Rania berlari menyeberangi jalan raya yang padat akan kendaraan pagi itu. Dia menerobos jalanan tanpa pikir panjang.
Alhasil, ada satu mobil yang dibuat berhenti mendadak karena ulah gadis berambut panjang dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
Dia terus berlari menyeberang jalan menuju gedung pencakar langit Irawan Group tanpa memedulikan makian dari sang sopir mobil tadi.
Berpacu dengan waktu, nafas gadis itu terengah seiring dengan langkah kaki yang dipercepat dan tanpa menghentikan langkah, gadis itu melirik jam tangannya.
"Astaga, Rania, tiga menit lagi wawancara kerjamu akan dimulai," desis si gadis pada dirinya sendiri.
Rania pun semakin mempercepat langkah kaki yang kini telah menapaki halaman kantor. Hingga pada saat dia berbelok tiba-tiba…
Bruk.
Rania tak sengaja menabrak seorang pria dan membuat kopi yang dibawa pria itu mengotori jas mahalnya.
"Hai," seru pria yang ditabrak Rania dengan nada kesal.
Lebih kesal lagi karena Rania terus berlari tanpa meminta maaf apalagi bertanggung jawab membersihkan jas yang kotor.
Setelah sempat bertanya pada salah satu karyawan kantor, akhirnya Rania berhasil berada di depan pintu ruangan yang menjadi tempat wawancara para pelamar kerja.
Di luar pintu ada beberapa pelamar yang duduk dengan menggunakan setelan pakaian rapi sambil memasang wajah tenang dan percaya diri. Namun, begitu Rania datang, mereka melirik dengan sorot mencemooh.
Seolah Rania adalah pesaing yang mudah untuk mereka singkirkan dalam mendapatkan posisi kerja.
Rania tak peduli akan lirikan tajam yang didapatkannya. Dia lebih memilih menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.
Baru satu detik Rania duduk, pintu ruang interview terbuka menampilkan sosok perempuan bergaya modis. Sesaat perempuan itu melihat kertas berisi daftar nama pelamar kerja lalu berkata, "Adakah di sini yang bernama Rania Anindita?"
“Saya.”
Rania mengacungkan tangan dengan dada yang masih naik turun akibat kelelahan berlari. Lutut Rania terasa lemas dan jangan lupakan peluh sebesar biji jagung mengalir di kening yang belum sempat disekanya.
Kemudian, Rania masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi menghadap ke seorang wanita dengan name tag karyawan bertuliskan Siska.
Siska yang bekerja sebagai HRD itu meneliti penampilan Rania dari atas hingga ke bawah. Lalu menyunggingkan seringai mencemooh, berdecak dan menggelengkan kepala pelan.
Dilihat dari segi penampilan, Siska sudah meyakini Rania tak memenuhi salah satu persyaratan yaitu, berpenampilan menarik.
Ya, bagaimana tidak? Rania hanya memakai kemeja dan rok span sederhana dengan rambut panjang terurai berantakan serta jangan lupakan wajah tanpa polesan make up, ditambah kacamata tebal yang menambah kesan culun pada Rania.
"Jadi, apa Anda memiliki pengalaman kerja sebelumnya?" Siska bertanya.
Sejenak Rania membenarkan kacamatanya yang melorot dan tersenyum memperlihatkan deretan gigi dengan behel yang terpasang rapi.
"Belum."
Siska menghela nafas kasar, menatap jengah pada dokumen yang berisikan data diri calon karyawan Irawan Group.
Brak.
Baik Rania dan Siska terlonjak kaget karena pintu di ruangan tersebut terbuka lebar dan tampak seorang pria berdiri melayangkan tatapan tajam pada mereka.
Manik mata Rania membola saat mengenali sosok pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah pria yang tadi dia tabrak. Meski sudah mengganti jas yang kotor, tapi Rania tetap bisa mengenali pria itu.
Seketika Rania berdiri dan berkacak pinggang menantang si pria yang telah berani mengganggu sesi wawancara kerjanya.
"Hai, mau apa kau?" sentak Rania pada pria itu.
Siska melirik Rania dan si pria secara bergantian. Dia juga ikut berdiri dan hendak membuka mulut untuk berbicara.
Namun, pria itu memberikan kode agar Siska diam. Siska pun menurut, menutup bibirnya lalu menelan saliva dengan susah payah.
"Apa kau juga ingin melamar di perusahaan ini. Kalau iya, bisakah Anda antre di luar?" kata Rania berlagak sombong.
Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Rania dan duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Siska.
"Hai, kenapa kamu duduk di situ? Enak sekali, berlagak seperti bos saja," ucap Rani sinis.
Pria itu tak peduli akan perkataan Rania. Dia menumpu satu kakinya ke atas lutut dan menyambar dokumen data diri Rania yang tergeletak di atas meja.
Melihat sesi wawancara kerjanya yang terganggu akibat ulang pria itu, Rania pun menarik nafas mencoba bersabar.
"Tuan, saya minta maaf sudah menabrak dan membuat kopi Anda tumpah. Tapi saya mohon, jangan mengganggu sesi wawancara kerja saya. Hidup mati saya dipertaruhkan di sini. Saya sudah lelah mencari pekerjaan ke sana kemari."
Rania mengatupkan kedua tangan di depan dada dan memasang wajah memelas. Dia terus mengoceh agar pria itu keluar dari ruangan.
Pria itu mendongak dari dokumen yang sedang dia baca saat mendengar Rania berhenti bicara. Lalu menatap Rania begitu dingin dan menusuk.
"Sudah selesai bicaranya?"
Rania mengangguk.
"Apa kamu tahu siapa CEO di perusahaan yang sedang kamu lamar?"
“Tuan Aiden Abimanyu,” jawab Rania.
“Kamu pernah melihat orangnya?”
Rania menggelengkan kepala.
Pria itu mendengus, mencemooh Rania dan bergumam, "Sudah aku duga."
Kemudian pria itu mengambil sebuah majalah bisnis yang tergeletak di atas meja bersama tumpukan sebuah berkas. Kemudian menyodorkan majalah yang langsung diterima oleh Rania.
Di sampul majalah itu, terpampang foto pria dengan rambut tersisir rapi, hidung mancung, dagu runcing serta manik mata hitam menyorot tajam. Tubuh tegap yang terbalut setelan jas abu-abu itu menambah kesan tampan dan tegas.
Rania membaca headline dari majalah tersebut.
...Aiden Abimanyu dinobatkan sebagai pengusaha paling sukses tahun ini....
“Wow, hebat sekali calon bos besarku,” gumam Rania.
Detik berikutnya Rania menyadari ada satu hal yang terasa mengganjal. Dia melempar pandangan pada pria yang duduk di hadapannya, lalu kembali menunduk menatap sampul majalah.
“Tunggu. Kenapa wajahmu mirip dengan Tuan Aiden ya?” ucap Rania pada si pria.
Berulang kali Rania melirik pria itu dan sampul majalah secara bergantian. Kemudian mulut Rania terbuka lebar saat menyadari jika pria yang di hadapannya adalah Aiden Abimanyu.
Tak salah lagi. Sebab wajah pria itu sama persis dengan foto Aiden yang ada di sampul majalah.
Siska yang sejak tadi menonton, memberanikan diri untuk maju satu langkah dan berkata, “Rania, inilah Tuan Aiden Abimanyu, CEO Irawan Group.”
Deg.
Seketika tubuh Rania lemas dan majalah di tangannya jatuh ke lantai. Rania tercengang dengan manik mata melotot saking terkejutnya mendengar penjelasan Siska.
Matilah kau, Rania.
Rania tertawa kaku, menggigit bibir bawah dan meremas ujung pakiaan untuk sedikit meredakan tubuhnya yang gemetaran.
Gadis itu tertunduk lesu. Sudah dapat dipastikan dia akan tolak bekerja di Irawan Group setelah apa yang dia perbuat tadi.
Sedangkan Aiden yang melihat wajah frustrasi Rania, hanya bisa menarik salah satu ujung bibirnya.
"Kau yakin ingin bekerja di sini?" Aiden bertanya sambil menatap lekat wajah Rania.
"S-saya yakin dan siap, Tuan. Saya sudah ditolak bekerja sebanyak dua puluh sembilan kali dan kalau ini gagal berarti sudah ada tiga puluh perusahaan menolak saya."
Rania terisak mengingat betapa sialnya dia dalam hal karier. Namun, isakan Rania tak memberi efek apa pun pada Aiden.
Bahkan pria itu semakin menilai Rania sebagai wanita yang lemah.
Aiden berdecak sambil membanting berkas data diri Rania ke meja. Dia berdiri beranjak dari duduk lalu berjalan hendak meninggalkan ruangan.
Melihat Aiden yang berjalan meninggalkannya tanpa sepatah kata apapun, membuat Rania yakin jika dirinya ditolak.
Akan tetapi, mendadak Aiden menghentikan langkah dan berbalik.
"Kenapa kamu diam saja? Kamu ingin bekerja atau tidak?" gertak Aiden pada Rania yang menggarukan kepala bingung.
"Saya diterima bekerja di Irawan Group, Tuan?" Rania balik bertanya untuk memastikan.
"Ya. Kamu akan bekerja sebagai sekretarisku."
Seketika Rania mengorek kedua lubang telinganya menggunakan jari kelingking. Takut jika dia salah dengar.
"Tapi, Tuan Aiden."
Siska maju satu langkah memberanikan diri untuk buka suara. Pasalnya Siska kurang setuju mengingat Rania tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang sekretaris.
Namun, suara Siska seakan tersangkut di tenggorokan ketika Aiden menatap tajam dirinya. Dia tak mampu bersuara jika sang bos besar menatapnya begitu.
"Ikut aku! Hari ini juga kamu akan mulai bekerja."
Aiden langsung melangkah keluar tanpa menunggu Rania yang masih terpaku di tempat.
"Yes!"
Rania bersorak sambil mengapalkan kedua tangan. Lalu meraih tasnya dan berjalan dengan langkah penuh semangat.
Setelah sekian lama dia menjadi pengangguran, akhirnya dia dapat merasakan seperti apa itu dunia kerja.
Rania mengekori Aiden hingga mereka sampai di sebuah pintu.
Sejenak Aiden melirik Rania yang kini berdiri di sampingnya.
"Ini tugas pertamamu sebagai sekretaris. Mau tidak mau kamu harus siap.”
Rania mengangguk dan berkata dengan tegas, "Baik, Bos. Aku siap."
Kemudian, satu tangan Aiden mendorong pintu itu hingga terbuka lebar dan Rania pun tercengang dengan pemandangan yang ada di depannya.
Bagaimana tidak tercengang? Ini kali pertama Rania berada secara langsung di sebuah ruangan rapat maha luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung bertingkat.
Aiden hanya melirik dengan pandangan mencemooh pada Rania yang mulutnya menganga lebar dan segera Aiden melangkahkan kaki memasuki ruangan.
Para karyawan yang sejak tadi menunggu Aiden, serempak berdiri dan menganggukkan kepala sebagai tanda hormat.
Rania terus mengekori Aiden hingga pria itu duduk di kursi kebesarannya yang terletak di ujung meja. Lalu dia duduk di kursi kosong yang sempat ditunjuk oleh Aiden.
Begitu pula para peserta rapat yang juga kembali duduk di kursinya masing-masing.
"Tugasmu kali ini mencatat hasil rapat kita bersama tim marketing," kata Aiden menatap Rania yang sedang dilanda gugup.
"Baik, Bos."
"Kalau begitu kita langsung saja mulai rapat hari ini."
Rapat pun dimulai. Semua orang mengikutinya dengan serius, kecuali Rania.
Sebab gadis itu masih belum percaya dirinya menjadi seorang sekretaris CEO dan ditambah lagi dia diizinkan untuk langsung bekerja.
Rania bertopang dagu sambil terus melengkungkan senyuman. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rasa takjub tak bisa Rania sembunyikan dari wajahnya.
Dari tempat duduknya, Rania hanya perlu melirik ke jendela untuk melihat pemandangan arus jalanan kota yang berada tepat di bawah sana.
Kalau ruang rapat saja sudah sebagus ini, bagaimana dengan ruangan CEO ya? Gumam Rania dalam hati.
Sudah dapat dibayangkan gaji Rania yang pasti bernilai fantastis. Membayangkan saja sudah membuat Rania senyum-senyum sendiri.
Pikiran Rania melayang entah ke mana hingga dia tak sadar jika sejak tadi tak mencatat satu pun kata dari rapat yang sedang berlangsung. Bahkan Rania seolah mengabaikan orang-orang yang berada di ruangan itu.
Telinga Rania seolah tuli, tak mendengar apa pun kecuali suara Aiden yang sesekali menanggapi presentasi karyawannya.
"Ehem,"
Suara deheman mengganggu lamunan Rania. Dia terkesiap dan menoleh pada Aiden yang menatap tajam padanya.
Sontak Rania sadar jika saat ini dirinya menjadi pusat perhatian semua orang di ruang rapat.
Kemudian, Rania pun menerbitkan senyum, memamerkan giginya yang memakai behel, untuk menutupi rasa gugup yang melanda.
"Rania, bacakan hasil rapat kita kali ini!" perintah Aiden membuat jantung Rania berdegup kencang.
Seketika Rania menunduk melihat buku catatan yang terbuka lebar tapi tak ada satu kata pun di atas kertas.
Rasa gugup semakin melanda hingga rasanya Rania ingin sekali berteriak mengutuki kebodohannya.
"Ayo, cepat bacakan hasil rapatnya, Rania!" bentak Aiden menaikkan nada suaranya satu oktaf.
Rania tergugu tak dapat berbicara.
"Sejak tadi kamu tidak mencatat?" Aiden bertanya yang dia sendiri tahu jawabannya karena dari tempat duduknya dia dapat melihat buku catatan Rania yang kosong melompong.
Tak dapat bersuara, menjadikan Rania hanya menggelengkan kepala.
Brak.
Aiden menggebrak meja menjadikan semua orang terlonjak kaget. Seketika suasana di ruangan menjadi hening mencekam.
Semua karyawan peserta rapat tahu jika Tuan Aiden sangat tidak suka adanya kesalahan dalam bekerja meskipun itu hanya kesalahan sepele.
Aiden mengibaskan tangan memberi isyarat pada Rania agar gadis itu mengikutinya.
Kemudian, Aiden membawa Rania ke ruangannya, di ruangan paling atas gedung Irawan Group. Di sana sudah ada seorang pria yang menundukkan kepala begitu Aiden masuk.
Rania tak tahu dia siapa tapi satu yang pasti dia juga seorang bawahan dari Aiden Abimanyu.
"Beritahu dia, apa saja tugas seorang sekretaris!" kata Aiden terkesan cuek sambil menghempaskan diri di kursi kerjanya.
Pria yang diperintahkan Aiden mengangguk, melempar pandangan pada Rania dan tersenyum sambil mengulurkan tangan.
"Sebelumnya perkenalkan aku Abe, asisten pribadi Tuan Aiden."
Rania menerima uluran tangan Abe dengan senyum merekah di bibir.
"Aku Rania. Aku tahu siapa nama panjangmu?"
Abe mengerutkan alis tak percaya. "Sungguh?"
Rania menganggukkan kepala mantap. "Nama panjangmu pasti Abe… cdefghijklmnopqrstuvwxyz."
Gelak tawa langsung pecah dari mulut Abe tapi berhenti seketika saat menyadari Aiden menatap tajam padanya.
"Siapa yang mengizinkan kamu tertawa?" Aiden bertanya dengan mata mendelik.
Abe pun menggelengkan kepala. Sebelum urusan semakin panjang, dia segera mengambil berkas yang berisikan job desk seorang sekretaris.
Kemudian diserahkan berkas itu pada Rania untuk dibaca dan dipahami.
“Baca dan hafalkan dalam waktu tiga menit!” titah Aiden dari tempat duduknya.
“Hah? Lima menit? Tapi Bos...” Rania terkesiap dan ingin protes.
“Dimulai dari sekarang!” kata Aiden yang tidak mau mendengar protes dari Rania.
Tak ada pilihan, Rania pun membaca cepat berkas yang di tangannya. Rasa gugup langsung melanda tapi Rania mengambil nafas sejenak.
Secara keseluruhan, tugas sekretaris yang tercatat di berkas itu sama seperti tugas seorang sekretaris pada umumnya. Sehingga Rania hanya mengangguk setelah paham akan konsep.
“Waktu habis,” Aiden berkata sambil melirik jam tangan. Lalu mengalihkan pandangan pada Rania. “Sekarang sebutkan apa saja tugas sekretaris?”
Dengan percaya diri, Rania menjelaskan tugas sekretaris dengan kata-kata yang dia rangkai sendiri tanpa mengubah inti dari berkas yang tadi sudah dia baca.
Aiden melengkungkan satu sudut bibirnya. Dalam hati dia cukup puas dengan daya ingat Rania meski dia tak mau mengatakan secara langsung.
“Baik, karena kemampuanmu kamu masih bisa bekerja di sini,” ujar Aiden begitu Rania selesai berbicara. “Tapi kamu harus tetap bertanggung jawab karena telah membuat jas kesayanganku kotor.”
“Oh kalau masalah jas, saya pasti akan bertanggung jawab membersihkan jas milik Bos.”
Rania mengulurkan tangan siap menerima jas biru tua yang telah kotor akibat kecerobohannya.
Namun, bukannya menyerahkan secara baik-baik, Aiden justru melemparkan jas itu yang kemudian mendarat tepat di kepala Rania.
Sabar, Rania, sabar. Bos mu itu memang menyebalkan tapi jangan sampai kamu menyerah, karena mencari pekerjaan itu susah.
Rania membatin menyemangati dirinya sendiri. Dia menarik nafas panjang untuk meredakan emosinya sekaligus membuat dia mencium semerbak aroma parfum dari jas Aiden.
Kemudian Rania pun menyingkirkan jas itu dari kepalanya.
“Bersihkan dan jangan buat rusak! Karena uang gajimu selama satu bulan pun tidak dapat mengganti jas itu,” Aiden berkata yang hanya dimaksudkan agar Rania berhati-hati dengan jas kesayangannya.
Ish, sombong sekali dia itu. Untung saja dia tampan. Kata Rania yang hanya diucapkan dalam hati.
“Hai, kamu dengar tidak?” Aiden membentak ketika melihat Rania yang diam saja.
“I-iya, Bos. Saya dengar.”
Detik berikutnya, Aiden membuang muka dengan menerbitkan seringai di bibir. Jujur dia malas memiliki sekretaris seperti Rania.
Kalau bukan karena Mommy, aku tidak sudi punya sekretaris culun seperti dia. Ck, abaikan saja. Nanti juga dia akan menyerah dengan sendirinya.
"Ibu, Rania pulang."
Rania berteriak saat menerobos pintu depan rumah. Wajah bahagia tak dapat dia sembunyikan dan ingin sekali dia ceritakan pada sang ibu akan apa yang terjadi hari ini.
Langkah kaki Rania menuntunnya menuju ke dapur. Di mana Ajeng, ibu Rania, biasa memasak katering yang menjadi usahanya dalam mencari pundi-pundi rupiah.
Rania langsung memeluk erat Ajeng dari belakang. Tak peduli jika ibunya itu sedang berjibaku dengan bahan masakan.
"Ibu, coba tebak kenapa aku baru pulang?"
Ajeng melirik putri sulungnya sejenak, lalu kembali fokus pada masakan di wajan.
"Apa kamu diterima bekerja?" tebak Ajeng.
"Yups, betul."
Rania berjingkrak girang tapi respons dari Ajeng tampak biasa saja, membuat senyum Rania memudar seketika.
"Apa Ibu tidak senang aku bekerja?"
"Mana mungkin Ibu tidak senang," Ajeng melirik Rania dan membalas senyuman Rania. "Kamu diterima bekerja di mana?"
"Aku bekerja di Irawan Group sebagai sekretaris CEO, Bu," pekik Rania sangat riang sampai kembali berjingkrak seperti anak kecil.
"Selamat ya, Nak. Sebagai hadiah karena kamu tidak lagi menjadi pengangguran, Ibu akan berikan kamu piring kotor. Tolong dicuci ya?"
Seketika Rania memanyunkan bibir. Bukannya makanan enak sebagai hadiah, malah mendapatkan setumpuk piring kotor.
Akan tetapi Rania tak mempermasalahkan hal itu. Sebab dia tahu Ajeng jauh lebih lelah dari dirinya, mengingat sang ibu adalah seorang orang tua tunggal yang harus menafkahi dua orang putri.
"Ah, aku senang, Bu, karena aku bisa membuktikan jika aku bisa bekerja karena kemampuan diriku sendiri. Bukan karena ada orang dalam," tutur Rania saat sibuk menggosok spons ke piring kotor.
Ajeng yang mendengar ucapan anaknya, mendadak menghentikan pergerakan tangan sesaat. Dia melirik Rania dengan tatapan bersalah.
Akan tetapi, Ajeng kembali mengingatkan pada diri sendiri jika semua itu dia lakukan demi kebaikan Rania juga.
Lamunan Ajeng melayang pada pertemuannya dengan ibu Aiden, Kirana, beberapa hari yang lalu. Setelah lama tak berjumpa, mereka tak sengaja bertemu sebuah pusat perbelanjaan.
Di saat itulah, Ajeng meminta bantuan Kirana untuk menerima Rania untuk bekerja di perusahaan milik keluarga Kirana yang kini dipimpin oleh Aiden.
Di waktu yang sama namun berbeda tempat, Aiden melenggang melintasi halaman belakang rumah. Tatapan pria itu selalu sama di mana pun dia berada. Tajam dan dingin.
Bahkan pada seorang wanita cantik yang tengah duduk di bangku taman sambil membaca buku. Wanita itu mendongak, menyadari kedatangan putranya.
"Aiden," panggil Kirana dengan bibir yang merekahkan senyuman.
"Mom, kenapa Mommy memaksa aku memperkerjakan gadis culun, payah, dan bodoh itu untuk bekerja sebagai sekretarisku?" protes Aiden to the point.
Aiden memang selalu tidak suka berbasa-basi pada orang lain. Jika dia ingin mengatakan sesuatu, pasti akan membahas langsung ke inti permasalahan.
Terlebih jika emosinya sedang tidak terkendali seperti saat ini.
Dengan sabar, Kirana masih bisa tersenyum dan menepuk ruang kosong di sampingnya.
"Duduk, Nak!"
Aiden menghela nafas, sebelum akhirnya duduk di samping ibunya.
"Mom, aku tidak mau gadis culun itu menjadi sekretarisku. Pokoknya besok aku akan memecat dia. Titik," protes Aiden penuh penekanan pada setiap katanya.
"Aiden, ibunya Rania pernah menolong Mommy. Dia itu seorang janda dua anak. Mereka hidup pas-pasan, apa kamu tidak kasihan pada mereka?"
Aiden melirik sebal pada Kirana, lalu membuang muka menatap deretan tanaman mawar yang terawat rapi di sampingnya.
"Aku lebih kasihan pada diriku sendiri."
"Rania itu masih perlu banyak belajar. Jadi kamu harus bersabar. Mommy yakin, dia bisa menjadi sekretaris yang bisa kamu andalkan."
Aiden mendengus, tak yakin jika seorang Rania dapat menjadi sekretaris seperti yang Kirana katakan.
"Dia terlalu bodoh untuk diajari."
Kirana hanya menanggapi dengan senyuman, lalu dengan santai menjawab, "Ingat kesepakatan kita Aiden, jika kamu memecat Rania, maka Mommy akan…"
Aiden berdecak. Dia tahu Kirana pasti akan membahas masalah yang satu ini.
"Ya, ya, aku tahu," sejenak Aiden menarik nafas. "Baik, aku tidak akan memecat Rania tapi lebih tepatnya membuat dia mengundurkan diri. Aku tidak suka jika ada tindakan nepotisme di perusahaan Irawan Group."
Aiden bangkit dari duduknya, melangkah melintasi taman belakang, dan masuk ke dalam kamarnya.
Di kamar, Aiden berjalan mondar-mandir dengan sesekali mengacak rambut memikirkan cara agar sekretarisnya bukan lagi Rania. Lalu tiba-tiba Aiden menjentikkan jari pertanda dia menemukan sebuah ide cemerlang.
Segera Aiden menyambar ponsel yang ada di atas nakas untuk menghubungi Abe.
"Abe, perkerjakan seseorang yang berkompeten untuk menjadi sekretarisku. Mulai besok dia sudah harus bekerja di kantor."
Tut.
Tanpa perlu mendengar jawaban dari Abe, panggilan telepon sudah dimatikan terlebih dahulu oleh Aiden.
Kemudian, pria bermanik mata hitam itu bisa sedikit bernafas lega dan melangkah menuju kamar mandi.
Keesokan paginya.
"Rania, kamu dipanggil ke ruangan Tuan Aiden," ucap Abe saat Rania baru saja melewati pintu masuk gedung Irawan Group.
"Ada apa? Apa karena aku terlambat bekerja?" Rania melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.
Ya, dia memang terlambat bekerja sepuluh menit sebab tadi dia harus mengantar katering pesanan ibunya.
Abe hanya mengangkat bahu yang mengartikan jika dia pun tidak tahu.
Dengan rasa penuh gelisah di setiap langkah, Rania berjalan menuju ruangan Aiden. Rania membuka pintu dan mendapati di ruangan itu Aiden sedang bersama seorang wanita cantik.
Harus Rania akui wanita itu sangat cantik dengan rambut panjang yang digelung rapi serta setelan blazer yang juga tak kalah rapi.
Melihat penampilan wanita itu membuat Rania refleks melirik pada penampilannya sendiri. Di mana dia hanya memakai kemeja putih polos dan rok hitam selutut yang kusut belum sempat disetrika.
Belum lagi flatshoes butut yang dipakai Rania sungguh memperburuk penampilannya. Berbeda dari sepatu hak tinggi mengkilap yang terpasang di kaki jenjang wanita itu.
"Kau terlambat dua belas menit tiga puluh dua detik," kata Aiden yang sedang duduk di kursi kebesarannya, memandang Rania penuh ancaman.
"Berarti sejak tadi, Bos menungguku?" Rania bertanya mengembangkan senyum lebar dan merasa tersanjung karena Aiden memperhatikannya.
"Aku peringatkan jika kamu terlambat lagi, kamu akan dipecat!" bentak Aiden yang kemudian menghempaskan punggung ke sandaran kursi.
"Baik, Bos. Aku akan berusaha tepat waktu. Tadi itu saya…"
"Aku tidak butuh alasan. Sekarang, buatkan aku kopi!"
"Baik, Tuan. Saya akan buatkan kopi untuk Anda."
Bukan Rania yang menyahut, melainkan wanita cantik yang sejak tadi bersama Aiden. Lantas wanita itu pun berjalan keluar ruangan untuk membuatkan kopi seperti apa yang diperintahkan.
Rania melirik pada punggung wanita cantik sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Kemudian, sambil mengerutkan alis, Rania melempar pandangan pada Aiden.
"Bos, siapa wanita itu?"
"Dia sekretarisku."
Wajah Rania semakin mengerut bingung.
"Kalau dia sekretaris, lalu aku apa?" Rania menunjuk dirinya sendiri.
Sejenak Aiden diam melayangkan tatapan tajam yang beradu dengan sorot mata penuh tanda tanya dari Rania.
"Apa itu artinya aku dipecat, Bos?"
Aiden tersenyum tipis namun penuh arti, dan berkata, "Posisimu di sini hanya sekedar sekretaris bayangan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!