Waktu berlalu, Magrib pun datang menyapa hamba – hamba yang beriman. Naya menggiring tubuhnya untuk mengambil air wudhu sebelum ia pergi sholat fardu tiga rakaat.
Dalam do’anya ia meminta, “Ya Allah, hamba bersyukur untuk semua nikmat yang Engkau berikan dalam hidup hamba.
Memiliki keluarga yang utuh dan bahagia, teman dan sahabat yang luar biasa. Kini Engkau menambah satu lagi nikmat yang dalam hidup hamba, kekasih yang sempurna di mata hamba, meski kesempurnaan itu hanya milik Mu. Hamba hanya meminta, jika Aaric adalah jodoh yang Engkau pilihkan untuk hamba, maka tunjukkan lah kebaikan atasnya dan kekal kanlah hubungan ini sampai ke Jannah Mu ya Rabb. Aamiin.”
Reisya mengusap wajahnya lalu menghela nafasnya perlahan seraya berucap, “Ya Allah ridhoi hubungan kami.”
Reisya pun membuka mukenah dan melipat sajadahnya kemudian meletakkannya kembali ke posisi semula.
Sekilas Reisya melihat ponselnya berkedip, karena sebelum sholat Reisya sengaja membuat mode silent di ponselnya.
Reisya bergerak meraih ponselnya dan terlihat Aaric Calling di layar ponselnya.
Dengan senyum yang tersungging di kedua sudut bibirnya Reisya langsung menjawab panggilannya.
“Hallo, Assalamualaikum, Mas,” sapa Reisya dari balik ponselnya.
“Waalaikumsalam, Sayang. Suaranya beda,” goda Aaric dari seberang ponselnya.
“M – maksudnya beda gimana, Mas?”
“Seperti sedang bahagia, suaranya ringan dan merdu, enak di dengar,” rayu Aaric lagi.
Reisya yang sedang duduk di ujung tempat tidurnya tersipu malu. Ia mesam – mesem sendiri di dalam kamarnya. Jiwanya serasa melayang, seperti terkena terpaan angin sepoi – sepoi yang membelai lembut pipinya yang kini terlihat merona.
“Kamu bisa aja, Mas. Suaraku biasa aja kok,” sanggah Reisya tersenyum bahagia.
“Ya sudah, iya. Ehm.. Sayang.”
“Ya.”
“Jangan lupa, dandan yang cantik. Sebentar lagi Aku sampai” pinta Aaric menggoda Reisya.
Satu jam kemudian terdengar suara klakson mobil dari luar gerbang, Reisya yang mendengar itu terlihat panik.
Pasalnya ia belum lagi selesai menentukan pilihan baju mana yang akan ia pakai untuk menyambut calon mertua dan kekasihnya yang hendak melamarnya.
Reisya mengeluarkan isi lemarinya satu persatu namun belum juga menemukan yang sesuai dengan keinginannya.
Sampai Mbok Ana datang mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Reisya tanpa di persilahkan masuk oleh Reisya.
Melihat pemandangan yang berantakan di atas tempat tidur Reisya.
Membuat Mbok Ana geleng – geleng kepala sambil menghela nafas berat.
“Ya Allah! Non Reisya, kenapa seperti kapal pecah begini..! Noh, belum ganti baju lagi. Tamunya udah nyampe Non..,” protes Mbok Ana sembari memukul – mukul jidatnya pelan.
Reisya hanya meresponnya dengan cengiran kuda. Lalu meminta pendapat Mbok Ana baju mana yang sesuai untuk dipakai.
Di satu sisi ada terselip rasa sedih. Biasanya jika ada acara atau event apapun Kakaknya yang selalu sibuk memperhatikan penampilan adiknya supaya terlihat sempurna.
Tapi kali ini Nola sepertinya tidak perduli sama sekali meskipun Reisya sudah mencoba bercerita padanya.
Namun tidak seperti biasanya Nola hanya tersenyum tipis. Tidak ada respon apapun.
Hal inilah yang membuat Reisya semakin bertanya – tanya dalam hatinya, apa sebenarnya yang telah terjadi sebelum kepulangannya ke rumah.
Reisya mencoba bertanya pada Mbok Ana, namun Mbok Ana juga tidak tahu pasti apa yang membuat Nola berubah drastis seperti itu.
“Mbok, sebenarnya apa sih yang telah terjadi? Kenapa Kak Nola berubah seperti ini? Apakah dia keberatan kalau Reisya di lamar lebih dulu oleh Mas Aaric?” tanya Reisya bersedih.
“Maaf, Non. Si Mbok juga tidak tahu. Si Mbok ndak berani terlalu lancang menanyakan hal ini pada Non Nola sejak ia berani memarahi Ibu beberapa waktu lalu,” ucap Mbok Ana keceplosan.
Mbok Ana langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Seketika Reisya membulatkan manik matanya.
Dia tak pernah menyangka Nola berani berbuat seperti itu. Ini sungguh berbanding terbalik dengan Nola yang dikenal Reisya dulu.
“Pokoknya Mbok harus menceritakan semuanya sama Reisya nanti. Rahasia apa sebenarnya yang sedang di tutupi,” desak Reisya pada Mbok Ana.
Kemudian mereka fokus kembali memilih baju yang akan di pakai Reisya.
Setelah selesai Reisya sedikit memoleskan aye shadow berwarna nude pada kelopak matanya dan menyapukan sedikit blush on berwana pink muda di pucuk tulang pipinya.
Dandanannya looks naturally, membuat Reisya begitu berbeda dari hari – hari biasanya yang jarang sekali tersentuh oleh bahan – bahan kosmetik perias wajahnya.
Bukan hanya Mbok Ana yang dibuat terkesima dengan penampilan Reisya kali ini.
Semua mata tertuju pada Reisya saat menuruni anak tangga, tatapannya tak beralih sedikitpun saat melihat Reisya yang begitu mempesona.
Terlebih lagi Aaric yang tak bosan – bosannya memandangi wajah kekasihnya.
“Mau makan atau mau mandangi wajah cantik ku saja, Mas?” decit Reisya berbisik di telinga Aaric yang duduk di samping kirinya.
“Dengan memandang wajahmu saja sudah membuatku kenyang, Rei.”
Aaric membalas ledekan Reisya dengan senyum bahagia dan tanpa rasa sungkan.
Akhirnya, setelah jamuan makan malam, kedua keluarga itu saling menyampaikan maksud dan tujuan mereka bertamu ke rumah Reiysa.
Mereka berpindah tempat duduk untuk saling mengobrol.
“Begini, Mas. Sebenarnya kedatangan Kami kemari adalah yang pertama untuk berkenalan atau silaturahmi pada keluarga Mas Widjaya sekaligus mengabarkan keadaan Mbak Widjaya setelah kecelakaan, kemudian yang selanjutnya adalah untuk melanjutkan niatan ananda Kami Aaric yang ingin melanjutkan hubungannya dengan Reisya.. lebih dekat lagi,” ungkap Pak Atmadja menjelaskan.
“Ternyata dunia ini kecil ya, Jeung, dulu kita pernah bertemu dalam arisan ibu – ibu kompleks. Eh sekarang malah mau jadi besan,” ucap Bu Widjaya bernostalgia beberapa tahun lalu saat mereka masih dalam komplek perumahan yang sama. Keduanya pun tertawa lepas.
“Jadi gimana menurut, Mas Widjaya dan Reisya? Apakah lamaran Kami diterima?” tanya Pak Atmadja memastikan keputusan yang sangat di nanti - nantikan.
Aaric dan Reisya saling berpandangan penuh cinta, hatinya di penuhi oleh bunga – bunga yang sedang bermekaran.
“Sebelumnya Kami juga mengucapkan terima kasih atas kunjungannya. Terutama ikut mendoakan kesembuhan suri hati di rumah ini yaitu istri saya sendiri.
Lalu yang kedua... saya hanya ingin mengikuti apapun keputusan Reisya. Apakah dia bersedia atau tidak,” terang Pak Widjaya.
Mereka menyerahkan keputusan itu sepenuhnya pada Reisya.
Karena Reisya lah yang akan menjalani kehidupannya kedepannya. Dia tahu mana yang benar – benar tulus menyayanginya.
“Lalu, bagaimana menurut Kamu, Rei?” tanya Bu Atmadja pada Reisya yang masih tertunduk tersipu malu.
Detak jantungnya seakan sedang lari maraton, semua rasa bercampur aduk jadi satu. Orang yang di cintainya akhirnya memilih untuk segera menghalalkan hubungan keduanya.
Kemudian Reisya menganggukkan kepalanya pelan tanda setuju bahwa dia telah merima Aaric sebagai tunangannya.
Dan setelah selesai Wisuda Aaric akan benar – benar menjadikannya pasangan yang halal untuk selamanya.
“Alhamdulillah, akhirnya kita bakalan berbesan ya, Jeung.” Ucap Bu Widjaya bahagia sembari memeluk Bu Atmadja.
Sementara sepasang mata membidik dari jauh. Dia merasakan sakit ketika melihat keluarga angkatnya merasa senang dan bahagia.
“Tenang Nola, kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau. Biarkan untuk saat ini mereka berbahagia.
Nanti akan tiba saatnya, tawa itu akan berubah menjadi linangan air mata yang tiada hentinya,”
monolog Nola penuh dendam dan kebencian yang teramat sangat sembari memalingkan wajahnya.
Reisya merasa sangat bersedih, kebahagiaan yang dirasakan malam itu seharusnya dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga termasuk Nola.
Meskipun dia hanya seorang kakak angkat, tapi bagi Reisya.. dia sudah seperti saudara kandungnya sendiri.
Dua belas tahun hidup bersama, berbagi cinta dan kasih sayang dengan tulus. Melalui suka dan duka masa remaja bersama.
Namun di hari yang akan menjadi sejarah hidupnya, justru Nola tidak hadir sama sekali. Bahkan dia pergi menghilang tanpa kabar.
Semua orang di rumah besar keluarga Widjaya panik dengan menghilangnya Nola dari rumah mereka.
“Pa, ada apa dengan Nola.. kenapa tiba – tiba dia pergi meninggalkan kita?” resah Bu Widjaya dengan hati yang sangat cemas.
“Rei, apa Nola ada cerita sesuatu sama Kamu?” tanya Pak Widjaya serius.
Reisya hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Reisya juga bingung dengan perubahan sikap Nola. Bahkan Reisya ingin menanyakan pada kedua orang tuanya apa yang telah terjadi sebelum dia kembali ke rumahnya.
“Ma, Pa.. sebenarnya apa yang telah terjadi? Atau ada sesuatu yang tidak Rei ketahui selama ini?” tukas Reisya sambil memandangi wajah kedua orang tuanya secara bergantian.
Bapak dan Ibu Widjaya saling melempar pandangan, seolah saling tunjuk – menunjuk untuk menjawab pertanyaan Reisya. Reisya pun semakin dibuat penasaran.
“Ma,” lirih Reisya memanggil sang Mama.
“Mama juga tidak tahu, Rei. Karena memang tidak ada yang apa – apa yang perlu dijelaskan,” pungkas Bu Widjaya.
“Lalu, kenapa Kak Nola berani memarahi Mama? Bukankah Kak Nola adalah orang yang sangat patuh? Bahkan apapun yang Mama-Papa katakan tidak pernah dibantahnya meski terkadang Kak Nola enggan melakukannya. Ada apa ini, Ma? Pa?” desak Reisya.
“Rei.. Rei..! Kamu tenang dulu ya. Papa dan Mama tidak ada menyembunyikan apapun dari kalian. Papa yakin, ini hanyalah hasutan dari rekan bisnis Papa yang kalah tender kemarin. Sejak dulu saat Papa dan Papanya Nola bergabung, Hutomo memang tidak pernah mendapatkan apa yang dia inginkan. Jadi.. mungkin sekarang dia ingin menjatuhkan Papa melalui Nola,” ungkap Pak Widjaya yang tersulut amarah.
“Jadi, kenapa Papa tidak menjelaskannya pada Kak Nola kalau ini hanyalah omong kosong?!”
“Rei, sejak Nola bertemu dengan Om Hutomo, dia banyak berubah. Lebih banyak diam dan jadi tempramen. Mama juga nggak tahu apa yang sudah dikatakan Om Hutomo sama Kakak Kamu itu. Sehingga dia sangat membenci Mama dan Papa,” timpal Bu Widjaya.
“Jadi, kepergian Kak Nola sekarang ada kaitannya dengan Om Hutomo?” tebak Reisya.
“Bisa jadi, tapi itupun belum pasti. Kita tidak bisa menuduh seseorang tanpa bukti yang jelas,” sahut pak Widjaya.
Reisya jadi semakin bersedih. Dia merasa bersalah telah menuduh kedua orang tuanya telah berlaku curang. Ternyata pikirannya salah.
Kemudian Reisya memeluk erat tubuh sang Mama sembari meminta maaf.
“Ma, maafin Reisya ya. Nggak seharusnya Rei berpikiran buruk terhadap Mama dan Papa,” sesal Reisya dengan mata yang berkaca – kaca.
Bu Widjaya pun mencium pucuk kepala Reisya penuh rasa sayang sambil tersenyum manis.
“Iya, Sayang. Nggap apa – apa, Mama sama Papa ngerti kok. Kamu terlalu menyayangi Nola, kan?”
Reisya pun mengangguk pelan.
“Ya sudah, kalau begitu.. Reisya ke kamar dulu ya Ma. Reisya mau beres – beres dulu biar nggak ada yang tertinggal,” pamit Reisya.
Ia pun menggiring langkah kakinya ke kamar untuk mempersiapkan semua yang akan ia bawa kembali ke Prancis.
Waktu terus bergulir, malam pun datang. Kini anggota keluarga Widjaya berkumpul mengitari meja di ruang makan. Suasana sedikit hening tidak seperti biasanya. Rasa kehilangan begitu kentara dalam diri mereka.
Bahkan Mbok Ana dan Pak Man pun tidak berani untuk banyak berkata – kata, hanya berbicara jika saat majikannya bertanya.
“Rei, tambah lagi ya,” celetuk Bu Widjaya memecah keheningan di ruang makan saat ini.
“Nggak, Ma. Ini sudah cukup,” sahut Reisya tanpa semangat.
Bu Widjaya pun tidak memaksanya.
Dia sangat mengerti perasaan anaknya. Sampai akhirnya mereka selesai makan. Reisya lebih memilih untuk kembali ke kamarnya.
Dengan langkah gontai ia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sekilas netranya menatap sedih pintu kamar Nola yang bersebrangan dengan kamarnya.
Lalu hatinya tergelitik untuk mencari sesuatu di dalam kamar Nola. Mungkin saja ia dapat menemukan informasi apapun yang bisa ia dapatkan.
Reisya pun mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kamar Nola. Sejenak ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan.
Setelah beberapa menit ia melanjutkan langkah kakinya kemudian duduk di kursi meja belajar Nola.
Tangannya mulai bekerja mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya informasi dengan membuka lalu memeriksa laci meja belajarnya.
Ternyata Reisya tidak menemukan apapun. Hanya selembar kertas, foto Reisya dan Nola saat mereka sedang liburan ke Jogja. Terukir senyum di sudut bibir Reisya, dengan mata sayu ia kembali meletakkan foto itu di tempat semula.
Kemudian ia menggiring tubuhnya, berjalan membuka lemari baju yang tertutup rapi. Masih banyak baju – baju Nola yang tergantung disana. Tangan lentik Reisya menyibakkan satu persatu baju itu.
‘Kak, Kakak kemana sih. Apa salah Rei ke Kakak? Kenapa Kakak pergi begitu saja. Rei sayang banget sama Kakak. Rei juga ingin melihat Kakak bahagia.’ Reisya terus bermonolog, perang dalam batinnya terus menyelimutinya.
Kemudian Reisya kembali ke kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut sampai bagian dada.
Perlahan manik matanya mulai terpejam membawanya dalam tidur lelap.
Sampai datangnya pagi, Reisya masih tertidur pulas. Bu Widjaya sudah duduk di atas tempat tidur di samping Reisya. Ia berniat akan membangunkan sang putri yang akan segera pergi meninggalkannya.
“Rei.. Reisya, Sayang. Bangun yuk, Nak. Sudah subuh. Rei…,” ucap Bu Widjaya membangunkan Reisya dengan lembut sambil mengelus - elus kening Reisya.
Reisya yang merasakan sentuhan lembut dari Mamanya langsung membuka kelopak matanya perlahan. Lalu ia mengulas senyum saat di dapati sang Mama ada di depan matanya.
“Mama..”
“Iya, Sayang. Ini Mama. Bangun yuk, nanti kamu ketinggalan pesawat loh,” terang Bu Widjaya mengingatkan Reisya.
Reisya menggeliat, kemudian duduk sambil menggerak – gerakkan tangan dan juga kepalanya.
Lalu turun dari tempat tidur sembari menyambar handuk yang tergantung di kursinya. Sedangkan Bu Widjaya mengayunkan kakinya kembali ke dapur bersama Mbok Ana.
Satu jam kemudian Reisya tampak menuruni anak tangga sambil membawa koper berwarna biru muda di tangan kanannya, dan peacoat di lengan kirinya yang menenteng sebuah bag kecil berwarna hitam.
Ia segera bergabung bersama Papa dan Mamanya di ruang makan. Setelah beberapa menit kemudian Reisya pun berpamitan pada Mbok Ana. Karena pagi ini, Papa dan Mamanya ikut mengantarkannya ke bandara.
“Mbok, Rei pamit, ya. Do’akan Rei sehat, selamat sampai tujuan,” ucap Reisya sambil menggenggam kedua tangan Mbok Ana. Lalu memberikan sebuah pelukan hangat sebelum ia naik ke mobil yang akan di kemudikan oleh Pak Man.
“Ya sudah, Mbok. Jaga rumah baik – baik. Di kunci, hati – hati sama orang yang tidak di kenal,” pesan Bu Widjaya mengingatkan Mbok Ana.
“Iya, baik, Bu. Non Reisya, hati – hati ya. Semoga sukses sampai wisuda.”
Reisya pun tersenyum indah saat akan naik ke mobilnya. Kemudian Pak Man membawa mereka melintasi jalanan menuju bandara.
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Nola kembali ke rumah tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Dengan wajah datar dan sorot mata sinisnya, dia masuk ke dalam rumah. Dia melingukkan kepalanya saat melewati pintu ruang tengah.
Dia melihat ak Widjaya dan Bu Widjaya sedang berbicara.
‘Ternyata benar kata Om Hutomo, kalau mereka hanya mengincar harta kekayaan orang tuaku saja. Bahkan beberapa hari Aku menghilang, mereka tidak perduli. DASAR! Manusia bermuka dua!’ maki Nola dalam batinnya. Lalu dia menggiring langkah kakinya menaki anak tangga menuju kamarnya.
Sementara pak Widjaya dan Bu Widjaya masih di ruang tengah menunggu kabar dari seorang informan yang mereka tunjuk. Mereka tidak menyadari kepulangan Nola.
“Pa, gimana? Kenapa belum ada kabar juga, Mama sangat mengkhawatirkan Nola. Takut terjadi apa – apa dengannya,” resah Bu Widjaya.
Tiba – tiba terdengar suara dering dari ponsel pak Widjaya.
“Sebentar ya, Ma,” ucap ak Widjaya sambil mengangkat telepon yang masuk.
“Ya, hallo. Gimana, Hen. Sudah ada kabar terbaru?”
[“Hallo, Pak. Target sudah kembali ke rumah. Dan selama ini dia bersembunyi di mansion ak Hutomo.”]
“Oh ya?! Tapi saya tidak melihat anak saya sudah kembali.”
“Apa?? Nola sudah pulang?” sambar Bu Widjaya dan Pak Widjaya pun mengangguk pelan.
“Biar Mama ckeck ke kamarnya,” ucap Bu Widjaya berbisik sambil melangkahkan kakinya dengan perasaan senang.
“Oke, Hen. Kalau begitu terima kasih untuk informasinya. Jangan lupa besok temui saya di kantor,” titah Pak Widjaya sambil mematikan sambungan teleponnya.
[“Siap, baik, Pak.”]
percakapan pun berakhir.
Pak Widjaya pun segera menggiring tubuhnya menyusul sang istri ke kamar Nola.
Hati ak Widjaya pun ikut terharu saat melihat sang istri menangis bahagia sambil memeluk erat tubuh anak gadisnya. Kini Nola sudah kembali ke dalam pelukan mereka.
“Sayang, jangan pernah pergi lagi ya. Jangan tinggalin Mama sama Papa. Kami sangat menyayangimu, Nak,” ungkap Bu Widjaya sambil menciumi pipi Nola.
“Iya, Nola. Kami sangat mengkhawatirkan keadaanmu,” timpal Pak Widjaya.
Nola tidak menjawab apapun kata – kata mereka. Dia hanya diam seribu bahasa dengan tatapan kosong.
“Kami sudah mencarimu kemana – mana, bertanya sama teman – temanmu juga. Tapi hasilnya nihil. Tapi syukurlah, sekarang Kamu suah pulang ke rumah, Nak,” tutur pak Widjaya.
‘Dasar Penipu! Sebenarnya kalian hanya berpura – pura khawatir dengan keadaanku, padahal kenyataannya kalian tertawa bahagia dengan kepergianku,’ maki Nola dalam batinnya.
“Nola, Kamu sudah makan, Sayang?” tanya Bu Widjaya penuh perhatian.
Nola masih menatap sinis penuh kebencian kepada kedua orang tua angkatnya.
‘Nggak usah pura – pura baik kalian jika semuanya hanya kebohongan semata!’ cibir Nola dalm hati.
Bu Widjaya dan pak Widjaya merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Nola. Mereka dapat merasakan dari sorot mata Nola yang penuh amarah.
“Sayang, jika Papa dan Mama punya salah sama Kamu, katakan apa kesalahan Kami. Jangan buat Kami seperti ini.
Kami tulus merawat dan menyayangi Kamu, Nak. Sama seperti Reisya. Dan Kami tidak pernah membedakan kalian,” ujar ak Widjaya.
“Cih!! Masih merasa tidak punya salah?? Manusia jenis apa kalian! But.. it’s okay. Aku akan ikuti permainan sandiwara kalian.
Karena Aku juga akan memainkan peranku untuk menghancurkan kalian! Hahahaa,’ monolog Nola seraya tersenyum licik.
“Ma, Pa. Nola yang seharusnya minta maaf. Nola sudah membuat Papa sama Mama cemas. Nola janji, Nola nggak akan melakukan ini lagi, apalagi sampai membuat Mama menangis. Maafin Nola, ya,” sesal Nola sambil memeluk sang Mama seraya tersenyum sinis.
Akhirnya mereka berbaikan, walaupun semua itu penuh kepalsuan bagi Nola. Nola punya rencana besar untuk keluarga Widjaya.
“Nola juga mau minta maaf sama Reisya, Ma. Pasti dia sangat sedih, di hari bahagianya Nola justru pergi meninggalkan rumah.”
“Benar, Sayang. Rei sangat sedih. Bahkan saat dia akan kembali ke Prancis, Dia masuk ke kamar Kamu sambil menangis. Dia merindukan Kakaknya yang dulu,” terang Bu Widjaya.
“Iya, Ma. Ini semua salah Nola.”
“Ya sudah nanti Kamu telepon Rei, ya. Sekarang Mama sama Papa keluar dulu.”
“Iya. Beristirahatlah, Kamu pasti lelah, kan?” ujar Pak Widjaya. Nola pun mengangguk pelan.
Kemudian Bu Widjaya dan ak Widjaya segera keluar dari kamar Nola. Memberikan ruang dan waktu bagi Nola untuk beristirahat. Senyum bahagia pun menghiasi sudut bibir keduanya.
Nola kembali menutup pintu kamarnya dan menguncinya rapat – rapat. Lalu dia memutar tubuhnya.
‘Hahahaa….!!! Dasar bodoh!! Mudah sekali menipu kalian. Hanya dengan sedikit air mata kalian langsung percaya begitu saja. Ini baru permulaan, WIDJAYA!!’ pekik Nola dalam batinnya sambil menari – nari dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya.
Waktu berlalu, jam pun terus berputar. Kini tiba saatnya bagi Reisya untuk menyudahi pendidikannya di negeri Heksagon itu. Ia akan wisuda tiga hari kedepan. Pak Widjaya dan Bu Widjaya pun bersiap untuk terbang kesana.
Mereka juga mengajak Nola untuk ikut menghadiri acara wisuda Reisya. Namun dengan berbagai alasan Nola menolaknya.
“Nola, lusa Papa dan Mama akan pergi ke Prancis, menghadiri acara wisudanya Reisya. Kamu ikut, ya?” ajak Pak Widjaya.
“Um, maaf Pa. Bukan Nola nggak mau ikut. Tapi Nola masih ada pekerjaan yang harus Nola selesaikan.
Apalagi janji dengan client. Nggak bisa di batalkan, karena pekerjaan ini sangat penting dan melibatkan banyak orang. Masak iya, gara – gara kepentingan pribadi jadi banyak orang yang rugi,” kelit Nola menolak ajakan Pak Widjaya secara halus.
“Ya sudah kalau begitu. Papa bangga sama Kamu, lebih mendahulukan kepentingan orang banyak,” puji Pak Widjaya bangga.
“Siapa dulu Papanya,” ucap Nola kembali memuji sang Papa.
“Lagi ngomongin apa, sih? Ceria amat,” tanya Bu Widjaya sambil membawakan sandwich bakar sebagai teman bersantai.
“Nih, Nola. Dia nggak bisa ikut ke Prancis. Katanya ada pekerjaan yang nggak bisa di tinggalkan,” ungkap Pak Widjaya.
“Yah, kok gitu.. padahal Mama ingin sekalian ngajakin Kamu dan Rei jalan – jalan,”rengek Bu Widjaya.
“Ma, kapan – kapan ya. Kita masih punya banyak waktu. Nanti kalau pekerjaan Nola sudah selesai, kita bisa pergi sama – sama,” usul Nola.
“Ya sudah kalau begitu, Mama ngikut aja deh,” tukas Bu Widjaya.
Nola pun menyunggingkan senyum terpaksa. Terpaksa pura – pura menjadi anak yang baik budi demi kelancaran rencana besarnya setelah kepulangan Reisya ke rumah nantinya.
Nola pun pamit pada kedua orang tua angkatnya untuk keluar sebentar. Ada yang ingin di belinya.
“Ma, Pa. Nola keluar sebentar, ya. Ada yang mau Nola beli,” pamit Nola yang sudah menyandang tas kecil di pundaknya.
“Perlu Mama temanin, nggak?” tawar Bu Widjaya.
“Eh, nggak perlu Ma. Lagian Nola akan ketemuan sama temen dulu,” tolak Nola lembut.
‘Bisa repot gue kalau permpuan tua itu ikut,’ batin Nola mencibir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!