NovelToon NovelToon

Eleven Nights On A Cruise

Part 1 : ENOAC —> Alan & Fuji

Alan Aprilio Domenico pewaris tahta kerajaan bisnis nomor di dunia dengan kekayaan mencapai USD 7 triliun atau jika di rupiahkan sebanyak 109 kuadriliun rupiah. Alan adalah pria berusia 30 tahun yang sempurna di mata semua wanita. Tidak hanya kaya, tapi Alan juga memiliki ketampanan yang membuat hati para wanita menjerit. Mata abu abunya yang menatap lawannya dengan tajam menjadi daya tarik seorang Alan Aprilio Domenico.

Banyak wanita yang mengidamkan sosok pria tiga puluh tahun itu untuk di jadikan kekasih bahkan mereka rela merangkak naik ke ranjang sang pewaris. Namun semuanya hanya bisa menjadi angan-angan mereka saja. Sebab seorang Alan Aprilio Domenico sangat membenci cinta dan wanita.

Kebencian Alan terhadap cinta dan wanita bermula pada kejadian masa lalunya. Kejadian masa lalu yang membuat seorang pewaris kerajaan bisnis mengalami trauma mendalam.

Selama 5 tahun belakangan ini, Alan telah menetap di Indonesia. Sebenarnya ia lahir dan dibesarkan di Jerman sebelum akhirnya dia memilih pindah ke negara kelahiran ayahnya. Alarick Richard Domenico adalah nama ayah dari Alan. Alarick berketurunan Indonesia-Itali memilih menetap di Jerman dan menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Jerman—Clarissa Hillter.

Alan menjadi pria yang cinta kerja hingga semakin berkembanglah kerajaan bisnisnya. Didampingi oleh asisten pribadinya yang sudah setia bersamanya selama lima belas tahun.

Dan di sinilah Alan berdiri, di sebuah gedung pencakar langit kota Hiroshima. Menatap gedung gedung dibalik jendela transparan sambil memegang wine di tangan kanannya dan memasukkan tangan kirinya di saku celananya.

Alan menggoyang-goyangkan gelas di tangan kanannya sebelum duduk di kursi single yang tersedia di belakangnya. "Bagaimana?" tanyanya tanpa menatap lawan bicaranya.

"Semuanya sudah siap, Tuan. Sesuai dengan permintaan anda," jawab pria itu dengan tegas seraya menatap datar punggung bosnya. Dia adalah asisten setia sangat pewaris—Eiden Exel Myler. Eiden sudah menjadi asisten pribadi Alan sejak usianya 17 tahun. Ia dua tahun lebih tua dari Alan dan ia juga merupakan anak dari asisten kepercayaan Alarick—ayahnya Alan.

Alan menyesap wine di tangannya sambil mengetuk sisi kursi dengan tangan kirinya. "Bukankah ini semua saran dari kalian semua? Huh, hanya untuk merayakan ulang tahun ku yang ke-30, kalian malah memintaku pulang dengan cara berlayar dari Jepang ke Singapura lalu naik pesawat ke Indonesia. Ck, Bukankah itu hanya membuang waktu?"

"Itu bukan saran saya, Tuan," balas Eiden.

"Kau!" Alan memutar kursinya menghadap pria yang berdiri tepat di belakangnya. Ia menunjuk wajah Eiden sebentar lalu menurunkannya kembali sambil berdecak kesal. "Bisakah kau bicara informal padaku. Ck, dasar! Kalian itu sama saja. Kau dan dua pria di sana! Ini rencana kalian!"

"Kita tidak sama, Al! Jangan bandingkan aku dengan kedua es balok ini. Aku seorang dokter pribadimu yang ramah dan tampan. Aku ini akan setia merawatmu. Kau tau itu!" teriak salah satu pria dengan setelan jas putih dengan menggebu-gebu seraya berdiri dari sofa ruangan tersebut. Ia adalah Steven Wilson Helder, sahabat sekaligus dokter kepercayaan Alan.

"Hei, apa maksudmu menyebut kami es balok! Hah?! Kau berani padaku?!" Pria di sebelah Steven bangkit berdiri menatap tajam Steven. Pria berjas hitam di samping Steven tersebut adalah Rojer Figter Lowyer, orang kepercayaan Alan setelah Eiden. Jika Eiden merupakan tangan kanan, maka Rojer adalah tangan kiri Alan.

"Diam kalian berdua! Ck, bagaimana mungkin aku memiliki sahabat sekaligus orang kepercayaan seperti kalian ini," ucap Alan mendengus kesal menatap perkelahian sahabatnya itu. Lalu ia menatap Eiden dengan sinis seraya berkata, "kau tidak ikut berkelahi dengan mereka?"

"Maaf, Tuan. Saya berdiri sendiri di samping anda tanpa mereka, Tuan. Jadi jangan samakan saya dengan mereka," jawab Eiden masih dengan wajah datarnya.

"Oh... baiklah." Alan berdiri dari kursinya, memberikan gelas kosongnya pada Eiden lalu berjalan dan berhenti tepat di depan dua orang yang sedang menatap saling bermusuhan. Sambil melipat kedua tangannya di dada, ia menatap jengah dua pria di depannya itu. "Hentikan drama kalian berdua. Dan mari kita bersiap!" perintahnya.

"Kemana?" beo mereka bersamaan dengan wajah kebingungan.

"Ck, bodoh! Bukankah kalian yang ingin berlayar dengan kapal pesiar pribadiku? Maka dari itu, mari kita bersiap!" Alan melenggang pergi meninggalkan ruangan itu yang pastinya gaduh dengan sorakan kebahagian sahabatnya.

"Hah? Yesss! Terimakasih sobatku! Mari berlayar, 11 malam di kapal pesiar 7 triliun. I am coming!" sorak Steven bahagia.

"Syukurlah... dia tidak menolak. Akhirnya aku bisa memenuhi keinginan istriku yang ngidam ingin berlayar. Hahaha... anak kami tidak jadi ileran. Aku akan menghubungi istriku. Pasti dia akan sangat bahagia." Rojer berbicara dengan nada bahagia sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya untuk menghubungi istrinya. Terlihat jelas wajah datar nan dingin miliknya kini berbinar bahagia.

"Tetap waspada dan jangan lengah. Perjalanan kita menyangkut tentang keselamatan Tuan Muda!" tegas Eiden memberi peringatan.

"Siap, Kapten!" seru Steven dan Rojer yang sibuk dengan kebahagiaan mereka.

Eiden menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya dan memilih melangkah menjauh untuk mengikuti sang Tuan Muda.

Sebuah ide perayaan ulang tahun yang ke-30 untuk Alan, sebenarnya berasal dari Steven yang sangat ingin menikmati rasanya berlayar dengan kapal pesiar pribadi mahal milik sahabatnya. Apalagi ia mendengar kabar kalau kapal itu baru saja transit di pelabuhan Nagasaki. Lagipula, ide ini juga untuk memenuhi keinginan calon bayi Rojer, sang tangan kiri.

Mereka berdua sangat bahagia karena besok malam, mereka akan berlayar dari pelabuhan Nagasaki menuju pelabuhan Bangkok di Negara Thailand dan berakhir di Singapura. Mereka juga sangat senang karena akan berlibur di kapal pesiar yang mahal, setelah setengah tahun berada di Jepang dan fokus memanaskan otak untuk mengatasi masalah bisnis.

Lagipula siapa yang tidak akan tergiur untuk menaiki kapal pesiar yang hanya di miliki oleh dua orang saja di dunia. Kapal pesiar itu bahkan merupakan hasil karya dari desainer Inggris Tim Hewood. Orang-orang menyebutnya Topaz. Beberapa fasilitas yang tersedia di kapal ini adalah kolam renang, gym, jacuzzi, bioskop dan sebuah helipad. Dan harga untuk memiliki kapal ini adalah sebesar USD 500 juta atau setara dengan 7 milyar rupiah.

.

.

.

***

Fuji Chisako Orochi berasal dari keluarga Orochi yang terkenal di Jepang. Wanita itu berusia 25 tahun yang memiliki wajah babyface yang putih bersih bahkan orang akan menyangka ia masih berumur 17 tahun. Ia memiliki bentuk tubuh berisi dan tinggi semampai yang sangat sexy. Mata hazelnya dan gigi kelinci yang di tambah lesung pipi menambah kesan imutnya.

Fuji memiliki perawakan yang cantik perpaduan Jepang dan Spanyol. Ia juga memiliki banyak keahlian yang digadang-gadang akan menjadi penerus ayahnya. Namun banyak yang menyayangkan karena dia hanyalah seorang perempuan. Dan sayangnya, yang mengetahui kelahirannya juga hanyalah orang yang tinggal di kediamannya.

Eiji Orochi merupakan ayah dari Fuji sekaligus anak kedua dari dua bersaudara dikeluarganya. Ia memiliki ambisi yang tinggi hingga mampu berbuat apa saja untuk melancarkan tujuannya. Termasuk membunuh kakaknya sendiri agar ia menjadi pewaris satu satunya keluarga Orochi. Namun keadaan tidak berpihak padanya. Setelah Eiji menikah dengan wanita yang sangat ia cintai, ternyata ia malah mendapati kenyataan bahwa ia mendapatkan seorang anak perempuan dan divonis tidak bisa mendapatkan keturunan lagi.

"Semuanya salahmu anak sialan! Kenapa kau harus terlahir sebagai perempuan!" kata Eiji pada Fuji tiga belas tahun yang lalu.

Fuji yang saat itu masih berusia 12 tahun mendengar ucapan ayahnya hanya bisa menunduk dan menangis seraya berucap lirih, "Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai perempuan, Ayah."

Perkataan bocah berusia 12 tahun seperti ini seharusnya mampu menyayat hati orang-orang yang mendengarnya. Namun itu tidak berlaku pada Eiji.

Eiji sangat membenci Fuji yang terlahir sebagai  perempuan. Apalagi setelah kelahiran Fuji, ia dinyatakan tidak bisa lagi mendapatkan keturunan karena mengalami kemandulan. Ini membuatnya semakin frustasi. Hingga berfikir jika Fuji kemungkinan bukanlah anak kandungnya.

Eiji selalu menyiksa anak dan istrinya karena rasa frustasi yang ia alami. Tidak ada yang tau tentang tindakannya kecuali orang-orang yang ada di dalam kediamannya. Namun penghuni mansion milik Eiji selalu setia pada Eiji. Sehingga tidak ada dari mereka yang melawan perintah Eiji. Bahkan mereka juga ikut andil menyiksa Fuji saat kecil.

Tidak ada yang tau tentang identitas Fuji. Eiji sudah lama menyembunyikan identitas Fuji sejak tau kalau Fuji terlahir sebagai perempuan. Ia benar-benar tidak mengakui anaknya. Bahkan saat Fuji kabur dari rumah, Eiji sama sekali tidak peduli. Namun harta yang ditinggalkan istrinya, membuatnya kembali mencari keberadaan Fuji Chisako Orochi yang sempat ia abaikan.

.

.

.

.

.

Part 2 : ENOAC

Di sebuah mansion besar di kota Hiroshima Jepang, terjadi keributan antara anak dan ayah. Dia adalah Fuji Chisako Orochi dan Eiji Orochi.

Prank...!!! (Guci itu pecah akibat Eiji yang mendorong tubuh Fuji ke arah guci)

"Dasar anak tak berguna! Seharusnya kau merasa beruntung, bisa naik ke ranjang Tuan Max. Bukannya malah melukainya bodoh!" pekik pria berusia setengah abad itu dengan lantang. Dia adalah Eiji yang memiliki perawakan tampan dengan wajah Jepang asli—ayah dari Fuji.

Fuji bangkit berdiri dan berjalan perlahan ke depan. Dengan tegas dan tatapan tajamnya, dia tersenyum remeh. Lantas ia membalas ucapan ayahnya, "Lalu siapa yang berguna menurutmu, Ayah? Dia?! Hahaha, dia hanya seorang ja-lang! Kenapa kau tidak suruh dia saja, untuk merangkak naik ke ranjang Tuan Max si bau tanah itu?"

Fuji menunjuk seorang wanita yang sedang menangis di belakang ayahnya dengan wajah dingin yang menyiratkan kebencian. Ia sangat tau jika tangisan itu hanya akting seorang Ayumi Hinata Orochi—istri ayahnya. Lambat laun Fuji kembali tersenyum sinis menatap Ayahnya yang berjalan kearahnya dan menjambak rambutnya kebelakang.

"Tutup mulutmu anak terkutuk! Aku bahkan tidak pernah menganggap anak perempuan sepertimu anakku! Enyah kau dari sini! Anak pembawa sial!" Eiji menghentakkan tangannya hingga Fuji tersungkur ke lantai.

"Aku memang mau pergi dari rumah terkutukmu ini tua bangka! Kau sudah membunuh ibuku dan memilih ja-lang sialan ini! Tanpa kau suruh pun, aku akan pergi dengan senang hati." Fuji bangkit berdiri dengan tatapan tajamnya.

"Jangan harap kau keluar dari rumah ini! Kau akan ku nikahkan besok dengan Tuan Max. Jangan mencoba kabur lagi! Aku tidak akan segan-segan membunuh anak sepertimu!"

Tiba-tiba Fuji tertawa nyaring namun begitu memilukan. Ia berhenti tertawa dan menatap Eiji dengan tegas. Lantas ia berkata, "Aku pikir, setelah menemukanku, kau akan menyesali semua perbuatanmu dimasa lalu. Tapi ternyata pikiranku terlalu naif. Hanya demi harta ibuku, kau berusaha keras untuk menikahkan ku setelah menemukanku. Kau tidak malu!?! Bukankah kau juga punya harta yang banyak? Tapi masih ingin memiliki harta dari orang yang pernah kau cintai dan kau bunuh dengan sadis? Ck, kau terhasut rayuan ja-lang sialan gila harta itu bodoh!"

"Kau—" ucapan Eiji terhenti saat mendapati usapan lembut di punggungnya yang berasal dari tangan lembut istrinya—Ayumi.

Ayumi dengan wajah yang penuh air mata berbisik kecil pada Eiji, "Tenanglah, sayang. Aku tidak mengapa jika anak tidak tau diri itu menghinaku. Aku tidak mau penyakitmu kambuh. Tenanglah, okey!"

Eiji berjalan ke arah dinding yang tergantung sebuah katana (pedang yang dipakai oleh para pendekar samurai). Ia mengambilnya dan mengayunkannya ke depan seolah menunjuk mereka yang ada di sana. "Pengawal, jaga seluruh pintu masuk dan keluar. Jangan lupa seret juga wanita ini ke kamarnya. Perketat penjagaan! Karena besok aku akan menikahkannya dengan Tuan Max. Jangan biarkan dia kabur! Atau kalian yang akan merasakan katanaku!" ancamnya.

"Siap, Tuan!" jawab mereka serempak seraya melaksanakan tugasnya.

Fuji yang ditarik paksa, berusaha melepaskan genggaman pengawal tersebut. "Aku bisa berjalan sendiri! Singkirkan tangan kotor kalian!" Fuji menghempaskan tangannya dan menendang mereka hingga tersungkur. Ia kemudian berlari ke arah tangga dan naik menuju kamarnya.

Brak!

Fuji membanting pintu kamarnya seraya berjalan ke arah nakas. Wajahnya datar namun tanpa jelas menyiratkan kebencian serta kekecewaan yang mendalam. Ia membuka laci nakas, kemudian mengambil sebuah map berwarna coklat. Membuka map yang isinya berupa kertas.

Fuji menatap kertas tersebut seraya tersenyum miris. "Mereka akhirnya menemukanku setelah pelarian ku selama 13 tahun ini. Kupikir setelah menemukanku, ayah akan menyesali perbuatannya dimasa lalu. Ck... tapi ternyata, dia malah ingin menghancurkan anak kandungnya sendiri hanya demi harta. Ahh... aku muak dengan ini semua," ucap Fuji dengan air mata yang perlahan menetes dari pelupuk matanya.

"Setelah kejadian 13 tahun yang lalu, dan aku berhasil kabur dari mereka. Tapi mengapa mereka belum puas setelah membunuh Ibu di depan mataku? Dan sekarang mereka juga mau menguasai harta ibuku dengan cara menikahkanku," gumam Fuji. Ia menunduk menatap kertas di tangannya.

"Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang? Mereka ingin menghancurkanku hanya untuk harta peninggalan Ibu," batin Fuji seolah ibunya bisa mendengarkan isi hatinya saat ini. Ia tak dapat menahan kesedihannya sekarang. Tetesan air matanya bahkan sudah mengalir membasahi kertas yang berisikan surat warisan ibunya yang menerangkan tentang pemindahan harta ibunya seluruhnya akan diberikan kepada Fuji dengan syarat sudah menikah atau memiliki anak/pewaris.

Surat warisan itu memang dipegang oleh ayahnya. Ia baru mengetahui semuanya setelah mencari tau maksud Eiji bersikap baik setelah menemukannya seminggu yang lalu. Eiji berhasil menemukan Fuji di kota Nagasaki setelah 13 tahun yang lalu melarikan diri.

Fuji pikir Eiji menyesali semua perbuatannya dengan berbuat baik padanya. Ia sudah akan berusaha menerima ibu tirinya itu jika itu memang yang terjadi. Tapi setelah ia menyelidikinya, ia malah menemukan fakta bahwa Ayumi menyarankan Harry agar membuat Fuji naik ke ranjang Tuan Max—salah satu partner bisnis Eiji. Hingga Fuji sendiri yang akan menyetujui pernikahan yang mereka atur karena telah ternodai oleh Tuan Max lebih dulu.

Mereka merencanakan ini seolah mereka bukan andil dibaliknya. Bahkan mereka berpikir setelah Fuji menikah, mereka akan mengelabuinya dengan menandatangani surat pemindahan harta ibunya kepada Ayumi dan Eiji. Sungguh serakah mereka berdua.

Fuji yang akhirnya mengetahui itu semua, mencoba mengambil berkas surat warisan ibunya di ruang kerja ayahnya dan menyimpannya di laci nakasnya. Lalu malam ini ternyata menjadi malam dimana rencana yang telah mereka susun itu terlaksana.

Fuji tentu saja berusaha kabur dari kamar yang di sediakan untuknya dan Tuan Max setelah sadar dari obat bisu. Bahkan ia berhasil melukai Tuan Max. Setelah berhasil kabur dari sana, ia malah  tertangkap oleh pengawal ayahnya hingga diseret ke mansion dan terjadilah perdebatan tadi.

"Aku berharap, aku bisa tidur nyenyak malam ini, sebelum melakukan aksiku besok," gumam Fuji menghapus air matanya seraya meletakkan kertas di laci nakas. Ia juga mengambil ponselnya di sana, lalu mengetik sesuatu di layar ponselnya.

Ting! Bunyi notifikasi dari ponsel Fuji. Ia kemudian menghela nafas dan segera menyimpan kembali ponselnya seraya merebahkan tubuhnya ke ranjang. Perlahan matanya terpejam bersamaan dengan air mata yang kembali menetes di mata kirinya.

Orang bilang, jika seseorang mengeluarkan air mata dari mata kirinya lebih dulu, artinya seseorang tersebut merasakan kesakitan yang mendalam. Begitulah perasaan Fuji sekarang. Dari dulu hingga sekarang ia belum merasakan apa itu kebahagian.

.

.

.

.

...****************...

Cletak!!! Akh... hikss... hiks... (Suara cambukan terdengar nyaring bersamaan dengan rintihan kesakitan dan tangis)

"Sakit, Ayah. Ampuni Fuji, Ayah. Fuji janji akan berlatih lebih keras, Ayah..." lirih Fuji menahan sakit.

"Kau harus dihukum! Dasar perempuan tidak berguna! Begitu saja lemah!" Eiji meninggikan ucapannya seraya terus mencambuk punggung kecil gadis berusia dua belas tahun itu.

Sementara dari ujung ruang, Alice berlari untuk menolong anaknya. "Tolong lepaskan Fuji, Eij. Tolong, dia hanya anak kecil. Jangan lampiaskan amarahmu padanya. Aku mohon... dia kesakitan... dia putri kita!" Alice Hilton berlutut memohon pada suaminya agar menghentikan cambukannya. Ia sangat tau, jika suaminya itu sedang emosi dan dibawa pengaruh alkohol.

Alice menangis, batinnya sungguh sakit melihat putrinya terluka di depan matanya. Ia memeluk kaki suaminya untuk menghentikan semua ini.

Rintihan kesakitan terus keluar dari bibir kecil Fuji. Ia hanya bisa menangis dan berdoa agar semuanya berakhir.

Sementara Eiji yang sangat emosi, tetap mencambuk putrinya. Lalu menghempaskan Alice yang ada di kakinya. Dengan wajah memerah, ia berjalan ke arah dinding dan mengambil katana yang tergantung.

Perlahan Eiji berjalan ke arah istrinya seraya menyeret katana yang terlihat sangat tajam dengan ujung runcing dan mengkilat. Ia menjambak rambut istrinya kebelakang dan menatap bengis wanita yang katanya sangat ia cintai.

"Kau tau Alice, aku sangat mencintaimu. Tapi sayangnya, kau membuatku kecewa dengan melahirkan anak perempuan itu. Jika seandainya kau melahirkan bayi laki-laki waktu itu, aku pasti akan selalu menjadikanmu ratu hatiku."

"Eiji, kumohon jangan melukai anak kita. Jangan menyiksanya anak kita, Eij. Lampiaskan semuanya padaku, jangan padanya. Kumohon... " lirih Alice dengan air mata yang mengalir dan wajah yang mendongak menatap mata suaminya karena tarikan rambutnya.

"Aku juga muak dengan kalian berdua. Jadi tenang saja, Sayang. Aku pasti akan melampiaskan semuanya padamu. Dengan cara—" Eiji menjeda ucapannya sebelum melayangkan katana di tangannya.

"Membunuhmu... " sambung Eiji dengan nada rendah yang ditekan.

Sring!

"Tidak! Tidak! Hiks... hiks..." teriak Fuji hingga suaranya menggema memenuhi kamar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Nafasnya tersengal, jantungnya berdebar kencang. Ia terduduk di atas kasur seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Mimpi itu selalu menghantuiku selama tiga belas tahun. Kapan aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk ini? Hiks... Ibu... aku merindukanmu," gumam Fuji disela tangisnya.

.

.

.

.

Part 3 : ENOAC

"Nona buka pintunya! Anda tidak apa apa kan? Ini Bibi, Non!"

Tok tok tok (Pintu kamar Fuji diketuk dari luar. Suara ketukan dan teriakan itu berasal dari wanita paruh baya yang merupakan pelayan di kediaman milik Eiji Orochi)

Fuji mendengar teriakan pelayannya segera menurunkan tangan yang telah menghapus air matanya. Ia menetralkan kembali perasaannya setelah mimpi buruk yang ia alami. Kemudian beranjak dari kasur ke arah pintu. Ia membuka pintu kamarnya hingga nampak wajah pelayan yang terlihat membawa nampan berisi sarapan dengan wajah khawatir.

"Aku tidak apa apa, Bi Kira. Terimakasih," ucap Fuji dengan tersenyum tipis. Lalu ia mengambil nampan yang diberikan oleh pelayannya sebelum menutup kembali pintu kamarnya.

"Tuan meminta saya untuk memberitahu Nona kalau jam 12 siang nanti akan ada MUA yang mendandani Nona," ucap pelayan yang di panggil Bibi Kira itu dengan sedikit berteriak agar dapat terdengar oleh nonanya. Untungnya kamar Fuji tidak kedap suara, sehingga memudahkannya untuk berteriak.

Sudah menjadi kebiasaan selama seminggu ini, sang Nona Muda hanya membuka pintu sebentar untuk mengambil sarapan saat pagi. Lalu membuka pintu saat waktu makan siang dan menghabiskan waktu hariannya di dalam mansion itu tanpa boleh menginjakkan kaki keluar rumah. Tentu saja Tuan Besar Eiji melarang keras hal itu, karena untuk meminimalisir kemungkinan sang Nona Muda untuk kabur lagi.

Jadi selama seminggu menetap di sana, Fuji bagaikan tawanan. Bangun, makan, tidur dan dijaga ketat oleh para pengawal.

***

Di salah satu kamar hotel bintang lima yang ada di salah satu hotel di Hiroshima Jepang, pagi ini sudah heboh dengan teriakan bahagia.

"Kau ini lambat sekali," ejek Steven di depan pintu kamar dengan tangan menarik satu koper.

"Aku sudah siap dari semalam. Tapi kesiangan karena semalam menggempur istriku yang lagi hamil muda. Lihatlah ini, kita hanya menunggu istriku bersiap. Bagaimana dengan Tuan Muda? Apakah mereka sudah bersiap?" jawab Rojer yang baru saja selesai memakai sepatunya dan berdiri di samping Steven.

"Ck, tidak tau malu! Dasar tidak berprikejombloan!" ucap Steven berdecak kesal.

"Itu nasibmu. Makanya, cepatlah mencari pendamping. Biar mulutmu itu tidak banyak bicara karena ada yang menyumpal dengan bibir, hahaha..." balas Rojer tertawa mengejek.

"Ehh, kau tidakk tau saja. Sebentar lagi statusku itu akan berubah," ucap Steven dengan bangga.

"Benarkah? Siapa wanita yang mau menikah dengan dokter gila sepertimu! Aku meragukan seleranya," tutur Rojer menampilkan senyum mengejek setelah menghentikan tawanya.

"Kau! Dasar teman lucnuck! Untung aku sahabat yang sabar dan paling imut diantara kita berempat! Kalau tidak, mungkin aku sudah mengatakan pada istrimu itu. Kalau kau sebenarnya—" ucapannya terpotong karena bekapan tangan Rojer di mulutnya.

"Awas saja kalau kau mengatakannya! Aku tidak akan segan-segan membuatmu jomblo seumur hidurmu," ancam Rojer menatap tajam Staven setelah melepas bekapannya.

"Aku cuma heran saja, ternyata kau berhasil membuat istrimu itu hamil. Hihihi..." balas Steven cekikikan.

"Kurang ajar kau Staven!" pekik Rojer emosi mendengar ejekan sahabatnya itu dan siap untuk menghajarnya. Tapi Steven lebih dulu mengelak.

"Oh... woles brother. Tenang, aku tidak akan membocorkan rahasiamu itu. Cuman aku sedikit geli saja setiap kali melihat wajahmu yang manis di depan istrimu itu. Hihihi... " sahut Steven berlari ke arah sofa meninggalkan kopernya di sana.

"Dan oh iya, nanti kau akan melihat calonku. Hehehe... Yeyyy! Otw gak jomblo!" tambah Staven seraya mendudukkan tubuhnya di sofa itu.

Setelah itu mereka berbincang dan tak lama terdengar suara teriakan seorang wanita dari dalam kamar. "Aku sudah siap, Sayang. Ayo kita berangkat!"

"Iya, Sayang!" jawab Rojer dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya kala menatap wanita cantik yang keluar dari kamar. Itu Chinzui Haruka Hitomaci atau kerap di sapa Chizu, istri dari Rojer. Rojer adalah pria berusia tiga puluh tahun yang selalu tampak datar dan dingin ternyata berbanding terbalik jika berada di samping istri tercintanya yang berkebangsaan Jepang itu.

Mereka semua akhirnya keluar dari kamar dan menuju mobil yang telah siap berangkat menuju bandara untuk menaiki pesawat pribadi menuju kota Nagasaki.

Terlihat dari kejauhan, Eiden baru saja mempersilahkan Alan untuk masuk ke dalam mobil disusul olehnya yang mengambil alih kemudi.

Rombongan mobil yang membawa mereka menuju bandara ada sekitar dua pulu mobil. Ada lima puluh pengawal yang selalu siap menemani perjalanan panjang mereka. Rojer sendiri satu mobil dengan keluarganya, sebab ia membawa istri dan adik iparnya—Naomi Haruka Hitomaci. Lalu ada juga Staven yang satu mobil dengan seorang wanita cantik yang memakai jas putih. Ia adalah Maudy Sinthia Putri yang akan menjadi partner Staven kali ini untuk berlayar.

Entah bagaimana caranya seorang dokter yang terkenal jomblo berusia dua puluh sembilan tahun itu, bisa mendapatkan partner berlayar dalam semalam. Maudy yang seorang dokter ahli bedah berusia dua puluh delapan tahun itu berperawakan asli Indonesia. Kemungkinan besar, Maudy adalah wanita yang sedang diperjuangkan Staven untuk mengalihkan statusnya yang jomblo itu.

Berbeda dengan mereka yang tampak bahagia, Alan sendiri terlihat kesal.

"Mereka membawa wanita?" tanya Alan dengan nada kesal pada Eiden.

"Iya Tuan. Rojer membawa istri dan adik iparnya serta Staven yang membawa partner dokternya," jawab Eiden sambil melirik ke kaca spion.

"Kau tidak berniat membawa wanita juga seperti mereka, Eiden?" tanyanya lagi.

"Saya tidak pernah berfikir ke sana, Tuan." Eiden tersenyum hambar menanggapi pertanyaan Alan.

"Ck, sebaiknya lakukan tugasmu dan jangan lengah, Eiden. Dan oh iya, hilangkan formalitasmu itu saat bicara berdua denganku," tutur Alan terlihat jengah melihat kekakuan Eiden. Padahal ia juga sama kakunya seperti asistennya itu. Apalagi jika berkaitan dengan wanita.

"Hm, tenanglah Al. Aku akan menjauhkan wanita itu darimu," ucap Eiden yang menyadari keresahan dan kekesalan Alan mengenai wanita.

"Baiklah, aku percaya padamu. Aku harap, perjalanan kita nantinya lancar. Tanpa drama dari wanita-wanita itu di sana. Ck, aku sungguh muak melihat mereka," balas Alan sambil berdecak kesal.

Alan sungguh membenci segala sesuatu yang berkaitan dengan wanita. Karena baginya, semua wanita itu sama saja. Sama-sama penghianat dan munafik.

Ketidaksukaan Alan terhadap wanita terlalu nampak hingga mudah terendus publik. Banyak pemberitaan yang mengatakan Alan adalah seorang gay. Bahkan banyak yang berfikir kalau Eiden merupakan kekasih yang selalu menjaga Alan. Berita itu menyebar entah dari mana asalnya. Namun meskipun begitu, Alan tidak pernah berniat menghapus ataupun memberikan kebenaran dari pemberitaan miring tentangnya. Karena meski ada pemberitaan miring tentangnya, para wanita bukannya mundur tapi masih saja ada yang gentar untuk mendekatinya.

"Oh iya Tuan, anda harus bersiap nanti malam. Karena kita akan melakukan pertemuan sebelum kapal pesiar berlayar. Dan kemungkinan kolega bisnis kita akan membawa partner wanitanya juga," kata Eiden yang membuat Alan menghela nafas kasar.

"Hm," dehem Alan menjawab Eiden. Ia hanya melirik sekilas ke arah kemudi yang ditempati Eiden, kemudian kembali memejamkan matanya.

.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!