NovelToon NovelToon

Adek Gue BAD

Prolog

Seorang gadis manis berusia sembilan—yang akan genap sepuluh tahun, tengah duduk tenang di kursi belajarnya. Gadis itu fokus mengerjakan pekerjaan rumah yang tadi diberikan gurunya.

Sebuah teriakan, tepatnya rintihan memasuki indra pendengaran gadis itu. Zahra menggelengkan kepala lalu melanjutkan PR-nya. Baru satu kata yang ia tulis, suara itu kembali terdengar. Bedanya, suara itu terdengar lebih keras dan seperti suara sambitan.

Suara yang membuat hatinya berdesir hebat, hatinya makin tak karuan setelah mendengar rintihan itu berkali-kali. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Gadis itu menarik napas dalam, entah mengapa hatinya mulai sesak.

Suara yang hampir setiap malam ia dengar, namun kali ini suara itu kian menyakitkan. Dengan kaki berjinjit Zahra menuju meja sebelah, tempat kakaknya berada. Rupanya kakaknya itu tengah tertidur.

"Kak ... bangun," ucap Zahra pelan sambil menggoyangkan bahu kakaknya. Raisha tertidur dengan posisi duduk di kursi, tangannya ia letakkan di atas meja dan kepalanya tertumpu di sana.

Raisha yang tidurnya terusik mulai membuka mata, gadis itu menegakkan badan lalu menoleh ke samping.

"Kamu mimpi buruk lagi?" Hal yang sering Raisha tanyakan saat melihat adiknya berkeringat.

Zahra menggeleng pelan, tangan mungilnya menunjuk keluar, arah ruang utama. Ruang yang biasanya digunakan keluarganya berkumpul.

"Kenapa?"

Belum sempat Zahra menjawab, suara teriakan seorang wanita terdengar begitu keras.

"Mami?" ucap mereka bersamaan lalu berlari keluar.

Mereka berhenti berlari saat melihat pemandangan yang terjadi di depan mereka. Mereka bersembunyi di belakang dinding yang menjadi pembatas antara lorong kamar dan ruang utama.

Seorang wanita yang sangat mereka kenal tengah di sambar dengan tali tambang. Wanita itu merintih kesakitan, bahkan separuh pakaiannya telah tertanggal dan meninggalkan bekas kebiruan panjang.

Jika orang yang tak mengenalnya akan mengira dia orang gila, wajahnya tak berbentuk, bekas goresan pisau ada di mana-mana. Darah segar di wajahnya bak bintang yang gemerlapan di langit malam.

Napasnya tersendat-sendat, dadanya naik turun tak beraturan. Wanita itu terduduk di lantai, tangan dan kakinya terikat tali tambang, kepalanya menengadah ke atas seakan meminta pertolongan pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sepasang suami istri tersenyum senang melihat keadaan wanita itu, bahkan sang istri menendangnya hingga berguling di lantai.

Zahra yang akan menghampiri wanita itu langsung ditahan Raisha. Bukannya tidak mau menolong, tapi jika ia membiarkan Zahra ke sana, bukan tak mungkin Zahra juga diperlakukan sama.

Dada mereka sesak, melihat orang yang mereka sayang diperlakukan tak sepantasnya, apalagi orang yang melakukannya adalah om dan tante mereka sendiri. Air mata yang mereka tahan sejak melihat pemandangan menyakitkan itu, lolos begitu saja tanpa izin.

Zahra mengeratkan pegangannya pada tangan Raisha, tangan gadis itu bergetar. "A–aku ta–kut, Kak ...," ucap Zahra lirih, bahkan tangannya meremas tangan Raisha, membuatnya sedikit meringis.

"Mas, coba kamu lihat. Sepertinya ajalnya sudah dekat, nyawanya sudah mau terlepas, tapi karena dosanya menumpuk jadi malaikat ingin menyiksanya terlebih dahulu." Sang istri menoleh pada suaminya yang tersenyum iblis.

"Kak ...."

"Tahan, Ra. Kakak ngerti apa yang kamu rasain, kakak juga merasakan hal yang sama. Tapi kita bukan apa-apa, Ra. Mereka bisa aja nyakitin kita," nasihat Raisha, gadis itu memeluk adiknya erat. Benar-benar om dan tantenya tersebut, mereka tidak punya hati.

"Permainan terakhir, Sayang."

Sang istri menggaguk lalu mengambil sebilah pisau, yang akhirnya diserahkan pada sang suami.

"Kak ...." Dada Zahra yang sejak tadi sesak, menjadi lebih sesak saat tantenya menyerahkan pisau tersebut. Rongga dadanya kian menyempit, setiap kali menarik napas rasanya sangat berat.

Apa yang akan mereka lakukan?

Sang suami menerima pisau tersebut dengan senang, dia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi lalu menancapkan pisau tersebut di dada wanita itu.

Darah segar menyembur seketika, ruangan itu sekarang menjadi penuh dengan bercak darah. Mata wanita itu melotot menahan sakit yang tiba-tiba, satu tarikan dari dada melesat ke perut.

Kaki yang tadi berdiri tegak, tiba-tiba terasa seperti jely. Zahra akan menyusul duduk di lantai jika Raisha tidak menahannya.

"A–aku benci mereka, Kak. Aku benci ini semua," ucap Zahra sambil terisak.

Mata Zahra tetap tidak berhenti menatap sang ibu yang telah terkulai tak bernyawa. Matanya menerawang kosong. Apa semesta kembali memukulnya? Setelah kehilangan ayah, haruskah Tuhan mengambil ibunya juga?

Raisha memaksa Zahra berdiri dan membawanya kembali ke kamar. Samar-samar ia mendengar omnya berkata, "Dia udah mati, Hana. Tinggal dua parasit kecil yang mesti kita tuntaskan."

...****...

"Bagaimana kabarmu little girl?" Pria itu terkekeh.

Gadis bersurai coklat itu menggeram. "Tidak puas kau membunuh ibu dan ayahku? Apa yang kau inginkan sebenarnya?"

"Pah, kenapa papah malah menanyai kabarnya? Kapan kita akan menghabisinya?" Salah satu laki-laki bertanya, ia mengerutkan kening tidak percaya pada seseorang yang dipanggilnya papa.

Paruh baya dengan jubah hitam itu tersenyum sambil menepuk bahu putranya. "Tenang, Boy. Apa kalian tidak mau bermain dulu dengan gadis ini? Papah yakin, kalian akan menyukainya."

"Ah, akan aku lakukan, Pah. Eh, Ger, enaknya kita apain ini cewek?" Sebelah tangannya meraup surai coklat itu, menariknya pelan hingga kepala gadis itu menghadap mereka bertiga.

...****...

Dor!

Dor!

Dor!

Sebuah peluru berhasil mengenai kaki kirinya, lebih tepatnya di pangkal paha yang berdekatan dengan lutut. gadis itu terjatuh. "Awshh," ringisnya pelan.

Berlian itu langsung berdiri ketika menyadari orang-orang itu semakin mendekatinya. Ia mencoba berdiri dengan menahan sakit. Di Raja Ampat saja ia bisa melakukan ini, kenapa sekarang tidak? Ia berlari dengan kaki tertembak, darah terus keluar dari sela-selanya. Akibatnya, itu menyulitkan langkahnya. Ia tidak dapat berlari cepat jika seperti ini.

"Awshh." Untuk kedua kalinya gadis itu terjatuh. Sebuah pisau tampak menggores dalam betisnya. Sang berlian berusaha berdiri, langkahnya kali ini terasa berat. Pasti ada sesuatu di mata pisaunya. Gadis yang rambutnya masih terurai itu berlari pelan dengan kaki timpang—berusaha menahan sakit yang kian bertambah.

"Ha–ha–ha, lo ga bakal bisa lari lagi!" Tawa iblis seseorang terdengar, berlian itu tahu itu suara orang jahat yang ingin mengakhiri hidupnya. Tak jauh darinya laki-laki paruh baya menodongkan sebuah pistol. Gadis itu bangkit, ia kembali berlari dan sialnya ia harus terjatuh.

Pemuda dengan gaya maskulin dan ayahnya yang telah kepala empat itu berhasil mendekati berlian, tetapi masih ada jarak 3 meter diantara mereka. Saat pemuda tak punya hati dan paruh baya yang akan menangkap sang berlian—yang masih terduduk, seseorang membawa berlian pergi dengan cepat dari hadapan keduanya.

...****...

Dua orang yang menahan tangannya tersenyum iblis.

"Kamu tidak akan bisa berlari lagi little girl, ratu sekaligus ATM kami akan melemparmu ke jalanan dan boom .... Kelanjutannya pasti akan seru. Kamu tunggu saja, jangan banyak memberontak, tenang saja, mayatmu akan segera ditemukan. Kakak-kakakmu pasti akan menangisimu," ucap paruh baya yang berada di sisi kirinya.

Ia berusaha meloloskan tangannya yang dicekal, ia benci dengan dirinya yang lemah. Kenapa harus memiliki kelemahan seperti ini. Mereka keluarganya, mantan tepatnya. Tapi kenapa tidak bisa?

Gadis surai coklat itu mengerang. Tawa iblis lagi-lagi terdengar merdu.

"Jangan memberontak little girl, tunggulah ratu kami dengan tenang!" ucapnya tegas.

Wanita dengan gaun putih panjang, bergaya bak Princess Aurora berjalan mendekat. Manik gelapnya berbinar seperti bajak laut yang mendapatkan peti hartanya.

"Jadi, kalian berhasil menangkapnya, ya? Kerja bagus tuan-tuan."

Sang ratu berjalan mendekati sang berlian yang masih berusaha meloloskan diri, mengabaikan betapa cantiknya wanita yang berdiri di hadapannya.

1. Muqaddimah

Mengikuti arus kehidupan adalah salah satu cara untuk menikmati hidup.

****

Merpati putih. Banyak orang yang mengagumi bangunan dengan luas berhektar-hektar tersebut. Universitas Umum Merpati Putih atau UMMATIH ialah salah satu universitas swasta yang ada di ibu kota Indonesia, Jakarta. Terdiri lebih dari tujuh fakultas dengan beberapa program studi.

Pemiliknya yang terkenal dermawan membuat siapa saja ingin mengenalnya. Namun, dia telah disemayamkan dengan tenang. Bagi siswa maupun siswi berprestasi, siswa dengan perekonomian rendah, tidak jarang mereka memburu beasiswa yang diberikan oleh Merpati Putih. Karena, setiap tahunnya ada anggaran besar yang telah dipersiapkan oleh pemilik merpati putih itu sendiri dan para donatur.

Seorang gadis dengan rambut cepol kuda terlihat keluar dari mobil dengan seorang laki-laki. Gadis itu mengenakan kaos navy, celana jeans dan jaket denim senada, serta tidak ketinggalan jas merah marun yang tersampir di pundaknya.

Dia, Ulyana Zahra Fitriangsih, putri dari pemilik merpati putih. Zahra, begitulah orang-orang memanggilnya. Gadis yang dari wajahnya kelihatan galak, tapi sebenarnya dia tidak seburuk itu.

Putra Rastungo Mahendra, laki-laki urakan yang menjelma menjadi kekasih Zahra. Banyak orang yang mengatakan mereka  pasangan yang cocok, tapi kakak dari Zahra sendiri tidak merestui hubungan adiknya. Status bad boy yang disandang Putra, membuat laki-laki itu ditampik keras jika ingin menjadi seorang adik ipar dari Darel Ario Kusuma.

Rio sendiri bisa melihat, seperti apakah Putra itu. Dia tidak bodoh dengan mempercayakan adiknya pada laki-laki semacam Putra.

Mereka berjalan ke ruang khusus untuk panitia ospek. Ruang musik yang disulap menjadi ruang untuk istirahat dan diskusi selama masa orientasi. Di sana mereka membicarakan kesiapan dari acara hari ini. Ospek, Study kenal Alam dan Pengenalan Kampus.

Halaman merpati putih telah penuh dengan siswa dan siswi yang mengenakan pakaian hitam putih. Jaka, pemimpin Ospek telah berdiri di tempatnya.

"Bentuk barisan sesuai fakultas masing-masing, seperti yang telah di infokan di website resmi merpati putih. Kerjakan!"

Dalam sekejap semua mahasiswa tersebut berbaris rapi. Tampak beberapa anak yang terlambat langsung masuk asal ke barisan, panitia pun menyuruh mereka push up di depan mahasiswa lainnya.

Apel pembukaan Ospek itupun dimulai. Kemudian mereka menggiring para junior ke aula untuk mendengarkan kisah motivasi dan inspirasi.

****

Setelah Ospek selesei dan mahasiswa baru diperbolehkan untuk pulang, Jaka mengomando teman-temannya agar kembali berkumpul di ruang musik.

"Selamat siang semuanya. Kita kumpul di sini untuk diskusi acara penutupan yang akan dilaksanakan saat hari terakhir Ospek. Kira-kira dari kalian ada yang mau berpendapat?" kata Jaka membuka diskusi. Ruangan yang tadinya ricuh mendadak hening.

"Gimana kalo kita bikin sesuatu yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Gini, gimana kalo mereka itu kita suruh buat bikin kelompok yang beranggotakan 50 peserta. Terus dari masing-masing kelompok, mereka harus bisa nemuin foto 25 teman mereka. Terus foto-foto itu kita sebar diseluruh bagian kampus. Gimana, kalian setuju ga?" usul salah seorang diantara mereka, Mita.

"Bukannya itu akan makan waktu ya?" tanya Ica.

"Emang. Kita akan adakan camping," kata Mita.

"Gitu juga boleh, lainnya ada pendapat lain ga?" tanya Jaka.

"Terus, masalah fotonya gimana?" tanya Zahra.

"Gampang, kita potret mereka satu per satu saat mereka ga sadar, biar gambar yang kita dapat gambar konyol," kata Mita.

Mereka semua akhirnya menyetujui usulan Mita.

"Ya udah, karena kita udah nemuin kesepakatan maka kita akhiri rapat hari ini. Siang semuanya dan lanjutkan kembali aktivitas kalian," kata Jaka. Laki-laki itu kemudian merangkul gadis di antara mereka, Mita. Yaps, mereka adalah sepasang kekasih.

Zahra keluar dari ruang musik bersama teman-temannya. Mereka berencana akan pergi ke mall setelah kuliah mereka selesei.

Sudah bukan rahasia lagi jika Zahra dan teman-temannya sepulang dari kampus akan pergi ke mall. Biasanya mereka juga melakukan beberapa perawatan kulit dan mengganti warna rambut mereka. Tentu saja Putra ikut mengawal kekasihnya.

****

Langit telah gelap, bintang-bintang di langit telah menunjukkan binarnya. Sekelompok mahasiswa yang saat ini masih berdiam diri di mall sejak tadi siang tengah berdiskusi.

"Kita hari ini ga usah ke club ya ... udah malam soalnya. Kita kan besok juga masih banyak kegiatan, jadi kita gunakan waktu buat istirahat," kata Ardelia setelah melihat jam tangan yang melingkar di lengannya. Dia menatap temannya satu-persatu.

"Iya, gue setuju," kata Putra.

"Lah, tumben. Biasanya kan lo itu ngebet banget urusan ginian, kenapa jadi setuju-setuju aja ga ke club?" tanya Ina pada Putra.

"Iya, tuh. Takut kali dia kalau ketauhan sama bang Rio. Abangnya Zahra kan sadisnya minta ampun," kata Ica melebih-lebihkan.

Zahra tersenyum kecil lalu mengajak Putra segera pergi dari mall. Jangan sampai Rio marah lagi karena ia pulang larut.

Putra mengantar Zahra pulang. Laki-laki itu mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, membuat gadis yang ada di sampingnya memutar bola mata.

"Sayang, jangan ngebut-ngebut, dong! Kalau kita kenapa-kenapa gimana? Ini kan jalan raya, bukan arena balap," tegur Zahra.

Putra melirik sekilas Zahra, gadis itu tengah menatapnya kesal. "Ada kaca, 'kan? Biasanya juga lo kek gini di jalan. Tenang aja. Ini udah malam, jalanan juga lagi sepi, lo pegangan aja. Lo—"

Belum sempat Putra selesai bicara, dia dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba melintas di depan mobilnya.

Putra mengerem mendadak, untung tidak sampai banting setir. Kalau banting setir bisa-bisa mereka berdua yang terancam. Bahkan, kepala Zahra ikut terbentur pada kaca depan mobil.

"Lo ga papa, 'kan?" Putra menghadap samping, memastikan Zahra baik-baik saja. Laki-laki menghela napas lega.

"Kayaknya lo nabrak orang deh. Ayo turun," ajak Zahra. Putra akhirnya mengangguk.

Putra turun dari mobil, dia melihat seorang cewek sedang bersimpuh dengan kaki sedikit luka.

"Mbak, ga papa? Aduh, saya minta maaf banget ya, Mbak."

"Gimana, Put?"

Putra menoleh pada Zahra yang sudah ikut berjongkok di samping cewek tadi.

"Mba, mbaknya masih bisa dibuat jalan? Kalo ga bisa biar kita papah," kata Zahra pada cewek tadi.

"Bisa, kok," kata dia sambil mencoba  berdiri. Saat akan berdiri, cewek tadi hampir jatuh, Zahra sama Putra langsung menangkap tubuhnya.

"Kita kerumah sakit aja, ya," kata Zahra. Akhirnya mereka membawa cewek tadi ke rumah sakit terdekat.

Setelah sampai di rumah sakit, dokter segera memeriksa keadaannya. Setelah diperiksa ternyata cewek tadi hanya terluka ringan. Dokter segera membalut lukanya dengan kasa.

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan untuk mengantar cewek tadi pulang.

"Sorry, ya. Tadi gue ga liat lo ada di sana. Abisnya malam-malam gini biasanya sepi, jadi gue ga terlalu perhatiin jalanan," sesal Putra dengan melihat cewek tadi dari kaca atas mobil.

"Gue ga papa kok. Gue diobatin aja udah seneng," kata cewek itu.

"Oh ya, lo masih sekolah atau udah kerja?" tanya Zahra.

"Gue kuliah, sekarang masih orientasi sih," jawab dia.

Setelahnya tidak ada sepatah kata yang terucap dari bibir mereka bertiga. Setelah mengantarkan gadis yang ditabrak oleh Putra, laki-laki itu melajukan mobil ke rumah kekasihnya.

"Tuh, kalo nyetir ya perhatiin jalan. Apalagi malem-malem, bahaya. Untung cewek tadi cuma lecet sama terkilir ringan," kata Zahra kesal.

"Iya-iya. Gue minta maaf ya, lain kali bakalan hati-hati kok," kata Putra, laki-laki itu membujuk Zahra agar bisa memaafkannya.

"Bener ya ... gue ga mau kalo kayak tadi. Gue takut tau," kata Zahra.

"Iya. Udah lo tenang aja," kata Putra.

Putra menambah laju mobil ketika netranya memandang Zahra yang tertidur pulas. Selang beberapa menit, mereka telah sampai di depan mansion megah milik keluarga Zahra.

Putra membangunkan kekasihnya yang tertidur. "Sayang, kita udah sampai, nih." 

"Udah sampai, ya?" tanya Zahra sambil membuka matanya perlahan. Putra mengangguk.

Putra mengantar Zahra sampai depan pintu. "Ya udah, gue pulang dulu, ya," Putra mengacak rambut Zahra, "besok jangan sampai telat. Lo masuk, gih!" sambung Putra.

Zahra mengangguk sambil memegang gagang pintu. Ia berjalan sambil berjinjit, berharap kakaknya telah nyaman dengan kasurnya. Gadis itu menuju tangga, karena kamarnya berada di lantai dua. Dengan hati-hati ia melewati lorong kamar, karena kamarnya berada di ujung dan harus melewati kamar Rio.

"Habis dari mana, lo?" tanya seseorang tiba-tiba. Zahra terkesiap saat bahunya di pegang oleh seseorang.

Zahra segera membalikkan badannya, menatap sang kakak yang ternyata belum tidur.

"Kakak belum tidur?"

"Dari mana? Kenapa baru pulang jam segini?"

"Ini masih jam sepuluh, Kak. Please deh, masih mending gue ga ke club, besok masih ospek, jadi gue ke clubnya dipending," jawab Zahra tenang.

"Zahra!" Mata Rio melotot menatap adiknya yang setengah kurang ajar, hampir saja tangannya mendarat di pipi mulus Zahra.

"Apa? Mau nampar? Tampar aja, bukannya tangan kakak udah biasa mendarat di pipi mulus gue?"

Tangan Rio mendarat di wajah adiknya, bukan di pipi melainkan di pelipis Zahra. Rio mengusap pelan pelipis adiknya, lalu menunjukkan jarinya pada Zahra.

"Ini kenapa?"

Zahra yang melihat jari kakaknya terdapat bercak merah, langsung menyentuh pelipisnya.

"Darah?" gumam Zahra bingung.

Tiba-tiba Rio menarik Zahra masuk ke kamarnya, laki-laki itu mendudukkan Zahra di pinggir ranjang. Rio berjalan dengan tergesa menuju kotak P3K yang ada di laci kerjanya.

Dengan telaten Rio membersihkan darah di pelipis Zahra. Kemudian mengambil kapas dan menuangkan obat merah, lalu menempelkannya ke pelipis adiknya.

"Kak ...."

"Kenapa?"

"Ga ke—"

"Jujur, Zahra!"

Zahra menggeleng lalu menatap kakaknya.

"Ini gara-gara cowok lo itu 'kan? Dia kan yang bikin lo kayak gini?" Rio menatap adiknya dengan pandangan mengintimidasi.

"Enggak, Kak," elak Zahra.

"Jangan bohong!" kata Rio tegas. Laki-laki itu memasukkan barang yang tadi digunakan untuk mengobati adiknya ke dalam kotak P3K.

Akhirnya Zahra menceritakan kejadian sebenarnya. Rio mengela napas lalu mengembalikan kotak P3K itu pada tempat asalnya.

Rio kembali duduk di samping Zahra, menatap adik kecilnya yang telah tumbuh dewasa. "Kalau mau jalan berdoa dulu makannya. Sama cowok lo tuh, hati-hati kalau bawa kendaraan."

"Iya, Kak. Makasih udah bantu ngobatin, maaf udah berburuk sangka sama kakak."

Rio mengusap rambut Zahra. "Gak papa. Ayo tidur, di sini sama gue."

Zahra menggeleng. "Gue belum mandi, gue mandi dulu ya?"

Rio menahan Zahra yang ingin pergi, laki-laki itu menggeleng. "Ga baik mandi malem-malem."

"Tapi—"

Rio menarik Zahra berbaring, bahkan laki-laki itu memeluk adiknya erat. Sebelum memejamkan mata, ia lebih dulu mencium pipi Zahra. Gadis itu terkekeh dan membalas pelukan Rio.

2. Hari Kedua

Enjoy reading.

****

Seorang pemuda yang tidak bisa disebut bermuka pas-pasan atau biasa kita sebut tampan, tengah menuruni Lamborghininya. Pemuda itu tampak keluar sendiri dari mobil, tidak seperti biasanya yang akan keluar berdua bersama seorang gadis cantik.

Seperti rutinitas para mahasiswa lainnya, pemuda ini juga langsung menuju kantin untuk mengobati perutnya yang keroncongan minta diisi. Saat sedang berjalan menuju kantin ....

"Sshhh, sakit ... tolongg." Terdengar suara rintihan seseorang dari kamar mandi yang baru saja dilewati Putra.

"Suara siapa tuh, kek kenal," kata Putra sambil celingak-celinguk mencari keberadaan suara itu. Putra menghentikan langkah dan mencoba menganalisis dari mana asal suara tersebut.

"Tolonggg ...." Suara itu terdengar kembali.

"Dari toilet cewek deh kayaknya." Putra akhirnya kembali ke toilet yang tadi dilewatinya, pemuda itu masuk dengan hati-hati. Takut jika ada yang histeris ketika melihatnya masuk toilet cewek.

Setelah sampai di lorong toilet, Putra menemukan seorang gadis tengah terduduk di lantai, dengan tangan memegangi salah satu kakinya.

"Lo ga papa?" tanya Putra setelah berada di samping gadis itu.

Gadis itu mendongak lalu menyipitkan matanya. "Loh, mas-mas yang kemarin nabrak saya, kan? Kok bisa ad—" Gadis itu berhenti bicara setelah melihat jas merah marun yang dipakai Putra.

"Kaki lo kenapa?" tanya Putra yang tidak menghiraukan ekspresi gadis itu.

"Kakiku terkilir, tadi abis kepeleset, lantainya licin," jawab gadis itu sambil menunduk.

"Mau keluar?"

Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, Putra tiba-tiba menggendongnya bridal style. Gadis itu segera mengalungkan tangannya di leher Putra.

Setelah sampai di luar, Putra masih menggendong gadis yang ditabraknya kemarin malam. Dan menikmati wajah menggemaskan gadis yang berada digendongnya saat ini.

Andai ini cewek jadi cewek gue, polos gini pasti asik kalau main. Ga banyak tingkah, kata Putra dalam hati, pemuda itu menunjukkan smirk-nya.

Sebuah deheman menginterupsi kegiatan mereka.

"Putra!"

Putra dan gadis itu menoleh pada sumber suara, ternyata yang memanggilnya ialah kekasihnya sendiri, Zahra.

Zahra menghampiri keduanya. "Loh, lo kan cewek semalam?" tanya Zahra sambil menunjuk gadis yang ada digendongan Putra.

"Iya, Ra. Kakinya terkilir. Baru semalam gue tabrak, tadi dia malah jatuh di toilet," kata Putra sambil terkekeh.

"Bawa ke UKS aja, di sana kan ada anak KSR. Biar dipijat sama mereka," saran Zahra. Akhirnya mereka membawa gadis itu ke UKS.

"By the way, nama lo siapa?" tanya Zahra pada cewek digendongan Putra.

"U–Una, Kak," jawabnya pelan.

Zahra dan Putra mengangguk-ngangguk.

"Tadi lo dicariin sama anak-anak, katanya latihan buat persiapan orasi gitu," kata Zahra sambil menatap Putra dari samping.

"Ya udah, habis ini kita langsung ke aula aja. Acaranya jadi di aula, kan?" Putra menoleh pada gadis yang berjalan di samping kanannya.

Zahra mengangguk. "Lo kan belum sempat makan tadi, lagian kita masih ada waktu satu jam. Habis ini ada materi sejarah merpati putih."

"Kata lo anak-anak nyariin?"

"Iya, masalah absensi kayaknya. Lagian tadi mereka juga mau makan, jadi habis ini kita mampir ke kantin dulu."

Tidak terasa, mereka telah sampai di UKS, Putra segera menurunkan Una di ranjang UKS. Zahra memberitahu apa yang dialami Una pada anggota KSR yang berjaga. Mereka memperbolehkan Una untuk tidak mengikuti Ospek karena keadaan Una yang tidak memungkinkan.

Setelahnya, Zahra dan Putra menuju kantin untuk mengisi energi sebelum memulai kegiatan hari ini.

Setelah dipijat sama salah satu anggota KSR, sekarang kaki Una terasa lebih baik. Gadis itu sudah diperbolehkan untuk kembali bergabung dengan mahasiswa lainnya. Dia diantarkan oleh salah satu panitia yang tadi ditemuinya pada saat menuju aula, Mita.

Kedua sahabat Una, Ify dan Arel sangat senang karena sahabat mereka telah kembali bergabung.

****

Satu minggu berlalu, acara Ospek di Merpati Putih telah usai. Para senior sangat senang dengan hasil panitia Ospek tahun ini yang cukup memuaskan, tidak kalah dengan Ospek tahun lalu. Bahkan, Ospek tahun ini lebih meriah dan lebih seru.

Para panitia berhasil menjalankan tugas-tugas mereka sebagai panitia Ospek. Mereka bangga dengan hasil jerih payah mereka selama mempersiapkan Ospek.

Dan mereja juga menjalankan usul Mita tempo hari, acaranya berjalan lancar. Terutama para mahasiswa baru, yang sangat menikmati malam-malam terakhir mereka selama masa Ospek. Selain usul Mita tersebut, panitia juga membebaskan mahasiswa baru untuk unjuk bakat di depan mahasiswa lainnya.

Hari ini Zahra dan teman-temannya dapat bernapas lega, lantaran tugas mereka sebagai panitia Ospek telah usai.

"Huft, akhirnya kelar juga tuh Ospek. Capek juga ternyata jadi ketua Ospek," keluh Jaka sembari memasukkan potongan bakso ke mulutnya.

Zahra menelan habis baksonya. Gadis itu mengambil segelas orange juice lalu menyeruputnya. "Lo mah apaan, kerjaan lo cuma nyuruh-nyuruh kita aja sok capek. Dasar!" cibir Zahra pelan.

"Party ayuk lah, udah lama kita ga senang-senang," kata Fandi, salah satu pemuda yang satu geng dengan Putra.

"Boleh, tuh. Di mana?" tanya Ica excited.

"Rutari aja tuh, baru buka seminggu yang lalu. Katanya yang punya cowok, seumuran kita lah, tapi masih gantengan gue ke mana-mana," kata Jaka dengan pedenya.

Mita yang ada di sebelahnya langsung mencubit pinggang Jaka, pemuda itu kesakitan. "Mau ngapain ngikut mereka ke club, awas aja kalau sampai ketauhan. Kita putus," ancam Mita.

"Yahh, jangan dong. Masa putus? Kita kan baru jadian 2 bulan lalu ...."

"Ya, awas aja kalau macam-macam!"

Ardelia terkekeh melihat pasangan di depannya. "Ga tau aja lo, Mit. Jaka pernah diajakin minum sama Zahra, teler dah tuh."

"Zahra!" kata Mita geram.

Zahra hanya terkikik, waktu itu tujuannya hanya untuk mengerjai Jaka. Tapi siapa sangka, jika Jaka ingin menikmati minuman itu kembali.

"Ra, sama Devan kita disuruh balik. Kelas aja, yuk!" ajak Putra.

"Bolos aja lah, biasanya kan kita bolos juga," balas Zahra.

"Absen doang ini. Habis itu kita cabut ke tempat balap. Ada anak kampus sebelah nantangin, kalau menang uangnya lumayan buat ntar malam."

Tanpa pikir panjang Zahra langsung menyetujui usul Putra. Mereka pamit pada teman-temannya dan berjalan ke kelas.

Di kelas mereka hanya melakukan tanda tangan kehadiran, dosen di kelas mereka sedang rapat. Anak-anak hanya disuruh membaca link, kisah sukses pengusaha mebel yang akan dijadikan pembahasan minggu depan.

"Eh, Put. Kita kan bawa mobil, yang tadi balapan motor, kan?"

"Pulang dulu sayang, ngambil motor. Habis itu baru ke tempat balapan, tadi lokasinya udah gue share lock."

Putra mencium pipi Zahra setelah itu melenggang pergi terlebih dahulu. Baru saja Zahra ingin pergi menyusul kekasihnya, seseorang menahan tangannya. Zahra menoleh, seketika ia kesal karena melihat wajah orang yang menahannya.

"Lo lagi, lo lagi? Ga bisa apa, sehari aja ga ngerecokin gue mulu," kata Zahra ketus. Gadis itu sangat tidak suka kepada laki-laki yang ada dihadapannya saat ini. Menurutnya laki-laki ini sangat mengganggu.

Devan, salah satu sahabat Putra dan sahabat kakaknya. Laki-laki yang dari semester satu telah terpesona dengan apa yang dimiliki Zahra. Laki-laki yang selalu mau tau urusannya, orang-orang menyebutnya penjaga Zahra. Dia biasanya jadi obat nyamuk antara Putra dan Zahra saat sedang bersama.

Rio telah meminta tolong pada laki-laki itu agar mengawasi Zahra ketika di kampus. Laki-laki yang memendam rasa pada Zahra, karena dia tau Zahra milik sahabatnya. Tidak mungkin jika ia rebut begitu saja.

"Mau balapan lagi? Bahaya, Zahra!"

"Terserah gue dong, emang lo siapa seenaknya ngatur-ngatur gue. Jangan mentang-mentang lo temannya kak Rio, lo bisa seenaknya sama gue."

"Gue ga ngatur, kalau seumpama lo kenapa-kenapa gimana? Mending di sini, jam 11 nanti ada jamnya miss Eva."

"Dengerin gue baik-baik, ya. Gue ga peduli sama Miss Eva tuh, lagi pula bahasa Inggris gue udah lancar. Jadi suka-suka gue dong mau di sini apa bolos."

Wajah Zahra terlihat kesal, setelah selesai dengan urusannya di kelas gadis itu melenggang pergi. Meninggalkan Devan yang terpaku di tempatnya.

Zahra bukan anak kemarin sore yang tidak tau sikap-sikap orang yang menyukainya seperti apa. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum jika Devan memang terlihat menyukai Zahra.

Zahra mengendarai mobilnya pulang, gadis itu mengganti kendaraan dengan motor sport miliknya. Setelahnya ia melajukan motor dengan cepat menembus kemacetan yang terjadi di Jakarta. Tidak butuh waktu lama, Zahra akhirnya sampai di lokasi balapan.

____________________

*****Orasi : sebuah pidato formal, atau komunikasi oral formal yang disampaikan kepada khalayak ramai.

*KSR : Korps Sukarela (KSR) adalah kesatuan unit PMI yang menjadi wadah bagi anggota biasa dan perseorangan yang atas kesadaran sendiri menyatakan menjadi anggota KSR. Kurang lebih seperti PMR kalau di tingkat SMA**.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!