintya. Dika adalah kakak kandung dari Icha.
“Kenapa Adik ku terlihat murung? Seharusnya senang, pulang bertemu dengan Mama dan Papa.”
“Abang pasti tahu sebabnya, kenapa Icha murung? Bukan tidak ingin bertemu dengan Mama dan Papa. Tapi... Abang tahu sendiri, bagaimana sikap Mama dan Papa kepadaku. Sejak Icha di pesantren, Mama dan Papa tidak pernah menjenguk ataupun menghubungi Icha,” ucapnya dengan raut wajah yang sedih.
Sebelumnya, hubungannya dengan orang tuanya baik-baik saja. Permasalahan muncul, ketika Icha nekat ingin masuk pesantren. Orang tuanya melarang keras dirinya untuk masuk pesantren, karena orang tuanya ingin ia kuliah di luar negeri dan meneruskan bisnis mereka seperti kedua kakaknya.
“Abang akan berbicara dengan Mama dan Papa. Icha jangan murung lagi ya.” Berusaha menghibur adik bungsunya tersebut.
Mereka ada tiga bersaudara, satu laki-laki dan dua perempuan, Icha merupakan anak paling bungsu.
“Abang yakin, suatu saat Mama dan Papa pasti bangga dengan dirimu.”
Icha tersenyum, lalu mengangguk.
Tidak butuh waktu lama, mereka kini tiba di rumah mewah milik orang tuanya.
Icha tampak ragu untuk keluar mobil tersebut.
“Ada apa? Ayo turun,” ajak abangnya.
“Bismillah,” ucap Icha dalam hati.
Lima tahun lamanya, Icha tidak menginjak kakinya di rumah orang tuanya tersebut, semenjak kabur dari rumah itu.
Icha mengikuti langkah Abangnya, menuju ke pintu rumah utama Abangnya terlebih dahulu memasuki rumah. Setelah membaca doa masuk rumah, Icha mendahului masuk dengan kaki kanannya.
“Untuk apa lagi kau datang kemari?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Mamanya melihat dirinya dari atas sampai bawah, melihat pakaian yang Icha kenakan. Tidak terlihat sama sekali lekuk tubuh Icha, apalagi ia memakai pakaian gamis yang seperti kebesaran.
“Mama,” lirih Icha.
Ia melihat wanita yang sangat ia rindukan selama lima tahun tidak bertemu, bahkan mendengar suaranya pun tidak pernah.
Icha mengambil tangan ibunya, sang ibu tidak menolak atau pun melarangnya.
“Ma, Icha baru saja pulang. Apa Mama tidak merindukan putri Mama!?” tanya Abangnya yang sedikit kesal dengan sikap Mamanya.
“Apa? Merindukan! CK... dia bukan putri ku!”
“Mama... kenapa bicara seperti itu? Aku adalah putrimu, yang Mama kandung selama sembilan bulan, mah! ucap Icha mencoba meraih tangan Mamanya kembali.
“Jangan menyentuhku! Kau bukan putriku!” bentaknya.
“Ma... buang ego Mama. Abang tahu, jika Mama juga sangat merindukan Icha. Mama harusnya bangga, mempunyai anak seperti Icha. Dia adalah santriwati lulusan terbaik di pesantren,” Ucap Abangnya dengan bangga.
“Cih... lulusan terbaik! Apa yang kau dapat setelah lulus dari pesantren, hah?!”
“Ma,” lirih Icha.
“Huh... percuma kamu masuk pesantren. Jika, kamu saja durhaka kepada orang tua! Tidak patuh kepada orang tua, apa itu namanya lulusan terbaik?” bentaknya.
“Ma...”
“Sudah, Mama tidak Mau membuang waktu untuk berdebat. Apalagi dengan dia!” bentaknya menunjuk wajah Icha.
Bu Sintya meninggalkan mereka, yang masih mematung di tempatnya.
Icha menangis dalam diam, ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya.
“Icha yang sabar ya. Ada Abang yang selalu bersama Icha,” ucapnya mengelus pelan bahu adiknya.
“Sebenarnya, Mama juga sangat merindukan Icha. Abang pernah memergokinya menangis sambil memeluk foto Icha, hanya karena ego Mama terlalu tinggi saat ini. Jangan di ambil hati perkataan Mama barusan,” tambah Dika lagi.
Icha mengangguk berusaha untuk tidak menangis.
Dika mengantar adiknya tersebut ke kamar lamanya, tidak ada yang berubah dari kamar tersebut. Masih rapi sama seperti sebelumnya, yang ia tempati setelah lima tahun meninggalkan kamarnya.
.
.
Terima kasih dukungannya 🙏🙏
Icha duduk di tepi kasurnya, kasur empuk yang ia rindukan selama bertahun-tahun lamanya. Melihat foto kecil di nakas, foto dirinya bersama kedua orang tuanya.
“Ma, maafkan Icha ya Ma. Icha tidak pernah menuruti apa kata Mama. Tapi, ini kemauan Icha dari dulu! Icha mau masuk pesantren Ma,” lirih Icha memeluk foto kecil tersebut.
Tanpa ia sadari jika ibunya menatapnya dari kejauhan, buliran air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya, lalu segera menghapus air matanya dan berlalu pergi dari tempat itu.
Setelah puas memeluk foto kecil tersebut, Icha mengambil koper miliknya dan menyusun kembali di pakaian lemarinya. Saat membuka tas kecil miliknya, ia melihat buku yang ia beli waktu keluar dari mesjid tersebut.
“Buku ini,” Gumam Icha.
Melihat nama yang tertera di buku tersebut, Muhammad Al-Fahry.
“Apa ini namanya?” tanya Icha dalam hati.
Ia membuka lembaran demi lembaran buku tersebut, sepertinya ia menyukai isi cerita buku tersebut.
“Ini tidak terlalu buruk,” gumamnya.
Icha meletakkan buku tersebut di nakas, karena hari sudah mulai sore Icha melakukan rutinitasnya mandi lalu melaksanakan Shalat wajib.
🌹🌹🌹
Malam harinya.
Abang Dika mengajak adiknya untuk makan malam bersama.
Tiba di meja makan, Icha menelan saliva kasar. Melihat makanan yang terhidang diatas meja begitu lezat, semua makanan tersebut adalah makanan kesukaannya.
Sedangkan ibunya sibuk dengan makanannya sendiri, tanpa menghiraukan Icha yang mematung di dekat meja makan tersebut.
“Icha, kenapa melamun?” tanya abangnya lalu menarik pelan tangan adiknya agar duduk di sampingnya.
“Makan yang banyak,” ujar Dika meletakkan beberapa lauk dipiringnya.
Ia sangat tahu, jika makanan yang terhidang di atas meja adalah makanan kesukaan adiknya. Maka dari itu, ia meminta pembantunya untuk memasak makanan yang disukai oleh adiknya tersebut.
Ibunya hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan makanannya tanpa berbicara sepatah kata pun.
Di meja makan tersebut hanya mereka bertiga, sedangkan adik perempuan Dika yang satunya ikut bersama Papanya. Mereka akan kembali besok, karena harus bertemu dengan klien penting dan juga melihat proyek baru yang sedang berlangsung.
“Bagaimana, enak?” tanya Dika.
Icha mengangguk ragu, ia juga melirik ibunya yang sejak tadi diam saja.
“Ma,” panggil Icha berhati-hati.
Ibu Sintya menghentikan aktivitas mengunyahnya, melirik sekilas Icha lalu kembali lagi dengan makannya.
Melihat ibunya hanya melirik, tanpa mau menyahut panggilan Icha, ada raut sedih di wajahnya.
Dika mengusap pelan bahu adiknya, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
Icha melihat ibunya yang sudah menyelesaikan makannya, tanpa menghabiskan makanan yang ada di piringnya.
“Mama mau kemana? Makanan Mama belum di habiskan,” tanya Dika melihat ibunya beranjak dari duduknya.
“Mama hilang selera makan!” ketus ibunya berlalu pergi meninggalkan meja makan.
Icha tidak dapat menahan air matanya lagi, buliran air yang mengalir begitu saja di pipi mulusnya.
“A—aku ke kamar dulu Bang,” lirih Icha.
Dika menahan tangan adiknya.
“Habiskan makanan mu terlebih dahulu, setelah itu baru ke kamar.”
Dika menatap adiknya, lalu Icha mengangguk.
Icha kembali duduk, Dika mengambil alih sendok yang di pegang adiknya, lalu menyuapinya.
“Bang, Icha bisa sendiri,” tolak Icha saat Abang hendak menyuapinya.
“Sudah, jangan membantah! Cepat buka mulutmu,” Ujar Dika sedikit memaksa.
Terpaksa Icha mengunyah makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Makanan tersebut sebenarnya sangat lezat, entah kenapa enggan untuk masuk ke perutnya, apalagi melihat ibunya yang masih belum berbicara dengannya, hingga membuat selera makannya hilang seketika.
“Sudah Bang, Icha kenyang.”
Icha menolak makanan yang di suapi oleh abangnya.
“Dek, mubazir kalau makanan tidak di habiskan,” Ujar Dika.
Ia berbicara seperti itu, agar adiknya menghabiskan makanannya. Karena ia tahu jika adiknya belum makan sejak tadi siang.
Cukup lama Icha mengunyah makanan tersebut, akhirnya ia menghabiskan makanan yang ada di piring tanpa bersisa.
“Alhamdulillah,” ucap Dika melihat nasi yang di piring adiknya sudah bersih.
Dika mengantar adiknya kembali ke kamar, sebelum ia keluar dari kamar adiknya tidak berhenti memberikan perhatian dan juga tidak memikirkan perkataan ibunya.
“Iya Bang,” sahut Icha lembut.
Setelah melihat kepergian kakaknya, Icha menghela nafas berat. Di setiap helaan napasnya, tidak berhentinya untuk beristigfar.
🌹🌹🌹
Di tempat lain, seorang pria duduk di teras sambil melihat indah malam bertabur bintang.
“Woy... apa yang sedang kamu pikirkan?” seorang pria datang dari arah dapur menghampirinya di teras.
“Apaan sih,” pungkasnya.
“Fahry, Fahry. Mau sampai kapan melamun setiap malam disini? Jangan berharap ada bidadari yang datang menghampirimu, jika kamu tidak berusaha!”
“Entahlah. Untuk saat ini belum ada kepikiran,” sahut Fahry.
“Tapi... hari ini aku tidak sengaja bertemu dengan gadis, saat aku baru keluar dari masjid. Matanya sangat indah, aku belum pernah melihat mata wanita seindah dia.”
“Terus?”
“Saat gadis itu masuk ke mobil, seorang pria menjemputnya. Dia begitu akrab, mungkin itu suaminya atau saudaranya.”
“Hush! Haram hukumnya, jika kamu membayangkan seorang wanita yang bukan muhrim, apalagi wanita itu sudah bersuami!” imbuh Ifan teman satu kosnya tersebut.
“Astagfirullah.” Lirih Fahry langsung tersadar.
🌹🌹🌹
Pagi hari.
Setelah Shalat subuh, Icha tidak lagi kembali tidur. Ia membersihkan kamar miliknya. Karena Icha akan sangat bosan berada di kamar sepanjang hari, akhirnya ia memutuskan untuk membantu membersihkan rumah.
Karena di pesantren, Icha sudah terbiasa melaksanakan tugas seperti mencuci, menyapu dan membersihkan kamar.
Pembantu di rumahnya berusaha melarangnya untuk membantu. Namun, Icha tetap bersikukuh untuk melakukannya.
Akhirnya pembantu tersebut mengalah, bersedia di bantu oleh Icha dan pembantu tersebut melakukan tugas yang lainnya.
Ting! Tong!
Suara pintu bel berbunyi.
Saat itu Icha fokus menyapu di ruang tamu, karena mendengar bel berbunyi Icha melangkah ke pintu untuk membukanya.
“Papa,” ucap Icha melihat papanya mematung melihatnya.
“Kamu? Sejak kapan kamu pulang? Masih ingat rumah!?” ketus papanya melangkah masuk tanpa mempedulikan Icha yang mengulurkan tangannya.
Icha menatap Papanya yang mulai menjauh dengan perasaan campur aduk, tidak mudah baginya menerima sikap kedua orang tuanya yang seperti tidak mempedulikan nya lagi.
“Hai adikku yang cantik,” sapa kakaknya yang kedua.
“Kak Anggun,” Ujar Icha langsung memeluk kakaknya tersebut.
“Apa kabar Icha?” tanyanya melepas pelukan adiknya.
Ia melihat Icha dari atas sampai bawah, melihat pakaian yang Icha kenakan.
“Aku baik kak,” sahut Icha tersenyum simpul, bahkan sangat ingin memeluk kembali kakak perempuannya tersebut.
“Pakaianmu kenapa begini, seperti kebesaran? Apa kamu tidak mempunyai pakaian lagi?” tanya Anggun.
“Bukan kak. Aku lebih suka begini Kak,” sahut Icha lembut.
“Oh...” sahut Anggun singkat dan berlalu pergi meninggalkannya.
“Mama,” sapa Anggun langsung memeluk Mamanya yang baru saja keluar dari kamarnya.
Icha tampak jelas melihat mereka, yang saling melepas rindu satu sama lain. Icha menahan air matanya agar tidak menetes, bahkan ia langsung memalingkan wajahnya.
.
.
.
Siang hari nya, Icha keluar dari kamarnya setelah selesai menjalankan Shalat.
Karena pagi tadi Icha tidak sarapan, membuat perutnya saat ini terasa sakit.
ia melangkah ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat di dekat meja makan. Orang tuanya bercanda di meja makan bersama Anggun kakaknya perempuannya, tampak jelas mereka sangat bahagia.
Netra Icha dan ibunya tidak sengaja saling bertemu, akan tetapi ibunya langsung mengalihkan pandangannya.
Icha melanjutkan langkahnya menuju ke dapur, ia hanya melewati meja makan tersebut.
“Icha,” panggil Anggun.
Icha menoleh ke sumber suara.
“Iya, kak.”
“Mau kemana?” tanya Anggun melihat Icha hanya melewati meja makan tersebut.
“Mau ke dapur,” sahutnya.
“Sini bergabung bersama kami,” Ujar Anggun.
Icha tersenyum hendak melangkah mendekati meja tersebut, akan tetapi ibunya beranjak dari kursi tersebut membuat langkah Icha terhenti.
Hatinya kembali sakit, melihat orang tuanya begitu tidak menyukai kehadirannya, sebelum dirinya datang mereka tampak bercanda bersama di meja makan tersebut.
Namun, ketika dirinya datang sikap ibunya langsung dingin.
Icha menggelengkan kepalanya.
“Ma. Mama mau kemana? Jangan pergi, mah. Mama makan saja, biar Icha yang pergi!” ujar Icha lalu melangkah pergi.
Karena Icha melihat ibunya yang hendak pergi namun belum menyelesaikan makan siang.
Icha kembali melangkah menuju ke dapur, melihat kepergian Icha ibunya menghela napas berat.
“Ma,” panggil Anggun pada ibunya.
“Jangan berkata apapun,” imbuhnya.
Di dapur, Icha duduk di kursi, sambil menghapus air matanya.
“Apa Nona Icha butuh sesuatu?” tanya salah satu pekerja rumahnya.
Icha menghela napas, agar sedikit mengurangi rasa sesak di dadanya.
“Tidak ada Bi,” sahutnya masih dengan suara bergetar.
“Astaghfirullah...” ucap Icha beristighfar dalam hati sebanyak tiga kali.
Ia bahkan berulang kali menghela napasnya.
Dirasa dirinya tenang, ia mengambil piring yang ada di dapur, lalu mengambil nasi dan lauk yang masih tersisa.
Ia mendengar suara canda tawa dari kamar yang pembantu, setelah mengambil makanan Icha bergabung dengan mereka dan makan bersama.
“Ikut bergabung dong!” ujar Icha melihat mereka yang sedang asyik makan bersama.
“Tapi, Nona ini tempat pembantu?!”
“Lalu? Memangnya harus ada batasan antara pembantu dan majikan. Aku bukan majikan kalian,” ujar Icha lembut.
Ia mulai memakan makanannya, sebelum itu ia tidak lupa berdoa. Meskipun duduk di lantai dan makan bersama pekerja rumahnya, ia tidak pernah mempermasalahkan itu.
Di saat sela makan mereka, terdengar Anggun memanggil pembantunya.
“Bi,” panggil Anggun melangkah ke dapur.
“Iya, Nona!” sahutnya.
Pembantu tersebut hendak beranjak, akan tetapi terhenti ketika melihat Anggun ada di depan pintu kamarnya.
“Icha!” panggil Anggun sedikit terkejut melihat adiknya berada di dalam kamar pembantu.
“Iya, kak.”
Icha menghentikan aktivitas makannya dan menatap kakak perempuannya tersebut.
“Kamu kenapa disini?” tanyanya.
“Aku makan kak, ini!” memperlihatkan piring yang menyisakan setengah nasinya.
“Iya, aku lihat kamu sedang makan. Tapi, kenapa disini? Bukankah meja makan luas!”
“Memangnya Icha salah jika makan disini?”
“Ya tentu saja salah! Ini kamar pembantu!” ujar Anggun penuh penekanan.
Icha berdiam sejenak.
“Maksudnya?” tanya Icha yang masih kurang mengerti arah pembicaraan kakaknya.
“Kamu itu bodoh atau bagaimana sih!? Ini kamar pembantu! Tidak seharusnya kamu makan disini, bagaimana kalau Mama dan Papa lihat?”
“Memang ada larangan seorang majikan makan di kamar pembantu? Semua manusia sama kak! Kalau Icha makan di meja, Mama dan Papa pasti akan pergi dari tempat itu! Icha lebih nyaman disini,” ujar Icha masih bernada lembut.
“Kamu memang keras kepala. Wajar jika Mama dan Papa bersikap dingin kepadamu! Semua karena keras kepalamu itu!” bentaknya.
“Bi, Papa minta kopi.”
Setelah mengatakan itu, Anggun pergi dari tempat tersebut, dengan perasan yang masih marah.
“Apa salahku, Bi?” ujar Icha dengan suara yang menahan tangis.
“Sabar Nona. Tuhan tidak memberikan ujian kepada hambanya di luar batas kemampuannya, percayalah! Semua itu akan cepat berlalu, jika Nona Icha selalu bersabar.”
“Iya, Bi.”
Icha menghapus air matanya dan kembali melanjutkan makannya.
Begitupun dengan pembantunya, ia segera menyeduhkan kopi untuk majikannya.
Keluar dari dapur, Anggun memasang wajah kesalnya melangkah sambil menghentakkan kakinya.
“Ada apa?” tanya Bu Sintya melihat putrinya cemberut.
“Icha Ma. Masa makan di kamar pembantu!”
“Oh itu, ku kira ada apa? Kamu ini terlalu berlebihan, memangnya kenapa kalau Icha makan disana?”
“Ih Mama, malu tahu!” celetuk Anggun.
“Malu kenapa?” tanya Bu Sintya menatapnya.
“Anakmu itu jangan terlalu di manja! Lihat akibatnya sekarang, dia sering membantah, tidak mau mendengarkan ucapan orang tuanya lagi! Itu semua karena didikkan mu!” celetuk suaminya menyalahkan istrinya.
“Aku tidak memanjakannya. Apa salah jika Icha makan di kamar pembantu?”
“Sama saja!” kesal suaminya dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Pah, tunggu.”
Anggun berlari kecil mengekori belakang papanya.
Bu Sintya menghela napas kasar, apalagi melihat kedekatan antara Anggun dan papanya.
Sejak kecil Icha selalu di bandingkan dengan Anggun, bahkan perhatian suaminya lebih banyak kepada Anggun dan Dika ketimbang pada Icha.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!