NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Mantan

Awal mula

"Duh, panas banget ya," Irene mengusap keringat yang ada di keningnya.

Siang ini, Irene masih berada di jalan raya . Keringatnya sudah mulai bercucuran membasahi tubuhnya. Terik matahari siang ini begitu sangat menyengat. Membuat wajah putih Irene sedikit menghitam.

Sudah sejak kemarin Irene mencari pekerjaan. Namun sampai saat ini, belum ada satupun kantor yang mau menerima Irene. 

Irene sejak tadi masih mengusap-usap keringat yang ada di keningnya. Rasa haus sudah mulai menggerogoti tenggorokannya. Setelah berjalan cukup lama, Irene kemudian menghentikan langkahnya. Dia merogoh uang yang ada di dalam sakunya. 

"Uangku tinggal segini, cuma cukup untuk beli air putih sama roti saja." Irene menatap uang sisa yang ada di genggaman tangannya. 

Irene kemudian menatap kesekeliling. Pandangannya tertuju pada sebuah warung makan. 

"Mungkin di warung itu jualan air mineral," ucap Irene.

Irene kemudian melangkah ke arah warung makan itu. Namun dia terkejut, saat mendengar suara klakson mobil yang sangat keras di belakangnya.

Tin tin tin...

Irene menoleh ke belakang. Dia sangat kesal dengan pemilik mobil itu. 

"Kenapa sih tuh orang. Bunyiin klakson keras banget. Emang dia fikir aku tuli apa. Ngeselin banget sih...!" gerutu Irene. 

Mobil itu masih melaju pelan ke arah Irene. Dengan sekejap, mobil itu sudah berada di samping Irene berdiri.

Irene menatap lekat seorang lelaki yang berada di dalam mobil itu. Dia menatap dengan seksama lelaki itu. 

'Siapa lelaki ini, Sepertinya aku pernah melihatnya,' gumam Irene sembari memperhatikan wajah lelaki yang ada di dalam mobil itu. Lelaki yang tidak asing lagi untuknya.  

Lelaki berkaca mata hitam itu, juga sama terkejutnya saat melihat Irene. Dia masih saja menatap Irene. Sejenak Irene dan lelaki itu saling menatap. 

"Irene," gumam lelaki itu setelah mengenali wanita yang ada di tepian jalan itu. 

Dia kemudian membuka kaca mata hitamnya. Irene terkejut saat melihat siapa lelaki itu. 

'Mas Ifan,' batin Irene. 

Irene tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat lelaki tampan itu. Ifan lelaki yang sudah lama sekali menghilang dari kehidupannya. Lelaki yang sudah pernah singgah dihatinya. Dia adalah Ifan  mantan suami Irene.

Setelah mengenali Irene, Ifan kemudian buru-buru turun dari mobilnya. Dia kemudian melangkah mendekat ke arah Irene.

"Iren," ucap Ifan.

Irene hanya bisa diam. Dia masih terpaku menatap sosok lelaki tampan yang sudah berdiri di depannya.

Ifan sekarang sudah sangat berubah. Jauh berbeda dari Ifan yang dulu Irene kenal. Ifan sekarang sudah menjadi orang sukses, punya mobil mewah, rumah mewah, dan dia juga sudah bisa membangun perusahaan sendiri. 

Dari hasil kerja kerasnya, dia sekarang jauh lebih sukses dari pada ke dua orang tua Irene yang dulu sempat menghinanya. 

"Mas Ifan," gumam Irene. 

"Irene. Sudah lama banget ya kita nggak ketemu," ucap Ifan.

Irene hanya tersenyum.

"Iya Mas. Apa kabar?" tanya Irene.

"Kabarku alhamdulillah baik. Bagaimana kabar kamu Ren?" 

"Baik juga Mas." 

"Oh iya. Kamu mau ke mana? kok kamu jalan kaki aja?" tanya Ifan.

Irene yang ditanya hanya diam. Sebenarnya dia malu saat bertemu kembali dengan Ifan. Dia masih ingat betul bagaimana dulu ke dua orang tuanya sempat memperlakukan Ifan dengan buruk.

"Ren, hello...! kamu kenapa? kok malah bengong."Ifan melambaikan tangannya di depan wajah ayu Irene.

"Eh, Mas." 

Ifan tersenyum. 

"Heem... aku tahu. Kamu pasti terpesonakan saat melihat

aku?" Ifan sudah menyilangkan tangannya di dadanya.

"Ap- apa?" Irene tergagap. Dia tampak salah tingkah. 

"Nggak, siapa juga yang terpesona sama kamu," ucap Irene. 

Terpesona? mungkin saja Irene terpesona sama Ifan. Karena penampilan Ifan sekarang jauh lebih keren dari pada penampilannya yang dulu. 

"Irene. Kamu kenapa bawa-bawa berkas seperti itu?" Ifan menatap sesuatu yang Irene pegang. 

"Oh, ini Mas. Sebenarnya, aku mau cari kerja. Tapi, sejak tadi pagi, muter-muter belum nemu-nemu juga pekerjaan yang cocok."

Ifan hanya manggut-manggut. 

"Oh. Kenapa kamu mau cari kerja?" tanya Ifan.

Irene diam. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ifan. Irene tidak mungkin cerita tentang masalah rumah tangganya pada Ifan. Karena Ifan sekarang bukan siapa-siapanya lagi. Dan mereka juga baru dipertemukan lagi setelah delapan tahun terpisah.

Ifan tiba-tiba saja sudah membuka pintu mobilnya. Dia kemudian meminta Irene untuk masuk ke dalam mobilnya. 

"Masuk," ucap Ifan.

Irene bingung dengan sikap Ifan. Apa sebenernya mau Ifan. 

"Untuk apa?" 

"Aku akan antarkan kamu. Kamu mau ke mana?" 

"Apa?" 

"Jangan salah paham dulu. Aku cuma mau ngantar kamu aja. Aku nggak tega kalau melihat kamu jalan kaki panas-panasan begini," ucap Ifan. 

"Maaf Mas. Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak mau ngerepotin kamu Mas." 

"Oh, Ren. Jangan sungkan gitu Ren. Aku sama sekali nggak merasa direpotin kok. Kamu tenang aja." 

"Maaf Mas. Tapi aku nggak mau ikut sama kamu."

"Kenapa? kamu takut, jatuh cinta lagi sama aku?" goda Ifan dengan senyuman manis diwajahnya. 

Irene membelalakkan matanya. Dia tidak menyangka mantan suaminya akan mengatakan hal itu. 

"Kamu ngomong apa sih Mas? Sekarang aku sudah punya suami. Dia lelaki yang sangat baik. Dan aku sangat mencintai dia Mas. Jadi, untuk apa aku jatuh cinta lagi sama kamu. Itu tidak mungkin Mas." Irene tampak kesal. Padahal Ifan hanya bercanda saja.

Ifan hanya menanggapi kekesalan Irene dengan santai.

"Hehe... Aku cuma bercanda Ren. Nggak usah di masukan hati. Maaf ya." Ifan menatap Irene lekat. 

Irene hanya mengangguk. 

"Sekarang kamu mau ke mana? biar aku antar kamu. Kamu nggak usah nggak enak begitu sama aku. Anggap saja aku ini sahabat kamu," ucap Ifan yang masih membujuk Irene untuk masuk ke dalam mobilnya. 

Sebenernya niat Ifan baik. Dia tidak tega melihat Irene kepanasan dan jalan kaki. Kelihatannya Irene juga sudah kelelahan. Dia ingin mengantar Irene pulang ke rumahnya. 

Irene sejak tadi masih diam. Sepertinya dia masih bimbang untuk ikut dengan Ifan mantan suaminya. 

Irene tidak enak jika harus satu mobil dengan Ifan. Dia takut, bagaimana jika sampai ada orang yang melihatnya semobil dengan Ifan. Irene tidak mau ada yang salah paham sama mereka.

Namun di sisi lain,Irene sudah merasa lelah. Karena sudah sejak tadi pagi dia muter-muter mencari pekerjaan. Namun hasilnya nihil. Dia belum juga mendapatkan pekerjaan.

"Aku mau pulang aja Mas, aku udah capek," ucap Irene yang akhirnya menyetujui untuk pulang bareng Ifan.

"Ya udah. Aku antar kamu pulang. Ayo masuk...!" pinta Ifan.

Irene mengangguk. Setelah itu dia masuk ke dalam mobil Ifan. Begitu juga dengan Ifan yang mengikuti Irene masuk ke dalam mobil.

Setelah mereka berdua sudah memasuki mobil, Ifan dan Irene kemudian meluncur pergi meninggalkan tempat itu. 

Beberapa saat, Irene dan Ifan saling diam. Mereka masih menatap ke depan. Mereka masih di sibukan dengan fikiran mereka masing-masing. 

"Kamu udah makan Ren?" tanya Ifan. 

"Aku belum makan Mas, tapi aku masih kenyang."

"Gimana kalau kita makan dulu. Kamu mau?"

"Nggak usah Mas. Aku mau langsung pulang aja." 

Ifan diam. Dia tahu kalau wanita yang sekarang ada di sampingnya itu sedang kelelahan. Wajah Irene juga terlihat pucat. 

Kriuuuk...

Irene memegangi perutnya. Sepertinya rasa lapar sudah tidak bisa lagi dia tahan.Namun, dia tidak mungkin menerima begitu saja ajakan Ifan untuk makan siang bersama.

"Tuh kan, dengarkan. Cacing kamu juga sudah kelaparan. Aku tahu kalau kamu lapar. Gimana kalau kita mampir ke cafe dulu. Kita makan siang dulu." 

Irene lagi-lagi diam. Dia bingung untuk menerima ajakan Ifan.

"Maaf Mas, aku nggak mau merepotkan kamu. Aku mau pulang aja dan makan di rumah." 

"Ren. Kamu mau cari pekerjaan kan?" tanya Ifan.

"Iya Mas."

"Aku bisa kok, cariin kamu kerjaan." 

Irene tersenyum. "Benar Mas, kamu bisa carikan aku kerjaan?" 

Ifan mengangguk."Iya. Kamu mau kerja apa?" 

"Apa aja Mas. Aku udah capek banget soalnya. Dari kemarin nyari kerjaan nggak ketemu-ketemu juga."

"Ya udah. Kita bicarakan ini sambil makan aja ya."

Irene akhirnya mau menerima tawaran Ifan.

Ifan kemudian mengajak Irene ke cafe untuk makan siang.

Makan siang

"Mas, kamu yakin bisa bantu aku cari kerjaan?" tanya Irene disela-sela kunyahannya.

"Iya. Aku bisa tempatkan kamu di kantor aku," ucap Ifan.

"Oh iya? Kamu punya kantor?" 

"Haha...jangankan kantor Iren. Pesawat jet pun aku punya." Ifan tergelak sembari menatap Irene. 

Irene sedari tadi masih terkagum-kagum mendengar ucapan Ifan. 

"Wah, jadi sekarang kamu udah jadi orang sukses ya? Mobil kamu juga sangat mewah."

"Iya. Alhamdulillah Iren. Ini semua karena hasil kerja kerasku."

"Syukurlah kalau begitu. Beruntung ya wanita yang bisa dapatin kamu. Karena sekarang kamu sudah sangat berubah."

"Iya. Tapi sayang sekali. Dia sangat cepat sekali meninggalkan aku." 

"Maksud kamu apa?" tanya Irene bingung. 

"Istri aku sudah meninggal Iren," jawab Ifan yang membuat Irene terkejut.

"Jadi, kamu sudah pernah menikah dengan wanita lain? dan istri kamu itu sekarang sudah meninggal?" 

Ifan mengangguk. "Iya." 

"Duh, maaf ya Mas. Aku sudah membuat kamu sedih," ucap Irene saat melihat perubahan wajah Ifan yang terlihat sedih saat diingatkan lagi pada istrinya yang sudah meninggal itu. 

"Oh. Nggak apa-apa Ren. Kita lanjut makan saja ya," 

Irene mengangguk.

Ifan dan Irene sejak tadi masih berada di cafe. Mereka masih menikmati makan siangnya. Sudah lebih dari delapan tahun mereka tidak pernah berjumpa. 

Karena sejak perceraian mereka, Ifan menghilang begitu saja. Dan dia sekarang kembali dengan membawa banyak perubahan dalam dirinya. 

"Mas, jujur, aku belum punya pengalaman apa-apa di kantor," ucap Irene yang membuat Ifan menatapnya.

"Ya nggak apa-apa. Kamu bisa kerja jadi sekretaris pribadi aku, atau asisten pribadi aku." 

"Sekretaris?" 

"Iya. Itu sih kalau kamu mau. Karena nggak ada lowongan lain selain itu." 

Irene diam. Dia tampak berfikir. 

'Kalau aku jadi sekretaris Mas Ifan, itu artinya aku akan dekat lagi sama dia. Lalu, bagaimana kalau Mas Irwan tahu aku kerja dengan mantan suamiku. Dia pasti akan marah besar sama aku, dan tidak akan mengizinkan aku kerja lagi.' batin Irene. 

"Mas, emang nggak ada kerjaan lain selain menjadi sekretaris?" tanya Irene.

Ifan menggeleng. 

"Nggak ada Ren. Aku sekarang lagi butuh sekretaris. Karena sekretarisku yang kemarin sudah mengundurkan diri."

"Tapi, aku nggak punya pengalaman dalam bidang itu Mas."

"Nggak masalah. Nanti aku bisa ajarin kamu." 

Irene masih tampak bingung untuk menerima pekerjaan itu. Iren takut kalau pekerjaannya itu, akan membawanya larut ke dalam cinta masa lalunya. Apalagi dia melihat Ifan sekarang sangat berbeda jauh dari Ifan yang dulu. Ifan terlihat jauh lebih tampan, jauh lebih keren, dan jauh lebih kaya.

"Mas, kayaknya aku nggak bisa deh, menerima tawaran dari kamu untuk menjadi sekretaris pribadi kamu. Kerjaan yang lain aja kalau ada Mas."

"Ada sih. Cleaning service di kantor aku , atau jadi pengasuh anak aku di rumahku." 

"Apa? pengasuh? kamu udah punya anak Mas?" tanya Irene. 

Dia tidak menyangka kalau mantan suaminya itu sudah punya anak.

"Iya. Aku sudah punya anak satu Iren."

"Wah, nggak nyangka aku Mas. Kamu ternyata sudah punya anak." 

Irene kembali diam. Setetes bening mengalir dari pelupuk matanya. Ifan tidak tahu apa yang membuat Irene sedih. 

"Kamu kenapa Ren?" tanya Ifan. 

Irene segera menghapus air matanya. 

"Oh, maaf Mas," ucap Irene. 

Ifan mengambil sapu tangan yang ada di saku celananya. Setelah itu dia mengusap sisa-sisa air mata Irene.

"Jangan nangis Ren. Aku nggak suka melihat kamu menangis. Aku lebih suka melihat kamu tersenyum. Karena kamu jauh lebih cantik jika tersenyum." 

Irene menatap Ifan lekat. Begitu juga dengan Ifan. Dia sejak tadi masih memperhatikan Irene. Irene mantan istrinya, wanita yang dulu sangat dia cintai. Dan sekarang wanita itu, sudah duduk dekat sekali dengan Ifan. 

Deg deg deg...

Jantung Irene tiba-tiba saja, berpacu lebih cepat dari biasanya. Dia tampak gugup saat Ifan mendekatinya dan menghapus air matanya. 

"Aku bisa sendiri Mas," ucap Irene sembari menyambar sapu tangan yang ada dalam genggaman Ifan.

Irene kemudian mengusap sisa-sisa air matanya dengan sapu tangan itu. 

"Aku mau pulang Mas. Kayaknya kita di sini udah terlalu lama."

"Oh, oke. Aku akan antar kamu pulang. Tapi, kamu habiskan dulu makanannya ya." 

Irene mengangguk. Setelah itu dia mulai menghabiskan makanannya. Begitu juga dengan Ifan. Dia juga mulai menghabiskan makanannya. Tidak ada sesuatu yang mereka bicarakan di makan siang pertama mereka selain membahas pekerjaan.

 

Setelah mereka menghabiskan makanan mereka, Ifan kemudian mengambil sebuah kartu nama dari dalam dompetnya. Setelah itu dia menyodorkan kartu nama itu pada Irene.

"Ini kartu namaku. Kamu bisa hubungi aku, kalau kamu memang membutuhkan pekerjaan. Dan di sini juga ada alamat kantor aku. Kamu bisa ke kantor aku, kalau kamu sudah siap kerja di kantor aku." 

Irene meraih benda pipih itu. Dia kemudian membacanya. 

'Direktur Utama? hebat sekali Mas Ifan. Ternyata dia seorang direktur.' batin Irene. 

"Makasih Mas, untuk semuanya. Aku akan fikirkan ini dulu," ucap Irene.

Ifan mengangguk. "Baik."

Setelah selesai makan siang di cafe, Ifan kemudian mengantar Irene untuk pulang ke rumahnya. 

Di perjalanan pulang, Irene dan Ifan hanya bisa saling diam. Mereka masih larut dalam fikirann mereka masing-masing. 

Irene saat ini dalam dilema. Saat ini, dia memang sangat membutuhkan pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarga. Namun belum ada satupun perusahaan yang mau menerimanya. Tapi di sisi lain, dia juga tidak mungkin menerima pekerjaan dari mantan suaminya.

'Aku terima nggak ya, kerjaan dari Mas Ifan. Tapi, kalau jadi sekretaris, aku nggak pengalaman dan nanti aku akan dekat terus sama Mas Ifan. Jadi cleaning servis, gajinya juga mungkin tak sebesar gaji sekretaris. Kalau jadi pengasuh anaknya Mas Ifan, mungkin aku akan jarang bertemu Mas Ifan kali ya. Kan mas Ifan orang sibuk. Jarang ada di rumah. Pasti kebanyakan waktunya itu di kantor.' batin Irene.

Ifan sejak tadi masih memperhatikan Irene. 

'Kenapa ya dengan Irene. Dia terlihat seperti orang kebingungan. Dia seperti sedang punya masalah besar.' batin Ifan

"Ren. Kamu kenapa?" tanya Ifan.

"Aku nggak apa-apa."

"Kamu lagi ada masalah sama suami kamu?" 

Irene tersenyum.

"Nggak ada Mas."

"Kalau kamu lagi punya masalah, kamu bisa kok ceritakan masalah kamu ke aku. Siapa tahu nanti aku bisa bantu."

"Aku lagi nggak ada masalah kok Mas."

"Oh, ya udah. Kalau kamu lagi ada masalah, lebih baik kamu ceritakan saja semua masalah kamu. Jangan di pendam sendiri. Siapa tahu, dengan bercerita ke orang lain, hati kamu bisa sedikit lebih tenang." 

Irene tahu, kalau Ifan itu lelaki yang sangat perhatian. Tapi, Irene tidak mau perhatian Ifan ke dia bisa menjadi bumerang untuk dirinya. 

"Mas, aku turun di situ aja Mas," ucap Irene tiba-tiba.

"Lho, kenapa kamu mau turun di tengah jalan?"

"Nggak apa-apa. Aku turun di sini saja Mas."

"Kamu nggak mau aku antar sampai rumah?"

"Nggak usah sampai rumah Mas. Aku turun di sini saja. Lagian rumah aku juga sudah dekat kok. Tinggal jalan kaki sedikit aja, nanti juga sampai."

"Oh, ya udah." 

Ifan kemudian menghentikan laju mobilnya. Sebenarnya, Ifan ingin mengantarkan Irene sampai rumah. Dia tidak tega jika dia harus menurunkan Irene di tengah jalan. Namun Irene memaksa untuk turun di tengah jalan. Mungkin, dia takut Irwan akan salah paham.

"Makasih ya Mas. Untuk tumpangannya," ucap Irene sebelum turun dari mobil Ifan. 

"Iya. Sama-sama Irene."

Irene kemudian turun dari mobil Ifan. Dia masih menatap lelaki tampan itu.

"Hati-hati ya Mas di jalan," ucap Irene. 

Menerima tawaran Ifan.

Sejak tadi, Irene masih mondar-mandir di kamarnya sembari menatap kartu nama pemberian Ifan. 

'Apa aku terima aja ya kerjaan dari Mas Ifan. Dan Mas Irwan tidak perlu tahu aku kerja di mana dan sama siapa,' batin Irene. 

Beberapa saat kemudian, Irwan membuka pintu kamar mandinya. Dia masih melilitkan handuk di pinggangnya. 

Irene terkejut saat melihat suaminya. Irene buru-buru menyembunyikan kartu nama pemberian dari Ifan.

"Kamu kenapa sayang? dari tadi, seperti orang bingung?" Irwan menghampiri istrinya dan menatap lekat istrinya.

"Oh. Aku nggak apa-apa. Kamu udah selesai ya mandinya?" tanya Irene.

Irwan hanya mengangguk. Dia melangkah mendekat ke arah lemari, untuk mengambil bajunya.

Irwan berganti baju, sementara sejak tadi, Irene masih melamun.

"Kamu dari mana saja tadi siang sayang?" tanya Irwan menatap tajam istrinya.

"Oh, aku nggak dari mana-mana kok." Irene tampak gugup.

"Apa yang kamu pegang?" 

" Oh, bukan apa-apa Mas. Kertas nggak penting kok." 

Irene buru-buru berdiri. 

"Kamu pasti belum makan kan Mas. Biar aku masakin buat kamu ya?" 

Irwan hanya mengangguk. Setelah itu, Irene segera melangkah ke luar dari kamarnya. Dia kemudian menuju ke dapur untuk memasak. 

Sejak tadi pagi, Irene belum sempat memasak. Karena dia harus pergi ke luar untuk mencari kerja. 

*

Malam ini, Irene masih berkutat di dapur. Sementara Irwan sudah berdiri di belakangnya. 

"Ren. Kamu jangan bohong sama aku. Kamu dari mana aja tadi pagi?"

Irene membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah suaminya. 

"Maaf Mas. Tadi pagi, sebenarnya aku lagi nyoba nyari kerja."

"Apa...! nyari kerja? bukankah aku sudah bilang. Kamu jangan kerja Ren. Kamu di rumah aja. Biar aku yang nyari nafkah. Karena mencari nafkah itu udah menjadi kewajiban aku."

"Tapi aku lama-lama di rumah nggak betah Mas. Aku ingin cari pengalaman, sekalian ingin membantu perekonomian keluarga. Tolong ya Mas. Izinkan aku untuk kerja? aku janji, setelah nanti aku punya anak, aku akan diam saja di rumah ngurus anak." 

Irwan diam. Sejak kemarin Irene memang selalu memohon-mohon agar Irwan mau mengizinkannya kerja. 

"Sebenarnya aku nggak setuju kalau kamu kerja Ren. Tapi, kalau memaksa terus seperti ini, aku bisa apa. Aku cuma ingin kamu bahagia Ren. Kalau kamu ingin kerja, aku akan izinkan kamu kerja Ren."

Irene tersenyum dan langsung memeluk suaminya. 

"Makasih banget ya Mas, kamu udah mau ngizinin aku kerja."

"Iya. Tapi ada syaratnya Ren." Irwan melepaskan pelukannya.

"Apa Mas?" tanya Irene.

"Kamu janji ya, kamu harus bisa membagi waktu di antara melayani suami kamu dan kerjaan kamu."

"Iya Mas. Aku janji, aku tidak akan pernah menelantarkan kamu." 

Irwan tersenyum dan langsung mengecup kening Irene.Setelah itu Irwan duduk di ruang makan untuk menunggu istrinya memasak.

Sejak Irwan dipecat dari pekerjaannya di kantor, Irwan sekarang beralih menjadi seorang sopir.

Irene bingung. Karena gaji Irwan yang sekarang, tidak bisa untuk mencukupi semua kebutuhannya. Termasuk bayar cicilan mobil dan rumah. Makanya, Irene berinisiatif untuk mencari kerja, untuk membantu perekonomian keluarga.

**** 

Malam ini, Irwan sudah tampak nyenyak. Sementara Irene masih berada di ruang keluarga. Dia sejak tadi, masih ragu untuk menelpon Ifan. 

"Telpon, nggak, telpon, nggak..." sejak tadi, Irene hanya bisa menghitung kancing bajunya bolak balik. 

"Telpon aja deh," ucap Irene. 

Irene kemudian meraih ponselnya dan menekan nomer Ifan. 

Tut...Tut...tut...

"Duh, kok nggak di angkat sih. Apa dia udah tidur ya?" gumam Irene.

Irene kemudian menekan nomor Ifan sekali lagi. 

"Halo..." suara lelaki dari balik telepon sudah menggetarkan tubuh Irene. 

Entah kenapa tubuh Irene mendadak kaku saat mendengar suara Ifan. Irene hanya bisa diam mematung. Dia gugup dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Ifan.

"Halo... dengan siapa ini?" 

"Ha...halo..." 

"Halo..."

"Ini benar dengan Mas Ifan ya?" 

"Oh, Ini Iren ya."

"Oh, iya Mas. Maaf ya. Kalau malam-malam udah ganggu kamu. Udah tidur ya?"

"Oh, belum kok. Aku masih kerja."

"Malam-malam gini masih kerja?" 

"Hehe... maksud aku kerja di rumah sayang."

"Apa? sayang?" 

"Ups, maaf Ren. Keceplosan. Ada apa Ren? kamu kangen ya, atau kamu mau temani aku begadang malam ini?"

"Duh, kamu bicara apa sih Mas. Aku cuma mau..." 

Iren diam. 

"Kenapa Ren? kok kamu diam aja. Sakit gigi ya. Atau sariawan?" 

"Mas, jangan bercanda terus deh. Aku mau seriusan nih."

"Serius apa?" 

"Setelah aku pikir-pikir, aku mau deh Mas, kerja ama kamu. Soalnya, sejak kemarin aku belum juga dapat kerjaan."

"Oh, itu. Ya udah, kamu datang langsung aja ke kantor. Kamu bisa langsung kerja besok."

"Tapi, aku nggak mau kerja di kantor kamu Mas."

"Lho. Kok gitu?"

"Aku nggak mau jadi OB atau sekretaris pribadi kamu. Aku lebih milih jadi pengasuh anak kamu aja Mas," 

"Oh ya? hehe... boleh. Boleh banget kalau itu. Kamu bisa langsung datang ke rumah aku besok pagi."

"Tapi, aku mau pulang pergi aja Mas. Nggak mau nginep."

"Oh, oke. Kebetulan, pengasuh Alma juga sedang cuti. Dan entah kapan dia akan kembali."

"Iya Mas. Aku cuma mau bicara itu aja kok. Udah malam Mas. Aku tutup dulu ya telponnya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." 

Irene kemudian menutup saluran telponnya. Dia tidak mau ketahuan Irwan, kalau dia diam-diam menelpon mantan suaminya dan meminta kerjaan padanya.

***

Ifan sejak tadi masih senyum-senyum sendiri. Entah kenapa, sejak bertemu kembali dengan mantan istrinya, Ifan berasa lebih bahagia saja. 

"Iren Iren, kamu itu masih cantik, sama seperti dulu. Nggak ada yang berubah dari kamu sayang. Begitu juga cinta aku. Walau aku sudah punya istri dan anak, tapi di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih sangat mencintai kamu sayang." 

Ifan kemudian meletakan ponselnya kembali di atas meja. Dia kemudian melangkah ke luar menuju kamar anaknya. Dia membuka pintu kamar Alma. Anak perempuan yang sekarang sudah genap enam tahun. 

Alma saat ini, sudah terlelap. Ifan melangkah dan duduk di sisi ranjang Alma. 

"Nyenyak banget tidur kamu sayang," ucap Ifan. 

Dia kemudian menyelimuti tubuh Alma dan mencium keningnya. 

Sejak kepergian istrinya enam tahun yang lalu, Ifan hanya tinggal sendiri bersama Alma. 

Weni istri Ifan meninggal sejak melahirkan Alma. 

Sejak saat itu, Weni sudah tidak punya orang tua. Orang tuanya sudah meninggal. Dia anak tunggal dari seorang pengusaha besar. Dan orang tuanya sudah mewariskan perusahaan dan rumah mewah untuk Weni yang sekarang ditinggali oleh Ifan dan Alma.

 Berkat kerja keras Ifan selama enam tahun ini, Ifan sudah bisa membangun perusahaan Weni menjadi perusahaan besar yang cabangnya pun ada di mana-mana.

Dan harta yang Ifan punya saat ini, adalah harta peninggalan mertua dan istrinya yang sekarang sudah meninggal. Ifan bisa seperti sekarang karena Weni ibunya Alma. Dan Ifan sangat menyayangi Alma. Dia sangat menjaga sekali anak kesayangannya itu.

"Tidur yang nyenyak sayang. Besok, papa akan kenalkan kamu sama Mbak baru pengganti Mbak Intan. Papa yakin, kalau Mbak baru kamu nanti, akan sayang sama kamu, lebih sayang dari Mbak Intan," ucap Ifan. 

Ifan bangkit berdiri. Dia kemudian pergi meninggalkan Alma di kamarnya. Ifan menuju ke kamarnya sendiri. 

Sesampai di kamarnya, Ifan kemudian membaringkan tubuhnya. Dia mencoba untuk memejamkan matanya dan tidur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!