Tepat pukul dua belas malam, sopir masuk ke villa lalu membawa Erlita dan Jihan yang sedang mabuk berat, pulang ke rumah. Pratiwi yang kebetulan malam itu belum bisa tidur karena mencemaskan Erlita, marah besar dan kecewa melihat Erlita, cucu kesayangan yang selalu dijaga dan dididiknya dengan baik, teler karena minuman keras.
Ketika Erlita bangun siang itu, Pratiwi sudah duduk dengan tatapan tajam dan wajah dinginnya. Erlita tahu betul arti ekspresi wajah itu, sebuah kemarahan dan kekecewaan. Meskipun kepalanya masih terasa pusing dan perutnya pengar, Erlita berusaha untuk segera bangkit dan menerima amarah neneknya.
“Sudah enakan?”
Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak diduga Erlita.
"Ah, iya, Yang.”
“Kalau begitu kamu pasti sudah bisa mendengar dengan baik perkataan Eyang.”
Erlita mengangguk. Ia penasaran dengan hukuman yang akan diterimanya kali ini.
“Minggu depan kamu akan menikah dengan pria pilihan Eyang.”
“Tapi Yang –“
“Menikah atau keluar dari silsilah keluarga Susbihardayan dan diasingkan ke luar negeri!"
Sungguh pilihan yang sangat mengerikan. Erlita tidak ingin keduanya. Tapi ia tahu persis bahwa neneknya bukan tipe orang yang mudah dilobi.
Bagaimanapun juga memaksakan diri untuk memilih salah satunya sama dengan hukuman seumur hidup baginya.Karena ia bukan siapa-siapa tanpa embel-embel Susbihardayan di belakang namanya dan menikah dengan orang yang tak dicintainya juga akan membawa penderitaan seumur hidup baginya.
Tiba-tiba saja ia menyesal menuruti ajakan Jihan untuk mabuk-mabukan malam itu.
****
Sehari sebelumnya...
Hari itu Erlita sangat bersemangat karena ia akan genap berusia dua puluh tahun. Selain diijinkan mengelolah sahamnya sendiri, Erlita akan mendapatkan hadiah istimewa sebagai tradisi untuk keturunan bangsawan Susbihardayan yang genap berusia dua puluh tahun. Ia akan mendapatkan sebuah villa keluarga sebagai tempat tinggal pribadi, jadi ia bisa dengan leluasa melakukan apa saja disana, termasuk merayakan pesta ulang tahun impiannya.
Erlita sudah lama menantikan datangnya hari itu. Ia ingin mengundang teman dan sahabatnya, terutama Dean, kekasihnya, untuk merayakan pesta dua puluh tahun pencapaian hidupnya. Meskipun belum bisa dibilang sukses karena belum bekerja sendiri seperti sepupu-sepupunya, Erlita merasa cukup bangga bisa melalui dua tahunnya sebagai mahasiswa bisnis manajemen dengan baik.
Ia sudah merancang sebuah privat party di villa yang kini sudah resmi menjadi miliknya. Meskipun terletak di luar kota, tapi villa itu tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh hanya dengan dua jam perjalanan dengan mobil. Ia tidak sabar menghabiskan malam paling indah dalam hidupnya bersama Dean. Ia membayangkan mereka hanya akan berdua saja semalaman setelah pesta berakhir, bercumbu mesra menikmati hasrat muda yang menggelora diantara keduanya.
Saking bersemangatnya, pagi itu ia datang paling pagi ke meja makan. Tak lama kemudian Pratiwi, nenek Erlita yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun tapi masih bugar dan cantik, bergabung bersama mereka. Pratiwi, janda Suryo Susbihardayan, putra tunggal keluarga bangsawan Susbihardayan, merupakan sosok yang paling berkuasa dan ditakuti di kediaman mereka.
Mereka memiliki tiga orang anak yaitu Danuarta Susbihardayan yang menikah dengan Naina dan memiliki seorang anak bernama Erlita yang berusia dua puluh tahun, Sania Susbihardayan yang menikah dengan Prasetyo dan memiliki anak laki-laki bernama Kenny yang berusia tiga puluh tahun dan Bramantyo Susbihardayan yang menikah dengan Farah dan memiliki dua orang anak bernama Johan, dua puluh delapan tahun dan Jihan, dua puluh lima tahun.
Sarapan bersama seakan menjadi bagian dari ritual tidak tertulis yang wajib diikuti oleh anggota keluarga Susbihardayan yang sedang berada di rumah. Meskipun sakit, selagi masih sanggup duduk, mereka wajib bergabung. Jadi, hari itupun semua anggota keluarga yang lain segera ikut bergabung untuk sarapan bersama di ruang makan utama di rumah induk.
Rumah keluarga Susbihardayan terdiri dari tiga bangunan utama yaitu rumah induk yang ditempati Pratiwi dan Erlita lalu paviliun di sayap kanan yang ditinggali Sania, Prasetyo dan Kenny serta paviliun sayap kiri yang ditinggali Bramantyo, Farah, Johan dan Jihan.
Sejak kecil, Erlita sudah menjadi yatim piatu dan hanya tinggal dengan Pratiwi, neneknya bersama belasan pelayan yang mengurus rumah mereka setiap hari. Ayah Erlita, Danuarta Susbihardayan, meninggal dalam sebuah kebakaran pabrik kayu yang dikelolanya ketika Erlita berusia empat tahun. Dua tahun kemudian, Naina, ibu Erlita juga meninggal karena tenggelam di sungai dan jasadnya belum juga ditemukan hingga sekarang.
Sebagai cucu dari anak pertama, Erlita sangat dimanjakan oleh neneknya. Meskipun yatim piatu ia tak pernah mengalami kekurangan dalam hidupnya. Ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan sehingga Erlita tumbuh menjadi pribadi yang tidak suka bekerja keras, malas, mau menang sendiri dan bossy, suka memerintah seenaknya sendiri.
“Ta, nanti malem pestanya jadi?" Jihan memecah kebisuan di meja makan.
“Jadilah, Kak. Lo, kak Kenny dan Kak Johan juga boleh ikutan kalau mau."
"Tante juga boleh ikut kan, Ta?" Sania yang juga hobi hura-hura tak mau ketinggalan.
“No way! Ini judulnya privat party. Jadi tamunya orang-orang pilihan dan nama tante ngga ada di daftar.” tolak Erlita halus dengan nada bercanda.
Ia tidak ingin tantenya mengacaukan rencana pesta anak muda yang sudah disusunnya dengan sangat rapi.
“Ta, eyang ngga mau kamu bermalam disana. Setelah pesta, sopir akan langsung antar kamu pulang.” seperti biasa Pratiwi selalu menambahkan syarat dan ketentuannya kepada hampir semua rencana besar Erlita.
“Tapi Yang, Lita kan sudah dua puluh tahun. Masa iya masih harus ikutin jam malem eyang.”
Pratiwi menatap Erlita tajam. Tahu bahwa tatapan maut neneknya adalah pertanda ancaman baginya, Erlita mengalah.
“Oke, Yang.”
Malam harinya, teman-teman Erlita sudah berkumpul di villa. Mereka menghabiskan semua hidangan yang Erlita siapkan, kemudian bernyanyi dan berjoget bersama sepuasnya. Di tengah-tengah pesta, Jihan tiba-tiba saja datang membawa beberapa botol minuman keras. Sebagai seorang model, rokok dan minuman keras adalah hal yang biasa bagi Jihan.
Malam itu ia ingin berbagi kebahagiaan dengan sepupunya yang sedang berulang tahun. Pesta jadi semakin meriah setelah kehadiran minuman keras yang dibawa Jihan.
Setengah mabuk, Jihan bahkan tak segan-segan mencium Peter, mantan pacarnya, penuh nafsu di hadapan teman-teman Erlita. Pesta jadi semakin menggila karena hampir semua orang yang ada disana mabuk dan mulai melakukan hal-hal aneh, seperti ngoceh dan marah-marah tidak jelas bahkan Erlita jadi ikutan terbawa suasana dan berciuman juga dengan Dean, kekasihnya.
.
“Menikah atau keluar dari silsilah keluarga Susbihardayan dan diasingkan ke luar negeri?"
Memaksakan diri untuk memilih salah satunya sama dengan hukuman seumur hidup baginya. Karena ia bukan siapa-siapa tanpa embel-embel Susbihardayan di belakang namanya dan menikah dengan orang yang tak dicintainya juga akan membawa penderitaan seumur hidup baginya.
Jika terpaksa harus memilih maka Erlita lebih baik menikah dengan makhluk asing daripada jatuh miskin dan terasing di negeri orang. Jika ia menikah sekarang, ia masih memiliki kesempatan untuk bercerai ketika neneknya sudah meninggal. Jadi tidak akan ada lagi penyiksaan baginya. Tapi jika ia memilih keluar dari silsilah keluarga Susbihardayan, maka ia akan menjadi gembel seumur hidup karena ia tahu betul tidak mudah mendapatkan semua kemewahan yang dimilikinya saat ini.
“Baiklah, Yang. Lita turuti kemauan Eyang. Lita bakal nikah sama pria pilihan Eyang.”
“Bagus! Kalau begitu bersiaplah karena sebentar lagi calon suamimu akan datang.”
***
Nafan sama sekali tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba saja dipindahkan ke Departemen Kehutanan setelah mengabdi tanpa cela di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup di daerah selama bertahun-tahun. Sebagai seorang pegawai negeri biasa ia bahkan tak punya kuasa untuk menolak dimutasi atau dipromosikan. Ia hanya harus menjalankan surat keputusan yang diberikan kepadanya.
Bekerja di kantor pusat memang lebih santai dan nyaman baginya. Karena selain fasilitasnya lengkap dan memadai, ia juga tidak harus turun langsung ke hutan untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan. Tapi entah kenapa Nafan justru merasa seperti makan gaji buta karena tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukannya di kantor pusat. Dan ia juga tidak terbiasa dengan gaya hidup dan kebiasaan teman-teman sekantornya yang mayoritas menyukai kemewahan dan pamer di sosial media.
Nafan kembali menatap ponselnya yang mengingatkan kembali agendanya sore itu, bertemu dengan Pratiwi, orang yang mencarinya jauh-jauh ke Banyuwangi beberapa minggu sebelum ia akhirnya menerima surat keputusan pemindahtugasan ke kantor pusat. Nafan benar-benar penasaran dengan motif wanita yang bersusah payah mencari tahu keberadaannya dan memaksanya mampir ke rumahnya sore itu.
Nafan sudah berada di depan pagar tepat dua menit sebelum janji temu mereka. Untuk pertama kalinya Nafan melihat langsung sebuah hunian yang sangat besar dan mewah seperti rumah Pratiwi. Menurut perkiraan kasar Nafan, rumah itu mungkin enam puluh atau tujuh puluh kali lebih luas daripada rumah dinasnya di Banyuwangi.
Seorang petugas keamanan membukakan pintu untuk Nafan dan mengantarnya ke ruang tamu di rumah induk. Sebagai wanita bangsawan yang senantiasa tepat waktu, Pratiwi sudah siap menunggu Nafan di ruang tamu. Setelah mempersilakan Nafan duduk dan minum minuman yang disuguhkan, Pratiwi mulai menceritakan tentang niatnya untuk menjodohkan Erlita, cucunya dengan Nafan.
Nafan tiba-tiba saja tersedak, “Apa? Menikah?”
Pratiwi tersenyum ramah. Senyum anggun khas wanita bangsawan. Ia lalu menyerahkan sebuah foto kepada Nafan. Foto seorang wanita yang sangat melekat dalam ingatan Nafan. Wanita yang pernah menyelamatkan nyawanya enam belas tahun yang lalu. Tapi ia sama sekali tidak mengerti apa hubungan Pratiwi dengan wanita dalam foto itu.
“Itu adalah Naina, menantuku, ibunya Lita.”
Nafan tercekat, ia merasa dadanya sesak dan kesulitan bernafas. Sekarang ia tahu kenapa Pratiwi berusaha mencarinya selama ini. Untuk meminta pertanggungjawabannya atas kematian menantu Pratiwi yang telah menyelamatkan hidupnya.
Nafan berusaha menenangkan diri dan tetap berfikir logis. Ia memang berhutang budi kepada Naina, tapi tentang kecelakaan hari itu adalah murni kecelakaan. Sama sekali bukan salahnya. Nafan berniat membela diri, tapi ia kemudian sadar bahwa selama ini ada juga seorang gadis yang tumbuh seorang diri, sebatang kara karena kematian ibunya hari itu.
Nafan menunduk lemah. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Lalu apakah dengan menikahi putri dari wanita yang telah menyelamatkan nyawanya dapat mengurangi beban hutang budi dan rasa bersalah yang selama ini membelenggu dan menyiksanya?
“Nafan, bagaimana? Apa kau setuju?”
Nafan menatap wajah tenang wanita tua di hadapannya itu, kemudian kembali menunduk tak kuasa melawan kekuatan tak terbantahkan dari seorang wanita bangsawan itu.
Nafan akhirnya menyerah, “Kapan?”
“Minggu depan.”
***
Erlita benar-benar marah. Ia tidak habis pikir bisa-bisanya neneknya begitu tega menjodohkannya dengan pria biasa, yang tidak percaya diri, tidak gagah dan tidak berkharisma. Jauh dari kriteria pria yang selama ini diidamkannya.
Meskipun Nafan memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, tapi ia sama sekali tidak terlihat menarik. Raut wajahnya muram, sikap tubuhnya sangat tertutup dan dingin, jelas menggambarkan bahwa ia tidak memiliki kepercayaan diri. Terlebih lagi ia hanya seorang pegawai negeri sipil biasa yang bertugas di dinas kehutanan daerah di Banyuwangi.
Erlita tidak bisa membayangkan bahwa neneknya berniat menjadikannya gadis hutan dengan menikahi seorang Polisi Kehutanan Pertama seperti Nafan. Bagaimana Nafan bisa menghidupinya, membelikan pakaian dan make up yang serba mahal untuknya? Untuk memberi makan Erlita dengan kenyang tiga kali sehari saja mungkin gajinya kurang.
Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus segera berbicara dengan neneknya. Ia bergegas menemui sang nenek yang sedang membaca buku di kamarnya.
“Eyang. Apa Eyang ngga salah orang?” kenapa harus Nafan? Ia bahkan ngga ada apa-apanya dibanding Sammy, Alex, Robin dan Dean. Kenapa Eyang ngga memilih salah satu dari mantan pacar Lita aja supaya jadi lebih mudah?”
Pratiwi tidak beranjak dari bukunya. Ia seakan tidak menggubris protes dari Erlita.
“Eyang! Ini sebuah pernikahan. Bukan main-main dan bukan perkara sepele. Emang eyang rela kalau Lita sampai hidup menderita dalam kemiskinan kalau nikah sama Nafan? Dia itu cuma polisi hutan, Eyang. Hidupnya lebih banyak di hutan dan gajinya bahkan ngga akan cukup untuk memberi Lita makan kenyang tiga kali sehari.”
“Kalau begitu, kenapa tidak kamu bantu dia agar menjadi layak dan mampu untuk menghidupimu?”
“Apa? Bantu? Bantu gimana maksud Eyang? Lita harus ikutan kerja banting tulang untuk makan dan beli make up gitu? No way! Lita ngga mau!”
“Kalau begitu,” Pratiwi menatap Erlita dari balik kacamatanya yang melorot, “Apakah akan lebih baik bagimu jika keluar dari silsilah keluarga lalu mengasingkan diri ke luar negeri?”
“Eyang! Eyang kenapa sih main ancam-ancam? Ini soal masa depan Lita loh. Cucu Eyang sendiri. Masa Eyang setega ini sih?”
Pratiwi menutup bukunya, lalu menyerahkan kunci villa dan supercar baru yang menjadi hadiah ulang tahunnya dan meninggalkan Erlita sendiri. Erlita tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi neneknya. Tapi saat itu, iya sangat senang karena memiliki villa sendiri dan bonus mobil mewah yang sudah sangat lama diimpikannya.
Untuk sesaat Erlita mencoba untuk tetap tenang, menuju ke garasi lalu berkendara dengan mobil barunya. Ia harus menikmati kebebasannya yang hanya tersisa beberapa hari lagi. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya. Ia memacu mobilnya menuju sebuah alamat, rumah Dean.
Malam itu, Erlita sengaja mengajak Dean berkeliling dengan mobil barunya. Setelah membahas ciuman mereka yang sangat memalukan saat pesta kemarin, keduanya sepakat bahwa itu hanyalah sebuah kesalahan kecil yang biasa dilakukan orang yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Menyinggung soal kejadian di pesta malam itu, Erlita segera meminggirkan mobilnya lalu menjelaskan kejadian yang dialaminya akibat mabuk.
“Apa?! Menikah?!”
Erlita mengangguk. “Minggu depan.”
“Lo gila ya?! Ini kita lagi ngomongin soal nikah loh. Bukan masalah sepele. Bagaimana mungkin kamu bisa mendadak menikah dengan orang yang baru satu kali kamu temui sore ini?”
Erlita mengangkat kedua bahunya, “Itu adalah pria pilihan Eyang.”
“Lalu kenapa ngga Eyang aja yang nikah sama dia?”
Erlita tidak suka Dean berbicara seperti itu tentang neneknya, tapi ia akhirnya tertawa juga membayangkan neneknya yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun tiba-tiba menikah dengan pria berusia hampir lima puluh tahun lebih muda darinya.
“Entahlah, gue juga ngga tahu. Tapi yang pasti minggu depan gue bakalan nikah.”
“Terus gue gimana, Ta? Gue ngga rela lo nikah sama orang lain.”
“Kalau gitu gampang. Sekarang juga lo ke rumah terus lamar gue ke Eyang. Siapa tahu Eyang berubah pikiran dan ngijinin gue nikah sama elo.”
“Ta. Udah deh becandanya. Gue serius. Gue ngga mungkin nikahin lo minggu depan. Lo tahu sendiri kan kalau kuliah gue aja belum kelar. Lo mau gue kasi makan apa, Ta?”
“Keluarga gue kan kaya. Bokap lo juga pengusaha. Jadi kita ngga perlu khawatir.”
“Ngga. Gue ngga bisa Ta. Orang tua gue juga ngga bakal setuju kalau harus ngorbanin kuliah gue.”
“Ngga dikorbanin. Kita bisa sama-sama tetep lanjut kuliah setelah nikah. Gimana?”
“Ngga. Gue ngga bisa.” Dean turun dari mobil Erlita lalu pergi menyebrang jalan.
Lalu lintas sangat ramai malam itu. Tidak memungkinkan bagi Erlita untuk menyusul Dean. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke mobilnya lalu pulang ke rumahnya.
***
Keesokan paginya, banyak orang berlalu lalang di rumahnya mempersiapkan pesta pernikahan untuk Erlita. Ia tidak menyangka bahwa neneknya benar-benar serius. Erlita sempat berfikir untuk melarikan diri tapi sang nenek keburu memergokinya dan malah melarangnya kemanapun karena ia harus dipingit sebagai syarat bagi perempuan yang akan segera menikah.
Jihan menghampiri Erlita di kamarnya. Ia sedikit menyesal karena tindakannya justru menyebabkan sepupunya itu terpaksa buru-buru menikah dengan pria asing pilihan neneknya.
“Maafin gue ya Ta?”
“Gue dah maafin lo kok, kak. Tapi yang lebih penting sekarang, lo harus bantuin gue. Cari cara gimana supaya gue bisa kabur dari sini.”
“Lo gila ya? Yang ada gue juga bakal dipaksa nikah kalau ketahuan nolongin lo kabur.”
“Ayolah kak.. lo satu-satunya harapan gue.” Erlita memasang mode memelas.
Jihan cepat-cepat menggeleng sebelum terbius oleh aksi melas Erlita, “Enggak. Gue ngga mau ambil resiko.”
“Tadi katanya lo nyesel. Masa iya ngga mau bantuin gue kabur dari masalah yang lo buat?”
“Denger, hukuman ini adalah urusan lo sama Eyang. Lo yang setuju untuk menikah.”
“Ya gimana gue ngga setuju kak?! Lo mau gue dicoret dari kartu keluarga terus dibuang ke luar negeri?”
“Apa?”
***
Rupanya berita soal hukuman Pratiwi kepada Erlita sampai juga ke telinga Bram. Ia yang sudah sejak lama ingin mengirim Erlita jauh dari Pratiwi, ibunya, merasa mendapat kesempatan. Ia segera mencari Jihan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya setelah menceritakan penderitaan Erlita.
“Jihan, kamu harus bantu papa.”
“Bantu apa sih, Pa?” jihan sudah masuk ke dalam mobil dan siap berangkat ke tempat pemotretan.
“Turun dulu lah! Papa mau ngomong serius sama kamu.”
“Tapi Jihan sudah terlambat, Pa.”
“Sepuluh menit.” Melihat Jihan tak bergerak dari belakang kemudi, Bram segera mengoreksi, “Lima menit.”
“Oke. Sekarang to the point aja. Papa mau apa?”
“Gini, Papa mau minta tolong kamu untuk deketin calon suami Lita.”
“Maksud Papa?”
“Pernah ngga kamu mikir kalau Eyang bakalan lebih sayang dan peduli sama kamu kalau Lita ngga ada?”
Jihan masih tidak mengerti maksud ucapan papanya.
“Papa ingin kamu menggoda calon suami Lita supaya ketahuan selingkuh sama kamu. Kalau Eyang tahu, maka pernikahan mereka akan dibatalkan. Sebagai gantinya Erlita akan dicoret dari kartu keluarga dan dibuang ke luar negeri. Bukankah itu sangat bagus untukmu?”
“Bagus untuk Papa?”
“Jihan! Coba pikirkan lagi baik-baik. Papa ngelakuin ini semua demi kamu dan Johan.”
Jihan bergegas bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan ayahnya.
***
Sepanjang perjalanan, Jihan terus teringat dengan perkataan ayahnya. Meskipun tidak membenci Erlita, ia juga tidak terlalu menyukai sepupunya itu. Sejak kecil, Erlita selalu mendapat perlakuan istimewa dari neneknya. Dan Jihan selalu saja dinomorduakan. Bahkan tidak jarang Jihan merasa bahwa neneknya justru membencinya.
Mencicipi calon suami sepupu sepertinya bukan ide buruk. Jihan justru merasa tertantang untuk menguji coba calon sepupu iparnya itu dan akan lebih menyenangkan lagi bila Erlita akhirnya menikahi pria bekasnya. Ia segera memacu mobilnya. Ia akan menjadi sibuk seminggu ini.
***
Siang itu Nafan kedatangan seorang tamu. Ia tidak yakin bahwa itu adalah tamunya karena ia bahkan tidak mengenal siapapun disini. Untuk memastikan, Nafan menemui tamu itu.
Seorang gadis tinggi dan langsing, sedikit lebih tua dan berani daripada Erlita. Ia menyampirkan blezer di pundaknya untuk menutupi tank top yang dikenakan.
“Anda Nafan?”
Nafan mengangguk, “Anda?”
Jihan mengulurkan tangannya. “Saya Jihan, kakak sepupu Erlita.”
“Oh.”
“Saya datang untuk melihat langsung seperti apa pria yang akan dinikahi Lita. Ia terlihat sangat gelisah bahkan berusaha melarikan diri. Saya sempat berfikir bahwa anda memiliki tampang kriminal atau semacamnya.” Jihan tertawa kecil seakan itu lucu.
“Ternyata anda cukup tampan untuk ukuran pria yang bekerja disini.” Pandangan Jihan menyapu sekeliling ruangan kerja Nafan.
“Kalau begitu, saya permisi. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.”
“Tunggu!” Jihan menarik tangan Nafan lalu memberikan tatapan manja dan seksinya yang selalu sukses membius para pria hidung belang.
Tapi sungguh di luar dugaan, Nafan justru menepis tangan Jihan dan berlalu seolah tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba saja Jihan merasa kegerahan. Belum pernah aksinya ditolak dengan kasar seperti itu.
“Dia pasti gay!” Jihan mengumpat dalam hati tak terima diperlakukan seperti itu oleh Nafan.
Ia lalu mengeluarkan kartu namanya dan meminta security untuk menyerahkannya kepada Nafan, “Tolong sampaikan, ini penting! Jadi segera hubungi saya!”
Sudah dua hari berlalu sejak Jihan menemui Nafan hari itu. Tapi nafan tak kunjung menghubunginya. Khawatir kalau-kalau security lupa, ia mencari tahu nomor telepon kantor Nafan dan sungguh bak pucuk dicinta ulampun tiba, Nafan sendiri yang mengangkat teleponnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!