NovelToon NovelToon

Perjalanan Dan Takdir Cinta

Bab 1 - Selamat Jalan Ayah

(Hai Hai Hai.... terimakasih sudah mampir dalam novel PTDC ini, jangan lupa klik icon ❤ untuk menjadikan novel ini dalam kategori favorit, jadi akan ada notifikasi kalo udah up, Happy reading 🥰 )

***

Suara melengking itu berasal dari atap rumah setengah reyot, membuyarkan kerumunan para tetangga yang mulai berdatangan. Terkejut setengah mati, jantung berdentum-dentum seketika, tangan gemetar, air mata masih berderai mengalir deras, gadis itu hanya mampu terduduk lemas dipojok pekarangan sambil menengadah ke atap rumah. Dia menangisi kakaknya yang jiwanya tengah terguncang, tersengat kenyataan. Murod masih tidak mau menerima kalau laki-laki tua yang sakit-sakitan itu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.

“Abang turunlah!” Anindita melengis meminta sosok lelaki itu menghentikan perbuatan gilanya.

“Bapak! Bapak! Bapak!” suaranya melengking seraya matanya melotot kelangit lepas, dia sama sekali tidak menggubris permintaan adik perempuannya.

“Abang! ayo turunlah, sholatkan Bapak, malu sama tetangga Bang,” bujuk gadis belia itu lagi dengan suara parau.

Tetapi teriakannya makin menjadi-jadi, beberapa tetangga berbaik hati membantu menjemput paksa lelaki itu dari atap rumah. Suasana masih berkabung, tetapi kejadian ini harus diselesaikan. Ditangkapnya kaki Murod yang masih duduk berselonjor diatas retakan genting rumah yang sudah menghitam, tangannya sesekali memukul-mukul kepala. Penangkapan berlangsung tragis, genting-genting pecah berhamburan ke tanah. Hampir setengah jam, akhirnya Murod yang meronta-ronta bisa dipaksa turun.

Winah berlari memburu suaminya, para tetangga menyerahkan lelaki itu pada istrinya. Kemudian mereka Bergegas mengurusi pemakaman yang tertunda. Anindita bersimpuh di samping almarhum sambil menguatkan dirinya, membacakan doa-doa dan mengirimi Alfatihah. Suasana sudah sedikit kondusif, Murod sudah dibawa istrinya pulang.

Ketidakwarasan Murod bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba atau tanpa sengaja. Mungkin dia masih tidak percaya, ayahnya meninggal disebabkan dirinya. Kelakuannya kerapkali membuat orang tua yang sedang sakit itu menitikkan airmata. Lelaki itu kerap memukul istrinya yang sedang hamil muda. Beberapa kali kepergok sedang berjudi dan main wanita. Terakhir yang membuat lelaki tua itu bertengkar dengannya, ketika Murod ketahuan menjual tanah yang ditinggali orang tuanya sehingga serangan jantung akhirnya membuat lelaki pekerja keras itu pergi untuk selamanya.

Upacara pemakaman berjalan lancar, perlahan tetangga-tetangga meninggalkan rumah duka. Murod, tak menampakkan lagi batang hidungnya, mungkin sudah diberikan obat penenang oleh Winah istrinya. Gadis belia itu menumpahkan segala beban dengan berurai airmata. Tersayat perih batinnya, mengingat rumah reyot itu harus ditinggalkan segera.

Ditengah sedu, seseorang muncul dari balik pintu. Winah datang kembali dengan mata sembab. Malang sekali wanita itu harus berjodoh dengan lelaki seperti Murod. Anak lelaki yang sudah dianggap seperti anak kandung sendiri oleh Bu Wanti dan suaminya. Seseorang yang ternyata tidak bertanggungjawab terhadap keluarganya.

Anindita, tak mampu berbuat banyak, hanya iba kepada wanita berparas jelita itu. Ternyata kebahagiaan tidak dijamin oleh tampang yang rupawan saja. Murod buktinya, kegagahan fisiknya tidak bisa menjadikan akhlaknya seindah wajahnya yang selagi lajang menjadi perhatian semua gadis desa.

"Gimana Murod Nah?" suara Ibu Wanti terdengar berat.

"Sudah winah kasih obat penenang Bu," jawab Winah.

"Maafkan suamimu Nah, semoga kandunganmu baik-baik saja," ujarnya sambil terisak.

Kedua wanita malang itu terus saling menguatkan, saling menasihati, saling mendukung. Betapa berat beban yang harus mereka pikul. Mulai hari ini, Bu Wanti harus kehilangan suami dan tempat tinggal. Sementara Winah, tanpa bapak mertua kesayangannya lagi, tak tahu siapa yang akan menolongnya dari amukan tangan besi suaminya itu.

Anindita sengaja memisahkan diri, masuk ke dalam bilik bambu, mengunci pintu rapat-rapat, butuh kejernihan pikiran untuk memulai lagi hidupnya. Kini, dia yatim. Tinggal satu semester lagi, sekolah menengah ini harus diselesaikannya.

“Winah, Bapak sudah ga ada, tanah dan rumah ini sudah suamimu jual, ibu tak punya pilihan lagi selain mengambil tawaran itu, ibu titip Anindita sampai sekolahnya selesai," suaranya begitu lemah.

“Ibu jadi mengambil tawaran menjadi pembantu rumah tangga di ibukota itu?” tanya Winah memastikan.

“Iya, selagi ada kesempatan, kemarin Ibu tolak tawaran itu karena masih mau menjaga bapak, tetapi, " kalimatnya tersendat, genangan itu kembali menganak sungai membasahi pipinya yang mulai keriput.

“Winah berjanji akan menjaga Anin, semampu Winah Bu." Wanita itu merangkul Bu Wanti.

“Ibu kapan berangkat? Anin sudah tahu?” tanya Winah.

“Sesegera mungkin setelah semuanya selesai, Ibu akan segera kasih tau adikmu itu,” jawabnya lirih.

Percakapan mereka berlanjut sampai larut, pada hari kematian lelaki tua yang disayanginya, mereka harus menelan luka yang bertubi-tubi. Dalam kondisi yang tidak memiliki tempat tinggal, Ibu Wanti akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota, mengumpulkan sepeser rupiah untuk menyambung hidupnya dan untuk menyelsaikan biaya sekolah Anindita yang sudah menunggak lama.

***

TERIMAKASIH SUDI MAMPIR DIMARIIIII

JANGAN LUPA KOMEN, LIKE DAN VOTE NYA...

TERUS PERGI KE HALAMAN DEPAN DAN BERIKAN BINTANGNYA YA... 😍😍😍

Bab 2 - Menghilang

Tepat pukul sebelas malam, Winah pamit pulang. Bu Wanti segera berbenah, memasukkan semua pakaian dan barang-barang seadanya. Tetapi tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan panik Winah yang terdengar samar dari depan rumahnya.

"Tolong! tolong! darah! darah!" suara paniknya memekik keras.

Anindita dan ibunya setengah berlari, memburu pintu. Mereka berlari dalam gelap menuju kediaman Winah yang hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggalnya. Beberapa tetangga pun berhamburan menuju rumah Winah.

"Tolong! darah! Murod!" suara Winah berteriak tersendat sendat sambil gemetar, wajahnya pucat pasi, sambil tetap melongo di depan pintu.

Ibu memburu dan memeluk menantu kesayanganya itu. Ditepuk-tepuk bahu Winah sambil dipeluknya sosok wanita yang rapuh itu.

“Anin, tolong ambilkan air buat kakakmu,” pintanya.

“Iya Bu,” bergegas Anindita menuju ke dalam rumah kakaknya itu.

Tiba-tiba wajahnya terkesiap memanas, rupanya benar berceceran darah segar di ruang tengah, terus tembus ke pintu belakang yang terbuka. Dia memberanikan diri menghampiri pintu belakang mengikuti jejak darah yang tercecer, sudut matanya mencari ke setiap sudut ruangan, mencari sosok yang mungkin terkapar. Tapi tidak ada siapapun disana.

"Anin!" suara Ibu beteriak, memanggilnya dari luar.

“Iya Bu, sebentar,” segera dia mengambil gelas kosong dalam rak dan mengisinya.

Berjalan cepat bahkan setengah berlari keluar, meninggalkan kondisi dalam rumah yang mencekam. Segera Ibu minumkan air bening yang diterimanya kepada Winah yang masih belum mampu bercerita apa- apa. Beberapa tetangga sudah merangsek masuk ke dalam rumah.

Beberapa laki-laki membantu pencarian, mereka menggunkan lampu senter seadanya, menelusuri lahan kosong dibelakang rumah Winah. Jejak darah segar itu bercecer tembus melewaati pintu belakang, percikannya tersisa pada jalan setapak di lahan kosong belakang rumah. Pencarian akhirnya terhenti karena jejaknya berakhir ditepi sungai. Sosok Murod tidak bisa ditemukan.

"Apa? Murod tidak ditemukan?" Suara Ibu Wanti memekik, wajahnya penuh kecemasan, bulir bening berderai, menangisi nasib putra angkatnya yang salah jalan.

Raut muka Winah sudah tidak bisa digambarkan, kusut, semrawut, tak ada lagi sinar kebahagiaan. Malam itu, duka kedua tak terelakkan menimpa. Kehilangan dua orang lelaki dalam silsilah keluarga. Sepertinya kepergian Ibu Wanti tertahan beberapa hari. Winah tidak bisa ditinggal sendirian dalam kondisi seperti ini. Dan bayi malang dalam kandungannya butuh ketenangan untuk berkembang dengan baik.

Bapak ketua RT menghampiri Winah yang terlihat masih begitu syok. Beberapa tetangga juga berkerumun dan mencoba menenangkan.

“Winah, apakah suamimu sedang terlibat masalah dengan orang lain?” Pak RT mencoba mendapatkan informasi.

“Masalah?” seolah Winah berbicara dengan dirinya sendiri, sementara itu pikirannya melayang mengingat-ingat kejadian hari itu. Murod terlalu banyak musuhnya di meja judi.

“Pernah beberapa pekan kebelakang, sekelompok orang mencarinya kesini pak RT, mereka menagih hutang judi, beruntung hari itu dia sedang pergi, dan hanya saya yang ada dirumah,” jawab Winah.

“Apakah dia dari geng Jagat Kampung?” lanjut pak RT.

“Saya tidak tahu, tetapi tampang mereka membuat Saya bergidik, tatapan matanya penuh aura membunuh. ” Tak terasa bulu kuduknya berdiri ketika membayangkan kelima orang tinggi besar yang berwajah sangar itu.

“Besok pencarian kita lanjutkan, kami akan membantu sebisanya, semoga orang-orang yang bermasalah dengan suamimu bukan dari geng itu, kalau iya, tipis harapan untuk kami menemukannya apalagi dalam keadaan hidup-hidup, "ujar Pak RT.

“Sekarang sudah terlalu larut, kami pulang dulu,” ujar Pak RT disusul beberapa warga juga berpamitan padanya.

Sudah seminggu warga kampung membantu mencari Murod, tetapi jejaknya lenyap bak ditelan bumi. Hanya kemejanya yang ditemukan terapung, tersangkut akar ditepi sungai. Tak ada jejak kehidupan yang ditinggalkannya, tidak juga tanda-tanda kematian. Semuanya akhirnya merelakan untuk menghentikan pencarian. Winah sudah belajar menerima keadaan jika dia harus menjaga dan merawat bayi yang dikandungnya sendirian.

Happy Reading...

Selalu LIKE, KOMEN dan VOTE nya ya 👍👍👍

Bab 3 - Menyambung Hidup

Kemiskinan ini sumber dan kunci utama kakak laki-laki satu-satunya yang Anindita miliki menghilang, ayahnya meninggal, ibunya pergi merantau mencari sepeser rupiah untuk bertahan. Winah kakak iparnya harus menjadi janda dengan kondisi perut yang terus membesar, bayi yang dikandungnya kehilangan sosok ayah. Deraian airmata selalu menemaninya setiap hari. Beberapa bulan pertama Anin dan Winah seperti terlunta-lunta, terkadang hanya makan nasi sisa. Perjuangan masih baru dimulai.

Dengan berat hati, Anindita dan Winah melepas kepergian Bu Wanti. Betapa tanggungjawabnya menyingkirkan rasa kekhawatiran Bu Wanti terhadap gadis bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Berlalu meninggalkan menantu yang tengah hamil besar hanya tinggal berdua dengan putrinya yang masih belia.

Anindita sudah mulai terbiasa hidup jauh dari ibunya. Berfokus pada sekolah, berjuang semampunya untuk tetap mendapatkan prestasi terbaik di sekolahnya. Tekadnya menguat sekeras baja, menembus dinding-dinding ketakutan. Sebuah kekuatan tekad untuk membangun kehidupan masa depan yang lebih baik.

Beberapa bulan lagi sertifikat kelulusan akan didapatkan, setelah itu tanggungjawab yang besar akan segera datang. Bayi itu akan lahir tanpa seorang ayah, hanya ibu yang jiwanya masih terguncang.

Setiap hari, Anindita membantu Winah mencari penghasilan semampunya. Biasanya sebelum atau sepulang sekolah dia berjualan gorengan, atau membantu tetangga yang butuh tenaga cuci setrika. Semampu yang dia bisa, sedikit menabung untuk iuran sekolah yang sudah menunggak berbulan-bulan jika kebetulan ada sisa lebih dari makan.

Bayi itu lahir, menangis, meronta, tak ada sosok ayah yang mengadzankannya. Keluarga Winah tak satupun yang berkunjung, betapa kesalahannya memilih Murod telah melukai hati keluarga besarnya yang terhormat di pulau sumatera. Kini, pedih, pahit, semuanya harus di telan sendiri. Bayi laki - laki itu dinamai Rizki Sholeh, tumpuan harapan ibundanya menjadi seseorang yang berlimpah dan berbakti. Anindita sesenggukan tak bisa menahan pilu ketika Pak RT mengadzankan Rizki. Keponakan tersayangnya.

Kelulusan tiba, tak ada seorangpun yang menghadiri acara wisuda. Sendirian, menguatkan jiwa, kenyataan memang tak seindah mimpi. Sehelai Ijazah sebagai tanda bukti kelulusan kini ditangan, sehelai kertas ini harus ditebusnya dengan pinjaman Bu Wanti kepada majikannya yang harus dicicilnya selama berbulan-bulan.

Setelah pembagian ijazah selesai, Anindita bergegas pulang. Dia harus menggantikan Winah mencuci dan menyetrika beberapa bak pakaian tetangga. Daki-daki itu berarti, tanpanya mereka tidak tahu akan makan apa. Sementara itu bayi Rizki masih tertidur nyaman di ayunan.

"Kak, istirahat dulu, biar aku gantikangantikan." Pinta Anin sambil duduk di samping Winah.

"Kamu makan dulu Nin," ujarnya lemah.

"Anin sudah makan Kak, di sekolah ada teman yang bagi-bagi nasi kuning, Anin bawakan satu buat Kakak," ucapnya sambil memberikan sekantong plastik hitam berisi makanan.

Setiap hari pekerjaan mereka hanya membunuh waktu. Penghasilan yang didapat terkadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Satu bulan sudah berlalu dari kelulusan, bayi Rizki pun tumbuh membesar meski dengan asupan gizi yang pas-pasan. Setiap malam Anindita memutar otak, mencari cara untuk terlepas dari semua kemiskinan yang membelit kehidupan mereka. Hidup kekurangan itu melelahkan.

Dia menatap selembar ijazah yang didapat dengan perjuangan yang begitu mahal. Akhirnya dia membulatkan tekad, akan menyusul ibunya ke kota untuk mencari pekerjaan. Setidaknya bisa menyisihkan lebih banyak uang untuk Rizki. Bayi kesayangan yang menguras tangis dan iba setiap malam.

“Kak, jaga diri dan Rizki baik-baik, Anin harus berjuang untuk kehidupan kita." Anindita dengan yakin, menatap kakaknya.

“Kamu sudah memutuskan untuk pergi menyusul ibu?” Winah memastikan kembali.

“Iya Kak, Anin mau mencoba memutar roda kehidupan kita, kakak doain ya,” jawab Anin dengan yakin. Winah mengangguk seraya memeluk tubuh gadis mungil itu dengan tulus.

Keesokan harinya, gadis berambut ikal itu sudah meluncur diantar sepeda motor tua Romi. Romi seorang pemuda kampung yang selama ini cukup banyak membantu Anin dan Winah. Senyumnya terlihat getir ketika dia membiarkan sosok gadis manis itu berjalan memunggunginya. Sosok gadis yang disukainya dalam diam.

“Terimakasih Kak Romi, Anin tak kan lupa akan kebaikanmu selama ini. Hanya Allah yang mampu membalasnya Kak.” Anin membalikkan badan mengucapkan terima kasih kepada Romi.

“Hati-hati ya De di Jakarta. Semoga kelak bisa bertemu denganmu lagi,” ucapnya penuh harap, matanya tajam menatap wajah gadis manis yang ada dihadapannya.

“Dah Kak Romi,” ucapnya sambil melambaikan tangan, kemudian berbalik memunggungi Romi yang tertegun menatapnya.

Hiruk pikuk terminal yang ramai, akhirnya menyembunyikan sosok mungil Anindita dari penglihatannya. Udara sudah mulai memanas, semakin terik membakar kulit seperti suasana hatinya yang terbakar. Setelah sosok yang dikaguminya itu menghilang, pemuda itu bergegas pulang.

Romi seorang pemuda sholeh yang baik. Karena terlalu menghargai keputusan ibunya yang sudah memintanya bertunangan dengan anak pak lurah, akhirnya hanya mampu memendam rasa kagum dan sukanya terhadap gadis tangguh yang kini sudah menghilang. Terlalu tidak punya keberanian untuknya, baginya yang paling utama adalah kebahagiaan ibunya.

Bus warga baru melaju cepat meninggalkan hiruk pikuk terminal. Dengan bantuan Romi, dia sudah berkabar meminta ibunya untuk menjemputnya di pangkalan bus yang nantinya akan dia turuni. Keberuntungan berpihak ketika majikan Bu Wanti ternyata mengijinkannya untuk menumpang sementara selagi mencari pekerjaan.

Beberapa helai pakaian terbaik yang dia miliki, perlengkapan solat dan sebuah buku harian menjadi isi tasnya yang sudah kusam. Perih hatinya teriris, teringat almarhum ayahnya, nasib Murod yang belum diketahui rimbanya, Winah dan serpihan luka dihatinya, juga bayi Rizki yang belum mengenal pahitnya dunia.

Suara klakson kendaraan melengking, hiruk pikuk di terminal kampung Rambutan menelan tubuh imutnya. Rambut ikalnya yang terkuncir ekor kuda kini bersimbah keringat, perut sudah berteriak meminta makan. Berjalan perlahan sambil celingukan, mencari sosok ibu yang sudah lama dirindukannya.

Sudah setengah jam wara wiri mencarinya, tapi belum juga menjumpai sosok itu. Akhirnya kaki-kaki lelahnya terhenti pada sebuah mushola. Terduduk lesu tak bertenaga, bagaimana kalau wanita itu tak dia temukan. Tak ada alat komunikasi apapun yang dimilikinya saat ini. Gadis itu sudah benar-benar menyerahkan pertemuan itu pada takdir.

"Anin!" suara lembut yang lama tak terdengar, tiba-tiba muncul dari belakang.

Anin berbalik perlahan, wajah itu tak asing lagi. Sontak dipeluknya dengan erat tubuh yang sangat dirindukannya itu, dia meluruhkan tumpukkan lara. Bu Wanti tersedu, airmatanya mengalir membasahi ubun-ubun putri kesayangannya. Melihat wajah lelah putrinya saja sudah membuat dinding pertahanannya ambruk. Belum lagi membayangkan bagaimana selama ini dia bertahan hidup tanpanya. Tanpa seseorang yang melindunginya. Akan tetapi Bu Wanti cepat menguasai keadaan. Ditenangkannya putri kesayangannya itu. Disodorkannya sekotak nasi yang dibawanya. Nasi dengan lauk pauk yang sengaja disiapkannya. Betapa rindunya dia menatap putrinya menyantap masakannya.

"Anin udah sholat? atau mau langsung makan?" ucapnya pelan, menyejukkan.

“Aku sholat dulu Bu,” jawab gadis itu sambil bergeges menuju tempat wudhu perempuan.

Wanita itu hanya menatap punggung ringkih putrinya. Hatinya menangis, betapa tubuh kurus itu menggambarkan seberapa berat beban yang dia rasakan selama ini. Setelah menyelesaikan sholat, gadis itu kembali menghampiri ibunya.

“Lekas makan!” Bu Wanti membukakan kotak makanan yang dia bawa.

“Wah, banyak sekali Bu lauknya.” Mata polos Anin berbinar menatap hidangan termewah yang dia dapatkan.

“Ibu sengaja masak buat kamu, ayo habiskan.” Bu Wanti menegarkan hati agar tetesan itu tak merusak kebahagiaan anaknya menyantap hidangan langka yang mungkin sudah begitu lama tak pernah dia makan.

Anindita dengan lahapnya makan, mengisi perutnya yang sedari tadi keroncongan. Tapi baru setengah dia menghabiskan makanan itu tiba-tiba dia menutup wajahnya. Suara senggukan lirih terdengar membuat Bu Wanti menjadi khawatir.

“Kenapa Nin?” Sambil merangkul bahunya dari belakang. Dibiarkannya hingga tangisnya mereda.

“Aku makan enak disini, tapi Kak Winah sama Rizki entah makan apa hari ini.” Sontak jawaban gadis itu membuat hati Bu Wanti terkoyak. Tetapi dia harus mempu menenangkan putrinya.

“Anin kan datang kesini biar bisa sukses, nanti bisa belikan Kakakmu dan Rizki makanan apapun yang mereka mau,” ujar Bu Wanti yang berusaha menutupi kesedihannya.

“Ayo bergegas, majikan ibu menunggu dalam mobil," ujar Bu Wanti lagi, Anin bersegera menghabiskan makan siangnya.

Majikan Bu Wanti seorang wanita setengah baya yang rupawan. Senyumnya begitu ramah, tatapan teduh nya menyirami ketakutan Anin akan sosok orang baru. Anin dan Bu Wanti menghampirinya ke parkiran. Kaca belakang terbuka setengah.

“Anin ya, ayo masuk, duduk didepan saja biar Faisal tidak mengantuk," ucapnya, terlihat senyum tulusnya.

Sosok seorang laki-laki bertubuh tinggi, berwajah tampan keluar dari pintu belakang kemudi. Sesuatu yang membuat dia tertegun sejenak, karena sosok itu begitu mirip dengan Murod, kakaknya yang hilang. Dia membukakan bagasi untuk menyimpan barang-barang bawaan Anin. Kemudian membukakan pintu depan, agar gadis itu segera masuk ke dalam mobil mewahnya.

“Saya Faisal, supir pribadi nyonya, " ucap lelaki itu sambil tersenyum.

“Oh supir nyonya? saya Anin," ucap Anin dengan polosnya membuat ibunya yang duduk di belakang menegurnya.

“Anin, dia itu Pak Faisal, putranya nyonya,” ujar Ibu Wanti menjelaskan.

“Maaf Pak,” Anin terkesiap kaget.

“Hahaha, tapi sekarang saya supir lho, oh iya saya masih muda, belum Bapak-Bapak, panggil saja abang,” ucapnya sambil tertawa.

“Baik Bang, " jawab Anin sambil menunduk.

Entah seberapa jauh perjalanan, Anin terlelap tanpa sadar. Bukan terbuai ketampanan Faisal akan tetapi sentuhan lembut AC dan empuknya kursi yang didudukinya membuat matanya kalah tak berkompromi.

Akhirnya mereka tiba di kediaman bu Windarti. Ketika membuka mata, Anin sudah berada diparkiran sebuah rumah mewah, halaman luas tertata indah, pepohonan buah-buahan rimbun mengelilingi tepian pagar, pot-pot anggrek tergantung megah, rumpun melati tertata rapi. Bu Wanti mengajaknya memasuki rumah itu. Bagi Anin, itu serasa mimpi, mungkin ini seperti istana dalam mimpi, terlalu jauh berbeda dengan gubuk reyot yang ditinggalinya di desa.

Bu Wanti menempati satu kamar di belakang, pintunya menghadap ke teras belakang yang terhubung langsung dengan dapur terbuka yang indah. Sisi terburuk rumah in masih jauh lebih indah daripada rumah kayu yang ditinggalinya dulu.

Teriris pedih perasaan Anin, kasur empuk itu justru melukai hatinya. Jiwanya menjerit, teringat Winah dan Rizki yang kini tengah tergeletak dibalai-balai rumah sederhanya dengan kasur busa yang sudah mirip tikar tipisnya.

Tekadnya membulat untuk segera mendapatkan pekerjaan, menyewa rumah di kota, kemudian menjemput Rizki dan Winah untuk tinggal bersamanya. Kemudian entah apa yang melayang dalam pikirannya, lelah perjalanan menghempas semua kesah, dia terlelap tanpa tahu kalau ibunya sedang bersusah payah, kembali menyelesaikan pekerjaan rumah.

GAESSS ditunggu LIKE, KOMEN dan VOTE nya ya... Terima kasih and Happy readings.

😇😇😇

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!