NovelToon NovelToon

Mantan Suamiku Kekasih Sahabatku

BAB 1

"Mei, kenalin mas Hendi calon suamiku." Aku meletakkan ponsel yang sedari tadi menyita perhatian dan mendongak ke arah calon suami

Siska sahabatku.

Aku bangun dan mengulurkan tangan, tapi, sesaat kemudian aku di buat tertegun. Hal yang sama tampak padanya. Pria itu terkesiap saat melihatku.

"Kalian kenapa? kayak kaget gitu?" Tanya Siska heran.

Senyum aku paksakan sambil mengatur rasa hati, Hendi Raditia namanya. Pria yang

tujuh tahun lalu menjadi suamiku.

"Mei" ucapku pelan.

"Hendi" balasnya. Segera kutarik tanganku perlahan.

Siska kemudian bergelayut manja di tangan pria itu.

"Kami memang belum lama kenal, tapi karena sudah merasa cocok, ya kami putuskan segera menikah saja." Jelas Siska padaku.

"Ya, lebaih baik begitu." Responku, masih tetap mencoba tersenyum.

"Sis, aku ada urusan lain. Aku duluan nggak apa apa kan? Sampai ketu hari senin ya."

Aku mencium pipi kanan kiri Siska, tanpa menunggu jawabannya aku beranjak.

"Kok buru-buru sih?"

"Next time lah, tiap hari juga ketemu. Mas Hendi saya permisi duluan." Pamitku pada Mas Hendi.

Mataku mengembun seketika, luka ini sudah cukup lama, tapi sakitnya masih begitu terasa.

Aku menarik nafasku dalam dengan perlahan menghembuskannya. Tetap saja sesak di dadaku.

Pria itu, menikahiku karna paksaan orang tuanya. Mencoba menhalani hidup berumah tangga tanpa adanya cinta. Tak menunggu waktu lama, tepat enam bulan dia menceraikanku, meninggankanku dengan beribu luka yang menganga. Permintaan maaf mertuaku tak cukup menghapus perbuatan anak lelakinya itu.

Aku dan keluargaku merasa sangat dipermalukan. Kami memilih pindah dari kota itu. Disinilah aku sejak tujuh tahun yang lalu, mencoba bangkit dari keterpurukan dan mengubur luka. Menjadi janda di usia muda, sekarang umurku telah beranjak dua puluh tahun.

Orang tuaku dan orang tua Mas Hendi adalah teman akrab. Aku setuju dengan perjodohan itu, karena jujur aku telah lama menaruh rasa pada Mas Hendi, tapi tidak sebaliknya.

Mas Hendi sudah memiliki pacar waktu itu, setelah enam bulan menikah, tak ada perkembangan dalam hubungan kami.

Dia meninggalkanku, pergi membawa separuh jiwa, asa, dan membawa pergi separuh hidupku. Dia pergi meninggalkan luka yang menganga, luka yang sangat dalam, dan benih dalam rahimku. Aku benar-benar hancur waktu itu, bahkan luka itu masih kurasakan sampai sekarang. Sejak saat itu, aku mati rasa, tak percaya akan cinta.

Aku hidup untuk anakku Sarah, anak yang sedari lahir tak mengenal sosok bernama ayah.

"Yah" aku tau malam itu Mas Hendi pulang dengan aroma alkohol yang menguar dari mulutnya. Dia dalam keadaan mabuk, walaupun aku istrinya, aku sempat berusaha melarang, tapi semua terjadi begotu saja.

Bukan permintaan maaf yang ku dapat esok harinya, malah tumpukan kekesalannya padaku. Aku masih terlalu polos dan naif. Hanya bisa menangis, menerima segala perlakuannya.

Hingga hari itu tiba, dia mengembalikanku pada kedua orang tuaku. Untuk memilih melanjutkan hubungan bersama kekasihnya.

Hampi gila, saat aku berada di posisi itu. Aku rapuh dan hancur, beruntung keluargaku selalu mendukungku. Seorang bayi perempuan lahir dengan sempurna, cantik dan menggemaskan. Dia yang menjadi penyemangatku sampai sekarang. Aku kembali meneruskan kuliahku setelah melahirkan, dan memulai kehidupan baruku.

Sekarang, setelah tujuh tahun terlewatkan, kenapa kami harus kembali di pertemukan. Dan kenapa harus Siska, dia sahabat terbaikku, aku sangat menyayanginya. Kenapa aku tak rela bila Siska bersama pria itu. Aku takut sahabatku mengalami hal yang sama denganku, dan terluka olehnya.

"Mei"

Aku menoleh ke sumber suara, nafasku terdengar kasar. Kenapa dunia sempit sekali, aku sedang belanja keperluan Sarah.

Dia terlihat sendiri, mendorong sebuah troly.

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya kemudian.

"Mei, baik-baik saja" jawabku tanpa melihatnya.

"Mas hampir tak mengenalimu kemarin" ucapnya.

Aku tersenyum masam.

"Iya lah Mas, pasti Mas sudah tak pernah ingat aku lagi" jawabku ketus.

"Bukan, bukan begitu, kamu terlihat berbeda, semakin dewasa dan cantik"

"Mei buru-buru, permisi" ucapku beranjak menjauh darinya.

Tak banyak yang berubah darinya, tetap tampan dan mempesona. Wajar bila Siska langsung jatuh hati pada Mas Hendi. Tapi, apa dia juga mengenal pribadi pria itu. Cukuplah aku yang terluka, jangan sampai Siska sakit hati bila tau semua tentang Mas Hendi.

Tapi kami sudah tak bertemu selama tujuh tahun, mungkin saja dia sudah banyak berubah. Entahlah, yang jelas, kehadirannya kembali di sekitarku membuat hatiku tak nyaman, apalagi tenang.

"Kamu serius? Mau secepatnya nikah?" Tanyaku hati-hati saat menikmati makan siang di kantin samping kantor.

Siska mengulum senyumnya, telihat sekali kalau dia sedang jatuh cinta.

"Tak ada alasan untuk menundanya lagi kan?"

"Kamu sudah mengenal dia dan keluarganya?"

"Belum sih, tapi Mas Hendi minggu depan mau ngajak aku kerumahnya, kenapa kayak gak suka gitu?" Tanya Siska padaku.

"Bukannya nggak suka, cuma, kalian kan belum lama kenal. Wajar kan, sebagai sahabat dekatmu, aku jadi cemas" jawabku.

Siska tersenyum, kemudian memelukku.

"Kamu sahabat terbaikku" ucap Siska.

Lepas istirahat makan siang, kami kembali dengan pekerjaan kami. Banyak laporan yang harus ku kerjakan.

Hujan mengguyur sedari sore tadi, aku turun ke lobby, banyak karyawan sedang menunggu hujan reda. Siska masih mengerjakan laporan yang baru diminta Pak Fendy untuk bahan meeting besok. Ku sapukan pandangan mencari somad, security yang bertugas malam ini. Biasanya, dia akan mengantarku dengan payung sampai mobilku.

"Butuh payung?" Dia lagi.

"Siska masih ada kerjaan, mas tunggu aja" ucapku, tak menjawab pertanyaannya.

"Iya, mas tau, mas antar sampai mobilmu?"

"Nggak usah makasih" jawabku, acuh.

Baru beberapa langkah, aku terpeleset lantai yang licin. Mas Hendi menangkapku, hingga aku terselamatkan. Tak urung teriakanku mengundang banyak pasang mata melihat ke arahku.

"Hati-hati" ucapnya.

"Mei, kamu ngapain?" Suara Siska cukup mengagetkanku. Aku buru-buru melepaskan diri dari Mas Hendi.

Jelas Siska melihatku dengan tatapan berbeda, entah apa yang dipikirkannya.

"Lantainya licin, Mei terpeleset hampir jatuh" jelas Mas Hendi.

Siska melihat ke sekitar, lantai memang basah bekas jejak sepatu. Terlihat Susi datang dengan alat pel dan ember.

"Hati-hati" ucap Siska kemudian.

Aku memaksa senyumku.

"Mad, antar mbak ke mobil!" Seruku saat melihat somad, security yang ku cari dari tadi. Pelan kaki melewati lantai yang baru akan di bersihkan Susi itu.

"Aku duluan ya?" Pamitku ke Siska.

"Hati-hati" pesannya lagi.

Sekilas aku melihat ke arah Mas Hendi yang belum melepas pandangannya dariku.

Somad mengantarku sampai di mobil, walau masih sedikit basah juga, saking derasnya hujan.

"Makasih Mad, besok ya" ucapku sebelum membuka pintu mobil.

"Iya mbak Mei, kayak siapa aja, hati-hati mbak, jalan licin" pesannya padaku.

"Makasih ya, duluan" pamitku lagi.

Pelan kulajukan mobil menembus derasnya hujan. Kacau sekali hatiku saat ini, mencoba tetap tenang karena masih di jalan. Sampai di rumah, hujan juga masih deras mengguyur.

BAB 2

"Assalamualaikum" salamku saat memasuki rumah.

Suara khas Sarah menyambutku, gadis kecil itu sedang belajar dengan neneknya. Setelah menyapanya sebentar, langkah menuju ke pintu kamar. Segera membersihkan diri dan melepas penatku dengan air hangat.

Setelah mandi, segera menjalankan ibadah, baru keluar menemani Sarah belajar. Gadis kecil ku itu baru saja masuk sekolah dasar. Untuk ukuran kelas satu sekarang, pelajarannya sudah setara denganku saat kelas tiga sepertinya. Celoteh lucunya saat bercerita tentang aktivitasnya hari ini menjadikan mood bagiku.

"Sarah bobo aja, kan tugasnya dah selesai" ucapku, saat melihat gadis kecilku itu menguap beberapa kali. Setelah membereskan bukunya, Sarah menuju kamar dengan menggandengku.

"Mimpi indah sayang" ucapku sambil menutupi tubuh mungil itu dengan selimut motif kartun kesayangannya, ku usap lembut kepala gadis kecil itu.

Kutatap wajah mungil yang kini terlelap itu. Ku gigit bibirku, hatiku tiba-tiba terasa perih, sangat perih. Dadaku begitu sesak terasa, apalagi saat mengingat pertanyaan yang sering dia lontarkan akhir-akhir ini. Saat dia mulai mengerti silsilah keluarga, dia selalu bertanya, kenapa dia tak memiliki seorang ayah.

"Ayah Sarah sudah di syurga" jawabku, tak peduli dia masih hidup atau sudah mati, karna bagiku sosok itu sudah mati. Tapi, kenapa kami harus di pertemukan kembali dalam situasi seperti ini. Aku menutup rapat masa laluku, bahkan dari Siska sekalipun. Sepengetahuan Siska, ayah Sarah meninggal saat aku mengandung Sarah. Itu yang aku ceritakan padanya saat kami mulai dekat sewaktu kuliah dulu.

Bagaimana perasaan anakku dan juga orang tuaku saat tau Mas Hendi lah yang akan menjadi suami Siska sahabatku. Ini tak mudah bagiku, sangat tak mudah. Luka yang telah lama aku pendam, kini kembali bersama rasa perihnya hatiku. Menjadi single parent tidaklah mudah, apalagi saat Sarah mulai bertanya tentang sosok ayahnya.

"Bagaimana dia?"

"Seperti apa rupanya?"

"Apakah ayahnya sayang padanya?"

Hingga dia menemukan foto pernikahan yang kusimpan dalam gudang, beberapa bulan lalu. Wajah pria itu melekat pada wajah putriku, matanya, hidungnya, mirip seperti Mas Hendi. Apa yang akan dia rasakan saat tahu, pria dalam foto yang sekarang terpasang di atas mejanya itu ternyata masih hidup, dan akan menikah dengan tante kesayangannya.

Apa yang akan kujelaskan padanya, tak mungkin aku katakan ayahnya tak tau tentangnya, ayahnya tak mengharap kehadirannya, ayahnya tak pernah mencintai namanya. Bagaimana caraku menjelaskan pada gadis mungilku ini. Dadaku semakin terasa sesak, akan lebih baik aku tak bertemu kembali dengan pria itu sampai akhir hidupku.

"Siska, apa yang harus ku katakan padanya?"

Jujur padanya itu tak mudah, aku juga tak ingin Mas Hendi tahu tentang Sarah, dia anakku satu-satunya. Tapi, saat Sarah melihat Mas Hendi, dia pasti mengenali ayahnya itu. Siska juga sedang jatuh hati dengan Mas Hendi, itu akan sangat tidak baik bagi hubungan kami.

Tapi kalau tidak kuceritakan yang sebenarnya, rasanya seperti menggenggam sebuah bom waktu, yang bisa meledak kapan saja, dan melukai banyak orang di sekitarku. Apa pun langkah yang aku ambil, tak ada satupun efek yang baik untukku.

Pandanganku melekat ke arah foto di atas nakas. Pria itu bahkan tanpa senyum saat itu, dan aku seperti gadis polos yang naif, yang berharap seperti kata pepatah jawa, 'tresno jalaran soko kulino'. Berharap Mas Hendi bisa menerima dan mencintaiku seiring waktu, walau pada kenyataannya dia membuangku.

Aku mati rasa sejak saat itu, sejak dia memulangkan kembali diriku pada kedua orang tuaku. Menalak tanpa mempertimbangkan sedikitpun perasaanku. Tak pernah peduli betapa hancurnya hati ini, betapa terinjak harga diri dan martabat keluargaku. Dia pergi tanpa merasa bersalah sedikitpun. Bahkan, sampai kemarin dia tak terlihat seperti orang yang telah meninggalkan luka.

***

"Desta pemuda yang baik, dari keluarga baik-baik juga. Dan yang pasti, mereka mau menerima segala kekuranganmu" ucap ibuku.

Tiga bulan terakhir ini, kembali sebuah perjodohan dihadapkan padaku. Masih keluarga jauh dari ibuku, beberapa kali bertemu, tak ada yang kurang secara fisiknya, cukup tampan, walau tak setampan Mas Hendi. Mapan dalam finansial dan pekerjaan. Sosok yang dewasa, terlihat sabar dan penyayang.

Hanya saja, sedikitpun tak ada getaran dalam dada ini saat bersamanya. Kami menganggap hanya sebatas sahabat saja. Sudah berusaha mencoba, tetapi tetap sama.

"Mei, masih trauma bu" jawabku.

"Mau sampai kapan? Jangan menyiksa diri sendiri. Ingat, kami tak bisa selamanya denganmu, kamu harus memiliki pendamping yang bisa menjagamu dan juga Sarah." Terlihat pengharapan di wajah cantik yang mulai mengeriput itu.

"Iya bu, Mei akan mencoba untuk belajar membuka hati" jawabku, tak ingin membuatnya mencemaskanku.

Ragu dalam hatiku, aku ingin bercerita tentang Mas Hendi, tapi pasti akan menjadi beban pikiran mereka. Sepertinya harus segera mencari jalan keluar, sebelum Mas Hendi mengacaukan hidupku kembali.

***

Kehadiran Mas Hendi membuat fokusku dalam bekerja berantakan. Jujur atau diam, sama-sama tak menguntungkan bagiku, berpengaruh buruk pada hubunganku dengan Siska. Sahabatku itu sedang di mabuk cinta, tak mudah bicara pada wanita yang sedang jatuh cinta.

"Mei, aku makan siang di luar ya! Mas Hendi ngajak keluar, mau ikut nggak? Soalnya dia juga nawarin, kalau kamu mau ikut." Ucap Siska, menarik kursi dan duduk di depan mejaku.

"Hmm, suruh jadi obat nyamuk hehee" jawabku tertawa kecil.

"Nggak lah, aku di kantin sebelah aja"

"Mas Hendi nanya-nanya tentang kamu, katanya kamu mirip tetangganya dulu. Kamu pernah tinggal di Jogja kan Mei? Mungkin beneran tetangga kamu dulu" cerita Siska.

Hatiku mulai tak nyaman, Mas Hendi mulai mengorek informasi tentangku ternyata.

"Kamu cerita juga, kalau aku janda beranak satu?" Tanyaku sedikit ragu.

Siska menggelengkan kepalanya. "Belum sampai situ sih, aku cerita tentang kamu"

Aku menarik nafas lega

"Nggak usah cerita ya!"

"Emangnya kenapa?"

"Siapa tau ada temennya Mas Hendi yang masih lajang, bisa double date kita" jawabku asal, Siska tertawa.

"Ya udah, aku pergi dulu ya! Bye Mei" pamit Siska beranjak dan berlalu. Wajah ceria nampak begitu jelas sebagai penggambaran hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Aku tak suka kondisi seperti ini, sungguh sangat menyesakkan. Kenapa harus dia, yang Siska pilih. Kenapa dia juga berada di kota ini. Aku berharap di kota ini akan menemukan ketenangan dan memulai kehidupan baruku, mengubur cerita kelam masa lalu.

***

Kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang sedari tadi hanya ku bolak balik berkasnya tanpa mampu mengerjakannya. Banyak laporan yang harus ku kerjakan, ku acak rambutku sedikit kasar, mencoba melepas bayang Mas Hendi dengan berbagai masalah yang dibawanya.

Hanya istirahat untuk sholat saja hari ini.

Beberapa laporan sudah diminta kantor pusat, aku maksimalkan menyelesaikan hari ini.

"Kamu nggak pulang?"

"Lembur aku, pusat minta selesai maksimal lusa, ini banyak banget soalnya" jawabku saat Siska menghampiri mejaku.

"Ya udah, aku duluan, jangan malem-malem, jaga kesehatan juga" pesan Siska, kemudian mencium pipi kanan kiriku.

"Iyah say, bentar lagi kok" jawabku mengulas senyum.

Siska beranjak meninggalkanku. Kembali fokus ke laporan yang memang sudah ditunggu kantor pusat. Tak terasa jam sembilan sudah terlewat. Setelah ku kirim, aku membereskan berkasku di atas meja. Merenggangkan sejenak badanku sebelum beranjak pulang.

Masih ada beberapa karyawan lain juga yang nampak asyik dengan pekerjaannya. Mereka membalas sapaku dengan lambaian tangan dan ucapan hati-hati di jalan. Di lobby bawah juga mulai sepi, hanya nampak beberapa karyawan bagian lapangan dan tiga security yang bertugas. Seperti biasa, sapa manis selalu ku berikan.

"Darr" di mobilku disertai suara "pip-pip" saat tombol bergambar gembok terbuka kutekan di kunci mobil.

"Mei"

Tangan ini baru akan membuka handling pintu mobil saat terdengar seseorang memanggil namaku.

"Mas ngapain disini?" Tanyaku sedikit terkejut melihatnya.

"Mas mau bicara hal penting" jawabnya.

Aku melihat sekitarku, merasa tak nyaman saja. Pasti sudah ada beberapa karyawan lain yang sudah mengenal Mas Hendi sebagai kekasih Siska.

"Hal penting apa?"

"Tentang rencana pernikahanku dengan Siska" jawabnya.

Aku bergeming, menunggunya melanjutkan kata-katanya.

"Apa kamu tak apa-apa?"

"Memangnya kenapa? Itu tak ada hubungannya lagi dengan Mei, bujan?"

"Mas minta maaf, mas dulu merasa bersalah padamu. Mas tak mempedulikan perasaanmu waktu itu. Mas terlalu egois, maafkan mas."

"Untuk apa? Sudahlah mas, lupakan semua. Mei sudah maafin semua kesalahan mas Hendi, mas juga bisa lihat, Mei baik-baik saja kan! Tak perlu memikirkan Mei, kalau mas mencintai Siska, serius dan benar-benar ingin menjaganya, nggak masalah kok. Mei ikut bahagia" ucapku padanya.

"Apa Mei tak mencintai mas lagi?"

Aku menggelengkan cepat kepalaku.

"Nggak, rasa itu sudah mati, setelah mas menalakku dan mengembalikanku kepada orang tuaku" jawabku, tiba-tiba sesak itu kembali mendera dadaku.

"Apa kamu percaya? Kalau mas katakan, sekarang mas menyesal"

Aku tersenyum sinis. Apa coba maksud pria ini mengatakan semua itu sekarang. Hanya membuatku semakin sakit kepala saja.

"Percaya atau tidak, tak ada gunanya juga. Mei capek, Mei pulang dulu, permisi." Ucapku sambil membuka pintu mobilku.

Kulajukan mobilku, bergerak menjauh meninggalkan Mas Hendi yang masih berdiri di tempat yang sama.

Kesal kuacak rambutku sendiri. Ada apa dengannya, mengapa ingin terkait lagi denganku.

BAB 3

Mataku sulit sekali terpejam, pikiranku kacau. Aku bangun beranjak ke meja kerjaku menyalakan laptop, mengalihkan ke pekerjaan mungkin bisa membantu. Tapi, ternyata kepalaku semakin pusing. Bayangan pria itu kembali hadir mengusik pikiranku. Mengingatkan aku kembali pada luka lamaku.

Kenapa harus Siska, kenapa harus sahabatku. Tapi dia berhak tau tentang masa lalu antara aku dan Mas Hendi, masalah dia tetap melanjutkan hubungan atau tidak, itu urusan nanti. Mas Hendi sendiri juga sepertinya menutupi semuanya.

Bagaimana rasanya melihat pria yang pernah dicintai, kemudian datang dengan status calon suami orang terdekat kita, rasanya....sungguh luar biasa sakitnya. Susah payah aku mengeringkan lukaku, mengubur masa lalu dan segala kenangan tentangnya. Dan juga kenyataan bahwa hanya dia, pria yang pernah kucintai sampai detik ini.

Aku memang trauma mencinta, tapi aku tak bisa membohongi rasa dan diriku sendiri, bahwa masih ada cinta di hati ini. Sebesar apapun luka yang pernah dia tinggalkan di hatiku, tetap tak bisa kulupakan rasa cinta di hatiku untuknya. Sekeras apapun usahaku menepikan rasa itu ataupun mematikannya, tetap saja masih ada, bahwa dia cinta pertamaku, cinta butaku.

Masih memiliki rasa, bukan berarti aku masih menginginkannya. Sungguh aku tak ingin lagi bersamanya, memulai kembali kisah atau berurusan lagi dengannya dalam segala hal. Lebih baik seperti itu adanya, saat aku telah menganggapnya mati, dan hanya menyimpan cinta ini dalam hati.

Bohonglah kalau aku mengatakan aku tak kembali sakit hati, atau tak peduli lagi. Siapa yang akan kubohongi dengan rasaku, mungkin dia, Siska atau bahkan keluargaku. Tapi tidak dengan hatiku sendiri. Aku kembali terluka saat Siska bergelayut manja padanya. Aku sakit, saat melihat binar indah di mata sahabatku, saat bercerita tentang mantan suamiku.

Cemburu? Bukan cemburu, hanya sakit yang tak bisa ku ungkapkan kenapa dan mengapa. Aku tak menginginkan hadirnya kembali untuk saat ini. Akan lebih baik bila selamanya dia menghilang dari hidupku.

Ku buka laciku, mengambil beberapa foto yang baru kuambil dari gudang setelah bertahun-tahun kusimpan. Aku kembali tersenyum masam, memoriku mengajak sejenak berkelana kembali ke masa itu. Masa yang seharusnya indah yang ternyata kelam, begitu naifnya aku saat itu. Tak memakai pesta mewah hanya resepsi sederhana, kebaya berwarna putih, dan Mas Hendi memakai jas berwarna hitam.

Wajah itu tak berubah sampai sekarang, bahkan harus kuakui dia semakin terlihat tampan dengan tubuh yang berisi. Sesuatu mengusik ingatanku, dimana Nia? Bukankah Mas Hendi meninggalkanku karena ingin bersama Nia kekasihnya dulu.

Pria itu menyembunyikan banyak hal dari Siska, kasihan gadis itu. Tak rela rasanya melihat sahabatku terluka. Ada banyak hal yang perlu aku tau tentang Mas Hendi, setelah pergi dariku. Paling tidak, akan banyak informasi yang bisa aku sampaikan pada Siska. Kumasukkan foto itu dalam buku agendaku, entah kapan Siska harus tau kebenarannya.

Sejenak kembali berputar otakku, lalu bagaimana kalau Mas Hendi tau tentang Sarah, aku tak ingin dia tau tentang anakku. Sikapnya tadi juga aneh, apa yang dia sesali, dan untuk apa menyesal. Perhatiannya padaku malah akan membuat kesalahpahaman antara aku dan Siska.

Otakku sudah tak bisa diajak untuk berfikir jernih, semua jalan serasa buntu. Dalam arti tak ada satupun pilihan yang akan berakibat baik untuk sekarang. Tapi setidaknya, ini tidak menjadi bola salju, bila dibiarkan menggelinding terus menerus akan semakin besar, dampaknya juga pasti lebih besar.

***

"Begadang lagi?" Tanya ibuku selepas aku mandi dan mbantunya di dapur membuat sarapan.

"Kamu habis nangis?" Lanjut ibu lagi, memindai wajahku detail.

"Capekan aja bu, kurang tidur, kerjaan dari kantor numpuk" alasanku ke ibuku.

Terlihat ibuku tak puas dengan jawabanku.

"Mama Desta dari kemarin telepon ibuk. Desta tanya, kapan kamu senggang, mau diajak jalan katanya" ucap ibuku.

"Kok nggak bilang ke Mei sendiri, pake minta tante Lisa segala"

"Dia telfon, jarang kamu angkat, pesan juga gak pernah kamu balas. Desta serius sama kamu Mei, ibuk berharap kamu mau kasih dia kesempatan. Sekali-kali terima ajakannya untuk keluar"

"Iya, kenapa aku jahat sekali pada pria itu, jadi merasa bersalah"

"Kalau udah nggak banyak kerjaan, nanti Mei kasih tau Desta sendiri buk" jawabku.

Aku bergeming, melihat ibuku. Ragu ingin kuceritakan tentang Mas Hendi. Tapi bibir ini serasa kelu, ini bukan kabar yang baik. Ibuku sedang tidak terlalu sehat, aku tak ingin menambah beban pikirannya. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.

"Kamu kenapa?" Tanya ibuku terlihat heran.

"Emm, nggak buk, bukan apa-apa. Mei ganti baju dulu" jawabku.

Bergegas aku kekamar agar tak ditanyai hal lainnya lagi.

Selesai bersiap, aku kembali ke ruang makan. Sarah sudah duduk manis dengan segelas susu dan roti coklat kesukaannya. Senyumnya selalu menjadi semangat setiap pagiku.

"Are you ready?" Tanyaku pada gadis kecil itu, aku memang selalu mengantarnya ke sekolah.

Pulang sekolah nenek dan kakeknya yang menjemputnya.

"Syaap Mommy" jawabnya dengan riang.

Kotak bekal sudah ibuk siapkan untuk cucu kesayangannya itu. Sebuah kecupan manis dari sang nenek mengiringi langkah kecil Sarah masuk ke dalam mobil.

Selepas mencium punggung tangan ibuku dan juga pipi kanan kirinya, aku bergegas mengikuti Sarah yang sudah menungguku. Kulajukan pelan inova hitamku, keluar dari halaman rumah. Kembali kutanyakan pada putriku, apa ada yang ketinggalan, gadis kecilku menggeleng.

"Mah, Sarah mimpi ketemu papa, papa ngajak Sarah main, seneng deh mah" cerita Sarah tiba-tiba.

"Sarah kangen papa, kalu sudah di syurga papa nggak bisa pulang ya mah?" Ucapnya lagi.

Ada yang menyentak rasa sakitku, ngilu rasanya di dalam dada. Aku tak tau gambaran sosok ayah seperti apa yang ada dalam benak anakku. Bagaimana nanti kalau dia tau papanya masih hidup dan tak tau atas keberadaannya.

Aku mengusap lembut kepala gadis kecilku, sesak sekali rasanya hatiku. Bisa kulihat di matanya betapa dia ingin seperti teman-temannya. Ada senyum kecil yang sulit ku artikan dia melihat temannya di antar ayahnya. Rasanya ada sembilu yang mengiris hati ini. Perih sekali..

Dan kini, ayahnya benar-benar kembali. Tanpa tau ada gadis kecil yang begitu merindukan sosoknya. Gadis kecil yang selalu berharap bisa bertemu ayahnya, berharap pelukan hangat walau hanya dalam mimpi. Kutahan tangisku sampai Sarah lenyap dari pandanganku, berbaur dengan murid lainnya.

Sarahku tak kekurangan kasih sayang, tapi dia tetaplah gadis kecil biasa. Ingin seperti teman-temannya, yang memiliki orang tua lengkap. Betapa hancurnya nanti hati putriku, saat tau ayahnya masih ada dan akan memiliki keluarga lain.

Mataku masih terlalu sembab, saat sampai di kantor, sedikit kuperbaiki riasanku, tak lucu rasanya terlihat oleh orang lain dalam kondisi seperti ini. Harus profesional walau tak mudah bagiku. Tapi harus bisa memisahkan antara masalah hati dengan pekerjaan. Perusahaan membayarku bukan untuk bergalau ria. Cukup kusadari tanggung jawabku.

Waktu menunjukkan jam delapan kurang seperempat. Karyawan yang lain sudah cukup banyak terlihat. Seperti biasa, saling menyapa dan mengucapkan salam. Sebuah senyum tersungging di setiap bibir.

Siska belum ada di ruangannya, aku langsung menuju ruanganku. Di meja sudah banyak berkas menungguku, seakan mengatakan santap aku. Menjelang akhir bulan memang semakin banyak laporan yang harus kukerjakan.

Baru saja kuletakkan tasku diatas meja, terdengar dering telepon di mejaku.

"Selamat pagi, dengan Mei Amelia disini, ada yang bisa saya bantu?" Ucapku, sebagai greeting wajib kantor ini.

"Mei, keruangan saya sebentar" ucap seseorang di ujung telepon, dia Pak Farhan, atasanku.

"Baik Pak" jawabku.

Ruangan Pak Farhan ada di lantai atas, aku harus menaiki tangga untuk sampai di sana. Kuketuk pelan pintu yang sudah setengah terbuka itu. Terdengar suara memintaku masuk.

"Pagi Pak" sapaku. Pria itu melihatku dan menyuruhku duduk dengan isyarat tangannya.

"Tanggal lima ada gathering di Bali selama seminggu, kamu temani saya" ucap Pak Farhan.

"Minggu depan ya pak?"

"Iya, sudah saya email undangannya, kamu buat sekalian SPD nya, sekalian urus tiket pesawat pulang perginya juga. Untuk hotel sudah di siapkan oleh kantor pusat" jelas Pak Farhan kemudian. Aku menganggukkan kepalaku.

"Baik Pak, apa ada lagi mungkin?"

"Laporan kamu yang diminta pusat sudah selesai?"

"Hari ini pak, sebagian besar sudah saya email. Sudah saya cc kan ke Pak Farhan juga.

Pria itu menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah, itu saja" ucapannya kemudian.

Aku bergegas keluar setelah permisi padanya. Ini menjadi Gathering pertamaku dengan bos baru itu, dia memang belum lama pindah ke kantor ini. Baru tiga bulan lalu. Sosok yang dingin di mata karyawan disini.

Aku memerlukan datanya untuk pemesanan tiket. Kucari tau saja di HRD, tapi ada salahnya aku meminta ke orangnya langsung. Kuputar badanku dan kembali ke ruangannya.

"Maaf Pak, saya butuh identitas bapak untuk pemesanan tiketnya" pintaku padanya.

"Nanti saya email" jawabnya singkat.

"Baik Pak" ucapku. Kemudian kembali permisi, segera kembali dan kunyalakan komputer untuk mengecek email masuk. Kutemukan email darinya di antara puluhan email yang belum kubuka. Farhan Ardian Pratama, empat tahun di atasku. Tanggal sepuluh, sebentar lagi dia berulang tahun. Status belum kawin, kupikir sudah berkeluarga. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, antusias sekali diriku.

"Mei, darimana aja, aku barusan kesini kamu nggak ada" ucap Siska mendekatiku.

"Dari ruangan Pak Farhan" jawabku.

"Dia manggil kam?" Tanya Siska, aku mengangguk.

"Nggak lewat Pak Fendy?"

"Nggak, emang kenapa?"

"Nggak apa-apa, eh titipan dari bunda, bakmi sama martabak"

Siska menyodorkan bungkusan yang sedari tadi dipegangnya. Aku tersenyum, bakmi buatan bunda memang tiada duanya.

"Bunda nanya, kapan kamu siap jadi mantunya, Mas Aldi keburu jadi bujang lapuk nungguin kamu" ucap Siska dengan tawa kecil.

"Sogokan kah ini?" Tanyaku sambil mengangkat bungkusan itu. Siska tertawa.

"Ya udah, aku balik dulu, bye say."

Aldi, Siska memang sering menjodohkanku dengan kakak lelakinya itu. Bukan pekerja kantoran, dia punya usaha toko spare part dan bengkel mobil. Meneruskan usaha keluarganya. Siska hanya dua bersaudara, pikiranku kembali ke Mas Hendi, bagaimana mengawali membuka kisahnya pada Siska.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!