Jalanan yang padat tak menyurutkan semangat seorang ibu muda untuk menjemput putranya. Disaat rekannya tengah melepas penat dan mengisi perut yang keroncongan, dia memilih mengendarai mobil menuju sekolahan sang putra semata wayang. Berkali kali dia menatap jam yang bertengger dipergelangan tangannya. Lima menit lagi. Ya, lima menit lagi kelas putranya usai, tapi dia masih terjebak macet.
Tin tin tin
Berkali kali dia menekan klakson, berharap mobil didepannya segera bergerak maju.
"Sial, aku bisa telat." Gerutunya sambil terus fokus pada jalan.
Perlahan mobil yang dia kendarai mulai bisa bergerak dengan pelan, hingga sampailah dia disekolah sang putra yang sudah mulai sepi.
Gegas dia turun dari mobil dan masuk kedalam sekolah. Matanya menyisir halaman sekolah hingga terhenti pada seorang bocah laki laki tampan yang sedang duduk bersama seorang guru.
"Mama." Teriak bocah laki laki itu sambil berlari kearah wanita yang dia panggil mama itu dan langsung menghambur dalam pelukannya.
Ibu muda itu bernama Mila. Single parent dengan satu anak laki laki berumur 6 tahun. Satu bulan yang lalu, dia pindah dari Singapura ke Indonesia.
"Maafin mama ya, mama telat jemput Saga." Ujarnya sambil mengusap pelan puncak kepala bocah yang bernama Saga itu. Bocah itu sangat tampan, membuat siapapun yang melihat tak pernah absen untuk memujinya.
"Siang Bunda." Sapa guru yang tadi menemani Saga.
"Siang juga Miss Naomi. Maaf membuat miss harus menemani Saga karena saya telat menjemput." Ujar Mila dengan raut bersalah.
"Saya senang bisa menemani Saga menunggu mamanya." Sahut Miss Naomi sambil menyenyuh bahu Saga.
"Mama, hari ini Saga dapat bintang 5." Pamer Saga seraya menunjukkan stempel bintang yang ada ditangannya.
"Wow, anak mama hebat sekali. Tos dulu dong." Keduanya langsung melakukan tos sambil tertawa ringan.
"Gimana perkembangan Saga Miss? Saya khawatir dia tidak bisa berbaur dengan temannya."
"Jangan khawatir Bu. Saga anaknya pemberani dan ramah. Dia jenis yang mudah bergaul. Jadi meskipun dia anak baru, dia bisa dengan mudah berbaur dengan temannya." Terang Miss Naomi sambil mengusap lembut kepala Saga.
"Ya udah, kita pulang yuk. Mama harus segera kembali ketempat kerja. Pamit dulu sama Miss Naomi."
Saga mencium tangan gurunya itu lalu berucap salam. Mila pamit dan langsung membawa Saga menuju mobil.
Dalam perjalanan menuju rumah, Saga tak henti hentinya berceloteh tentang kegiatannya hari ini disekolah. Dari yang Mila tangkap, putranya itu tampak enjoy dengan sekolah barunya.
Mobil yang dikendarai Mila memasuki kawasan perumahan minimalis dan berhenti didepan rumah sederhana bercat putih. Dilihat dari luar saja, rumah itu sudah tampak asri dan nyaman. Bu Rahmi, neneknya Saga, hobi berkebun. Dia menyulap halaman kecil itu menjadi sebuah taman yang sangat indah.
"Assalamualaikum." Ucap Mila dan Saga bersamaan sambil membuka pintu yang tak dikunci. Baru sampai ruang tamu, aroma rendang daging sudah menguar.
"Waalaikumsalam." Sahut Bu Rahmi dari dapur dan segera keluar untuk menyambut cucu dan anaknya.
Saga langsung meraih tangan neneknya dan menciumnya takzim.
"Nenek udah masakin rendang daging kesukaan Saga." Ucap Bu Rahmi sambil menyentuh kepala cucunya.
"Yeeeyyy.." Sahut Saga kegirangan. "Saga mau makan sekarang nek, lapar." Rengeknya sambil memegangi perut.
"Ganti baju dulu, cuci tangan cuci kaki." Titah Mila.
"Saga kekamar dulu ganti baju lalu bersih bersih. Sementara menunggu, nenek ambilkan makannya."
"Siap nenek." Bocah kecil itu langsung menghambur menuju kamarnya untuk ganti baju.
Mila berjalan kedapur untuk mengambil minum. Terjebak macet membuat kerongkongannya kering.
"Kamu mau makan sekalian Mil?" Tawar Bu Rahmi yang sedang mengambil nasi dari magigcom.
"Gak keburu Bu." Jawab Mila sambil melihat jam ditangannya. Sebentar lagi jam istirahatnya habis, jadi dia harus segera kembali ke kantor. "Mila bawa bekal aja, makan dikantor."
Bu Rahmi mengangguk lalu menyiapkan bekal untuk Mila.
"Pak Hadi kapan mulai ngojek lagi Bu?" Pak Hadi adalah tukang ojek langganan Mila untuk antar jemput Saga sekolah selama sebulan ini. Tadi sejak kemarin, dia tak bisa melakukannya karena sedang sakit.
"Gak tahu Mil. Besok ibu telepon lagi. Siapa tahu sudah sembuh."
"Mila akan keluar kota lusa Bu. Kemungkinan 2 hari. Kalau Pak Hadi belum sembuh, siapa yang akan antar jemput Saga?"
"Kamu nginep?" Dahi Bu Rahmi mengkerut.
"Iya, nginep semalam."
"Sama siapa? Gak berduaan saja sama bos kamu kan?" Sebagai seorang ibu, Bu Rahmi jelas mengkhawatirkan Mila. Pekerjaan Mila sebagai sekretaris, membuatnya sering bepergian berdua dengan bos nya. Tapi sepanjang tak menginap, Bu Rahmi masih tenang. Tapi kalau sampai menginap, rasanya dia keberatan.
"Berempat kok Bu. Ibu gak usah khawatir. Justru Mila yang khawatir karena ibu hanya berdua dengan Saga dirumah."
Ayah Mila meninggal setahun yang lalu. Dan sebulan yang lalu, adik laki lakinya mendapatkan bea siswa S2 di luar negeri. Hal itulah yang membuat Mila meninggalkan pekerjaannya di Singapura dan pindah ke Jakarta menemani ibunya.
"Ya udah Bu, Mila harus kembali ke kantor." Mila mencium tangan ibunya, mengambil kotak bekal, lalu berpamitan pada Saga.
...----------------...
Disebuah rumah mewah, tiga orang sedang makan malam bersama dalam keheningan. Jika ditempat lain makan bersama menjadi ajang saling cerita atau bertukar pendapat, tapi dirumah ini, makan malam hanyalah sebuah formalitas.
Bu Dirga merogoh saku blusnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
"Kata teman mama, dia dokter yang hebat." Bu Dirga meletakkan sebuah kartu nama dimeja, tepat didepan sang menantu yang bernama Salsa. Istri dari putra satu satunya yang bernama Elgar.
Tenggorokan Salsa langsung tercekat. Dia yang hendak menelan makanan, jadi merasa kesusahan. Dia bisa membaca nama seorang dokter kandungan dikartu nama tersebut.
Elgar tetap melanjutkan makannya, dia seperti tak terpengaruh dengan apa yang baru saja mamanya ucapkan.
"Sudah 7 tahun, sampai kapan mama harus menunggu lagi." Terdengar keputus asaan dinada bicaranya.
Mendengar itu, Elgar menghentikan makannya.
"Kami akan mendatangi dokter itu."
Ucapan Elgar membuat Salsa seketika menatap kearahnya. Bukan apa, dia hanya syok mendengar suaminya mau kedokter kandungan. Sudah 3 tahun terakhir ini, mereka berdua putus asa dan tak mau lagi bertemu dokter untuk program momongan.
"Kalian bisa mencoba bayi tabung." Entah untuk yang keberapa kalinya, Bu Dirga mengusulkan itu. Tapi setiap kali, jawaban Elgar masih sama.
"Kami masih ingin yang alami dulu."
"Sampai kapan, sampai mama menyusul papamu?" Geram Bu Dirga sambil meletakkan sendokknya dengan kasar.
"Mah...jangan bicara seperti itu." Sahut Elgar.
"Aku udah selesai." Salsa mengambil kartu nama diatas meja lalu meninggalkan meja makan begitu saja menuju kamarnya.
Elgar meletakkan sendok lalu mengelap bibirnya. Jika orang lain menjadikan rumah sebagai tujuannya pulang. Elgar kebalikannya, Kantor terasa lebih nyaman daripada dirumah.
"El juga udah selesai mah." Elgar beranjak dari duduknya dan meninggalkan Bu Dirga sendirian dimeja makan. Perempuan yang sudah berusia senja itu mengelap cairan bening yang meleleh dari sudut matanya. Selama tujuh tahun ini, dia merasakan gersang. Tak ada kehangatan dalam keluarganya. Dia kesepian, Elgar selalu pulang malam, bahkan kadang tak pulang. Begitu juga dengan Salsa. Sering bepergian keluar negeri dan baru pulang setelah berhari hari bahkan pernah sampai hampir satu bulan.
Tak ada keharmonisan yang dia rasakan. Hanya sepi yang dia rasakan di masa tua.
**Hai reader tercinta. Sesuai janji, author balik lagi bawa cerita Mila sama Elgar. Dia mantan suamiku adalah season 2 dari novel yang berjudul Dia suamiku.
Bagi yang belum baca S1, bisa mampir dulu ke Dia suamiku biar lebih jelas ceritanya**.
Elgar masuk kedalam kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Sebenarnya dia enggan berada dikamar jika ada Salsa. Tapi karena ponselnya tertinggal, terpaksa dia masuk untuk mengambilnya. Dilihatnya sang istri sedang mengemas pakaian kedalam koper.
"Aku akan keluar negeri untuk beberapa hari." Ucap Salsa tanpa menatap Elgar. Tangan dan matanya masih sibuk mengemas pakaian serta barang pribadi lainnya kedalam koper.
"Iya." Jawab Elgar dingin sambil meraih ponsel yang ada diatas nakas. Baginya bukan hal baru lagi Salsa keluar negeri hingga beberapa hari.
Rupanya jawaban singkat itu membuat Salsa geram. Sebenarnya bukan karena itu, sudah biasa Elgar menjawab seperti itu. Hanya saja mungkin karena moodnya yang lagi buruk gara gara disinggung soal anak, dia jadi uring uringan.
"Kamu gak nanya aku pergi untuk urusan apa dan dengan siapa?"
"Untuk menemui pria itu kan?" Sahut Elgar dengan senyum getir. "Aku bukan orang bodoh. Jadi aku tak perlu menanyakan sesuatu yang aku sendiri sudah tahu jawabannya." Jawaban yang begitu menohok hingga membuat Salsa naik pitam. Dia melempar baju yang dipegangnya lalu mendekati Elgar dengan mata berapi api.
"Bagus kalau kamu sudah tahu."
Elgar tak menyahuti. Dia tahu masalah akan semakin panjang jika diteruskan. Diam dan menghindar adalah jalan yang selalu dia ambil. Maka dari itu, dia memilih pergi meninggalkan Salsa.
"Tunggu!" Seru Salsa sesaat sebelum dia membuka pintu.
"Kamu tahu kenapa aku jadi gila seperti ini? Itu semua karena kamu El, karena kamu." Teriak Salsa sambil menunjuk kearah Elgar. Nafasnya naik turun karena emosi.
Elgar membalikkan badan lalu menatap Salsa.
"Berhenti menyalahkan aku Sa. Kenapa saat kamu berselingkuhpun, tetap aku yang salah." Elgar mengepalkan tangannya. Mati matian dia berusaha untuk tidak berteriak.
Perselingkuhan Salsa sudah lama dia ketahui. Bahkan Elgar sudah tahu nama, alamat dan apapun tentang pria itu. Tapi hatinya yang telah lama mati, seakan tak peduli dengan semua itu.
"Karena kamu penyebab aku selingkuh El. Karena kamu tidak pernah memberiku cinta dan perhatian sedikitpun." Tekan Salsa sambil menunjuk wajah Elgar.
"Ya, aku memang salah. Tapi pernahkah kau berusaha membuatku jatuh hati padamu seperti dulu. Saat cintaku mulai pudar, harusnya kau berusaha untuk membuatnya bersemi kembali, bukan malah lari kepelukan pria lain."
Salsa tersenyum getir mendengarnya. Tak pernah berusaha membuat cinta kembali bersemi? Sudah, dia sudah melakukan itu tapi selalu gagal dan gagal, hingga seorang pria datang dan menawarkan bahunya sebagai sandaran. Selalu menyeka air matanya dan membuatnya tertawa, hingga terciptalah sebuah hubungan tanpa status.
"Apa kamu mau kembali melakukan program kehamilan?" Tanya Salsa. Dia masih penasaran dengan apa yang diucapkan Elgar dimeja makan tadi. Dulu mereka pernah melakukan sekali, tapi gagal.
"Dua orang tersiksa sudah lebih dari cukup Sa. Tak perlu kita menambah daftar orang yang akan menderita didalam rumah tangga ini. Untuk apa kita punya anak jika kita tak bisa menjamin dia akan bahagia nantinya. Hubungan kita ini tidak sehat Sa."
Benar yang dikatakan Elgar. Untuk apa punya anak jika nantinya anak itu tidak bahagia. Sejak awal menikah, Salsa belum pernah hamil. Dokter bilang, itu semua karena gaya hidupnya yang tidak sehat. Salsa menjadi pecandu alkohol dan rokok sejak masih kuliah diluar negeri. Pernah dia mengikuti terapi agar alkoholism yang dideritanya bisa sembuh, nyatanya keadaan memaksanya untuk terus mengkonsumsinya lagi dan lagi. Pernikahan yang hambar tanpa cinta, membuatnya kian terpuruk pada alkohol.
Elgar meninggalkan Salsa menuju ruang kerjanya. Tempat dimana selama 7 tahun terakhir ini menjadi tempat yang paling dia sukai saat dirumah.
Maafkan aku Sa, aku sudah berusaha mencintaimu, tapi selalu gagal. Dan kamu yang memilih lari kedalam pelukan pria lain, membuatku putus asa.
...----------------...
Saga memasuki kamar mamanya dengan wajah cemberut. Bocah kecil yang masih memakai piyama gambar dino itu duduk ditepi ranjang sambil menatap mamanya yang sedang berkemas. Melihat wajah Saga, Mila tahu jika anaknya itu tengah merajuk. Dihampirinya Saga lalu duduk disebelahnya.
"Anak mama kenapa nih?"
"Beneran mama gak pulang nanti malam?"
Jadi itu masalahnya. Dipeluknya Saga dan dikecupnya keningnya lama.
"Hanya satu malam sayang. Besok mama udah pulang. Mama janji akan video call Saga nanti malam. Mama akan tetap bacain Saga dongeng sebelum tidur."
Ini memang yang pertama kalinya Saga ditinggal mamanya sampai menginap.
"Kalau saja Saga punya papa, mama pasti gak perlu kerja kayak gini."
Hati Mila seketika nyeri mendengarnya. Matanya berkaca kaca tapi sebisa mungkin dia tahan air mata agar tak menetes. Baginya, pantang menangis didepan Saga. Dia sudah bertekad akan hidup bahagia demi Saga. Dia tak mau anaknya itu melihatnya bersedih.
"Mah, salah Saga apa sih, kenapa papa gak mau nengokin Saga? Nelponpun, papa gak mau?"
Hati ibu mana yang tak remuk mendengar keluh kesah seperti itu dari bibir buah hatinya.Tak mampu lagi Mila menahan air mata. Dipeluknya putra Saga erat erat agar tak bisa melihat air matanya.
"Saga gak salah. Hanya saja papa tinggal ditempat yang jauh dan gak ada signal, jadi gak bisa telpon Saga. Papa sebenarnya sayang sama Saga."
Saga langsung melepaskan pelukan mamanya. Mata bocah itu seketika menyorotkan kebencian. "Kalau papa sayang, papa gak mungkin ninggalin kita ketempat yang jauh. Papa pasti disini sama sama kita. Papa itu jahat, Saga benci papa."
Mila menggeleng cepat sambil menangkup kedua pipi Saga. "Papa gak jahat. Papa Saga orang baik. Papa pergi karena ada alasannya. Nanti kalau Saga sudah besar, Saga akan ngerti kenapa kita gak bisa bareng bareng sama papa."
"Mama nangis?" Saga bisa melihat pipi mamanya yang basah.
"Enggak kok. Mama barusan menguap sampai keluar air mata." Bohong Mila sambil menyunggingkan senyum.
"Mama sedih karena teringat papa ya? Maafin Saga ya ma. Saga janji gak akan tanya tanya lagi tentang papa."
"Udah yuk mandi, nanti Saga telat loh kesekolah." Mila mengalihkan topik. Sejak dulu pembahasan tentang papa selalu saja membuat hati Mila teriris iris. Sejak Saga dalam kandungan, dia sudah berpisah dengan suaminya. Tak pernah ada kontak sama sekali sampai sekarang. Bahkan kemungkinan besar, mantan suaminya tak tahu jika ada Saga diantara mereka. Karena mantan suaminya tak tahu kalau dia hamil saat menalaknya dulu.
Mila membantu Saga bersiap siap lalu mengajaknya untuk sarapan.
"Hari ini Saga mau bawa bekal sandwich gak?" Tanya Mila sembari meletakkan segelas susu putih yang baru dibuatnya dihadapan Saga.
"Boleh bawa dua?" Pinta bocah itu.
"Of course." Mila segera menyiapkan dua buah sandwich isi selai strowberry kesukaan Saga. Sementara Saga, dia menyantap nasi goreng buatan neneknya yang sudah terhidang dimeja.
"Kamu jadi ke Bandung Mil?" Tanya Bu Rahmi yang baru keluar dari kamar. Wanita paruh baya itu sudah siap untuk mengantar Saga kesekolah dengan ojek online karena Pak Hadi masih sakit. Sedangkan Mila tak ada waktu karena harus segera ke kantor.
"Iya Bu." Jawab Mila sambil melihat ibunya sekilas lalu melanjutkan mengoles selai strawberry.
"Apa gak bisa kalau orang lain saja yang pergi. Perasaan ibu gak enak."
Mila menaruh sandwich yang sudah siap kedalam kotak bekal lalu mendekati ibunya.
"Jangan terlalu khawatir Bu. Mila akan baik baik saja."
Bu Rahmi menghela nafas lalu menepuk pelan lengan Mila. "Ibu harap ini hanya kekhawatiran saja, bukan firasat apa apa."
"Mila akan jaga diri dengan baik Bu." Hibur Mila sambil memeluk pinggang ibunya.
"Ibu akan selalu berdoa semoga kerjaan kamu lancar dan kamu selalu berada dalam lindungan-Nya."
"Aamiin.."
Sesampainya dikantor, Mila langsung menyiapkan segala dokumen dan apapun yang dibutuhkan selama di Bandung. Kebetulan Pak Raka, atasannya itu belum datang, jadi dia tak terlalu keburu buru. Tak berselang lama, Pak Raka datang dan lansung menghampiri Mila dimejanya.
"Udah siap?" Tanya Pak Raka.
"Udah Pak."
"Ya udah kita langsung berangkat."
Mila mengemasi barangnya lalu mengikuti Pak Raka turun ke lobi. Dia pikir Adam dan Weni menunggu dilobi, nyatanya tak tampak batang hidung kedua temannya itu.
Pak Raka tak berhenti di lobi, dia berjalan hingga keluar dan sudah ada mobil yang menunggu mereka.
"Gak nunggu Adam dan Weni dulu Pak?" Tanya Mila sesaat sebelum Pak Raka memasuki mobil.
"Sepertinya saya lupa memberitahu kamu. Mereka gak jadi ikut karena mendadak harus ikut Pak Bram meninjau pabrik."
Mila sedikit terkejut mendengarnya. Kenapa dia tak tahu sama sekali soal perubahan ini? Tiba tiba dia teringat ibunya. Teringat tentang ucapannya tadi pagi sebelum berangkat.
"Ayo Mil, udah siang." Ucapan Pak Raka mengagetkan Mila yang tengah melamun.
"I, iya Pak." Dengan langkah berat Mila memasuki mobil. Semoga saja semua ketakutan ibunya tak menjadi kenyataan. Pikirannya benar benar kacau saat ini.
"Kamu kenapa Mil, sakit?" Tanya Pak Raka yang melihat kecemasan diwajah Mila.
"Eng, enggak kok Pak." Mila berusaha untuk tetap tenang dan profesional. Ini bukan pertama kalinya dia pergi berdua dengan Pak Raka, jadi seharusnya dia tak perlu secemas ini. Dibuangnya jauh jauh perasaan was was itu.
Sesampainya di Bandung, mereka langsung bertemu klien. Tak aja kejanggalan sama sekali, bahkan hingga sore hari semuanya berjalan dengan lancar dan normal.
"Capek banget." Ujar Pak Raka begitu mereka kembali memasuki mobil selesai meeting. Pria berusia 45 tahun itu memijit mijit bahunya sebentar lalu menyandarkan punggung disandaran jok.
"Jadwal hari ini sudah selesai. Tinggal nanti malam saja meeting dengan Mister Smith." Terang Mila sambil memperhatikan tab ditangannya.
"Ya udah kalau gitu kita istirahat dulu dihotel. Saya sudah booking kamar dihotel tempat meeting nanti, biar kita gak perlu capek capek lagi." Pak Raka langsung menyuruh sopir menuju hotel angkasa tempat mereka akan menginap.
Mila langsung merebahkan tubuhnya diranjang begitu memasuki kamar. Kamarnya dan Pak Raka bersebelahan. Mila merasakan badannya pegal karena setelah menempuh perjalanan jauh, dia langsung meeting dan lain lain, hingga tak ada waktu untuk istirahat sama sekali.
Sudah jam 4 sore, biasanya Saga sudah bangun dari tidur siangnya. Diambilnya ponsel dan dihubunginya nomor ibunya.
"Hallo mama." Sahutan Saga dari seberang sana membuat lelah Mila seketika lenyap. Mila mengalihkan panggilan telepon ke video call.
"Hallo jagoan, gimana hari ini?" Tanya Mila sambil tersenyum pada Saga.
"Saga kengen mama." Rengek bocah itu.
"Sama sayang, mama juga kangen Saga, kangen banget."
"Mama ada dimana sekarang?"
"Mama lagi dihotel." Mila menunjukkan kamar tempatnya menginap pada Saga.
"Bagus sekali mah. Harusnya Saga ikut mama." Sahut bocah itu sambil mengerucutkan bibir, tanda kalau dia sedang merajuk karena tak diajak.
"Jangan sedih gitu dong. Lagi kali, mama ajak Saga jalan jalan dan menginap dihotel." Bujuk Mila.
"Beneran Ma?" Wajah Saga seketika berseri seri.
"Iya sayang."
"Mah, ada kolam renangnya gak dihotel?"
"Kayaknya sih ada." Mila berjalan menuju balkon untuk memastikan. Dan benar saja, ada kolam renang dibawah. "Tuh lihat." Mila mengarahkan kamera ponselnya pada kolam renang.
"Kolamnya bagus banget mah."
Tak hanya kolam, Mila mulai mengarahkan ponselnya kesekitaran untuk menunjukkan betapa indah hotel tempatnya menginap. Tapi tiba tiba, jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia melihat orang yang sangat dia kenal berdiri dibalkon yang berjarak dua kamar dari tempatnya berdiri saat ini.
"Mah, mamah, mah." Panggil Saga karena Mila hanya diam saja. Ponselnya juga tak lagi bergerak, terfokus pada seorang pria yang berdiri dibalkon dengan sekaleng soft drink ditangannya.
Mila masih bergeming, tak menyadari panggilan Saga.
"Mah, siapa om itu?"
"Papa."
"Papa!" Seru Saga mengulangi ucapan Mila.
"Hah." Mila seketika gelagapan menyadari dirinya sudah keceplosan. Buru buru dia masuk kedalam kamar dan memutar kamera ponsel untuk memperlihatkan wajahnya.
"Papah ma? Itu tadi papanya Saga? Mama lagi sama sama papa? Papa udah pulang ya ma?" Saga langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan yang semuanya sulit untuk dijawab.
"Mamah, kenapa mamah diam aja. Mana papa, Saga mau ngomong saja papa. Saga mau bilang Saga kengen. Cepetan mah, kasih teleponnya kepapa." Rengek Saga yang tidak sabar. Bagaimana tidak, bocah kecil itu belum pernah melihat wajah papanya sama sekali.
"Sa, Saga salah dengar. Mama tadi bilang Pak Pram, bukan papa." Elak Mila.
"Enggak, mama tadi bilang papa. Om tadi papanya Saga kan mah?"
Mila mengarahkan kamera ponsel kearah lain. Dia tak mau Saga melihatnya menangis. Anaknya itu sangat merindukan sosok papa. Saga ingin sekali bertemu papanya, dia sangat tahu itu.
"Mama, mama."
Mila cepat cepat menyeka air mata lalu kembali mengarahkan kamera kewajahnya.
"Om tadi teman kerjanya mama. Namanya Pak Pram. Saga salah dengar sayang." Mila terpaksa berbohong.
Saga tampak kecewa, membuat Mila tak tega melihatnya. "Sayang, mama dipanggil bos, udah dulu ya, bye." Mila langsung menutup sambungan telepon bahkan sebelum Saga membalas salamnya. Tangisnya pecah, dadanya sesak seperti terhimpit sesuatu yang besar. Kasihan sekali Saganya, bocah kecil tak tahu apa apa yang ikut merasakan dampak dari perpisahannya dengan Elgar.
Mila terduduk lemas dirajang. Setelah 7 tahun yang berat, dia kembali bertemu dengan pria itu. Elgar, mantan suaminya.
Mila meletakkan ponselnya diatas ranjang. Dengan langkah berat, dia kembali menuju balkon. Dia ingin memastikan apakah benar Elgar yang baru saja dilihatnya tadi.
Jantung Mila berdentum dengan sangat kuat saat kakinya menginjak balkon. Diatariknya nafas dalam dalam lalu membuangnya perlahan sebelum menoleh kearah tempat Elgar berdiri tadi. Dan saat dia menoleh, ternyata pria tadi sudah tak ada ditempatnya.
Kaki Mila terasa lemas, dia menarik kursi yang ada dibalkon lalu duduk disana.
"Apakah aku hanya berhalusinasi? Pria tadi, kenapa mirip sekali dengan Elgar?" Mila bermonolog. Meski tak setampan dulu dan terlihat lebih tua serta tampak tak terurus, Mila masih sangat bisa mengenali Elgar.
Sudah tujuh tahun, tapi kenapa rasa itu tak berkurang sedikitpun. Tujuh tahun dia berjuang melawan rindu yang begitu menyiksa. Tujuh tahun terberat dalam hidupnya yang dia lalui dengan air mata yang tak pernah kering.
Mila pikir akan bisa melupakan Elgar seiring berjalannya waktu. Tapi takdir justru membuatnya tak bisa melupakan Elgar. Wajah Saga yang begitu mirip dengan Elgar membuatnya makin merindukan mantan suaminya itu.
Air mata Mila meleleh jika ingat pagi itu. Selepas sholat subuh berjamaan.
Ayo kita berpisah. Karmila kenanga, hari ini, aku jatuhkan talakku padamu.
Ucapan itu masih selalu Mila ingat. Bahkan seperti apa raut wajah Elgar saat mengatakannya, dia masih ingat betul.
Mila menyentuh kalung yang dipakainya. Kalung pemberian Elgar yang tak pernah sekalipun dia lepas. Sebelah tangannya bergerak untuk menyalakan ponsel. Ditatapnya foto Saga yang menjadi wallpaper diponselnya. Kasihan sekali anak itu, sejak lahir tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.
Elgar sudah milik orang lain, sudah punya kehidupan sendiri. Bahkan mungkin, dia juga sudah memiliki anak dengan Salsa. Dia tak mau mengacaukan kehidupan Elgar. Saga, biar dia sendiri yang mengasuh dan menghidupi putranya itu. Toh sekarang dia sudah mapan. Berkat uang 2M dari Pak Dirga, dia bisa lanjut kuliah dan sekarang memiliki pekerjaan yang bagus. Dia juga sudah menjual apartemen dari Elgar lalu membeli rumah yang sekarang dia tinggali bersama ibunya dan Saga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!