Seorang gadis terlihat baru turun dari bis kota. Dengan menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Gadis itu melangkah keluar terminal. Ditengok nya kanan dan kiri mencari sosok seseorang yang mengatakan akan menjemputnya.
Namaku adalah Jenita Claudia Andini. Umurku menginjak 24 tahun ini. Aku adalah anak tunggal dari pasangan Lidia Hermano dengan almarhum Ikbar Artantyo. Selama ini aku dibesarkan di kota S. Sejak lulus kuliah aku dipercaya kakek untuk menggantikannya memimpin perusahaan nya sebagai Ceo, aku biasa dipanggil dengan nama Ceo Claudia.
Tidak ada yang salah dengan nama Jenita, karena itu juga namaku. Namun, nama itu menyimpan trauma tersendiri buatku. Jenita, adalah nama panggilan yang almarhum papaku berikan. Bukan aku membenci papa, tapi nama itu hanya akan mengingatkan ku pada sosok yang hanya bisa ku lihat dalam foto. Dan itu sangat menyedihkan.
Tapi sekarang, dengan sadar aku menggunakan panggilan itu dan melupakan diriku sebagai Claudia untuk sejenak. Kematian tak wajar papa membuatku memilih jalan ini. Jangan bertanya, karena aku juga merubah penampilan agar berbeda jauh dari penampilanku sebagai Claudia yang orang kenal dikota S. Dengan menggunakan Wig, kacamata tebal dan baju yang kebanyakan kaos. Inilah aku sebagai Jenita,
🍃🍃🍃🍃🍃
Kota C yang sedang aku singgahi ini, adalah kota kelahiranku dan juga kota tempat ayahku berasal. Namun aku tidak begitu mengenal kota kelahiranku ini, karena sejak 23 tahun lalu tepatnya di usiaku baru 1tahun. Mama membawaku ke kota S, kota dimana aku tumbuh besar dan mulai menapaki dunia.
Setelah kepergian papa untuk selamanya. Memang baru kali ini aku menginjakkan kakiku. Meski canggung, namun aku harus menerima amanat yang eyang tulis dan pengacara kirimkan padaku.
Perdebatan kecil terjadi antara aku dan mama sebelum aku memutuskan untuk memenuhi wasiat eyang.
Ibu dari papa bernama Sulastri, dan aku biasa memanggilnya eyang sepuh. Memang, kami tak pernah bertemu muka selama ini. Namun panggilan vidio sering kali mama lakukan, dari sanalah aku bisa menatap wajah nenekku.
Sejak aku kecil, mama tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarga papa kepadaku. Beliau hanya bilang kalau aku masih mempunyai seorang eyang.
Hingga malam ini, dua hari setelah aku menerima surat wasiat yang dikirim pengacara eyang. Mama yang bungkam pada awalnya menceritakan alasannya untuk pergi dari kediaman papa.
Dan hal itu pulalah yang menjadikanku mengubah keputusan yang pada awalnya menolak untuk datang apalagi mengambil alih warisan untuk menggantikan papa.
Rasa penasaran dan sakit datang secara bersamaan. Penasaran atas kepergian papa yang mendadak serta tercemar nya nama mama secara bersamaan.
Aku membulatkan tekat untuk mengungkap semuanya.
Dan melakukan kewajiban yang seharusnya papaku lakukan.
Disinilah aku, dikota yang menyimpan begitu banyak misteri tentang keluargaku. Berada diantara orang-orang yang entah baik atau tidak. Namun aku percaya, papa dan eyang akan membantuku di sana.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Hari menjelang sore ketika kami tiba dikediaman eyang. Rumah itu terlihat besar dan dilengkapi dengan halaman luas serta dinding tinggi menjulang sebagai pembatas disekeliling rumah tersebut.
"Sepi ya paman."
Aku turun dari mobil, mengambil tas di jok belakang dan menutup pintu mobil pelan. Paman tersenyum dengan pertanyaanku.
Kebanyakan masih di toko kalau jam segini. Rumah eyang kan kebanyakan dihuni oleh para pekerjanya. Mereka akan tinggal di lantai 1, sedangkan eyang dan keluarga yang lain akan tinggal di lantai 2 dan 3."
Paman Hermawan menjelaskan kepadaku sambil kami melangkah memasuki rumah eyang. Aksen dan benda-benda kuno nampak tertata dengan rapih. Terdapat beberapa kamar di lantai 1, sepertinya memang benar apa yang paman katakan barusan.
Paman mengajakku ke lantai 2. Dikamar nomer 3 paman mengajakku masuk. Ternyata sebuah kamar yang nampak luas, aku berkeliling menatap isi kamar. Terdapat kasur berukuran sedang lengkap dengan lemari dan meja rias disiisi kanannya. Televisi layar datar pun tertempel di dinding kamar.
Aku melanjutkan langkah menuju kamar mandi. Tidak terlalu besar namun terlihat bersih sepertinya memang terawat.
"Ini adalah kamar orang tuamu dulu. Dan sekarang kamu tempati kamar mereka. Atau kamu mau kamar yang lain? dilantai 2 ini terdapat 3 kamar. Selain kamar eyang dan kamar ini, masih terdapat kamar lagi. Dulu tempat paman tinggal sebelum menikah. Kalau kamu mau, biar paman suruh seseorang untuk membersihkannya."
"Tidak perlu paman, Jen tinggal dikamar ini saja. Siapa tau dengan Jen tidur disini, papa akan datang menemui Jen walau hanya lewat mimpi."
Jenita memang tak mengenal sosok papa. Beliau meninggal ketika umurnya masih 7 bulan. Hanya dari foto yang mamanya simpanlah dirinya bisa mengetahui wajah sang papa.
Hermawan mendekat, didekapnya tubuh sang keponakan yang baru kembali tersebut. Sejak lama, baik eyang Sulastri maupun dirinya tidak pernah berhasil membujuk Lidia untuk kembali membawa serta Jen.
Wanita itu hanya beralasan takut jika dirinya dan Jen kembali meski hanya berkunjung sebentar. Karena sejak eyang sakit dirinya berusaha keras untuk membawa keduanya kembali, namun tetap tidak berhasil.
Hingga sang eyang telah menghembuskan nafas terakhirnya, barulah Lidia mengirim pesan bahwa putrinya akan kembali pulang ke rumah eyang.
Namun kebahagiaan yang dirasakan nya itu tidak berlangsung lama. Rasa kecewa datang seiring dengan diketahuinya alasan kenapa Jenita kembali dan Lidia memberikan ijin kepada sang putri.
Harta warisan yang memang menjadi hak sang papa telah jatuh ke tangan Jenita sebagai ahli waris pengganti papanya yang telah tiada.
Hermawan memanglah bukan anak kandung eyang Sulastri. Dirinya adalah anak dari salah satu pegawai yang mengikuti eyang sejak remaja. Kedua orang tua Hermawan sendiri telah meninggal karena kecelakaan disaat mereka mengantarkan pesanan bolu ke rumah pelanggan toko eyang.
Sejak saat itu, eyang telah menganggap Hermawan sebagai putranya sendiri. Bersama dengan Ikbar, dirinya diperlakukan sama. Eyang tak pernah membedakan keduanya. Bahkan hingga kuliah pun mereka bersama.
Namun, nasib Ikbar tak seberuntung dirinya. Dia ditemukan meninggal dalam kecelakaan kerja di 7 bulan usia Jenita.
Dua hari dirumah eyang membuat Jenita mengerti dengan apa yang diucapkan sang mama dalam pesannya. Tekanan demi tekanan datang kepadanya, terutama dari orang-orang terdekat eyang.
Dia yang sejak kecil digembleng untuk berkarir didunia bisnis. Menggantikan sang kakek dari pihak mamanya untuk meneruskan perusahaannya. Tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke dapur kotor.
Jangankan membuat kue, bahkan untuk memasak pun dirinya tak pernah melakukan nya. Apa yang diinginkannya selalu bisa dicukupi tanpa harus dia bersusah payah.
Saat ini, dirinya malah dihadapkan dengan pembuatan bolu dan kue kue lainnya yang diluar pemahamannya.
Awalnya, Jenita berpikir dirinya akan datang dan mengambil alih toko peninggalan sang eyang tanpa harus repot repot terjun langsung kedapur berkecimpung dengan tepung, telur dan kawan-kawan nya.
Kenyataan bahwa dirinya yang tidak mengerti tentang urusan dapur membuat Ayunita, sang bibi berada di atas angin. Dirinya yang menjadi salah satu orang yang tidak terima atas pengalihan harta ke tangan Jenita pun berupaya mencari banyak cela untuk menjatuhkan gadis itu.
"Apa salahnya jika aku anak mantu angkat saja? toh selama ini mas yang bekerja keras demi kemajuan toko. Dibanding dia dan ibunya, aku dan Dira masih lebih baik dan bisa diandalkan. Sedangkan dia, lihatlah!!! selain tidak bisa membuat kue. Lihat penampilannya yang tidak menarik bahkan tidak enak dipandang."
ucapny pogah didepan para karyawan toko. Mereka yang rata-rata sudah bekerja dalam waktu lama, meng iyakan saja. Karena tidak paham dengan alur keluarga tersebut. Yang mereka tahu hanyalah bekerja dan mendapatkan upah, tanpa sedikitpun ikut campur di dalamnya.
Jenita yang memang berpenampilan sedikit cupu, berbeda jauh dengan dirinya ketika berada di kota S. Dengan celana jeans dan kaos oblong serta kaca mata yang sedikit tebal yang bertengger di hidungnya membuat penampilan Jenita menjadi buah bibir.
Namun, gadis dengan lesung pipi itu tetap santai dengan gunjingan yang diarahkan kepadanya.
"Gadis yang tidak tau apa apa seperti dia tidak pantas untuk melanjutkan usaha ini. Apa jadinya usaha keluarga yang sudah eyang rintis secara turun temurun dan dalam waktu yang lama menjadi hancur karena ketidak becusannya." Lanjutnya.
Sementara itu, Jenita yang juga mendengar secara jelas apa yang diucapkan sang bibi hanya tersenyum. Dirinya yang terbiasa digembleng untuk menang dalam segala hal, tentu tak akan tinggal diam.
Segala hinaan yang dilontarkan oleh sang bibi, dianggapnya cambuk untuk memacu dirinya dalam mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya.
"Sinta, bisa tolong bantu aku untuk mencari seorang guru privat. Yang bisa dan menguasai cara membuat kue terutama bolu. Tapi kalau memungkinkan, carilah ahli yang menguasai lebih banyak teknik pembuatan kue."
Ucapnya ketika panggilannya tersambung dengan sekertaris yang merupakan sahabatnya tersebut.
"Kamu mau beralih profesi menjadi pembuat kue, Clau?"
"Iya, kamu tahu sendirilah. Usaha eyang bergerak dibidang kuliner terutama bolu."
"Tapi kamu tak harus membuatnya sendiri kan?"
"Justru aku harus menguasainya, Sin. Paling tidak teknik dasarnya. Bukan hanya demi kepercayaan yang eyang berikan dan juga mama. Tapi lebih kepada diriku sendiri. Aku ingin membuktikan pada diri ini, kalau aku juga memiliki kemampuan. Tidak hanya soal bolpoin dan kertas, aku juga ingin menaklukkan tepung dan loyang."
Senyum mengembang disudut bibir Jenita diujung kalimatnya. Benar apa yang diucapkannya. Dirinya hanya ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dirinya mampu. Dengan begitu, Jenita dapat menatap lurus kedepan saat melangkah tanpa malu lagi kepada orang-orang yang meremehkan nya.
"Baiklah, tunggu beberapa waktu. Aku akan mencarikan nya untukmu."
"Usahakan jangan terlalu lama, Sin."
"Kamu pikir mencari seseorang dengan kriteria yang kamu itu semuda mencari martabak telor?" Sinta mendengus, membuat Jenita terkekeh diujung sana.
Mereka berdua adalah sahabat. Sinta mengikuti Jenita sejak gadis itu mulai meniti karir. Tak heran, keduanya lebih terlihat seperti saudara ketimbang atasan dan bawahan.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Seminggu berlalu sejak pembicaraan tersebut. Pada akhirnya, Sinta mengirimkan pesan yang membuat Jenita tersenyum puas dengan hasil kerja sang sekertaris.
Tak tanggung tangung, Sinta berhasil mengontrak Chef Andrian. Seorang Chef kenamaan yang sedang naik daun karena kelihaiannya meramu tepung, telur dan teman temannya menjadi penganan yang kuat.
Kesepakatan pun dibuat antara Jenita dan Chef Andrian. Di sebuah restoran mereka melakukan pertemuan. Mereka sepakat melakukan tiga kali pertemuan disetiap minggunya. Namun, jadwal tersebut bisa berubah-ubah sesuai kesibukan masing-masing.
Jenita yang tak mempermasalahkan hal tersebut, hanya mengikuti schedule yang dibuat Chef Andrian.
"Untuk tempat les, bagaimana?" Chef Andrian mulai bertanya, setelah adanya beberapa poin yang telah disepakati.
"Ada rekomendasi?"
"Kalau dilakukan langsung di tokomu, bagaimana? Bukankah itu lebih praktis. Selain kamu bisa menunjuk salah satu karyawan mu untuk menyimak, bukankah itu lebih baik dan menguntungkan?" Chef tampan itu tersenyum.
Dia yang tidak pernah perhitungan dan pelit berbagi ilmu, tentu tidak keberatan. Jika Jenita menyetujui usulannya.
"Ah tidak tidak, aku tidak setuju." Jawab gadis dengan lesung pipi itu cepat.
"Why?"
"Setidaknya untuk saat ini aku ingin belajar sendiri. Paling tidak, aku harus menguasi hal paling mendasar tentang pembuatan bolu. Kalau dilakukan disana, aku akan kelihatan bodo dihadapan karyawan ku sendiri. Aku tidak mau itu."
Andrian tergelak dengan jawaban lugas Jenita. Penampilan sederhana dari gadis yang duduk dihadapannya tersebut, tak bisa menyembunyikan kecerdasan yang dimilikinya.
Bahkan, Andrian bisa menebak. Dalam waktu singkat, Jenita akan berhasil menguasai
teknik pembuatan bolu.
"Baiklah, kalau begitu terserah padamu. Untuk pertemuan pertama kita mulai besok lusa. Apa kamu tidak keberatan?. Untuk besok dan dua hari setelahnya, aku harus menghadiri pertemuan di luar kota. Jadi hanya lusalah, waktu senggang yang kumiliki untuk mengajarimu."
"Baik, paling lambat besok malam. Aku akan mengirimkan alamat dimana kita bisa bertemu lusa."
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Sesuai kesepakatan diawal. Andrian datang ketempat yang alamatnya telah dikirimkan Jenita sebelumnya. Adalah sebuah ruko 2 lantai yang gadis itu sulap menjadi rumah produksi.
Terdapat beberapa alat yang sudah tersedia disana. Ada mixer, oven dan berbagai loyang dengan ukuran beragam. Serta bahan baku pembuatan bolu pun telah Jenita persiapkan.
Percobaan demi percobaan telah dilakukan gadis itu dengan penuh kegigihan. Kegagalan berulang terkadang membuatnya mengumpat kesal.
Dengan sabar, Chef Andrian menerangkan langkah demi langkah yang harus dilakukan Jenita.
"Untuk pengadukan, kamu harus memperhatikan kecepatannya. Setiap bolu mempunyai karakter berbeda. Ada yang harus menggunakan kocokan dengan tempo cepat dan ada pula sebaliknya. Kenali tekstur kue yang akan kita buat terlebih dahulu. Karena itu juga mempengaruhi hasil akhir dari bolu yang kita buat."
Selama hampir tiga minggu Jenita fokus dalam belajarnya. Tak terhitung juga berapa kali dirinya mengalami kegagalan. Terkadang bolu yang dihasilkan kurang lembut, kurang mengembang atau bahkan keras.
Selama tiga minggu pula dirinya jarang ke toko.
"Yes, akhirnya." Teriaknya senang.
Sebuah bolu yang baru keluar dari dalam oven nampak sempurna. Dan itu membuatnya bisa bernafas lega. Bahkan, Andrian sampai menggelengkan kepalanya melihat kelakuan gadis didepannya yang nampak lucu.
"Kamu puas?"
Tanyanya pada Jenita yang baru memotong dan mencicipi bolu hasil karyanya. Dan gelengan kepala didapatkan dari gadis itu.
"Kenapa?"
"Ini belum seberapa, masih banyak yang harus aku pelajari lebih dalam lagi. Dan kamu harus membantuku untuk itu."
Benar, Jenita sangat mengingat kata kata Ayu beberapa hari lalu. Wanita seusia mamanya itu sudah menampakkan ketidak sukaannya kepada Jenita, semenjak gadis itu menginjakkan kakinya dirumah eyang.
"Anak manja seperti mu bisa apa? heran aku, kenapa ibu malah memeberikan toko ini kepada gadis sepertimu. Jangankan membuat bolu, untuk mendandani diri sendiri saja kamu kampungan begitu." Sinis nya.
"Orang bebas menilai saya bagaimana, bi. Bagi seseorang yang penting itu hati dan tingkah lakunya. Bukan ucapan dan dandanan yang bisa dirubah kapanpun itu. Seperti bibi misalnya. Dengan melihat dandanan bibi yang seperti ini, orang sudah bisa menyimpulkan kalau bibi berasal dari golongan berada. Tapi, ketika mereka mendengarkan kata kata kasar yang bibi lontarkan. Pandangan itupun akan cepat berubah. Yang kita tawarkan disini adalah bolu bibi, produk makanan. Bukan kosmetik atau barang barang ber merk."
Jenita membawa resep hasil bolu buatannya. Dengan di kolaborasi kan dengan berbagai toping untuk menambah daya tariknya. Bahkan dia sendiri yang turun tangan dalam menghias bolu bolu yang akan dipajang pada etalase. Sejak subuh, Jenita sudah berkutat dengan bolu hasil resepnya sendiri. Dia benar-benar ingin membuktikan bahwa dirinya mampu.
Toko yang biasanya hanya menyediakan bolu polos atau model jadul, kini tampil dengan berbagai bentuk dan rasa yang berbeda. Membuat toko terlihat beda pula. Bukan hanya itu, Jenita juga mengubah dekorasi menjadi sedikit menarik dengan model kekinian.
"Kita menjual produk yang utama adalah bolu. Yang terpenting adalah rasa yang utama, setelah itu penampilan nya. Jangan ragu untuk memberikan tester kepada pembeli, biarkan mereka merasakan dan mencobanya. Dengan demikian, kita akan tau tentang selera mereka dari tanggapan dan saran saran yang keluar dari mulut mereka itu. Untuk itu, setiap saran yang didengar. Siapapun harus mencatatnya dan memasukannya dalam box yang nanti saya persiapkan. Sebulan sekali kita akan mendiskusikan hasil survei itu dan memperbaiki sesuai dengan keinginan konsumen."
Pagi itu, sebelum jam operasional toko dimulai. Jenita sengaja melakukan brifing pagi bersama para karyawan nya. Dia yang masih bertahan dengan dandanan ala Jenita yang cupu nampak sedikit berbeda. Semangat yang terpancar dalam setiap kata katanya mampu membuat para karyawan yang tadinya sedikit tidak mempercayai kemampuannya, mengangguk setuju.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Karuan saja, apa yang dilakukan Jenita membuat Ayunita geram. Wanita yang seumuran mamanya tersebut benar-benar tidak rela. Jenita menghancurkan keinginannya untuk menguasai warisan terutama toko keluarga tersebut.
"Kalau terus terusan begini, aku akan selamanya menjadi bayangan dirumah ini. Tidak bisa!! aku harus melakukan sesuatu." Ucapnya sambil mondar-mandir memikirkan cara untuk mengalahkan Jenita.
"Apa kamu nggak capek ma? dari tadi mondar-mandir seperti setrikaan butut. Aku saja capek melihatmu seperti itu." Hermawan yang duduk di sofa kamarnya menggelengkan kepala melihat kelakuan sangat istri.
"Papa tau apa? kalau kita terus berdiam diri terus seperti ini, maka kita akan terus diinjak-injak, pa. Mama nggak mau! !"
"Siapa yang mau menginjak kita, ma? kadang-kadang mama ini suka aneh."
"Ya tentu saja si gadis jelek itu, pa. Siapa lagi memangnya. Lihat saja, baru juga bisa membuat bolu begitu sudah besar kepala."
"Terus, mama maunya bagaimana? semua memang tak jen untuk merubah ataupun melakukan hal lain demi kebaikan toko. Dia yang mewarisi semuanya."
"Justru karena itu, mama nggak setuju dengan keputusan ibu. Kita yang berusaha mati matian selama ini. Kenapa malah gadis ingusan itu beruntung. Harusnya kita, ya paling tidak Dira dikasih hak bagian yang sama."
"Ingat status kita, ma. Aku hanya anak angkat dan nggak ada hubungan darah sedikitpun dengan keluarga ini."
Hermawan memijit pelipisnya pelan. Berulang kali pertengkaran ini terjadi antara mereka berdua dengan topik yang sama. Entah harus bagaimana dirinya menjelaskan pada sangat istri tentang posisinya di keluarga ini.
"Sudahlah, papa diam saja. Biar mama yang urus semuanya." Wanita itu melenggang pergi setelah membanting pintu dengan kencangnya, hingga membuat Hermawan berjengkit seraya mengelus dadanya pelan.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
"Aku harus meminta Dira pulang. Diakan bisa diandalkan, tapi bagaimana caranya?"
Ayu mendudukkan dirinya dihalaman belakang rumahnya. Rumah dengan dua lantai dengan halaman luas tersebut berada di samping kanan rumah mewah milik eyang. Sedangkan toko sendiri berada 500 meter dari rumah utama.
Rumah tersebut sengaja eyang bangun sebagai hadiah pernikahan kepada Hermawan. Eyang tidak pernah membedakannya, sebagai bentuk tanggung jawab eyang atas meninggalnya kedua orang tua Hermawan yang sebenarnya bukan kesalahan eyang. Namun mengingat Hermawan sebatang kara setelah orang tuanya meninggal membuat eyang merasa bersalah.
Dengan senyum yang mengembangkan. Ayu mengakhiri percakapan dengan sang putri yang sedang meniti karir di kota lain. Entah apa yang Ayu katakan kepada anaknya. Hingga gadis yang hasilnya tak terpaut jauh dari Jenita itu mau menuruti permintaan sang mama dan berjanji akan pulang seminggu kemudian.
"Sekarang tinggal cari cara lain. Anak ingusan, jangan menganggap dirimu menang dengan hanya beberapa bolu saja. Lihat saja nanti, bagaimana aku dan anakku mengusirmu dari sini. Enak sekali kamu, tidak ikut capeknya malah dapat bagian paling banyak. Sedangkan kami? hanya mendapatkan rumah ini saja. Itupun hadiah dan sudah lama juga."
🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Dira Anjani anak pertama dari pasangan Ayunita dan Hermawan. Dirinya masih mempunyai adik laki-laki yang memilih tinggal di asrama.
Setelah menyelesaikan sekolahnya. Dira memilih merantau ke kota lain sambil bekerja.
Otaknya yang dirasa sedikit minimalis tersebut membuatnya menolak tawaran kuliah yang ditawarkan eyang sepuh dulu. Dira yang memilih hidup mandiri bekerja di sebuah toko busana. Gadis yang selalu mengumbar senyum tersebut ramah kepada siapa saja. Sangat bertolak belakang dengan sifat sang mama.
Sesuai janjinya. Dira tiba dikediaman kedua orang tuanya di hari minggu. Hermawan yang tidak tahu menahu tentang kepulangan sang anak pun kaget dibuatnya.
"Kamu tidak sedang dalam masalah kan, nak?" Tanyanya berulang kali kepada sang anak yang sedang duduk menikmati segelas teh.
"Tidak, pa. Dira hanya ingin pulang saja."
Dira tidak mengatakan alasan sebenarnya alasan dirinya pulang kepada sang papa karena permintaan mamanya. Ayu bilang, jika papanya telah termakan bujuk rayu Jenita sehingga membela gadis itu mati matian.
Bahkan Ayu mengatakan bahwa papanya rela memukulnya demi membela Jenita. Dira yang belum bertemu dengan Jenita tentu saja geram dengan mendengar cerita sang mama.
"Besok kita ke toko. Tunjukkan bahwa kamu lebih bisa diandalkan dari pada gadis jelek itu." Ayu terus saja memberi racun kepada sang putri untuk ikut membenci Jenita.
"Ah, sehebat apa sih dia? kata mama dia jelek. Berkacamata tebal dengan rambut pendek, dandanannya juga kuno. Aku jadi penasaran dengan sosoknya." Dira bergumam didalam kamarnya. Dia kini sedang mengistirahatkan tubuh demi tenaga esok hari. Melakukan rencana yang telah sang mama susun.
Jenita yang masih tidak mengetahui prihal rencana Ayu masih bersikap biasa saja. Harinya masih dilalui dengan belajar berbagai resep untuk menyempurnakan hasil belajarnya.
"Sudah malam, sebaiknya kamu beristirahat. Ini juga sudah waktunya aku untuk kembali ke hotel. Besok pagi aku akan kesini lagi. Sedang lusa, aku akan kembali ke kota S untuk mengurus surat surat."
Ya, Chef Andrian memilih untuk ikut hijrah ke kota C. Banyak hal yang menarik dikota ini menurut pandangan nya. Bahkan, Andrian sengaja membeli apartemen disekitar ruko yang dijadikan rumah produksi sementara milik Jenita.
"Kamu jadi pindah?"
"Benar, apa kamu senang mendengarnya?" Gurau nya menggoda Jenita yang sedang asyik dengan butter cream di tangannya.
"He, nggak ada hubungan ya sama aku. Kamu pindah atas kemauan mu sendiri, bukan aku yang memintamu. Jadi, buat apa aku senang."
Diletakkan nya sisa butter cream dalam wadah dan kemudian dirinya letakkan kue hasil buatannya ke dalam chiller.
"Sebaiknya kita segera pulang!!! sebelum bicara mulai semakin ngelantur."
Andrian tergelak dengan ucapan Jenita. Sebulan lebih bersama dengan gadis itu, mambuat Andrian lebih memahami karakter Jenita. Gadis itu tidak akan menutupi apapun yang tidak disukai nya. Dengan gamblang gadis itu akan mengatakan apa yang menjadi pemikirannya. Dan Andrian sangat menyukai itu.
Keduanya berjalan keluar ruko dan berpisah diujung gerbang karena tujuan mereka yang berbeda.
"Besok, aku mau mencoba membuat kue kering. Sebagai varian untuk dipajang di dalam rak lemari atau etalase. Jadi, toko tidak hanya berisi bolu saja. Orang bisa datang untuk membeli camilan atau oleh-oleh disana. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju saja, kan itu semua adalah hak kamu sebagai pemilik toko untuk menentukan apa yang mau dijual atau tidak. Tapi, untuk mempertahankan usaha yang sudah turun temurun, ada baiknya produk yang bukan bolu tidak terlalu banyak. Jadi toko kamu akan tetap terkenal dengan produk bolu nya. Kita hanya butuh berinovasi lebih untuk membuat pola dan bentuk semenarik mungkin."
Jenita mengangguk, keberadaan Andrian memang sangat membantunya. Dia bahkan bisa berkonsultasi tentang beberapa hal yang perlu dilakukannya di toko.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!