"Perusahaan Papa bangkrut."
Itu adalah sebaris kalimat yang mampu membuat hidup Kinara jungkir balik. Langit yang tadinya cerah mendadak mendung. Bumi tempatnya berpijak seolah diguncang gempa dahsyat hingga membuat tubuh kurusnya sempoyongan. Matanya berkunang-kunang dan tenggorokannya tercekat.
Perusahaan Papa bangkrut. Dia mengulangi kalimat itu di kepalanya sekali lagi, berusaha mencernanya dengan baik sekaligus memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
Saat matanya bertemu dengan Mama, Kinara sadar kenyataan pahit ini memang mau tidak mau harus ia terima dengan lapang dada.
"Kok bisa?" Kinara pikir, ia mengatakan itu di dalam hati. Tapi ternyata suara yang dia buat lebih lantang dari dugaannya.
Papa yang duduk di hadapannya menatap sendu. Kentara sekali ada perasaan bersalah yang begitu besar dari sorot mata pria paruh baya itu.
"Sebastian membawa kabur uang perusahaan, mengadakan kontrak palsu dengan klien sehingga banyak yang menuntut ganti rugi. Semuanya habis, Nara. Nggak bersisa sama sekali."
Kinara bisa melihat mata Papa memerah. Ada kabut bening yang menyelimuti mata pria itu, pertanda air matanya akan tumpah sebentar lagi.
"Lagi-lagi ulah Sebastian!" Kinara geram. Pasalnya, ini bukan kali pertama pria brengsek bernama Sebastian itu membuat ulah. Beberapa tahun yang lalu, saat perusahaan Papa baru berkembang, Sebastian pernah kepergok mengorupsi sebagian dana proyek. Tapi Papa memaafkannya begitu saja karena Sebastian berdalih uang itu digunakan untuk pengobatan sang ibu.
Sebenarnya, sejak pertama kali bertemu dengan Sebastian, Kinara sudah punya firasat buruk tentang lelaki itu. Siapa sangka kalau firasat buruknya benar-benar menjadi kenyataan sekarang?
"Maafin Papa, Nara."
Kinar menatap Papa sebentar kemudian beralih menatap Mama yang duduk di sebelah Papa. Wanita itu sedari tadi hanya diam. Tidak menampakkan ekspresi apapun. Meski begitu, Kinara tahu Mama sedang menahan amarah dan rasa kecewa yang teramat dalam.
"Terus sekarang kita gimana?" Kinara kembali menatap Papa. Sekarang ini, mencari solusi untuk kehidupan mereka ke depannya tentu lebih penting ketimbang menyesali apa yang sudah terjadi.
"Terpaksa mulai dari nol lagi." Ucap Papa sedih.
"Oke, itu nggak masalah. Nara bisa bantu Papa bangun usaha dari awal lagi."
"Tapi, Nara..." Papa menggantungkan kalimatnya, terlihat ragu.
"Kenapa?" tanya Kinara.
Beberapa detik Papa hanya terdiam. Perasaan Kinara mulai tidak enak. Dia curiga ada hal lain yang Papa sembunyikan dari dirinya dan juga Mama. Sepertinya kabar mengenai perusahaan Papa yang bangkrut bukanlah satu-satunya kabar buruk yang akan dia terima hari ini.
"Pa?"
"Rumah ini akan disita oleh bank."
Bagai disambar petir di siang bolong, Kinara merasakan tubuhnya bagai terpental jatuh ke belakang. Soal perusahaan Papa yang bangkrut, Kinara masih bisa berpikir positif bahwa mereka akan bisa memulai semuanya kembali dari awal. Tapi rumah ini adalah persoalan yang berbeda. Rumah ini dibangun dengan jerih payah Mama dan Papa. Desainnya dirancang sendiri oleh Papa sedangkan segala perabot di dalamnya dipilih oleh Mama. Rumah ini sudah menjadi saksi perjalanan hidup mereka. Bagaimana bisa mereka juga akan kehilangan rumah ini?
Tidak. Kinara tidak bisa menerimanya. Saat ini, rasanya dia benar-benar ingin membunuh laki-laki bernama Sebastian itu dengan cara paling kejam sedunia!
"Apa nggak ada aset lain yang bisa disita? Kenapa harus rumah ini?!" Kinara memekik. Otot-otot di sekitar lehernya tampak begitu jelas. Matanya memerah menahan tangis.
"Nggak ada yang tersisa, Nara. Papa udah bilang kalau semuanya habis. Satu-satunya harta berharga yang masih kita punya cuma mobil kamu." Terang Papa. Berusaha keras menahan kegetiran yang memenuhi rongga dada.
Kinara terdiam dengan isi kepala yang mulai tidak keruan. Bagaimana mereka akan melanjutkan hidup hanya dengan bermodalkan sebuah mobil yang kalau dijual pun hasilnya tidak akan seberapa? Bagaimana dengan kuliahnya? Bagaimana dengan rencana Mama untuk membuka butik? Bagaimana dengan impian mereka untuk berlibur bersama ke luar negeri akhir tahun ini? Kepala Kinara sekarang hanya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang bagaimana nasib mereka ke depannya.
"SEBASTIAN SIALAN!!!" Kinara berteriak kesetanan. Dia kemudian berjalan cepat menaiki tangga dengan langkah yang menghentak-hentak, napasnya memburu, dadanya bergemuruh menahan emosi.
Sementara di bawah, di ruang keluarga, Papa hanya bisa menatap punggung Kinara yang semakin menjauh. Sejenak setelah sosok Kinara menghilang di balik pintu kamarnya, Papa menoleh kepada Mama yang masih diam seribu bahasa.
"Maafin Papa, ya, Ma?" Papa meraih tangan Mama, menggenggamnya erat.
Mama masih diam. Tidak bicara apapun. Tidak juga membalas tatapan Papa. Papa tahu Mama kecewa. Ia memang bodoh karena telah membuat keluarga kecil yang sangat disayangi harus menderita karena ulah orang asing yang terlalu dia percaya.
Andai waktu bisa diulang kembali, Papa pasti tidak akan sudi membawa Bastian masuk ke dalam hidup mereka.
"Maafin Papa." Itu adalah kalimat terakhir yang Papa ucapkan sebelum air matanya mengalir deras membasahi pipi.
...****************...
Pukul 11.45 malam, Kinara masih belum bisa memejamkan mata. Dia telentang, memandangi langit-langit kamarnya yang menampakkan gambaran langit luas berhias bintang-bintang. Kinara ingat stiker bintang-bintang yang hanya akan terlihat saat lampu kamarnya dipadamkan itu dipasang sendiri oleh Papa saat ulang tahunnya yang ke-16. Saat itu Kinara mengeluhkan mimpi buruk yang terus menerus datang selama beberapa hari sehingga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Lalu Papa berinisiatif untuk memasang stiker itu di langit-langit kamarnya. Katanya, supaya Kinara bisa lebih rileks saat menyaksikan hamparan langit malam nan indah itu sehingga mimpi buruk tidak akan datang menghampirinya lagi.
"Sebastian brengsek!" Kinara berbisik pelan. Iya, hanya berbisik. Sebab rasanya dia sudah tidak punya tenaga untuk meneriaki nama laki-laki itu dengan lantang. Sejak sore tadi saat pertama kali mendengar kabar buruk ini dari Papa, dia mungkin sudah mengutuk Sebastian sebanyak jutaan kali. Namun rasanya masih tidak cukup. Dia masih sangat marah pada laki-laki itu.
"Padahal Papa udah baik banget sama lo, tapi kenapa lo tega berbuat seperti ini sama Papa?" suara Kinara terdengar lirih. Yang tampak di langit-langit kamarnya sekarang bukan lagi hamparan langit malam yang indah, melainkan bayangan wajah menyebalkan Sebastian yang seketika membuatnya naik darah.
Kilasan memori tentang laki-laki itu satu persatu muncul. Mulai dari pertemuan pertama mereka di kantor Papa saat Papa mengenalkan Sebastian sebagai pegawai baru di sana. Lalu pertemuan berikutnya saat tahu-tahu Papa sudah mengangkat Sebastian sebagai asisten pribadinya hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Hingga adegan di mana Papa memaafkan kekhilafan Sebastian yang telah memakan uang proyek untuk kepentingan pribadinya.
Ah, kalau saja waktu itu Papa mau bersikap menjadi orang jahat untuk sekali saja, apakah hal buruk ini masih bisa dicegah? Atau paling tidak, keadaannya mungkin tidak akan jadi seburuk ini.
"Gue bersumpah ya, Sebastian, kalau sampai kita ketemu lagi suatu hari nanti, gue pastikan muka lo yang pas-pasan itu bakal habis sama cakaran gue!" Kinara menggerakkan tangannya ke langit-langit kamar, membuat gerakan seolah dia sedang mencakar wajah Sebastian yang sekarang sedang tersenyum kurang ajar kepada dirinya.
"Gue benci sama lo Sebastian!!! Brengsek!" Teriak Kinara terakhir kali sebelum membenamkan wajahnya ke dalam selimut. Di saat seperti ini, dia tahu akan sulit untuk bisa tertidur. Tapi dia juga tetap harus melakukannya. Pertama, karena dia masih manusia biasa yang butuh istirahat. Kedua, siapa tahu saja kan dia bisa bertemu dengan Sebastian di dalam mimpinya sehingga dia bisa merobek wajah laki-laki itu sepuasnya?
Enam puluh delapan detik berlalu, Kinara pun terlelap.
Bersambung
Kinara yakin ini masih terlalu pagi untuk mendengar keributan yang berasal dari lantai bawah. Dengan muka bantal dan mata yang masih setengah terpejam, dia berjalan keluar dari kamar.
Kinara melongokkan kepala keluar pintu, menajamkan indera pendengarannya untuk mencaritahu dari mana asalnya suara berisik yang terdengar seperti beberapa benda yang terjatuh itu.
"Nara, ngapain?"
Hampir saja jantung Kinara melompat keluar dari tempatnya sewaktu Mama tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya, menatapnya keheranan.
"Mama ngagetin!" Kinara memegang dadanya sendiri. Jantungnya berdegup kencang. Ekspresi wajahnya sangat dramatis, berbanding terbalik dengan Mama yang tampak tenang. Mama memang selalu pandai dalam hal mengatur emosi. Tidak seperti dirinya yang meledak-ledak (entah menurun dari siapa), Mama cenderung lebih bisa mengontrol dirinya. Wanita itu cenderung tertawa sekadarnya, menangis seperlunya dan marah sewajarnya.
"Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Ngapain kamu celingak-celinguk di depan pintu begitu?" Mama bersedekap, menatap Kinara menunggu jawaban.
"Kinara dengar ada suara berisik dari lantai bawah, penasaran itu suara apa." Jelas Kinara. Detak jantungnya sudah kembali normal sekarang.
"Oh, itu suara Papa yang lagi beres-beresin barang di gudang." Mama berucap santai.
"Oh, lagi beresin barang... Eh?! Beresin barang? Kenapa?!" Kinara tiba-tiba panik, matanya melotot tak percaya.
"Besok kita harus pindah. Papa mau beresin barang yang masih bisa kita bawa, kayak album foto lama sama mainan dan baju-baju kamu sewaktu masih kecil."
"Besok banget?"
Mama mengangguk, membuat Kinara cemberut. Mendadak kembali lesu. Sewaktu Papa mengatakan rumah mereka akan disita pihak bank, Kinara pikir mereka akan diberi waktu beberapa hari sampai mendapatkan tempat tinggal baru. Ternyata pihak bank juga sama brengseknya dengan Sebastian, tidak punya rasa belas kasih!
"Yaudah, Mama mau turun bantuin Papa beres-beres. Kamu masuk ke kamar lagi, cuci muka terus turun buat sarapan. Mama udah siapin roti tawar sama susu." Ucap Mama lalu berlalu menuruni tangga, menghampiri Papa di gudang yang letaknya di ujung ruangan lantai satu dekat pintu keluar bagian belakang.
Kinara masih berdiam diri di depan pintu. Tidak tahu harus berbuat apa dan mulai dari mana. Semua ini masih terasa seperti mimpi yang sulit sekali untuk bisa dia terima.
Akhirnya, karena tahu bahwa merutuki apapun tetap tidak akan merubah apa yang sudah terjadi, Kinara pun berjalan kembali ke dalam kamarnya. Langkahnya diseret menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Kinara terdiam cukup lama. Memandangi pantulan dirinya di cermin dekat wastafel. Berkali-kali Kinara menarik dan membuang napas dengan teratur. Berharap hal tersebut bisa membantunya mengusir keresahan yang perlahan-lahan mulai menguasai dirinya.
Kemudian, setelah dirasa keadaan dirinya sudah lebih baik, Kalea mulai menyalakan keran. Air yang mengalir dari sana ditadahi menggunakan tangan. Perlahan-lahan Kinara membawa air itu untuk membasuh wajahnya. Sensasi dingin langsung merambat dari kulit wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Kantuk yang semula masih ada seketika hilang. Kinara sepenuhnya sadar sekarang. Tetapi, bukan hanya sadar dari kantuknya saja, melainkan juga disadarkan bahwa apa yang dia alami sekarang sepenuhnya kenyataan.
"Tuhan...kasih hati Kinara ketabahan."
...****************...
Matahari sudah naik saat Kinara selesai memasukkan album foto terakhir ke dalam kardus. Dia kemudian duduk bersandar di dinding gudang, menyelonjorkan kaki sembari mengibaskan tangannya untuk mengipasi tubuhnya yang berkeringat.
Papa dan Mama sedang berbincang dengan seseorang di halaman depan. Kalau dari yang dia dengar sayup-sayup sih, orang itu sepertinya adalah sopir truk yang akan membantu mereka pindahan besok. Mungkin Papa dan Mama sedang bernegosiasi tentang harga. Maklum, uang yang mereka punya sekarang tidak seberapa. Sudah pasti harus dihemat agar mereka tetap bisa melanjutkan hidup.
Saat keringat di dahinya menetes hingga jatuh membasahi kaus oblong warna putih yang dia kenakan, mata Kinara menangkap selembar foto yang terselip di bawah kardus tempatnya menyimpan barang-barang yang akan dibawa pindahan.
Kinara mengambil foto itu. Sejenak dia terdiam. Itu adalah foto yang menunjukkan dirinya sedang digendong oleh Papa. Saat itu umurnya mungkin baru dua atau tiga tahun. Foto itu diambil di kebun binatang dengan latar belakang rerumputan hijau di mana ada beberapa rusa yang tidak sengaja ikut terfoto. Mama berdiri di samping Papa, tersenyum begitu cerah.
Melihat senyum hangat Mama yang menular, Kinara ikut tersenyum. Kalau diperhatikan lagi, Papa dan Mama tidak banyak berubah. Dalam kurun waktu belasan tahun ini, rasanya hanya Kinara yang mengalami perubahan fisik. Mama masih secantik dulu, dengan rambut hitam lurus yang tidak pernah dibiarkan tumbuh panjang melebihi bahu. Mata bulatnya masih menampakkan binar teduh yang menenangkan. Suaranya juga masih selembut dulu. Kinara hampir tidak pernah mendengar Mama berteriak (kecuali saat bertemu dengan kecoak dan binatang kecil menyebalkan semacamnya). Sementara Papa juga masih sama tampannya dengan belasan tahun lalu. Tubuhnya masih tegap dan gagah. Senyumnya masih secerah dulu, walau akhir-akhir ini senyum itu sudah jarang sekali dia lihat.
Ada sesak yang meringsek masuk ke dalam dadanya saat mengingat betapa bahagianya kehidupan mereka dulu. Ralat. Lebih tepatnya, sampai beberapa hari yang lalu. Mereka tentu tidak pernah menyangka bahwa kehidupan bahagia itu akan dirusak begitu saja oleh orang asing tidak tahu diri semacam Sebastian.
Kadang Kinara bertanya-tanya, mengapa orang sebaik Papa harus bertemu dengan bajingan seperti Sebastian? Bukankah ada yang bilang, tanamlah sesuatu yang baik agar kebaikan datang kembali kepada kita? Lalu, inikah balasan atas hal-hal baik yang Papa lakukan selama ini? Adilkah?
Kinara meratap, masih banyak lagi pertanyaan yang mengerubungi kepalanya. Saking ributnya isi kepala, Kinara bahkan tidak sadar kalau Mama menerobos masuk ke dalam gudang.
"Nara, bantuin Mama siapin makan siang... Loh, kamu nangis?!" Mama tiba-tiba berjongkok di depan Kinara, menatapnya panik.
Kinara gelagapan. Tangannya bergerak cepat mengusap pipinya sendiri. Basah. Apa benar dia sudah menangis? Bahkan tanpa dia sadari? Separah itukah sakit di hatinya sampai dia tidak sadar telah meneteskan air mata?
"Nggak apa-apa, Nara. Kamu boleh nangis, nggak apa-apa."
Tahu-tahu Kinara sudah ada dipelukan Mama. Punggungnya ditepuk-tepuk pelan dan rambutnya diusap dengan sayang. Mama berulang kali membisikkan kalimat yang sama; nggak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.
Kinara juga maunya begitu. Dia juga maunya percaya kalau semuanya aka baik-baik saja selama mereka masih bersama. Tapi, Kinara tidak bisa membohongi dirinya. Dia menangis tersedu-sedu di pelukan Mama. Meluapkan semua sedih dan emosi yang dia tahan-tahan sejak kemarin.
Menjelang maghrib, Kinara duduk diam di beranda rumah. Menyaksikan langit perlahan-lahan berubah warna dari oranye menuju abu-abu kemudian gelap. Di meja bundar di depannya, ada secangkir teh yang sudah dingin dan setoples biskuit regal favoritnya.
Di sore-sore sebelum hari buruk ini menghampiri, Kinara suka menghabiskan waktu menikmati senja sambil menyesap teh tawar buatan Mama ditemani beberapa keping biskuit regal yang manis. Tapi sore ini, semua hal yang tadinya merupakan favoritnya kini tampak tidak menarik. Teh tawar yang dibuatkan Mama dibiarkan dingin tak tersentuh. Begitu pula dengan biskuit regal yang dia biarkan berdiam di dalam toples, menatapnya sedih bagaikan anak-anak malang yang ditelantarkan ibunya sendiri.
Hela napas panjang mengawali gerakan tubuhnya yang lunglai. Kinara melangkahkan kaki ke dalam rumah tepat saat adzan berkumandang. Meninggalkan cangkir teh dan biskuit regal di atas meja. Mungkin, sampai besok saat waktunya mereka pindahan, dia tetap tidak akan memindahkan dua benda itu dari sana. Biar siapapun yang datang ke sini untuk pertama kali setelah kepindahannya tahu, bahwa di rumah ini, pernah tinggal seorang gadis yang bahagianya hanya sesederhana menyesap teh ditemani sekeping biskuit regal.
Sesampainya di kamar, Kinara malah merebahkan diri. Harusnya dia segera ke kamar mandi untuk mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat maghrib. Namun entah mengapa hari ini dia benar-benar tidak berselera melakukan apa-apa.
Lama Kinara terdiam di atas ranjang. Pikirannya melayang kemana-mana. Adzan sudah tidak terdengar. Tergantikan suara detik jarum jam yang entah bagaimana terdengar lebih keras dari biasanya.
Kinara menatap sebal jam di dinding kamarnya. Jam berbentuk lingkaran dengan gambar tayo warna biru itu seolah sedang mengejeknya. Mengingatkannya bahwa waktunya tidak banyak lagi tersisa di rumah ini. Dalam beberapa kali putaran jarum panjang jam saja, dia sudah harus angkat kaki.
"Nara, sholat maghrib dulu." Terdengar suara Mama dari balik pintu. Kinara menatap pintu cokelat tua itu sebentar sebelum menjawab dengan satu kata "iya".
"Astaghfirullah... Gara-gara Sebastian sialan gue jadi hampir ninggalin sholat!" Kinara buru-buru bangkit dari kasur. Berjalan cepat ke kamar mandi sebelum waktu sholat keburu habis.
...****************...
Selepas menunaikan sholat, Kinara tidak lantas bangun dari tempatnya. Setelah berdoa seperti yang dia lakukan setiap hari (hanya saja kali ini ditambah beberapa doa baru) dia merebahkan diri di atas sajadah. Hari ini dia tidak sholat berjamaah dengan Mama dan Papa karena takut kegiatan ibadah ini akan berakhir dengan kegiatan menangis bersama. Tidak. Kinara tidak mau menangisi kejadian ini sebegitunya.
Di tengah sibuknya pikiran, Kinara tiba-tiba teringat pada Atharya Danapati, kekasihnya. Dia baru ingat sejak kemarin tidak memberi kabar sama sekali pada laki-laki itu. Padahal Kinara tahu Atha paling benci kalau dirinya sudah hilang-hilangan tanpa kabar.
Secepat kilat, Kinara bangkit dari posisi rebahannya. Masih dengan menggunakan mukena, dia melompat naik ke atas kasur dan mengambil ponsel dari dalam laci nakas.
Kinara meringis mendapati empat puluh panggilan tak terjawab dan tiga puluh dua pesan belum terbaca yang semuanya berasal dari Atha. Tanpa membuka pesan itu satu persatu pun, Kinara sudah bisa menebak isinya. Pasti tidak jauh-jauh dari Atha yang mengomel mengeluhkan dirinya yang tidak ada kabar.
Tidak mau menambah masalah, Kinara segera menelepon Atha untuk menjelaskan kondisinya.
Tiga detik kemudian, Atha mengangkat telepon. Laki-laki itu langsung marah-marah, mengoceh panjang lebar bahkan sebelum Kinara sempat berbicara satu patah kata pun.
"Maaf, kemarin aku lagi ada masalah." Kinara berusaha menjelaskan. Tapi seperti biasa, Atha tidak mau menerima itu sebagai sebuah alasan. Laki-laki itu masih terus mengomel hingga membuat telinga Kinara bak baru saja diuapi dengan suhu seratus delapan puluh derajat celsius alias panas!
"Kamu tuh kebiasaan suka ngilang! Kamu nggak tahu aku khawatir?!" nada suara Atha makin tinggi, membuat Kinara terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga.
"Kok diem?!"
Kinara memutar bola mata jengah. Bagaimana dia mau bicara kalau Atha masih nyerocos terus sedari tadi?
"Kinara, kamu dengerin aku nggak sih?!"
"Iya, aku dengar."
"Kamu kemana aja dari kemarin? Ada masalah apa sampai kamu menghilang gitu aja, nggak ada kabar sama sekali?"
"Aku nggak bisa cerita lewat telepon. Nanti setelah kamu balik ke Jakarta, aku bakal jelasin semuanya."
Tidak ada sahutan. Kinara pikir sambungan telepon terputus. Tapi saat dia menjauhkan ponselnya dari telinga untuk memeriksa, telepon mereka jelas masih tersambung.
"Atha?"
"Oke, nanti setelah aku balik ke Jakarta, kamu harus jelasin semuanya."
"Iya."
"Kamu lagi ngapain? Udah sholat?"
"Baru selesai sholat. Kamu sendiri lagi ngapain?" Kinara merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar dengan senyum tipis. Dia sedang membayangkan ada Atha di depannya saat ini.
"Aku di depan rumah, nunggu teman jemput karena kita mau kumpul di Malioboro malam ini."
"Oh... Jogja seru, ya?" tanyanya sambil memainkan ujung mukenanya.
"Seru. Kapan-kapan aku ajak kamu kesini."
"Janji?"
"Iya, janji. Eh, udah dulu ya, teman aku udah datang nih. See you!"
"See--"
Telepon terputus sebelum Kinara menyelesaikan ucapannya.
Ponsel itu dia biarkan tergeletak di atas dadanya. Bayangan wajah Atha semakin terlihat jelas di langit-langit kamarnya. Alis tebalnya, bulu mata lentik yang menjadi idaman para wanita, juga senyum manis bertabur lesung pipi yang memabukkan itu sukses membuat Kinara tersenyum.
Sudah tiga minggu dia tidak melihat wajah tampan kekasihnya itu secara langsung. Kuliah sedang libur dan Atha memutuskan untuk berlibur ke rumah kakeknya di Jogja. Kinara sempat ditawari untuk ikut, tapi Papa jelas menentangnya. Walau pun mereka sudah berpacaran selama tiga tahun, tidak serta merta membuat Papa menaruh kepercayaan penuh terhadap Atha. Biar bagaimana pun, Atha tetaplah laki-laki normal yang sangat mungkin berbuat khilaf jika ada kesempatan. Dan Papa tentu tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada putri semata wayangnya.
Di saat rasa rindunya pada Atha semakin membuncah, tiba-tiba saja sebuah pemikiran aneh melintas di kepala Kinara, membuat senyumnya seketika memudar.
Kalau Atha tahu keadaan ekonomi keluarga gue yang sekarang, apa dia masih mau pacaran sama gue?
Kinara mendadak resah. Atha adalah pacar pertamanya. Cinta pertama yang berhasil dia bawa ke dalam sebuah hubungan yang tidak main-main. Sangat tidak lucu kalau kisah cinta mereka harus berakhir hanya karena bangkrutnya usaha Papa.
Tidak mau pemikiran itu semakin menggerogoti kepalanya, Kinara menggelengkan kepala kemudian segera berlari ke dalam kamar mandi. Ia hendak mengambil wudhu lagi dan segera manunaikan sholat isya. Tadi, dia lupa mengucapkan satu doa ini: semoga Atha tetap bisa menerimanya dengan keadaannya yang seperti sekarang ini.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!