NovelToon NovelToon

ONCE AGAIN

PROLOG

            Narator’s POV

            Di Amaraloka(1), hari ini.

            Hyang(2)Yuda(3) yang baru kembali dari tugasnya membantu Hyang Marana(4), berniat untuk mencari Hyang Tarangga(5). Hyang Yuda langsung mencari Hyang Tarangga di ruang kerjanya dan tidak menemukannya.

(1)Amaraloka dalam bahasa Sanskerta berarti surga.

(2)Hyang dalam bahasa Sanskerta berarti dewa.

(3)Yuda dalam bahasa Sanskerta berarti Perang. Dalam cerita ini Hyang Yuda adalah Dewa Perang.

(4)Marana dalam bahasa Sanskerta berarti mati. Dalam cerita ini Hyang Marana adalah Dewa Kematian.

(5)Tarangga dalam bahasa Sanskerta adalah bintang. Dalam cerita ini Hyang Tarangga adalah Dewa Bintang yang mengatur takdir.

            “Ke mana Hyang Tarangga??” Hyang Yuda mengeluh karena tidak menemukan Hyang Tarangga setelah memeriksa ruangan Hyang Tarangga.

            Hyang Yuda kemudian berkeliling ke seluruh penjuru Amaraloka untuk menemukan Hyang Tarangga. Namun setelah berkeliling dan bertanya kepada semua Hyang yang ditemuinya, Hyang Yuda tidak menemukan Hyang Tarangga. Alhasil ... satu-satunya jalan untuk menemukan Hyang Tarangga, Hyang Yuda menemui Hyang Amarabhawana(6) untuk bertanya di mana Hyang Tarangga saat ini.

(6)Amarabhawana dalam bahasa Sanskerta adalah langi. Dalam cerita Hyang Amarabhawana adalah Dewa Langit yang memimpin seluruh Hyang di Amaraloka.

            “Apa yang membawamu kemari, Hyang Yuda?” Hyang Amarabhawana langsung mengajukan pertanyaan ketika melihat Hyang Yuda masuk ke dalam ruangannya, bahkan sebelum Hyang Yuda sempat memberikan salamnya kepada Hyang Amarabhawana.

            “Salam, Hyang Amarabhawana.”

            “Salam, Hyang Yuda.” Hyang Amarabhawana membalas salam dari Hyang Yuda.

            “Maafkan aku jika aku mengganggumu, Hyang Amarabhawana. Aku kemari untuk mengetahui di mana Hyang Tarangga pergi. Aku sudah berkeliling ke seluruh Amaraloka untuk menemukan Hyang Tarangga tapi aku tidak menemukan Hyang Tarangga.”

            “Kenapa tidak menggunakan saluran komunikasi untuk menemukan Hyang Tarangga??” Hyang Amarabhawana mencoba memberi saran kepada Hyang Yuda.

            “Aku sudah melakukannya tapi saluran komunikasi milik Hyang Tarangga mati. Jadi aku tidak punya pilihan lain selain datang kemari untuk bertanya.”

            Hyang Amarabhawana yang sedang menerima keluhan dari para manusia dan makhluk-makhluk lain, menutup laporan yang diterimanya. Hyang Amarabhawana kemudian bangkit dari duduknya dan berusaha untuk menemukan Hyang Tarangga dengan pikirannya. Sebagai pemimpin dari para Hyang di Amaraloka, Hyang  Amarabhawana mampu menemukan lokasi hyang yang lain hanya dengan menggunakan pikirannya.

            “Hyang Tarangga yang kau cari sepertinya sedang mengerjakan tugas penting. Dia sedang duduk melihat di Janaloka(7).” Hyang Amarabhawana kemudian mengirimkan lokasi Hyang Tarangga kepada Hyang Yuda sebagai balasan untuk permintaan Hyang Yuda.

(7)Janaloka dalam bahasa Sanskerta berarti dunia.

            “Terima kasih banyak, Hyang Amarabhawana.” Setelah mendapatkan lokasi dari Hyang Tarangga, Hyang Yuda langsung menggunakan wulung caksu miliknya untuk memastikan bahwa Hyang Tarangga benar-benar ada di lokasi itu dan benar saja ... Hyang Tarangga sedang berdiri melihat manusia-manusia di Janaloka.

            Dengan menggunakan Gaganacara(8) miliknya, Hyang Yuda kemudian lamgsung berpindah tempat dalam sekejap mata ke lokasi di mana Hyang Tarangga sekarang berada.

(8)Gaganacara adalah kemampuan dari Hyang. Untuk lebih jelasnya silakan baca Novel Hyang Yuda.

            “Hyang Tarangga.” Hyang Yuda langsung melontarkan sapaannya kepada Hyang Tarangga ketika tiba di lokasi Hyang Tarangga dan hal itu sama sekali tidak membuat Hyang Tarangga terkejut, tidak seperti Hyang Marana.

            “Kau di sini, Hyang Yuda?” ujar Hyang Tarangga yang sama sekali tidak terkejut.

            “Ya, Hyang Tarangga. Hyang sama sekali tidak pernah terkejut?? Reaksi Hyang yang datar ini terkadang membuatku bertanya-tanya berapa emosi yang kau miliki, Hyang Tarangga??”

            Hyang Tarangga membuat simpul senyuman kecil mendengar pertanyaan Hyang Yuda. “Jika kau jadi aku-Dewa Bintang yang mengurus takdir manusia dan makhluk lainnya, kau mungkin juga akan seperti aku ini, Hyang Yuda.”

            “Benarkah??” Hyang Yuda menggaruk kepalanya dan kemudian duduk di samping Hyang Tarangga.

            Lokasi di mana Hyang Tarangga sekarang berada adalah sebuah gedung tiga lantai yang berada di kota dengan nama Andana Kusuma. Hyang Yuda tahu beberapa kali Hyang Tarangga sengaja datang ke kota ini untuk memperhatikan manusia. Sebagai dewa yang mengatur takdir manusia, terkadang melihat langsung takdir manusia adalah hiburan bagi Hyang Tarangga. Hanya saja ... tidak banyak manusia yang mampu membuat Dewa Bintang yang mengurus takdir mereka bisa tertarik seperti ini hingga langsung turun ke Janaloka untuk melihat mereka.

            “Kali ini siapa manusia yang beruntung ini?” Hyang Yuda mengajukan pertanyaan kepada Hyang Tarangga karena tahu alasan Hyang Tarangga duduk di sini-di Janaloka.

            “Haruskah aku mengatakannya beruntung?” Hyang Tarangga berbalik mengajukan pertanyaan kepada Hyang Yuda dan membuat Hyang Yuda bingung.

            “Kenapa malah bingung begitu, Hyang Tarangga?”

            Huft. Hyang Tarangga menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan dari Hyang Yuda. “Mendengar pertanyaan Hyang Yuda, aku bingung bagaimana harus menjawabnya karena kebanyakan manusia yang mampu menarik perhatianku adalah manusia dengan takdir yang tidak mudah. Sama seperti dengan Hyang Yuda sewaktu masih hidup sebagai manusia dengan nama Sena, manusia kali ini pun punya takdir yang cukup berat.”

            “Kali ini takdir berat apa yang ditanggung manusia malang ini, Hyang Tarangga?”

            Hyang Tarangga terdiam sejenak. Tidak lama kemudian Hyang Marana turun dari Amaraloka dan muncul dalam sekejap di samping Hyang Tarangga.

            “Salam, Hyang Tarangga.” Hyang Marana langsung memberikan salamnya kepada Hyang Tarangga. Namun mata Hyang Marana langsung membulat ketika melihat Hyang Yuda duduk di samping Hyang Tarangga. “Hyang Yuda??”

            “Salam, Hyang Marana. Kita bertemu lagi.” Hyang Yuda tersenyum menyapa Hyang Marana.

            “Kenapa kau di sini, Hyang Yuda?? Aku tidak meminta bantuanmu untuk membawa Atma yang sebentar lagi harus aku jemput.”

            “Atma??” Hyang Yuda melihat ke arah Hyang Tarangga dan Hyang Marana dengan secara bergantian.  “Apa sebentar lagi di sini akan ada kematian??”

            “Tentu saja.” Hyang Marana menjawab dengan yakin. “Jika tidak ada kematian, tidak mungkin dewa kematian sepertiku datang ke Janaloka untuk membawa jiwa-jiwa manusia yang akan mati dalam hitungan menit.”

            Hyang Yuda menatap ke arah Hyang Tarangga. Kali ini tatapan Hyang Yuda menuntut jawaban dari Hyang Tarangga. “Apakah manusia yang menarik perhatian Hyang Tarangga sebentar lagi akan mengalami kematian?”

            “Harusnya tidak.” Hyang Tarangga memberikan jawaban yang sangat singkat dan jawaban itu justru membuat Hyang Yuda semakin merasa bingung dan mengerti.

            “Harusnya tidak?? Apa maksudnya dengan itu, Hyang Tarangga? Apa ada manusia yang melawan waktu kematian mereka?”

            “Bunuh diri adalah usaha untuk melawan takdir kematian, Hyang Yuda. Apa kau lupa, Hyang Yuda?” Hyang Tarangga memberikan jawaban kepada Hyang Yuda.

            “Ah maaf, Hyang Tarangga. Lalu ... manusia  kali ini akan bunuh diri?” Hyang Yuda bertanya lagi.

            “Tidak. Hanya saja ... dia selalu memilih mati untuk menyelamatkan kekasihnya, Hyang Yuda. Dan itulah alasanku turun kemari memastikan agar diat tidak memilih mati. Aku turun dari Amaraloka untuk melihat manusia itu kali ini akan memilih mati lagi atau tetap pada takdirnya.”

            “Mati lagi??” Hyang Yuda masih tidak mengerti. “Apa mungkin ini bukanlah kehidupan pertamanya, Hyang Tarangga?”

            “Ya, Hyang Yuda. Manusia yang kali ini menarik perhatianku adalah manusia yang memiliki takdir tidak jauh berbeda denganmu dan Pawestri(9) Manohara. Hanya saja ujian mereka masih belum berhenti bahkan setelah melewati tujuh kehidupan.”

(9)Pawestri dalam bahasa Sanskerta berarti Putri.

            Hyang Yuda yang merasa penasaran kemudian melihat ke arah yang dilihat oleh Hyang Tarangga. Hyang Yuda duduk diam menunggu kejadian yang sedang ditunggu oleh Hyang Tarangga dan Hyang Marana dalam hitungan menit.

            “Siapa nama manusia itu, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda bertanya lagi. 

            “Dulu mereka hidup dengan nama Dewangkara dan Gayatri. Lalu sekarang mereka hidup dengan nama Raditya dan Cintya.”

             Dengan menggunakan wulung caksu(10) miliknya, Hyang Yuda mencari manusia dengan nama Raditya dan Cintya. Dengan menggunakan mata elang miliknya, tidak butuh waktu lama bagi Hyang Yuda untuk menemukan dua manusia yang sedang menarik perhatian Hyang Tarangga saat ini.

(10)Wulung Caksu adalah kemampuan milik Hyang Yuda. Untuk lebih jelasnya silakan baca novel Hyang Yuda.

            Sekarang ... apa yang akan terjadi pada Raditya dan Cintya??, Hyang Yuda bertanya pada dirinya sendiri sembari melihat dan menunggu.

 

MIMPI BURUK YANG MENYEDIHKAN

            Dua bulan sebelumnya.

            “Maafkan aku, Gayatri.” Aku melihat diriku sendiri dengan tubuh yang penuh darah dan beberapa panah yang menancap di tubuhku. Satu dari beberapa panah itu mengenai bagian jantungku dan membuat tubuhku terasa begitu sakit serasa kematian sudah dekat denganku.

            “Tidak, Dewangkara! Tidak, jangan katakan hal itu! Kau akan selamat! Aku akan segera membawamu pergi dari sini!” Wanita di hadapanku berulang kali memanggilku dengan nama Dewangkara, padahal namaku bukanlah Dewangkara. Wanita itu juga berulang kali menangis di hadapanku seolah aku yang sedang merasakan kematian mendekat adalah seseorang yang berharga baginya.

            “Maafkan aku, Gayatri. Aku minta maaf tidak bisa menepati janjiku padamu untuk menikahimu. Aku minta maaf ... huekk ...!” Selagi mulutku berkata kalimat yang entah bagaimana keluar dari mulutku, aku memuntahkan darah dari mulutku karena panah yang menembus tubuhku dan mengenai bagian jantungku.

            “Tidak, Dewangkara! Jangan katakan itu! Kita akan tetap bersama sampai kapanpun! Kita akan tetap menjadi suami istri, Dewangkara! Aku milikmu dan kau milikku. Selamanya akan tetap begitu.” Wanita di hadapanku terus mengatakan bahwa dirinya menolak untuk berpisah dengan aku yang dipanggilnya dengan nama Dewangkara. Tapi siapa yang bisa melawan kematian? Manusia selalu terikat dengan beberapa hal di dunia ini: takdir, dan kematian adalah bagian dari takdir itu sendiri. Jadi ... siapa yang bisa melawan takdir? Tak satu pun manusia bisa melakukannya.

            “Maafkan aku, Gayatri. Sekali lagi aku-“ Belum selesai, bibirku mengucapkan kalimat yang entah bagaimana bisa keluar dari mulutku, tubuhku ambruk. Pandangan mataku perlahan berubah menjadi gelap bersamaan dengan rasa sakit yang menyerangku. Rasanya .... untuk pertama kali aku bisa mendengar denyut jantungku sendiri karena rasa sakit yang luar biasa kurasakan.

            “Dewangkara!! Kau harus tetap bangun!! Jangan pergi meninggalkanku seperti ini!!!  Tidak, Dewangkara!!!” Dalam pandanganku yang semakin buram dan semakin gelap, aku mendengar suara wanita itu terus berusaha dengan keras membangunkanku dari rasa sakit yang menyerangku. Tapi panggilan itu tidak bisa mengalahkan rasa sakit yang menyerangku hingga akhirnya aku memilih untuk menyerah pada rasa sakit itu dan membiarkan tubuhku tenggelam dalam kegelapan yang dalam.

            “Raditya ... “

            Aku mendengar namaku samar-samar dipanggil oleh seseorang. Panggilan itu rasanya adalah panggilan penyelamatku karena mendengar panggilan itu, rasa sakit yang tadi menyerang tubuhku dengan cepat menghilang.

            “Raditya, bangun!! Kau masih harus bertugas!!!”

            Aku perlahan membuka mataku dan menatap langit-langit asrama di mana aku tinggal. Kepalaku bergerak ke arah suara yang memanggil namaku dan aku dapat dengan jelas melihat wajah dari teman sekamarku-Bara.

            “Hei, pemalas!! Ayo bangun!!! Bukankah pagi ini, kau punya jadwal untuk mengantar Nona Cintya pergi ke pertemuan antar keluarga???”

            Mendengar ucapan dari Bara-teman sekamarku, aku langsung melompat dari tempat tidurku dan langsung berlari ke kamar mandi untuk  membersihkan diriku. Aku menyikat gigiku, membersihkan wajahku dan membersihkan tubuhku dengan cepat sembari terus mengomel kepada Bara. “Kenapa kau tidak membangunkanku sejak tadi, Bara??”

            ‘Apa kau sudah gila??” Bara berteriak membalas omelanku karena pancuran air di kamar mandi terkadang membuat kami tidak bisa mendengar ucapan orang di luar kecuali mereka berteriak. Aku dan Bara terbiasa melakukan hal ini ketika salah satu dari kami berada di kamar mandi dan kami harus bercakap-cakap satu sama lain.

            “Kenapa kau menyebutku gila, huh??” Aku membalas teriakan Bara dengan berteriak juga. Karena teriakan itu, aku nyaris saja meminum air pancuran di kamar mandi.

            “Aku membangunkanmu lebih dari puluhan kali, Raditya!!! Kau harusnya beruntung sekamar denganku yang super penyabar ini, karena setiap pagi aku selalu membangunkanmu bahkan ketika kau selalu mengomel padaku!!” Keluhan Bara ini sudah sering kali aku dengar, tapi Bara tidak pernah menyerah untuk membangunkanku di pagi hari sejak kami tinggal bersama tiga bulan yang lalu.

            “Aku benar-benar tidak mendengar suaramu yang membangunkanku, Bara!!” Aku bergegas keluar dari kamar mandi dengan handuk yang terpasang di pinggangku. Aku meraih pengering rambut yang berada di wastafel di depan kamar mandi dan mengering rambutku yang basah.  Aku membuka pintu kamar mandi untuk melihat ke arah Bara yang kini telah mengenakan seragam kerja kami: setelan jas hitam dengan celana hitam, hem putih dan sepatu hitam.

            “Bagaimana kamu bisa mendengar panggilanku jika mulutmu itu selalu menyebut nama Gayatri ketika kau tidur???” Bara menatapku dengan tatapan mengejek. “Sebenarnya siapa Gayatri itu?? Dia cinta pertamamu??”

            Aku menggelengkan kepalaku  beberapa kali dan memastikan jika rambutku telah kering, meski tidak sepenuhnya kering. Aku meraih setelan seragamku di lemari di samping kamar mandi dan kemudian menutup kembali pintu kamar mandi untuk mengganti pakaianku. “Jika kau bertanya siapa Gayatri itu, Bara, maka aku hanya bisa mengatakan padamu jika aku tidak tahu. Mimpi buruk itu sudah aku alami sejak aku mulai mengingat sesuatu.”

            Aku melepas handuk di pinggangku dan mulai mengenakan setelan seragamku. Aku memang tidak tahu siapa Gayatri dan siapa Dewangkara yang selalu muncul di dalam mimpiku itu. Aku hanya tahu jika Dewangkara memiliki wajah yang mirip denganku karena berulang kali aku mengalami mimpi itu, aku melihat wajahku sendiri dalam pantulan darah yang dimuntahkan oleh Dewangkara. Hanya saja wajah Gayatri ini ...

            “Apa kau sudah siap, Raditya?? Ini sudah jam tujuh pagi.”

            Aku membuka pintu kamar mandi dan segera berlari mengambil kaos kaki dan sepatu kerjaku. Bara-teman sekamarku yang pengertian dan penyabar ini, selalu membantuku di pagi hariku yang sulit ini. Sembari aku memasang kaos kaki dan sepatuku, dia meraih kartu kerjaku, ponselku dan alat pendengar yang selalu kami gunakan sebagai alat komunikasi sesama pengawal.

            “Ini ...” Bara mengulurkan tangannya memberikan barang-barang penting yang harus aku bawa ketika bekerja.

            “Trims, kawan.” Aku menerima tiga barang itu, memasukkan ponselku ke dalam saku di balik jasku, memasang alat komunikasi di telingaku dan menyimpan kartu di saku jasku yang lain. Sementara aku melakukan hal itu, Bara memimpin di depanku untuk berjalan menuju ke ruangan makan di mana Tuan kami sedang menunggu kami.

            “Selamat bekerja, kawan.” Bara memberikan sapaan paginya kepadaku sebelum kami bertugas. Bara selalu melakukan hal itu, karena ketika jam kami bertugas dimulai kami dilarang untuk bicara kecuali diperlukan.

            “Kau juga, kawan.  Ingat berhati-hatilah, kawan.”

            “Aku mengerti, kau juga.”

            Setelah berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan asrama para pengawal dengan rumah utama, kami langsung ke posisi kami masing-masing yakni di belakang Tuan kami masing-masing.

            “Pagi, Raditya.” Tuanku-Nona Cintya langsung memberikan sapaan paginya kepadaku ketika menyadari kedatanganku di belakang tempat duduknya sebelum sarapan dimulai.

            “Pagi, Nona Cintya.” Seperti biasa, aku membalas sapaan Nona Cintya sebagai bentuk kesopananku sebagai bawahannya.

Tiga bulan ini ... aku bekerja sebagai pengawal dari Nona Cintya-putri tunggal dari keluarga Yasodana yang wajahnya terlihat sangat mirip dengan wanita yang muncul dalam mimpiku yang selalu kusebut dengan nama Gayatri.

 

 

NONA DARI KELUARGA YASODANA

            “Kau sudah sarapan, Raditya?”

            “Sudah, Nona.”

            Nona Cintya adalah putri tunggal dari keluarga Yasodana-satu dari tiga keluarga bangsawan yang berpengaruh di kota ini. Yasodana bersama dengan dua keluarga bangsawan lainnya dikenal sebagai pembangun dari kota ini dan telah menyumbangkan banyak kekayaan mereka untuk membangun kota ini hingga menjadi satu dari sepuluh kota besar di negeri ini.

            “Kau pasti sedang berbohong padaku bukan, Raditya?” Nona Cintya yang sejak tadi bertanya padaku tanpa menolehkan kepalanya untuk melihatku yang berdiri di belakangnya, kali ini sengaja menolehkan kepalanya untuk melihatku dan ekspresiku yang tengah tertangkap basah olehnya. “Kau berbohong, Raditya. Aku dengar dari pengawal lain jika kau selalu punya masalah saat bangun pagi hingga kau selalu nyaris terlambat setiap paginya.”

            Aku berusaha menjaga wajahku untuk tetap datar seperti satu dari aturan kami sebagai pengawal di keluarga Yasodana. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud berbohong pada Nona.”

            Nona Cintya tersenyum padaku sebelum membalikkan kepalanya lagi ke meja di hadapannya. “Lain kali jangan pernah berbohong padaku lagi, Raditya. Aku tahu semua hal tentangmu dan sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa berbohong padaku.”

            “Maafkan saya, Nona. Lain kali saya tidak akan mengulanginya, Nona.”

            Setiap pagi tepatnya pukul 7 pagi, keluarga Yasodana yang terdiri dari kepala Keluarga Yasodana-Indra Yasodana, lalu istrinya-Dara Yasodana dan putrinya-Cintya Yasodana akan sarapan bersama di ruang makan. Kami pada pengawal diwajibkan untuk berdiri di belakang tuan kami masing-masing dan ikut mendengarkan percakapan yang mungkin terjadi di ruang makan ini. Tuan Indra Yasodana sebagai kepala keluarga Yasodana memiliki dua pengawal: Raka sebagai kepala pengawalnya dan Bara-teman sekamarku yang menajdi asisten dari Raka. Raka sendiri adalah pria yang berusia sudah sekitar 30 tahunan dan sudah mengabdi bersama dengan Tuan Indra sejak masih muda. Bara sendiri sudah mengabdi selama kurang lebih lima tahun menggantikan asisten sebelumnya yang meninggal dalam penyerangan yang melibatkan keluarga Yasodana.

Lalu Nyonya di rumah ini-Dara Yasodana memiliki satu pengawal yang bernama Karia. Sama seperti namanya Nyonya Dara dikenal dengan kecantikannya di antara tiga keluarga bangsawan di kota ini dan mungkin kecantikan itulah yang menurun pada Nona Cintya hingga Nona Cintya pun mendapat julukan yang sama dan memiliki banyak pengagum di luar sana. Bodygurad Nyonya Dara-Karia adalah pengawal yang berusia tidak jauh dari Raka dan juga telah mengabdi sejak Nyonya Dara menikah dengan Tuan Indra.

“Bagaimana pengawalmu, Cintya?” Tuan Indra mengajukan pertanyaan di sela sarapannya kepada Nona Cimtya yang sedang menikmati roti panggangnya dengan santai. “Apakah kau hanya membutuhkan satu pengawal saja?”

“Raditya sudah lebih dari cukup, Ayah.” Nona Cintya menjawab dengan nada datarnya. “Aku tidak butuh pengawal lain yang justru akan membuatku dalam masalah.”

“Syukurlah kalau begitu ... Ayah senang mendengarnya kalau begitu. Hanya saja ... akan lebih baik jika kau punya satu asisten lagi,  Cintya. Tidak lama lagi ... kamu akan memimpin keluarga ini, Cintya.”

“Tidak, Ayah. Raditya sudah lebih dari cukup. Aku tidak terlalu suka membawa banyak pengawal yang justru membuatku terlihat semakin mencolok saja.” Nona Cintya terus menolak permintaan Tuan Indra sementara aku yang berdiri di belakangnya justru setuju dengan pendapat Tuan Indra.  Mengingat bagaimana pertemuanku dengan Nona Cintya pertama kali, aku merasa jika Nona Cintya harusnya punya pengawal yang lain.

Tiga bulan yang lalu.

            Tiga bulan yang lalu ... aku hanyalah pria biasa yang bekerja sebagai driver pengantar makanan di kota ini. Meski aku memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik dan beberapa keahlian yang cukup meyakinkan, tapi sialnya aku selalu gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan pendidikan yang aku tempuh.

            Kolusi, nepotisme selalu menjadi alasan aku gagal mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan dan sialnya kejadian itu bukan hanya satu dua kali terjadi dalam hidupku. Jadi untuk terus menghidupi diriku yang merupakan anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan, aku bekerja di sana sini untuk mendapatkan uang untuk bertahan hidup.

            Dor ....

            Hari itu-tiga bulan yang lalu, aku mendengar suara tembakan pistol ketika aku sedang mengantar makanan sesuai dengan pesanan. Tadinya ... aku ingin mengabaikan hal itu karena di kota ini beberapa pertikaian sering terjadi ketika melibatkan tiga keluarga bangsawan termasuk Yasodana. Tapi nuraniku berkata lain dan tanpa sadar aku berlari melindungi Nona Cintya yang saat itu sedang terlibat adu tembak dengan penyerangnya.

            Pada kejadian nahas itu, lima pengawal yang menemani Nona Cintya semunya tewas karena berusaha melindungi Nona Cintya. Mungkin jika saat itu aku tidak datang menyelamatkannya, Nona Cintya sendiri mungkin juga akan kehilangan nyawanya. Tapi hari itu aku beruntung sekali, tidak lama setelah aku datang membantu Nona Cintya, bala bantuan keluarga Yasodana datang dan adu tembak itu akhirnya berakhir dengan kemenangan Yasodana.

            “Aku sudah selesai makan, Ayah, Ibu.” Aku menatap Nona Cintya di depanku yang sedang memberikan salamnya kepada Tuan dan Nyonya Yasodana sebelum meninggalkan ruang makan. Aku hendak mengikuti Nona Cintya ketika Nyonya Dara memanggil nama Nona Cintya.

            “Cintya.”

            Nona Cintya yang sudah berbalik, segera membalikkan badannya untuk menjawab panggilan dari ibunya. “Ya, Bu.” 

            “Kau tidak lupa bukan hari ini ada pertemuan untuk anak-anak tiga keluarga bangsawan?” Nyonya Dara bertanya sembari memakan sarapan paginya tanpa melihat ke arah Nona Cintya.

            “Tidak, Bu. Setelah ini Cintya akan mengganti pakaian dan pergi bersama dengan Raditya.”

            “Baguslah kalau begitu. Kamu bisa pergi dan bersiap, Cintya.”

            Nona Cintya berbalik lagi dan aku mengikuti tepat di belakangnya. Sebelum ke kamar miliknya di lantai dua, Nona Cintya meminta sesuatu kepada pelayan untuk dibawa ke kamarnya ketika sedang mengganti pakaiannya.

            “Silakan, Nona.” Aku yang sejak tadi berjalan mengikuti Nona Cintya langsung melangkah lebih cepat mendahuluinya untuk membuka pintu kamar Nona Cintya.

            “Hari ini, ikut masuk ke dalam Raditya. Aku butuh bantuanmu.”

            Tadinya aku merasa enggan untuk masuk ke dalam kamar Nona Cintya karena mengingat ucapannya tadi, Nona Cintya hendak mengganti pakaiannya untuk pergi ke pertemuan.

            “Apa aku harus mengulangi perintahku, Raditya?”

            Tapi mendengar ucapan itu, mau tidak mau aku harus masuk ke dalam kamar Nona Cintya dan mematuhinya.

            “Duduk di sini dan nanti akan ada pelayan yang datang membawa makanan, aku ingin kamu memakannya sembari menungguku mengganti pakaianku dan bersiap-siap.”

            “Tapi Nona ... saya tidak boleh makan ketika sedang bertugas.” Aku yang terkejut mendengar perintah itu langsung menjawab ucapan dari Nona Cintya. Aku masih berdiri di dekat pintu dan menolak untuk duduk di kursi seperti perintah Nona Cintya.

            Tok ... tok.

            “Masuk.”

            Pintu terbuka dan serang pelayan wanita muncul dengan nampan di tangannya yang membawa sarapan berupa nasi goreng lengkap dengan telur dadar di atasnya.

            “Di mana saya harus meletakkannya,  Nona?”

            Nona Cintya menunjuk ke arah meja di mana Nona Cintya tadi menyuruhku untuk duduk. “Di sana saja.”

            Begitu pelayan yang mengantar makanan itu pergi, Nona Cintya langsung menatap tajam ke arahku. “Duduk dan makan itu, Raditya.”

            “Tapi, Nona. Jika saya melakukan itu maka saya melanggar peraturan, Nona.” Aku masih menolak untuk duduk dan memakan makanan yang dipesan oleh Nona Cintya.

            “Tidakkah kamu lupa peraturan pertama sebagai pengawal adalah tidak menolak perintah tuan kalian?”

            Aku masih tidak bergerak dari tempatku berdiri dan menolak untuk duduk memakan nasi itu. Tapi entah sudah keberapa kalinya-aku tidak ingat, Nona Cintya mendekat ke arahku, memegang tanganku dan kemudian menarik tubuhku.

            “Jangan menolak perintahku, Raditya.”

            Nona Cintya menarikku ke arah kursi di depan makanan itu, membuatku duduk,  kemudian mengambil satu sendok nasi goreng dan hendak menyuapiku.  

            “Saya akan makan sendiri, Nona.” Aku dengan cepat menarik sendok itu dan memakan nasi goreng itu dengan kedua tanganku.

            “Bagus. Harusnya sejak tadi kau melakukan itu, Raditya.”

            Sejak pertemuan pertamaku dengan Nona Cintya, aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengannya dan perasaan itu semakin hari semakin terlihat jelas. Ditambah lagi mimpi-mimpi burukku semakin harinya semakin menyiksaku sejak pertemuanku dengan Nona Cintya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!