...🍀🍀🍀...
...*****...
Seorang wanita muda baru saja keluar dari ruangan dokter kandungan di sebuah rumah sakit, kota Jakarta. Wanita itu membawa amplop berwarna putih ditangannya, dia tampak berseri-seri setelah keluar dari ruangan itu.
"Alhamdulillah ya Allah, mas Bram pasti akan senang mendengar berita kehamilanku ini. Aku jadi tidak sabar untuk memberitahukan kabar ini pada mas Bram."
Wanita itu memegang perutnya yang masih datar dan tertutupi oleh blouse berwarna abu-abu. Bibirnya menyunggingkan senyuman manis penuh rasa bahagia.
Dia adalah Haura Yameena Arandita, biasa dipanggil dengan sebutan Ara. Dia adalah istri dari Bramasta Wiratama, seorang CEO di Wiratama grup. Ara hanyalah seorang gadis dari kalangan biasa, berbeda dengan Bram yang memang sudah terlahir dengan sendok emas.
Ayahnya hanyalah seorang supir di dalam keluarga Wiratama dan ibunya seorang guru sekolah dasar. Keuangan keluarga Ara juga pas-pasan. Lalu bagaimana dia bisa menikah dengan Bram?
Ya, mereka menikah karena kakek Bram menginginkannya. Kakek Bram yang bernama Aryan Wiratama memiliki seorang sahabat yang berjasa di masa lalu dan dia berjanji akan membalas budinya suatu hari nanti pada sahabatnya. Namun tanpa disangka, balas budi itu dibayar dengan pernikahan cucunya dan cucu sahabatnya. Aryan berjanji akan memberikan Bram posisi di perusahaan jika dia mau menikahi Ara dan dia pun setuju menikah dengan wanita yang tidak dia kenal itu.
Menikah tanpa cinta, membuat Ara tidak menyerah mendapatkan cinta Bram. Dia memang diam-diam telah mencintai Bram dan berusaha mendapatkan hatinya. Walau belum sepenuhnya hati itu didapatkan oleh Ara, namun hubungan keduanya baik-baik saja selama 3 bulan mereka menikah.
Ara mencoba menghubungi suaminya, namun tidak ada jawaban juga. "Apa mas Bram masih sibuk di kantor? Ya udah deh, nanti saat di rumah aku bakal kasih tahu dia....kalau aku lagi hamil. Aku yakin setelah ini Mas Bram akan semakin dekat padaku." gumam Ara.
Wanita muda berusia 22 tahun itu pun pergi meninggalkan rumah sakit dengan raut wajah yang berseri-seri. Dia pulang ke rumah bersama dengan sopirnya yang bernama Seno. Sesampainya di rumah, Ara langsung memasak makan siang dengan hati yang riang. Bram mengirimkan pesan singkat kepada Ara, bahwasanya dia akan pulang ke rumah untuk makan siang.
Ara memasak makanan kesukaan suaminya, masakan rumahan sederhana. Menu ati ampela, tempe goreng dan sup iga adalah kesukaan suaminya.
Ting!
Sebuah pesan masuk lagi ke ponsel Ara, saat Ara sibuk memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajan. "Mas Bram?"
Ara membuka pesan singkat dari suaminya, sementara tangannya yang lain sibuk mengorek-ngorek bumbu.
...Jangan lupa buatkan pasta juga ya, Ra....
"Pasta? Mas Bram kan gak suka makan pasta. Tumben dia mau aku masakin pasta." Ara melihat isi pesan itu dengan kening berkerut dan bertanya-tanya. Ia tahu benar bahwa suaminya lebih suka masakan Indonesia daripada masakan yang berbau dari luar negeri. Pasta kan berasal dari Italia.
Ting!
Ara kembali membuka ponselnya yang berbunyi, pesan dari orang yang sama.
...Jangan lupa buatkan jus stroberi juga ya....
"Hah? Jus stroberi? Mas Bram kan alergi stoberi, mengapa dia menyuruhku untuk membuatkannya? Ah...sudahlah, mungkin dia sedang mencoba untuk melawan alerginya." gumam Ara yang selalu berpikiran positif terhadap siapapun termasuk kepada suaminya.
Ara hanya membalas pesan dari suaminya dengan emot cium dan emot peluk, namun hanya dengan emot saja bisa menandakan betapa dalam cintanya Ara pada Bram. Dan Ara yakin bahwa Bram akan semakin mencintainya saat dia tahu bahwa Ara mengandung anaknya. Saat makan siang nanti, Ara akan memberitahu Bram tentang kehamilan ini.
Waktu pun berlalu dengan cepat, masakan sudah tersaji diatas meja makan. Semuanya Ara siapkan seorang diri. Biasnya ada seorang pembantu rumah tangga yang membantu Ara di rumah. Namun khusus hari ini, pembantunya yang bernama Marni itu sedang cuti karena anaknya yang sedang sakit.
Ara berdandan cantik dan memoles sedikit wajahnya yang polos, dia juga memakai pakaian yang bagus menurutnya. Begitu ia mendengar suara mobil dari depan rumah, Ara buru-buru turun dari lantai 2 rumahnya dan pergi keluar untuk menyambut suaminya seperti biasa.
Namun betapa terkejutnya Ara, saat melihat suaminya sedang menggandeng tangan wanita lain. Bahkan Bram juga membukakan pintu mobil untuknya, tatapan Bram pada wanita itu sangatlah hangat. Berbeda dengan tatapan Bram selama ini kepada Ara.
Mendadak hati Ara terasa nyeri, dadanya sesak dan panas melihat suaminya bersentuhan dengan wanita lain dengan begitu intim. Baginya bergandengan tangan adalah hal yang intim.
Ara berjalan mendekati suaminya dan wanita cantik dengan tubuh tinggi dan langsing itu. Namun pakaian wanita itu terlihat tidak sopan. Ara buru-buru menggandeng tangan suaminya dan menepis tangan wanita itu dari tangan suaminya. "Mas... kamu sudah pulang?"
"Ara, apa yang kau lakukan? Lepas!" Bram menampik tangan Ara dan malah menggandeng tangan wanita disampingnya itu. Wanita yang asing untuk Ara.
"Mas...kamu..." lirih Ara bingung dengan sikap suaminya yang tiba-tiba dingin. Padahal selama ini, walaupun mereka menikah tanpa cinta. Tapi Bram tidak pernah mengabaikannya seperti ini dan selalu menghargainya sebagai seorang istri. Tapi harga diri Ara seolah lenyap di hadapan wanita cantik itu.
"Ayo kita masuk Sel, kau sudah masak kan Ara?" tanya Bram dengan suara dingin pada istrinya.
Ara mengangguk. "Sudah, mas."
"Ayo Giselle, kita masuk dan makan bersama." ucapnya pada sosok wanita cantik yang bernama Giselle itu.
Mereka berjalan masuk ke dalam ruang mendahului Ara yang tengah mematung karena sikap suaminya yang berubah.
"Ya Allah, siapa wanita itu? Kenapa dia menggandeng tangan suamiku dengan begitu mesra?" gumam Ara dengan segudang pertanyaan di benaknya. Namun ia menyimpan dulu semua pertanyaan itu di dalam hatinya karena ia harus melayani suaminya makan siang.
Kini Ara, Bram dan Giselle duduk bersama di meja makan. Giselle mengambil alih kursi yang biasanya ditempati oleh Ara, yaitu disamping Bram.
"Maaf, tapi seharusnya saya yang duduk di sini." Ara menegur wanita yang telah mengambil tempat duduknya itu.
"Ra, kau ini kenapa? Hanya masalah tempat duduk saja, kenapa ribut?" ucapan Bram begitu sinis begitu pula dengan tatapannya kepada Ara. Sementara wanita yang duduk di samping Bram hanya senyum-senyum.
"Mas, siapa wanita ini? Apa wanita ini yang membuat sikapmu berubah padaku?" tanpa basa-basi lagi, Ara langsung menanyakan posisi Giselle pada Bram.
"Dia adalah kekasihku, dia Giselle." ucap Bram tegas.
Deg!
Ara tercengang manakala dia mendengar pengakuan dari bahwa Giselle adalah pacarnya. "Hah? Dia pacarmu? Lalu aku apa mas? Aku ini istrimu, mas." mata Ara mulai mengembun, dia merasa tidak dihargai sebagai seorang istri karena wanita yang tidak dikenal.
"Bram, sepertinya aku harus pergi dari sini." Giselle beranjak dari tempat duduknya.
"Tidak! Kamu tetap disini...kau baru saja pulang dari luar negeri. Kau pasti lelah dan lapar, lihatlah di meja makan ini...ada makanan kesukaanmu, pasta dan juga jus stroberi. Ara pandai memasak, masakannya selalu enak. Kau harus mencobanya."
Ara tercekat mendengar ucapan suaminya yang begitu perhatian kepada Giselle dan hatinya sakit ketika dia mengetahui fakta bahwa dirinya memasak untuk kekasih suaminya.
Astaghfirullah...jadi aku mau memasak untuk kekasih suamiku? Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi?
Bagaikan disambar petir, baru satu bulan yang lalu Bram bersikap baik padanya dan bahkan sampai melakukan hubungan intim dengannya. Tapi kenapa sekarang kenapa Bram berubah?
"Tidak Mas! wanita ini tidak boleh memakan masakanku, aku tidak sudi." Ara menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca dan marah.
"Hey! Ini rumahku dan aku berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak memakan masakanmu. Sekarang kau duduk dan makanlah dengan tenang!" bentak Bram pada Ara yang membuatnya menangis.
"Tidak Mas, aku tidak akan duduk tenang sebelum Mas mengusir wanita penggoda ini." kata Ara sembari lirik Giselle yang terus menempel pada suaminya.
Bram naik pitam, dia terbelalak mendengar perkataan istrinya. Lalu dia menampar Ara dengan keras.
Plakk!
"Mas!" Ara memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh Bram. Air matanya yang sedari tadi dia tahan pun, akhirnya jatuh juga.
"Jaga mulutmu, dia bukan wanita penggoda tapi kekasihku!" tunjuk Bram pada istrinya dengan tatapan nyalang.
...****...
...🍀🍀🍀...
Bagai tersambar petir di siang bolong, Ara tidak menyangka bahwa suaminya tega bermain tangan. Selama ini walaupun bukan mereka tidak begitu intim dan baik, tapi tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap ringan tangannya.
Bram memang dingin, cuek dan bersikap apatis terhadapnya. Namun Bram tidak pernah melayangkan tangannya untuk melukai Ara. Tidak pernah sekalipun! Apa semua karena kehadiran wanita yang bernama Giselle itu?
"Ayo sayang, kita makan bersama. Jangan pedulikan dia." ucap Bram seraya menggandeng tangan Giselle dan menggeser kursi dengan gentle, agar Giselle bisa duduk disana.
Tanpa peduli dengan keadaan Ara yang berstatus sebagai istrinya. Perih hati Ara melihat sikap suaminya yang berubah dalam semalam. Padahal tadinya ia ingin memberitahukan kepada Bram tentang kehamilannya.
Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi pada mas Bram?
"Mas..."
"Ara, kau mau makan atau berdiri disana saja? Kalau kau tidak mau makan, ya sudah." ucap Bram pada Ara tanpa melihat ke arah istrinya, tapi semua tatapan hangat Bram tertuju hanya pada Giselle.
"Kau mau makan apa sayang? Ah...lebih baik kau makan dulu pastanya, nanti keburu dingin." Bram menyodorkan pasta buatan Ara ke hadapan Giselle.
"Makasih sayang."
Ara masih berdiri mematung di sana dengan mata yang berkaca-kaca. Tau rasanya sakit hati? Taukah bagaimana rasanya diabaikan? Tidak dihargai? Diabaikan tanpa sebab? Ya, inilah yang dirasakan oleh Ara saat ini.
Panggilan sayang yang berasal dari bibir suaminya, begitu mencabik-cabik hatinya melihat suaminya begitu perhatian pada wanita lain didepan matanya.
Kata sayang itu bukan untuknya yang berstatus sebagai istri di tapi untuk wanita lain yang di klaim sebagai kekasih suaminya. Bayangkan bila jadi dirinya?
Tidak! Aku tidak boleh lemah, mas Bram adalah suamiku. Aku istrinya dan aku berhak untuk marah pada orang yang akan menganggu rumah tanggaku.
Buru-buru wanita itu menyeka air matanya, kemudian dia mengambil piring berisi pasta buatannya dan membuang pasta itu ke tempat sampah yang ada didepan rumah.
"Ara! Kau ini kenapa hah?" bentak Bram lagi pada istrinya yang membuang pasta buatannya sendiri ke tempat sampah. Pasta yang akan menjadi santapan Giselle, wanita yang katanya kekasih Bram.
Bram menarik tangan Ara dengan kesal, mencengkram tangan wanita itu dengan kuat. "Aku tidak sudi Mas, aku tidak sudi kau memanggil orang lain dengan panggilan sayang dan aku tak sudi kalau masakanku dimakan olehnya." kata Ara tegas, dengan senyuman getir dibibirnya. Dia tidak terima harga dirinya sebagai istri diinjak-injak, dia tak terima bila rumah tangganya diganggu orang ketiga.
"Ara!" teriak Bram marah dengan sikap istrinya yang keras kepala. Selama ini Bram tau istrinya pendiam dan mudah diatur, kenapa sekarang jadi begini?
"Bram, sudahlah...aku tidak apa-apa. Maafkan saya ya, saya tidak bermaksud untuk mengacaukan suasana. Bram yang membawa saya datang kemari, saya juga tidak tau sebelumnya kalau Bram sudah punya istri." Gisele menjelaskan kepada Ara bahwa kedatangannya tidak disengaja.
"Hah! Mana mungkin kau tidak tau, mas Bram adalah seorang pengusaha terkenal dan berita tentang pernikahannya tersebar di mana-mana. Apa mungkin anda orang primitif? Sampai tak tau berita pernikahan Bramasta Wiratama?" ejek Ara pada Giselle dengan sinis.
"Maafkan saya...saya akan pergi..." Giselle memelas, matanya mulai berkaca-kaca. Kemudian dia berlari pergi meninggalkan rumah itu.
Kini hanya Ara dan Bram yang berdua di rumah itu. Ara memegang dadanya, masih berusaha menahan kadar marah didalam hatinya. Bram juga mendengus marah, atensinya begitu tajam dan dingin pada Ara. Kenapa Bram berubah?
"Kau mau kemana Mas!" cegah Ara sembari memegang tangan Bram, saat pria itu akan pergi keluar rumah.
"Kau keterlaluan Ara! Kau membuat Giselle menangis!" Bram menepis tangan Ara dengan kasar. Tak terima dengan perlakuan Ara pada kekasihnya.
"Seharusnya kau tanyakan itu padaku Mas, kenapa kau membuat istrimu menangis?" tanya Ara dengan harapan Bram akan peduli atau paling tidak menanyakan bagaimana hatinya saat ini.
Bram malah tersenyum sinis."Istri? Jangan pernah menganggap mu istriku! Wanita kampungan sepertimu mana pantas menjadi istriku! Jangan lupa Ara! Aku tidak pernah menganggap mu istriku dan selama ini aku hanya mencintai wanita itu , GISELLE."
Kata-kata Bram berhasil membuat Ara bungkam diam seribu bahasa. Hatinya sakit seperti dihantam benda berat. Sakit tak berdarah. Ia menatap kepergian suaminya dengan sedih. Bram menyusul Giselle.
Ara memegang perutnya, air matanya luruh begitu saja dengan tatapan mata kosong. Sang suami telah pergi bersama wanita lain. Padahal Ara ingin memberitahukan kabar bahagia pada Bram tentang anak yang dikandungnya.
"Kenapa jadi begini Mas? Apa selama yang kita lewati selama 3 bulan ini sama sekali tidak bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku? Kau masih memikirkan wanita lain...hiks..."
...****...
...🍀🍀🍀...
Bukannya tidak berdaya atau lemah, tapi Ara masih punya harga diri sebagai seorang istri. Dia tidak mau mengejar suami yang jelas-jelas mengejar wanita lain di hadapannya sendiri.
Biarlah kali ini Bram pergi dan menyelesaikan urusannya dengan gadis itu, mungkin Bram akan mengatakan pada gadis itu untuk mengakhiri hubungan mereka. Pikir Ara dalam hatinya. Namun sepertinya Ara salah besar.
Bram memang menyusul Giselle, tapi bukan dengan tujuan seperti apa yang dipikirkan oleh Ara yang selalu berpikiran positif terhadap orang lain.
Kini Bram dan Giselle berada didepan gerbang rumah Bram yang mewah itu. Bram memegang tangan Giselle dan menahan wanita itu agar tidak pergi. "Sel! Tunggu dulu...aku ingin bicara denganmu."
"Apalagi yang perlu aku bicarakan denganmu, Bram? Kau katakan padaku bahwa aku tidaklah setia, padahal nyatanya siapa diantara kita yang tidak setia? Kau... bahkan sudah menikah dengan wanita itu dan tanpa peduli perasaanku, kau mengenalkanku dengan istrimu itu? Hah!" serka Giselle merupakan semua amarahnya pada Bram. Giselle bersikap seolah-olah bahwa dia tidak tahu pernikahan antara Bram dan Ara.
Buliran bening yang jatuh dari kedua mata berwarna biru itu membuat Bram luluh seketika. Mata yang selalu membuatmu jatuh cinta, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah meski ia sudah menikah dengan Ara.
"Memang benar wanita kampungan itu adalah istriku, tapi aku tidak pernah mencintainya! Selama ini aku menunggumu Giselle, aku walau kau tidak ada kabar..."
"Kalau kau menungguku, lalu kenapa kau menikah dengan wanita lain Bram?" ucap Giselle seraya menepis tangan Bram yang memegang tangannya.
Bram menghela nafas, berusaha menetralkan emosinya agar dia bisa membujuk Giselle untuk bicara dengannya. "Aku akan jelaskan semuanya, ayo kita pergi dari sini dan bicara di apartemenku!" ajak pria itu lalu memegang tangan Giselle dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Ara yang berdiri di depan rumah, melihat suaminya pergi bersama wanita lain.Sungguh hatinya terasa sangat sakit melihat pemandangan itu.
"Mas... kenapa kau tega melakukan ini padaku? Kenapa Mas? Padahal aku sedang mengandung anakmu." wanita itu memegang perutnya yang masih datar.
Sebenarnya Ara tidak tahu menahu secara detail tentang wanita yang bernama Giselle itu. Namun saudara-saudara perempuan selalu mengungkit namanya, sebagai nama perempuan yang selalu ada di dalam hati Bram. Kerap kali kakak dan kedua sepupu Bram membuat Ara kesusahan.
Bahkan mereka memperlakukan Ara seperti pembantu, bukan seperti keluarga. Namun wanita itu tetap bersabar, menghadapi suaminya, keluarga suaminya karena dia sangat menjunjung tinggi kewajiban sebagai seorang istri. Bukan hanya patuh kepada suaminya saja, namun kepada keluarganya juga. Sikap tak baik keluarga Bram tidak pernah membuat Ara sakit hati karena Ara sama sekali tidak pernah memasukkan ucapan dan sikap mereka ke dalam hatinya, tapi sikap Bram saat inilah yang membuat Ara sakit hati.
🎶🎶🎶
Tring... Tring...
Ara segera mengusap air matanya, manakala terdengar suara dering ponsel di dalam tas kecil miliknya.
Wanita itu segera mengangkat teleponnya dengan cepat. "As--"
"Gadis kampung! Eh maksudku kakak ipar--gimana sih kamu? Katanya kamu mau ke sini bantuin aku masak buat teman-teman. Kenapa belum datang juga?" hardik seorang wanita di sebrang panggilan telponnya.
"Astaghfirullah, maaf Nay...kakak lupa. Soalnya tadi Mas minta di masakan makan siang di rumah." jelasnya merasa bersalah.
"Ya sudah, sekarang kamu ke sini bantuin aku masak buat teman-teman. Soalnya acaranya mulai setengah jam lagi, aku nggak mau ya gara-gara kamu seorang... terus menghambat acaraku." cetus wanita itu dengan suara sarkas. Namun Ara tidak pernah memasukkannya ke dalam hati dan selalu menurut ketika dia diperintah seperti itu oleh sepupu Bram.
"Iya, Kakak segera ke sana ya Nay. Sekali lagi Kakak minta maaf karena kakak lupa." jelas Ara dengan suara lembut khas dirinya.
"Jangan banyak bacot deh! Cepet kesini sekarang!" tegasnya lalu menutup telepon secara sepihak. Dia adalah Kanaya, salah satu keponakan Bram alias anak dari kakak mamanya Bram yaitu Rania.
Tut...Tut...
Ara segera mengunci pintu rumahnya dan gegas pergi ke rumah keluarga besar Wiratama. Rumah tempat di mana suaminya dibesarkan, hanya untuk memenuhi keinginan keponakan suaminya yang sering bersikap tidak sopan padanya.
"Ya Allah, aku sampai lupa mau bantuin Kanaya." gumam Ara kemudian dia pergi menaiki ojeg yang lewat di depan komplek perumahan rumahnya dan pergi meninggalkan rumahnya.
*****
Setelah melalui perjalanan kurang lebih 15 menit, Bram sampai di apartemen pribadi miliknya yang tidak diketahui oleh Ara. Dia membawa Giselle masuk ke dalam apartemennya.
"Kenapa? Kenapa apartemen mu masih sama?" tanya Giselle terheran-heran. Bram sudah menikah, namun password apartemennya adalah tanggal ulang tahun dirinya dan Bram tidak pernah mengganti password itu.
"Bukankah jawabannya sudah jelas, itu karena aku mencintaimu."
"Please Bram, aku mohon padamu...jangan pernah mengatakan lagi cinta kepadaku! Kau sudah menikah!" seru Giselle sambil mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Seolah ia frustasi dengan kenyataan bahwa kekasihnya telah menikah dengan wanita lain.
"Tidak Giselle, aku mencintaimu dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah."
"Oke, kau bilang kau mencintaiku? Tapi kenapa kau menikah dengan wanita itu, jawab Bram?" tegas Giselle sambil menunjuk-nunjuk dada Bram dengan jari telunjuknya. Mata elangnya tak pernah terlepas dari netra pria tampan itu.
"Aku menikah dengan Ara karena dijodohkan dan demi perusahaan! Aku terpaksa dan bukan karena cinta!" sergah Bram menjelaskan semuanya pada Giselle dalam satu tarikan nafas.
Mendengar penjelasan Bram, seketika bibir Giselle langsung menyunggingkan senyumannya yang tipis. "Benarkah itu? Kau menikah dengannya bukan karena cinta?"
Bram meraih tangan Giselle dan menatap kedua mata biru yang berkaca-kaca itu. Tangan satunya mengusap air mata di sudut mata Giselle dengan perasaan sayang. "Aku hanya mencintaimu, mana mungkin aku menyukai wanita kampungan seperti dirinya. Kau lihat sendiri kan bagaimana penampilannya?" ucap Bram sambil meremehkan Ara.
Benar dugaanku, tidak mungkin mas Bram menyukai wanita kampungan seperti itu. Giselle merasa menang dan senang dengan jawaban Bram. Sekarang ia yakin bahwa hati Bram memang masih untuknya.
"Tapi...kita tak bisa berhubungan Bram, kau sudah menikah dengannya. Aku tidak mau dikira pelakor oleh orang lain." cetusnya.
"Tidak akan ada yang berani mengatakan itu padamu, Giselle. Kau kekasihku dan calon istriku yang sebenarnya. Dan aku juga akan segera bercerai dengannya atau lambat."
"Baiklah, kalau begitu ceraikan dia sekarang juga kalau kau masih ingin hubungan kita tetap berlanjut!" serka Giselle mempertegas hubungannya dan Bram. Dia tidak mau disangka pelakor atau apapun itu.
"Aku pasti akan bercerai, tapi bukan aku yang menceraikannya...harus dia yang meminta cerai."
Giselle mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Karena kakekku tak akan setuju kami berpisah. Dan kalau aku mengajukan cerai lebih dulu, bisa-bisa posisiku di perusahaan akan terancam." jelas Bram sambil berpikir bagaimana caranya agar Ara meminta cerai lebih dulu padanya.
"Dia pasti akan meminta cerai dariku Bram, karena aku akan--" Giselle menatap nanar pada Bram, dia mengalungkan kedua tangannya di leher Bram. Kemudian mencium bibir Bram dengan begitu bergairah.
Bak kucing yang diberi ikan asin, Bram membalas ciuman dari Giselle. Mereka pun berakhir diatas ranjang dan akhirnya saling melepas rindu.
Sementara Ara sedang berada di rumah keluarga Wiratama, dia memasak di dapur sambil mendengarkan ocehan keponakan Bram disana.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!