NovelToon NovelToon

Istri Yang Tersakiti

BAB 1

"Astagfirullah, Bu. Kan bukan keinginan Tasya harus harus keguguran lagi. Bahkan kuburan anakku masih basah." suara berat menahan tangis.

"Itu gara-gara kamu tidak becus menjaga kandungan mu"

"Tasya juga tidak mau Bu, siapa yang mau kayak gini Bu, Tasya juga menanti datangnya seorang anak di tengah-tengah keluarga kecil Tasya." tidak kuat menahan air mata.

siapa yang tidak bersedih ketika untuk sekian kalinya ia harus merasakan keguguran. Bahkan untuk yang terakhir ini janinnya sudah berusia enam bulan, jari jemarinya sudah terbentuk.

"Sudahlah, adopsi anak saja. Rumah tangga kalian sudah mau masuk sembilan tahun. Usia kalian makin tua. Ibu malu dengan teman-teman ibu s'lalu ditanyain cucu, sedangkan teman-teman ibu udah punya cucu."

Tasya menghela napas panjang, ia bukan tidak ingin mengadopsi anak, hanya saja ia ingin berusaha sekali lagi untuk mendapatkan seorang anak dari rahimnya.

*

*

*

*

Tasya tidak akan sekuat ini andai bukan Devan suaminya. Selama sembilan tahun ini ia yang memberi kekuatan lebih, ia tidak pernah menyalahkan atau menuntut apa pun.

"Mas tidak akan memaksa, Sayang. Semua kembali padamu." ucap Devan membawa istrinya kedalam dekapannya.

"Aku ikut saja, Mas. Ini juga bukan keinginan aku, Mas." lirihnya yang pasrah.

Devan mengatakan saudara jauhnya sedang mengandung, usia kandungannya kini memasuki enam bulan, ia takut pulang kerumah dan ingin memberikan anak itu pada kita. Namanya Sintia, usianya baru menginjak 22 tahun, saat kehamilan ini terjadi. Pacarnya kabur begitu saja.

"Dia minta syarat apa, Mas?" tanya Tasya.

Devan menggeleng pelan. "Tidak ada. Dia hanya meminta orangtuanya jangan sampai tahu. Dan setelah kehamilannya cukup besar, dia minta diungsikan ke sebuah tempat tanpa ada seorang pun yang tahu. Dia tidak ingin meninggalkan jejak apapun katanya." jawab Devan

"Kita mengungsi saja ke perumahan yang ada di puncak saja. Sepertinya di sana aman."

"Ide bagus, kamu temani ya. Mas akan sering di Jakarta untuk bekerja. Lagi pula gak enak kalau ada orang lain di rumah kita, bikin risih."

Tasya mengangguk pelan. Entah rasa syukur seperti apa lagi betapa beruntungnya memiliki Devan. Pria itu tidak pernah berubah setelah 15 tahun kebersamaannya. enam tahun pacaran dan sembilan tahun dalam pernikahan.

"Usia kandungannya berapa sekarang, Mas?" tanya Tasya.

"Katanya enam bulan, besok kalau mas libur kita langsung bawa saja kerumah kita, ya."

Tasya mengangguk, bila dengan jalan ini ia harus memiliki seorang anak. Ia sudah pasrah, mungkin ini jalannya yang terbaik untuk keluarga kecilnya.

*

*

*

*

Hari dimana tiba, Tasya dan Devan menjemput wanita itu di kosannya, gadis manis berparas cantik itu menyambutnya dengan senyum, namanya Sintia, ia masuk ke dalam mobil dengan satu koper dan tas kecil berwarna hitam.

Tasya berkenalan dengan ramah. "Kita baru ketemu ya." tanya Tasya

"Kita pernah kok mbak sekali, saat itu usiaku masih dua belas tahun." jawab Sintia

"Ohh.. iya kah? Berarti sebelum mbak nikah ya." Sintia mengangguk.

Tasya tidak banyak bertanya lagi, apa lagi tentang kenapa ia bisa hamil. Penjelasan dari suaminya yang kemarin sudah di bicarakan.

"Mbak, makasih ya sudah mau ambil anakku dan mau merawatnya, setelah ini aku ingin kembali mengejar cita-citaku, yang tertunda gara-gara kesalahan yang di buat ku sekarang. Dan jangan sampai saya kembali ke lubang yang sama. Ini kesalahan yang fatal yang pernah aku lakukan dengan pacarku mbak." terdengar penyesalan yang dilakukan oleh Sintia.

"Setiap orang punya kesalahan, yang penting kamu bisa belajar dari kesalahan sebelumnya, dan jangan mengulangi kesalahan ini. Usiamu masih muda masih banyak meraih cita-citamu, belajar lah dari segala kejadian ini." nasehat Tasya.

"Iya Mbak, makasih atas sarannya."

Sementara Devan tidak banyak bicara dan fokus mengendalikan mobilnya. Beberapa jam kemudian, mereka sampai di perumahan kawasan puncak, sebuah tempat yang nyaman dan sejuk.

"Wah.... Rumahnya bagus sekali Mas Devan." ucap Sintia takjub dengan yang di lihatnya.

"Iya, kamu akan tinggal di sini dengan mbak Tasya." jawab Devan.

Sintia mengangguk. Tasya menggandeng tangan gadis itu dan membawanya masuk ke dalam. Ia mengantarkan ke kamar yang sudah di siapkan. Sintia mengedarkan pandanganya saat masuk ke dalam, ia yang melihat setiap sudut di ruangan kamarnya, desainnya cantik dengan suasana yang sejuk.

*

*

*

Satu Minggu di perumahan yang ada di puncak ini. Devan meninggalkan istrinya dan Sintia beberapa hari yang lalu, dan kembali pulang Minggu malam ini.

Sintia anak yang menyenangkan bagi Tasya, ia teman bicara yang asyik dalam segala hal, meski tidak ada seorang suami di sisinya, Tasya merasa tidak kesepian.

Malam ini Devan baru saja datang, Tasya yang menyiapkan makanan enak untuk suaminya dan mereka menikmati hidangan yang di buat Tasya, sementara Sintia sudah tidur, waktu menunjukan pukul sepuluh malam.

"Kamu juga tidur yang, udah malam," ucap Devan.

"Iya, Mas. Malam ini kamu gak minta jatah?" goda Tasya.

Devan tertawa dengan godaan yang di berikan Tasya dan mengecup kening istrinya.

"Besok malam saja, Mas masih cape banget baru pulang dari kantor langsung ke sini sayang."

Tasya tersenyum kecil dan beranjak naik ke ranjang, ia cukup tahu dengan keadaan suaminya yang merasa cape baru datang, Tasya memejamkan mata. Sementara Devan membersihkan diri. Setelah ia membuka laptopnya menyelesaikan pekerjaannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, dengkuran halus Tasya terdengar oleh Devan.

Devan menghela napas, ia turun dari ranjang milik Tasya menuju kamar Sintia.

ceklek..

Devan membuka pintu berwarna putih dan masuk, ia membaringkan tubuhnya di ranjang yang Sintia tiduri.

Yah... setelah menutup laptopnya Devan beranjak menuju kamar Sintia.

"Mbak Tasya sudah tidur?" tanya Sintia pelan.

Devan mengangguk pelan. Sintia memeluknya.

"Selama mas gak ada, dia mengenalkan sudut-sudut di rumah ini, padahal aku yang lebih banyak tinggal di sini di bandingkan dia. Mas"

Devan membelai lembut rambut Sintia dan mengecupnya mesra, dan kemudian turun mengecup perut.

"Anak kita udah berasa belum geraknya?" tanya Devan.

Sintia adalah kekasih Devan tiga tahun ini, namun akhir-akhir ini hubungan keduanya lebih dalam sampai Sintia hamil anak Devan.

.

.

.

"Udah Mas, dia gerak dan aktif banget. Pengen di tengokin sama papahnya," kata sintia.

BAB 2

Devan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah setelah kedatangannya tempo hari. Sementara untuk urusan pekerjaannya di limpahkan seluruhnya kepada orang-orang kepercayaan nya di kantor.

Sudah 2 Minggu, Tasya memanjakan Sintia seperti adiknya sendiri, apapun yang di minta, ia selalu penuhi, semua demi anak yang di kandungannya. Anak yang akan menjadi anaknya nanti.

Mereka bertiga berkumpul di ruang televisi, Tasya bersandar dengan nyaman di pelukan suaminya. Sementara Sintia berada di kursi yang lain tidak jauh dari Devan, keduanya terlihat sesekali mencuri pandang dan memberikan banyak isyarat manja, menjijikan. Meski begitu Tasya hingga saat ini belum menyadari segala kegiatan mereka lakukan di belakang Tasya.

"Sayang, buatkan kopi atau coklat panas ya," ucap Devan pada istrinya, Tasya melepas sandarannya dan beranjak dari duduknya untuk membuatkan pesenan suaminya.

Tasya sebelum melangkah ke dapur menengok ke arah Sintia.

"Kamu mau juga? Sekalian Mbak bikinin." menawari Sintia yang duduk santai.

Gadis itu hanya mengangguk dengan senyum khasnya menerima tawaran mbaknya. Seiring dengan Tasya yang beranjak pergi ke dapur, Devan menjulurkan tangannya untuk memegang tangan Sintia. Ia menyambutnya dengan senyum yang hangat, hingga kemudian tangan itu di cium berkali-kali oleh Devan sampai akhirnya di lepaskan kembali karna takut ketahuan oleh Tasya.

*****

.

.

.

Malam ini hujan begitu lebat, hujan yang turun dengan derasnya. Waktu menunjukan pukul sembilan malam, ketika Devan masih berkutat dengan laptopnya untuk menyelesaikan pekerjaannya, karna Devan tidak masuk kerja beberapa hari.

Tasya menghampiri suaminya setelah selesai dari kamar mandi untuk membersihkan dan mengganti bajunya.

"Sayang mau tidur jam berapa?" tanya Tasya.

"Sebentar lagi, ada pekerjaan yang harus di selesaikan sekarang juga, mau di kirim ke asisten ku, kamu tidur duluan aja, entar aku nyusul ya."

Tasya mengangguk pelan dan beranjak menuju tempat tidurnya, Tasya mulai memejamkan matanya, merasakan kantuk yang mulai merasa berat.

Dengkuran halus mulai terdengar, Devan melihat wajah istrinya kemudian kemudian menyimpan laptopnya di samping balas. Pelan-pelan ia beranjak dari tempat tidurnya. Mengedap-edap keluar dari kamar ini dan membuka pintu sangat pelan agar tidak ketahuan Tasya.

Sintia sudah menunggunya sejak tadi. Seiringnya dengan Devan yang pergi dari kamarnya, Tasya membuka mata dan melihat kearah pintu yang terbuka tadi.

Ia menghela napas panjang dan menatap kosong ke arah langit-langit. Betapa waktu berperang dengan gemuruh di hatinya, Tasya menyibakkan selimut dan pelan-pelan turun dari ranjang. Ia menyeret langkahnya menuju keluar kamar ini.

Tasya melangkah dengan pelan, bahkan ia menutup pintu kamarnya dengan pelan dan hati-hati. Hening tercipta, hanya suara detak jantungnya yang terdengar bergemuruh kencang.

lagi... iya menghela napas panjang, memberikan restorasi pada dadanya yang sesak. melangkah menuju tempat kamar Sintia, Ia tidak mendengar apa pun. Tasya kembali merekatkan daun telinganya. Terdengar ******* halus mulai terdengar, suara suaminya yang sangat ia kenal. Tasya menutup mulutnya terkejut dengan yang di dengarnya. Ia ingin teriak, menangis sekenceng-kencengnya. Setelah suara lenguhan panjang yang terdengar di akhir permainan suaminya membuat Tasya merasa sesak mendengar semua itu.

Tungkai kakinya lemas, keberdayaannya hilang. Ingin rasanya ia dobrak pintu ini dan membunuh mereka berdua yang menipu ya. Rasa sakitnya tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata, mungkin lebih dari pedang yang menancap pada dadanya. Orang yang selama ini ia agung-agungkan kepada dunia ternyata hanya seorang bajingan.

Tasya menyeret langkah kembali dengan sia-sia tenaga yang tersisa. Ia tidak sedang kalah dan tidak boleh lemah untuk menghadapi seorang bajingan. Masuk ke kamar itu untuk dan memergoki mereka saat ini hanya akan memenangkan emosi dan rasa marah yang mungkin akan menjadi kebodohan. Ia tidak akan mendapatkan apapun, Entah sejak kapan Devan menutupinya, yang pasti ia tidak akan ingin kehilangan lagi banyak hal. Tasya harus menyamankan hal lain yang sudah seharusnya menjadi miliknya.

cek lek.

Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan pelan menuju ranjangnya. Ia membaringkan tubuhnya dan menutup diri dengan selimut, menangis sejadi-jadinya, membiarkan rasa sakit itu berkurang seiring dengan air mata yang terus jatuh. Ini hal gila yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, suami yang di puja-puja seperti dewa tidak lebih hanya seorang iblis yang berkedok malaikat.

Setengah jam kemudian suara pintu terdengar di buka.

cek lek.

Seketika Tasya menghentikan tangisnya dan memejamkan matanya rapat-rapat untuk tidak di ketahui oleh Devan.

Devan menuju tempat tidurnya dan naik ke atas ranjang, dan menyingkap selimut Tasya dan mengecupnya perlahan. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu jijik di sentuh oleh Devan, apa lagi ketika membayangkan bibir itu baru saja ******* bibir wanita lain.

Devan kembali membetulkan selimut istrinya dan berbaring di sebelah istrinya sampai terdengar dengkuran halus.

Tasya gelisah tidak bisa tidur kembali. Ia pun beranjak dan mengambil air wudhu, lalu bersimpuh meminta kekuatan dengan cobaan yang ia rasakan dan di beri kekuatan untuk menjalaninya.

*

*

*

*

kicauan burung tidak lagi terdengar berirama, sepagi ini Tasya sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.

Tiba-tiba Devan memeluknya dari belakang, membuat membuat Tasya kaget namun ia tidak merespon apa pun.

"Hari ini aku izin pulang ke rumah sebentar, ya. Ada yang mau aku ambil."

"Aku antar ya, sayang" ucap Devan mendaratkan dagunya di bahu citra.

"Tidak usah, aku sendiri saja. Takut Sintia butuh apa-apa, nanti dia bingung."

"Aku gak enak berduaan saja sama dia, risih Yang."

Tasya ingin muntah seketika mendengar ucapan suaminya. Pria yang kini bersamanya ternyata tidak lebih dari manusia dengan akal yang buruk.

Kepulangan Tasya untuk mengamankan semua berkas dan aset berharga yang ia miliki selama mereka bersama. Ia tidak ingin pergi dengan sia-sia dan begitu saja. Tasya berjanji akan memiskinkan suaminya sampai ia dan wanita murahan itu hidup menjadi gelandangan di jalan.

.

.

.

AKU kecewa mas atas menghianatan yang kamu lakukan padaku, apakah aku kuat jalanin semua ini..

BAB 3

Tasya duduk terdiam di depan meja rias, menelisik setiap sudut wajahnya yang tahun ini genap berusia 31 tahun. Garis halus memang mulai tampak di sudut matanya, ia merasa kecantikannya mulai memudar. Jika di bandingkan dengan Sintia yang masih muda.

Ia buka ikatan rambutnya, dan membiarkannya tergerai. Lurus panjang hitam berkilau. Rambut ini yang selalu Devan belai setiap hari. Rambut ini juga yang selalu Devan bilang bila dirinya semakin cantik. Tasya selalu merawat dan memberi vitamin pada rambutnya, ia menyisir dengan pelan, memakai makeup tipis. setelahnya, ia bangun melangkah menuju lemari pakaiannya dan memilih baju yang cantik, dress di bawah lutut dengan warna maron yang di pilihnya. sangat cocok dengan kulitnya yang putih dan postur tubuhnya yang tinggi dan ramping. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikan urusan penampilan dan sibuk dengan pekerjaan rumah. Mungkin riasan ini akan membuat Devan terpukau.

Ia keluar dari kamar dan melihat suaminya dengan wanita itu sedang berbincang santai terlihat sesekali keduanya sangat akrab tak berjarak. Tasya menghela napas panjang, jujur saja hatinya masih sangat sakit, penghianatan ini adalah momen tergila yang sedikit pun tidak pernah ia bayangkan.

Kebodohannya, Tasya sama sekali tidak curiga ketika Devan menawarkan untuk mengadopsi seorang anak. Tidak terbesit dalam benaknya bila wanita yang di bawa masuk ke dalam rumahnya itu adalah pemuas nafsunya di ranjang. Hingga kemarin tangan Tuhan ikut bergerak, saat sedang membuat kopi dan coklat panas buat Suami dan Sintia, Tasya melihat Sintia dan suaminya berpegangan tangan.

Tasya melangkah dengan pelan dan santai menghampiri suami dan wanita itu.

"Aku pergi dulu ya, Mas."

Devan sedikit kaget dengan kedatangan Tasya yang tiba-tiba. Ia segera melihat ke arah sumber suara dan kembali terkejut melihat penampilan Tasya yang berbeda. Ia merasa sangat cantik di matanya.

"Aku antar ya, sayang. aku gak bisa ngebiarin kamu bawa mobil sendiri. Aku hawatir sama kamu!!" untuk sekian kalinya Devan menawarkan dirinya.

"Tidak usah, sudah lama aku tidak menyetir. Ingin kembali merasakan sensasinya lagi." balas Tasya. "Lagi pula kasihan Sintia kalau di biarkan sendiri di rumah," lanjutnya seraya menatap wanita itu dengan sinis.

"Tapi Mbak, aku gak enak kalau di rumah cuma berduaan saja, gak enak kalau gak ada mbak." Sintia ikut bicara.

Tasya tersenyum. Rasanya ingin sekali ia menjambak rambut wanita itu di depannya yang pandai berpura-pura.

"Kamu tenang aja, Sintia. Suami saya ini orangnya tidak kurang ajar."

Sintia terdiam..

"Bener kan, Mas?" lanjut Tasya sambil melingkarkan tangannya pada lengan suaminya. Sejujurnya ia ingin muntah saat ini juga.

Pria itu hanya mematung diam tidak menjawab pertanyaan istrinya.

"Aku juga yakin, dia tidak akan tergoda begitu saja olehmu." wajah Sintia memerah menahan amarahnya.

"Maksud Mbak?"

Tasya melihat pergelangan tangannya yang berwarna putih di tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh.

"Aku pergi dulu, takut nanti kemalaman pulang ke sini."

Ia melangkahkan kakinya menuju halaman rumah, lalu masuk ke dalam mobil dan segera berlalu, meninggalkan rumah di kawasan puncak ini. Sepanjang perjalanannya ia menumpahkan tangisnya, siapa yang sanggup untuk tidak sakit melewati cobaan ini. Terlebih lagi, ia selalu percaya bila Devan adalah satu-satunya tempat pulang ternyaman. Ia menggantungkan segala bahagia dan sedihnya, ia juga yang selalu percaya bila Devan satu-satunya orang yang tidak akan menyakitinya.

Tapi... semuanya hancur. Rumah tangganya yang bertahun-tahun ia banggakan segitu saja runtuh..

Sementara Sintia mengerucutkan bibirnya, ia sedikit tersinggung dengan kata-kata Tasya barusan.

"Istrimu si tua itu bicaranya tajem juga ya."

"Sudah lah sayang, tidak usah terlalu di pikirkan." Devan merangkul Sintia.

"Sebel aja, kok bisa ada yang kepedean tingkat dewa. Kalau tahi ini anak kamu, dia bunuh diri kali, ya" Sintia tertawa. "Heran saja ada wanita sebodoh dia."

Devan langsung mengunci bibir Sintia dengan mulutnya. Kepergian Tasya hari ini membuatnya bisa menghabiskan waktu dengan Sintia tanpa ketakutan. Ia membenarkan ucapan Sintia, Tasya hanya wanita bodoh yang berlekuk lutut padanya, ia tidak memiliki siapa pun selain dirinya, Tasya pun sangat penurut padanya. Devan tersenyum penuh kemenangan.

Devan merasa kehadiran Sintia memang memberi warna baru. Ia yang liar mengobati kepenatan di kala bosan pada Tasya. Meski begitu terasa indah, tapi cara Tasya mencintainya benar-benar membuat ia muak. Devan ingin tantangan baru dan istrinya itu teramat membosankan.

*****

.

.

.

.

"Kamu di mana?" ucap Tasya pada seseorang yang ia hubungi melalui telpon.

"Aku di kantor, ada apa, Sya? Tumben menghubungi."

"Bisa bertemu sekarang?" tanya Tasya tanpa basa-basi.

Hening tercipta sejenak. "Mau ketemu dimana?"

"Di cafetaria deket kantor kamu aja."

"Oke."

Panggilan itu tertutup, seorang yang di telpon Tasya baru saja adalah Radit sahabat sejak masih TK, keduanya sangat dekat, bahkan keluarganya. Namun, semenjak Tasya menikah, ia jarang sekali berkomunikasi dengan radit.Terakhir ia menelponnya satu tahun yang lalu sambil menangis ketika mengetahui istri Radit meninggal dunia saat melahirkan anak mereka, Clarisa namanya, mereka bertiga bersahabat sejak kecil, dan Radit menikahi sahabatnya sendiri.

Tasya memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan oleh cafe tersebut, ia berlari kecil masuk ke dalam cafe, rintik hujan datang, tidak deras hanya jarang-jarang. Ia memesan coklat panas dan duduk di dekat jendela seraya menatap pandangan di luar sana.

Setengah jam menunggu, Radit akhirnya datang dengan kemeja hitam yang sedikit basah,. Pria itu mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Tasya, tidak berapa lama pelayan datang, ia pun memesan minuman kopi latte.

"Ada apa?" Tanya Radit basa-basi. Ia memandang lekat wajah itu, menelisik lebih dalam apa yang sedang terjadi.

Tasya mengambil cangkirnya dan menyeruput dengan pelan, kemudian kembali meletakan dengan perlahan. Ia merasa seperti sedang mengumpulkan segala kekuatan.

.

.

.

"Aku ingin bercerai."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!