“Naira?!” Anaya memanggil anaknya penuh rasa khawatir.
“Mama!” Naira mendongak dan langsung menghampiri mamanya.
Lelaki tinggi dan tegap itu berdiri dan tersenyum padanya. Anaya memeluk Naira erat. Baru saja Anaya akan membuka mulutnya untuk bertanya, sebuah pekikan terdengar dari pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah.
“Anaya! Waduh, baru pulang jam segini!” seru seorang pemuda berambut gondrong yang tiba-tiba muncul sambil membawa dua mug kopi.
Dia adalah Randi, kakak sepupu Anaya dan juga klien tetap perusahaan event organizernya.
“Hai! Kok, kamu ngga bilang-bilang mau datang?” tanya Anaya heran.
“Loh! Minggu lalu kamu kan nyuruh aku kesini bawa arsitek dan kontraktor yang mau renovasi rumah ini?”
Anaya ingat hal tersebut. Ia memang tertarik dengan hasil karya kontraktor yang telah membangun rumah Randi, dan berencana memakai jasanya untuk merenovasi rumahnya. Tetapi, ia tidak mengira Randi datang dengan mendadak bersamanya, tanpa memberitahu terlebih dulu. Ingin ia mendebat, namun kadang percuma mempertahankan pendapat pada Randi yang memang suka seenaknya sendiri.
“Eh! Kenalin Zar, ini Anaya, yang punya rumah ini!” seru Randi pada temannya sambil meletakkan kopinya di meja. Entah kemana Mba Kemi, sampai Randi membawa sendiri minumannya.
“Selamat malam, saya Izzar!” Lelaki asing yang sedari tadi berdiri, mengulurkan tangannya kepada Anaya. Senyumnya sangat santun terkembang di wajahnya yang tampan. Keramahan begitu jelas tersirat di matanya.
“Anaya!” Anaya membalas salam Izzar singkat dan datar, kemudian mempersilahkannya duduk kembali.
“Mama, boleh aku mewarnai lagi sama Om Izzar?” tanya Naira menyela.
Anaya terkejut. Dalam hati ia bertanya, sudah berapa lama sebenarnya Randi dan Izzar ini di rumahnya, kok bisa-bisanya Naira tampak telah akrab dengan lelaki yang baru dikenalnya,
“Sama Om Randi saja ya belajarnya. Mama mau ngobrol sama Om Izzar.” Randi, mengambil alih perhatian Naira.
Dengan sikap yang formal, Anaya berbincang dengan Izzar. Ia menyampaikan secara garis besar keinginannya merenovasi rumah peninggalan orang tuanya. Kemudian, ia menunjukkan bagian-bagian dan sudut-sudut bangunan yang ingin diperbaiki dan dirombaknya.
“Rumah ini bisa direnovasi seperti kemauan Anaya, Zar?” tanya Randi pada Izzar setelah mereka kembali duduk di ruang tamu.
“Bisa. Tapi karena ini sudah malam, aku belum bisa cek kondisi struktur bangunannya lebih detail. Kalau Anaya berkenan, besok siang aku kesini lagi mengecek dan mengukur semuanya, baru aku bisa membuat gambar dan estimasi biayanya,” tutur Izzar menjawab pertanyaan Randi.
“Gimana, Nay?” Randi menoleh pada Anaya.
“Oke.” Anaya menjawab singkat.
Sandra muncul saat Randi dan Izzar berpamitan. Sepeninggal kedua lelaki tersebut, Sandra menarik lengan Anaya dan mengajaknya duduk di kursi teras.
“Siapa dia, Nay? Ganteng, loh!” goda Sandra.
“Arsitek yang mau renovasi rumah ini. Temannya Randi,” jawab Anaya tidak antusias. “Di telefon, kamu bilang ada informasi penting. Apa, sih?”
“Aku habis ketemuan dengan Alex, dia tim pengacara ayahnya Ridwan. Aku penasaran dengan rencana Ridwan soal Naira. Makanya kuajak dia makan siang dan ngobrol untuk mengorek informasi. Untung saja dia pernah naksir aku,” jawab Sandra seraya tertawa.
Anaya tak mengira Sandra akan melakukan hal tersebut. Tapi, ia tidak keberatan, malah senang dan jadi penasaran.
“Jadi, alasan utama mengapa Ridwan ingin meminta hak asuh penuh atas Naira adalah karena ayahnya dalam waktu dekat ini akan memberikan harta hibah warisan dengan nilai yang sangat besar kepada Naira. Berhubung Naira masih di bawah umur, maka harta tersebut akan diserahkan pengelolaannya kepada kamu sebagai walinya. Makanya, Ridwan mendadak ngotot menuntut perwalian penuh atas Naira, Nay!” Sandra bertutur.
Geram Anaya mendengarnya. Jadi, alasan mengapa Ridwan sangat berhasrat menguasai Naira ternyata hanya demi mendapatkan hak mengelola hartanya. Jika demikian, maka ia memang harus segera menikah. Tapi, dengan siapa?
“Izzar tadi itu, boleh juga Nay!” Sandra memberikan saran sambil mengedipkan matanya.
Anaya merenung. Ia bisa melihat mudahnya Naira dekat dengan Izzar tadi. Katanya, hati anak kecil yang masih polos bisa membedakan orang yang baik dan tidak. Anaya juga bisa merasakan ketenangan di diri lelaki itu.
Melalui Randi, Anaya menggali informasi tentang Izzar Adhitama. Arsitek itu kini berstatus single. Tunangannya meninggalkannya dua tahun yang lalu, berbarengan dengan bangkrutnya perusahaan miliknya karena tertipu sejumlah proyek fiktif dan terbawa dalam kasus korupsi pihak lainnya, hingga harus berurusan dengan proses hukum pengadilan.
Izzar habis-habisan menjual semua aset untuk menutupi hutang-hutangnya. Ia hanya tinggal memiliki sebuah rumah sederhana dan satu mobil tua.
Berdasarkan informasi tersebut, Anaya tahu, lelaki itu sedang sangat membutuhkan uang untuk segera melunasi sisa hutangnya, dan ia bisa memanfaat kondisi itu untuk memaksa Izzar mau menikahinya.
Saat tiga hari kemudian Izzar datang ke kantor Anaya, mengajukan proposal estimasi biaya renovasi rumahnya, Anaya membacanya sekilas-sekilas.
“Bagaimana?” tanya Izzar. Ia sungguh berharap Anaya mau menerima proposalnya. Bila, Anaya setuju, pekerjaan ini akan menjadi proyek pertama yang diperolehnya lagi setelah keterpurukannya.
Anaya memandang wajah tampan Izzar. Ia menarik nafas sebelum menjawab.
“Pada intinya, aku setuju dengan proposal ini. Malah aku akan memberikan tambahan lima kali lipat dari nilai biaya yang kamu ajukan, tetapi, dengan satu syarat …" Anaya tidak melanjutkan ucapannya.
“Apa syaratnya?” tanya Izzar.
“Kamu harus menikah denganku.” Anaya mengucapkan kalimat tersebut dengan nada sedatar mungkin.
Namun, tak urung Izzar terkejut. Lelaki itu terpana menatap Anaya dengan mata nyaris tak berkedip.
Anaya tidak peduli dengan keterkejutan Izzar. Ia kemudian menjelaskan alasan mengapa ia meminta Izzar menikahinya.
Mulut Izzar terbuka, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar. Ditatapnya wajah Anaya sekali lagi cukup lama. Ia heran sendiri melihat sosok perempuan secantik Anaya sebegini putus asanya mencari suami. Namun, ia segera menyadari, ada sesuatu di sikap Anaya yang memang membuat perempuan ini seperti menara gading yang susah didekati.
“Ini serius?” Izzar bertanya karena masih tak percaya.
“Serius!” jawab Anaya.
“Kalau aku menolak?” pancing Izzar.
“Proyek renovasi batal, dan aku akan meminta Randi untuk tidak membantumu lagi mencarikan proyek pekerjaan lainnya.” Anaya mengancam.
Izzar terhenyak. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Randi adalah satu-sataunya teman yang masih percaya dan baik kepadanya. Izzar jadi kehilangan semua kosa kata di otaknya untuk menanggapi situasi yang seakan ditujukan untuk menjeratnya.
Akhirnya, Izzar mencari aman dengan meminta waktu untuk memikirkannya. Meskipun ia memang membutuhkan uang, dan keuntungan dari pembiayaan renovasi rumah serta imbalan yang ditawarkan Anaya cukup untuk melunasi semua sisa hutangnya, ia tidak mau gegabah.
Setelah meninggalkan kantor Anaya, Izzar memilih duduk menyendiri di sebuah coffee shop. Ia termenung memikirkan tawaran Anaya. Sebagian hatinya mendorongnya untuk menerima saja, sebab kompensasi yang akan diberikan bisa langsung melepaskannya dari himpitan hutangnya. Namun, separuh hati yang lain mengelak karena ia tidak punya ketertarikan pada Anaya. Pertemuannya dengan Anaya yang sudah berlangsung tiga kali, hanya melahirkan kesan bahwa wanita itu angkuh, dan seakan memandang rendah dirinya.
Sedang ia memikirkan itu semua, telefon genggamnya berbunyi dan layarnya memampangkan nama mamanya. Izzar segera menjawabnya.
“Kamu di mana, Zar?”
“Sedang di jalan, habis ada meeting tadi. Kenapa, Ma?”
“Tadi ada temanmu datang kesini. Katanya janjian sama kamu di rumah mama. Mama bilang, kamu ngga ninggalin pesan kalau mau ada teman yang datang. Terus, dia pergi dan pesan begini : Bilang saja ke Izzar, tadi Adrian kesini.”
Deg! Dada Izzar tersentak. Adrian adalah investor licik yang menyeretnya ke dalam permainan bisnis kotor yang membuat Izzar bangkrut dan memiliki banyak hutang. Kenapa pria itu datang ke rumah ibunya?
“Kamu kenal dengan Adrian itu, Zar?” tanya mamanya.
“Iya aku kenal, Ma. Maaf, aku lupa kasi tahu. kalau aku rencannya memang mau ke rumah mama hari ini dan janjian sama dia… Tapi, karena ada meeting dadakan, aku belum sempat info ke dia kalau aku terlambat. Sudah Mama tenang saja. Biar aku telefon dia dulu, ya!” Izzar menenangkan mamanya.
Izzar menutup telefonnya. Ia geram karena Adrian, yang dulu adalah rekan bisnisnya, berani datang ke rumah orang tuanya. Ia tahu, itu adalah strategi Adrian untuk menekannya segera melunasi hutangnya yang tenggat waktunya tinggal sebulan lagi.
Baru saja Izzar mencari nama Adrian di kontak ponselnya, pria culas itu menelefonnya.
“Halo, Izzar!”
“Hei! Untuk apa kamu datang ke rumah mamaku? Kan sudah kubilang, jangan libatkan keluargaku ke dalam persoalan kita?” Izzar langsung menanyainya tanpa basa-basi.
“Untuk mengingatkan bahwa kamu punya kewajiban yang belum kamu tuntaskan kepadaku.”
“Aku ingat kewajibanku!” sahut Izzar gusar.
“Baguslah! Karena kalau tidak, aku akan kembali ke rumah ibumu. Jangan sampai aku berbuat yang tidak kamu inginkan di sana!”
Nada suara Adrian begitu dingin dan tersirat sadis, hingga membuat Izzar bergidik.
***
Kepala Izzar pening. Ia sungguh ingin segera melepaskan diri dari kemelut yang mengukung dan mulai menarik orang yang paling disayanginya ke dalamnya, padahal mamanya tidak tahu apa-apa mengenai bisnisnya. Jika sampai terjadi apa-apa dengan mamanya yang hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangga, sudah pasti ia tidak dapat memaafkan dirinya.
Digulirkannya daftar kontak di layar ponselnya. Ia mencari-cari nama kenalannya yang mungkin di saat ia terjepit begini masih mau menolongnya. Meskipun ia sadar, hampir dua tahun ini sebagian besar temannya menjauh karena enggan terkait dengan permasalahan yang dihadapinya. Padahal, saat kehidupannya bergelimang kemudahan, ia menjadi orang yang paling sering dicari.
Guliran layar Izzar berhenti pada satu nama. Anaya. Ia teringat jelas nada suara Anaya kala menyebutkan jumlah
imbalan yang akan ia peroleh jika ia mau menikahinya. Nilai yang bakal langsung membuka kunci pintu kebebasan dirinya.
Ia memperbesar profil kontak Anaya yang menggunakan foto Naira. Gadis mungil itu sedang tersenyum lebar dengan mata besar mirip ibunya. Ia tidak tertarik dengan Anaya, namun ia anak kecil itu. Sejak pertama kali bertemu, sikap Naira yang lucu dan menggemaskan membangkitkan naluri ingin melindunginya.
Setelah meyakinkan dirinya bahwa ia tak punya jalan keluar lain, Izzar memaksakan dirinya mengirimkan pesan
kepada Anaya.
Izzar : Apa syaratnya? Untuk berapa lama?
Perlu waktu sepuluh menit bagi Izzar untuk menerima balasan dari Anaya. Perempuan itu mengirimkan draft perjanjian yang dibuat formal dan detail. Izzar membaca sekilas persyaratan yang tercantum. Harus merahasiakan kontrak perjanjian kepada siapapun, harus menghormati dan menghargai, harus melindungi Naira, tidak boleh melakukan pelecehan, tidak boleh melakukan hubungan suami isteri, tidur di kamar terpisah, tidak boleh mencampuri pekerjaan dan penghasilan Anaya, dan seterusnya …
Izzar tertawa sendiri membacanya.
Izzar : Berapa lama kontraknya?
Anaya : Paling lama setahun.
Izzar : Oke!
Dua minggu kemudian. Izzar menikahi Anaya dalam acara yang sangat sederhana. Mereka sepakat tidak mau pernikahan yang dilakukan karena terpaksa ini meninggalkan kesan yang mendalam untuk dikenang.
Semua yang mengenal Anaya dan Izzar kaget dengan kabar pernikahan mereka yang begitu tiba-tiba. Bahkan Randi yang meskipun mengenal baik Izzar, mempertanyakan keputusan tergesa Anaya. Tapi, Anaya hanya menjawab dengan senyuman. Anaya bersyukur, sebagai anak tunggal ia tidak lagi memiliki keluarga inti sejak ayah dan ibunya meninggal. Jadi, ia tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat keluarga luasnya.
Sedangkan Izzar, agak sedikit repot meyakinkan mamanya bahwa ia serius menikah dengan Anaya yang bestatus
janda anak satu. Namun, beruntunglah, Naira yang imut menggemaskan berhasil merebut hati perempuan tua itu dengan kepolosannya.
Ridwan mengucapkan selamat. Namun, ada ketidakpuasan di diri lelaki itu. Ia merasa aneh dengan pernikahan tiba-tiba Anaya. Ia bertekad, akan terus mencari cara lain untuk mendapatkan Naira sepenuhnya.
Satu-satunya makhluk yang berbahagia atas perkawinan tersebut sepertinya hanya Naira. Ia bahagia akan
memiliki sosok bapak yang setiap hari akan menemaninya. Dan, ia bersikeras memanggil Izzar ayah.
“Aku sudah punya papa. Jadi, biar ngga ketukar, aku manggil ayah aja.”
Izzar tidak keberatan. Sedangkan Anaya tampak tidak peduli. Ia menghabiskan malam dan hari pertama pernikahannya dengan menyendiri di kamarnya. Ia berharap perjanjiannya dengan Izzar dapat segera berakhir, dan ia bisa terbebas dari sandiwara konyol yang ia buat sendiri.
Sandra menyarankan Anaya cuti dua minggu untuk memberi kesan ia tengah menikmati bulan madu. Untung saja ia menuruti saran tersebut, karena Sandra tiba-tiba saja menelefon memberi tahu Ridwan datang ke kantor berpura-pura mau menemui dirinya.
“Kayaknya, kalian harus pergi staycation deh, Nay!” usul Sandra melalui telefon.
“Kemana, San?” Anaya sama sekali tidak terpikirkan ritual bulan madu bisa dipermasalahkan oleh Ridwan.
“Ke Puncak atau kemanalah. Anggap saja liburan. Aku punya feeling Ridwan sedang mengawasi kamu. Soalnya, Randi kemarin bilang bahwa Ridwan nanya-nanya ke dia soal bagaimana kamu bisa kenal Izzar.”
“Randi bilang apa ke Ridwan?” Anaya jadi penasaran. Ia khawatir Randi menceritakan bahwa ia baru saja mengenal Izzar.
“Randi ngga berani bilang apa-apa. Dia takut salah ngomong, dan dia ngga mau ikut campur katanya.”
Anaya menghembuskan nafas lega. Ia memutuskan untuk menuruti usul Sandra.
Ia pun keluar kamar mencari Izzar. Ia mengetuk pintu kamar tamu tempat Izzar tidur. Tetapi, tidak ada jawaban. Ia malah mendegar teriakan riang Naira di halaman belakang. Ia segera melangkahkan kakinya ke sana.
Anaya terkejut menemukan Naira dan Izzar sedang bermain tendang bola di halaman.
“Kalian ngapain?!” Anaya memelototi keduanya.
“Main bola,” jawab Izzar sambil menghampiri Anaya.
“Naira anak perempuan! Kenapa kamu ajarin main bola?” Suara Anaya pelan, tapi garang.
“Oke! Aku minta maaf!” Izzar cepat mengalah. Ia enggan berdebat dengan Anaya. Ia memanggil Naira dan mengajak gadis kecil yang pipinya memerah dan penuh keringat itu untuk mencuci tangan dan kakinya.
“Kenapa aku ngga boleh main bola, Ma?” tanya Naira saat Anaya menyeka wajah basahnya.
“Karena kamu anak perempuan,” jawab Anaya sambil melirik tajam Izzar yang duduk tak jauh dari mereka berdua.
“Tapi aku lihat di TV, ada perempuan yang main sepak bola.” Naira membantah pernyataan mamanya.
Izzar ingin tertawa mendengar jawaban kritis Naira, tapi tatapan menusuk Anaya membungkamnya.
“Nanti sore kita berangkat ke Puncak. Kita menginap 2 malam di sana.” Anaya berkata sambil memandang Izzar.
“Untuk apa kita ke sana?” Izzar bingung.
“Sandra nyuruh kita honeymoon.”
“Apa itu honeymoon?” Naira memandang Anaya, yang tergagap mau menjawab apa.”
“Artinya liburan,” Izzar cepat menjawab, memutus kegagapan Anaya.
“Aku mau liburan!” seru Naira. Mata beningnya langsung berbinar cerah.
“Minta tolong Mba Kemi siapkan baju-baju, ya!” pinta Anaya. Naira langsung melesat berlari sambil berteriak memanggil Mba Kemi.
Anaya menunggu reaksi Izzar lebih lanjut. Tapi lelaki itu diam saja.
“Kamu ngga siap-siap?” tanya Anaya.
“Hmm.. Kita pergi bertiga? Katanya mau honeymoon?” ” Izzar malah balik bertanya, dengan maksud mencoba menggoda Anaya.
“Jangan punya pikiran macam-macam!” sahut Anaya ketus. “Ngga mungkin aku ninggalin Naira. Aku akan pesan kamar hotel terpisah buat kamu.”
Izzar menghela nafasnya.
“Oke! Nanti sore kan berangkatnya? Boleh aku pergi keluar dulu sebentar?” Izzar meminta izin.
“Kemana?”
“Ada sedikit kerjaan.”
Anaya diam. Di benaknya melintas keinginan untuk bertanya lebih detail, tapi hatinya segera mengingatkan bahwa
apa yang akan dilakukan Izzar bukanlah urusannya.
“Oke!”
“Oh ya, kapan renovasi rumah ini mau dimulai?” tanya Izzar mengingatkan sebelum beranjak. Ia tak mau proyeknya
tertunda sampai melewati batas setahun kontrak pernikahan mereka.
“Setelah kita balik dari Puncak.”
“Kamu sudah dapat rumah untuk tempat tinggal sementara?” tanya Izzar lagi.
Anaya menggeleng. Ia benar-benar lupa. Padahal saat menjelaskan rincian rencana pekerjaan renovasi rumahnya,
Izzar sudah memberitahunya untuk menyiapkannya. Sebab tak mungkin mereka tinggal di rumah yang akan kotor dan penuh debu serta banyak pekerja.
“Ya sudahlah! Nanti kubantu carikan. Sekarang, aku pergi dulu.” Izzar meninggalkan Anaya.
Izzar pergi menemui Adrian.
Kemarin Anaya sudah mentransfer uang biaya renovasi rumah dan imbalan kontrak pernikahan yang dijanjikan. Jadi, Izzar ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Adrian. Di hadapan beberapa saksi ia melakukan pelunasan hutang-hutangnya dan membuat kesepakatan bahwa permasalahan mereka telah selesai.
Setelah berada di luar kantor Adrian, Izzar menarik nafas lega. Ia seperti orang yang baru menghirup udara kebebasan sesudah terpenjara dua tahun. Namun, saat ia menyalakan mobilnya dan teringat harus kembali pulang ke rumah Anaya, ia tiba-tiba merasa agak sesak. Tinggal bersama Anaya yang selalu bertampang judes kepadanya, seolah menjadi penjara baru bagi Izzar.
***
Anaya memesan suite room berisi dua kamar tidur di sebuah hotel terbaik di kawasan Puncak. Izzar tidak berkomentar apa-apa dengan pilihan dan keputusan Anaya. Pun ketika Anaya memilih menggunakan mobilnya ketimbang milik Izzar. Tadinya akan dibiarkannya juga Anaya menyetir jika dia tidak menyuruh memegang kemudi. Tapi, Izzar tak tega. Ia teringat ajaran mamanya tentang menghormati dan melindungi wanita, siapapun. Segera dimintanya kunci mobil Anaya sebelum wanita itu melangkah keluar pintu rumah.
Sepanjang perjalanan, mulut ceriwis Naira tak henti berceloteh bertanya dan bercerita pada Izzar. Anak itu menguasai kursi baris tengah dengan mainan dan bonekanya. Menjebak Anaya yang sebenarnya enggan berdekatan dengan Izzar, terpaksa duduk di bersebelahan di kursi depan.
Izzar bisa merasakan ketegangan dan ketidaknyamanan Anaya di sampingnya. Posisi duduk wanita itu terlalu mepet ke pintu. Wajahnya tegak menghadap ke depan atau ke miring ke jendela. Anti sekali ia menoleh ke arah Izzar. Entah bagaimana nanti kalau lehernya jadi kaku dan kram.
Sambil mengemudi, Izzar mencoba menyertakan Anaya dalam percakapannya dengan Naira untuk membuat wanita itu rileks. Namun, Anaya hanya menanggapi sambil lalu dan kemudian sibuk dengan handphonenya. Udara di antara dirinya dan Anaya seolah selaput bening tebal yang sulit ditembus. Izzar pun menyerah berusaha mencairkan kecanggungan yang menyekat.
"Mama ngga asik!” seru Naira tiba-tiba.
Izzar menahan tawanya mendengar celetukan Naira.
"Apa kamu bilang?” Anaya membalikkan tubuhnya menatap Naira.
"Mama ngga asik!” ulang Naira.
“Diajak ngobrol malah main hape! Sok sibuk! Ngga sopan!”
Kali ini Izzar tak mampu meredam diamnya. Tawanya lepas juga.
"Jangan ketawa!” Anaya melotot pada Izzar.
Tapi, Izzar tidak peduli. Baginya apa yang diutarakan Naira sindiran lucu yang natural yang memang tepat ditujukan kepada Anaya.
Anaya menggigit bibirnya. Diakuinya ucapan Naira menembak telak egonya. Pintar sekali puteri mungilnya membalikkan ungkapan-ungkapan yang sering dicetuskan Anaya ketika ia mengomentari orang lain yang mengabaikan dirinya saat diajak bicara.
Ia pun meletakkan ponselnya di pangkuan, dan mencoba mendengarkan obrolan Naira dan Izzar. Ia kagum dengan kemampuan adaptasi Naira menerima kehadiran Izzar. Dan itu membuat Anaya jadi sebal, sebab lelaki itu sangat mudah meraih hati Naira.
Mereka tiba di hotel saat hari sudah malam. Setelah makan malam, Anaya memaksa Naira tidur di kamarnya. Tetapi, anak itu menolak dan ngotot hanya mau ditemani oleh Izzar, sehingga Anaya marah dan akhirnya ibu dan anak tersebut bertengkar. Izzar yang berusaha menengahi malah kena semprot Anaya.
"Jangan ikut campur!”
Izzar mengangkat tangannya dan memilih keluar ruangan, duduk menepi di balkon. Ia masih bisa mendengar jeritan dan tangisan Naira dan ungkapan-ungkapan kesal Anaya. Ia mengira-ngira, apakah pertengkaran ibu dan anak seperti ini juga akan ditemuinya jika ia memiliki keluarga sendiri kelak.
Hmm, sepertinya tidak. Ia yakin, jika ia nanti mempunyai isteri dan anak yang dicintainya, hari-hari yang dilaluinya akan penuh canda dan tawa. Tidak ada sekat dan batasan seperti yang dilakukan Anaya.
Ya, Izzar mengerti posisi dan perannya. Ia merasa ada perasaan cemburu di hati Anaya yang disebabkan kedekatan Naira dengannya, yang menambah ketidaknyamanan dirinya yang harus menerima keberadaan Izzar. Sehingga Anaya bersikap sangat keras kepadanya.
Setelah beberapa waktu, suara-suara kedua perempuan di dalam berhenti. Izzar memutuskan masuk karena udara malam sudah cukup dingin menggigit kulitnya. Ia menutup pintu balkon dan melihat Anaya sedang membuat teh di pantry
"Anaya!” Izzar memanggil.
Anaya menoleh.
"Bisa kita bicara sebentar?” Izzar duduk di sofa yang terletak di tengah ruangan di antara pintu kamar Anaya dan dirinya.
Sambil membawa cangkirnya, Anaya mendekat dan duduk di seberang Izzar. Ia membuat teh hanya untuk dirinya sendiri, dan meminumnya tanpa basa-basi menawarkan kepada Izzar.
Izzar menahan hatinya melihat ketidakpedulian Anaya tersebut.
"Mau bicara apa?” Anaya tidak sabar.
"Naira sudah tidur?”
"Sudah.”
"Kenapa sih, kamu terlalu keras pada Naira?”
Anaya mengernyitkan dahinya. “Keras?”
"Kamu ngga suka dia dekat dengan aku?” tembak Izzar.
Ada emosi yang meletup di dada Anaya. Tapi, ia tidak bisa menyatakannya. Ia hanya bisa menatap Izzar jengkel.
"Kamu ngga usah khawatir tentang Naira. Aku ngga akan berbuat yang aneh-aneh ke anak itu, atau mempengaruhinya untuk menjauhimu. Aku justeru berusaha meringankan bebanmu dengan membantu mengasuhnya,” ujar Izzar.
Anaya masih kehilangan kata-kata.
"Aku sebenarnya berharap, walaupun terikat perjanjian kontrak, kita bisa saling bersikap seperti teman baik. Jangan anggap aku sebagai musuhmu. Tapi, jika kamu memang merasa harus terus bersikap formal dan menjaga jarak denganku, izinkan Naira menjadi temanku.”
Izzar menunggu tanggapan Anaya. Ia sungguh ingin Anaya bersikap lebih lunak kepadanya.
"Sudah selesai bicaranya?” tanya Anaya.
“Sementara sudah.”
"Oke! Aku mau tidur!” Anaya beranjak berjalan ke kamarnya, dan mengunci pintunya.
Izzar menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan keangkuhan Anaya. Baru kali ini menemui perempuan sekaku Anaya. Dirinya yang terbiasa dipuja wanita mendadak jadi bingung menghadapi Anaya. Tetapi, ia tak mau ambil pusing. Ia pun kemudian memilih tidur.
Pagi hari, Izzar terbangun oleh kelitikan halus di hidungnya. Dari jari-jari mungil dan nafasnya, ia tahu, Naira tengah berusaha membangunkannya. Perlahan ditangkapnya pergelangan tangan gadis kecil itu, yang langsung membuatnya memekik dan tertawa.
“Bangun! Tidur aja sih?” Naira mengguncang-guncang lengan Izzar.
“Iya… Aku bangun!” Izzar membuka matanya lebar-lebar. Di hadapannya Naira memberikan senyum lebar dan polosnya. Ia sudah mandi dan rapi dengan celana pendek dan kaus hitam bergambar Minnie Mouse.
“Kata mama, habis sarapan di restoran hotel, kita mau ke Taman Safari.”
“Oh ya?”
“Iya!”
“Aku diajak?” tanya Izzar.
“Ya diajak dong! Kan kita keluarga!” Naira menjawa dengan nada tinggi. Persis mamanya.
Izzar tertawa sendiri. Betapa mirip dua perempuan yang mendadak dan terpaksa ada di hidupnya kini.
“Naira?!” Anaya terdengar memanggil dari ruang sebelah.
“Iya? Ayah Izzar nya baru bangun ini, belum mandi!” sahut Naira.
“Bilang cepetan! Mama sudah lapar!” seru Anaya.
Izzar bangkit dari tempat tidur. Di ruang tengah, Anaya sudah rapi dengan jeans semata kaki dan kaus berwarna sama dengan Naira. Ia memandang kesal ke arah Izzar yang masih kusut .
“Kalau sudah lapar, kamu ke sarapan duluan saja sama Naira. Aku mandi dulu. Nanti aku nyusul.” Izzar berbalik ke kamarnya.
“Aku maunya bareng Ayah Izzar!” Naira menolak gagasan Izzar yang tanpa ia sadari menambah kekesalan Anaya.
Izzar bergegas ke kamar mandi, menghindari kemungkinan perdebatan yang tidak ingin didengarnya. Ia mengira, Naira pada akhirnya akan menuruti sarannya. Namun, sikap gadis kecil itu ternyata lebih keras daripada mamanya. Naira tetap menunggunya mandi sambil menonton TV daripada menemani Anaya.
“Mama mana?” tanya Izzar.
“Mama sudah pergi duluan. Katanya sudah lapar.”
“Kenapa kamu ngga temani mama? Nanti kalau dia diganggu orang bagaimana?”
“Biarin aja! Mama sudah besar. Aku lagi bosan ah, sama mama. Marah-marah terus,” jawab Naira sambil bersungut.
Izzar menghela nafasnya. Kecil-kecil Naira sudah muncul bakat keras kepalanya.
Meskipun sedang weekdays, hotel tetap ramai karena sedang ada kegiatan seminar corporate. Restoran hotel tempat breakfast setengah penuh.
Izzar menggandeng Naira mencari Anaya. Matanya menemukan wanita itu di meja di sudut ruangan. Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang sedang berbicara sesuatu. Dari wajah dan gestur Anaya, Izzar dapat melihat ketidaknyamanan Anaya.
Melihat hal itu, entah dorongan naluri apa yang membuat mengangkat dan menggendong Naira, sehingga ia bisa mempercepat langkahnya menghampiri Anaya.
Dalam beberapa detik, Izzar sudah berada di dekat mereka.
“Hei! Di sini mama kita rupanya!” Izzar menurunkan Naira yang langsung disambut dan dipangku Anaya.
Izzar tersenyum memandang ke lelaki yang langsung berubah gugup dan pergi meninggalkan mereka.
“Siapa dia tadi itu, Mama?” tanya Naira sambil pindah duduk di sebelah Anaya.
“Orang iseng,” jawab Anaya.
Izzar menatap Anaya. Ia berharap akan terucap kata-kata terima kasih karena telah menyelamatkannya dari lelaki iseng tersebut. Namun, Anaya hanya diam dan balik menatapnya dingin, tanpa kata dan senyum.
“Aku mau ambil makanan dulu!” Izzar beranjak pergi menuju buffet menelan harapan kosongnya.
Selesai sarapan, mereka bertiga berkendara ke Taman Safari.
Izzar tetap merasa Anaya menjauhinya. Tak ada arti sepertinya permintaan Izzar semalam agar Anaya menganggapnya teman. Meskipun Anaya tak terlalu keras lagi melarang Naira dekat dan bergantung padanya, tapi ia tetap saja menebarkan jarak dengan Izzar
Walaupun jengkel, Izzar mencoba sabar. Ia tak mau menyimpan dalam-dalam rasa jengkel atas sikap Anaya di hatinya. Dinikmatinya liburan “honeymoon” itu bersama Naira. Sudah lama juga ia tidak pergi jalan-jalan seperti ini. Ia ingat, terakhir ia meluangkan waktu untuk liburan adalah dua tahun yang lalu. Bersama Sasika, tunangannya yang tega meninggalkannya di saat kondisinya terpuruk.
Di sisi lain, Anaya berupaya keras agar dapat turut bersenang-senang selayaknya orang berlibur. Tetapi, ia tidak bisa menyingkirkan sekat yang ia ciptakan di antara dirinya dan Izzar. Sekuat apapun ia mencoba, hati kecilnya tetap menganggap Izzar sebagai manusia asing. Dan, walaupun ia menyadari Izzar sebenarnya lelaki yang baik dan perhatian, tetap saja ia merasa lelaki itu lemah, sebab mau dipaksa menikahinya demi uang.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!