NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Dosen Pengganti

Rahasia Yang Terbongkar

Sore itu adalah hari terakhirku berada di kampung halaman. Aku akan berangkat ditanah perantauan untuk melanjutkan pendidikan. Ya, kebanyakan masyarakat di desaku memilih tanah rantau untuk mendapatkan gelar sarjana. Menjadi seorang mahasiswa adalah cita-citaku saat duduk di bangku SMA. Dengan bekal ketupat dan sedikit uang aku bersiap menuju pelabuhan.

“Kamu hati-hati disana ya, nak, jangan tidur terlalu larut, jaga pola makan dan yang paling penting jaga pergaulanmu” kata mama menasehatiku.

“Iya, ma.” jawabku sambil mencium tangannya.

“Mama percaya sama kamu, kamu bisa memegang amanah” lanjut mama dengan tulus.

“Terima kasih, ma, aku berangkat ya.” aku pamit seraya keluar rumah.

Oh iya, namaku Nayla, anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertamaku baru menyelesaikan studinya di salah satu sekolah tinggi di kotaku, kakak keduaku sementara kuliah di kampus islam yang ada di luar kota sedang adikku masih duduk di bangku SMA kelas 1. Kami terbilang keluarga kurang mampu. Namun orang tuaku selalu berusaha yang terbaik untuk menyekolahkan kami.

Kasih sayang merekalah yang membuat kami kuat untuk tetap berdiri. Mereka tidak pernah mengeluh walau harus meminjam pada tetangga untuk membayar biaya pendididkan kami.

Kami terbilang keluarga harmonis dan sangat akur. Ya, bukan hanya aku yang mengakui itu tapi para tetangga kerap bilang seperti itu, ketika hari raya. Setiap hari raya kami selalu jalan bersama untuk bersilaturahim kepada sanak saudara dari bapak maupun mama.

Saat aku berada di perantauan, mama kerap kali menelpon untuk sekedar menanyakan keadaanku. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat peduli padaku. Rasa syukur itu aku ungkapkan melalui kegigihanku dalam belajar.

Hingga aku masuk semester lima, semangat belajarku tetap ada. Di semester lima umurku sudah menginjak 21 tahun. Itu artinya sudah 21 tahun akau merasakan kasih sayang yang luar biasa. Kasih sayang yang kita rasakan selama itu tidak akan mampu digoyahkan dengan apapun. Walau fakta lain terungkap.

Saat itu, aku masih mengikuti rapat untuk pemantapan kegiatan tahunan di kampusku.

“Assalamu’alaikum…,” sapa seorang pemuda yang aku taksir umurnya sekitar 25 tahunan. Dari penampilannya, kelihatan dia orang kaya.

“Wa’alaikumsalam...,” jawab kami serentak.

Pemuda itu menunujukan sebuah foto pada pemimpin rapat. Aku tidak tau apa yang ada di foto itu hingga pemimpin rapat memanggilku maju ke depan. Spontan pemuda itu memeluk erat tubuhku. Hal itu membuat para peserta rapat melongo. Aku memberontak berusaha melepaskan pelukannya.

“Maaf, kamu siapa berani-beraninya meluk orang sembarangan!?” ucapku penuh amarah ketika berhasil melepaskan pelukannya.

Pemuda itu tidak langsung menjawab, dia malah menangis memandangiku. Aku tidak mengerti dengan kelakuannya, yang datang menghentikan rapat dan berani memelukku.

“Aku, kakakmu!” ungkapnya parau karena menangis.

“Maaf, anda salah orang, kakakku hanya dua.” jawabku sopan.

“Aku, kakakmu dik.” ungkapnya lagi.

Aku terus mengelak jika dia bukan kakakku, ya aku hafal betul bagaimana wajah dari kedua kakakku walaupun sudah satu tahun belum bertemu. Hingga datanglah seorang ibu yang menghampiri kami. Aku memperhatikan ibu itu adalah orang tua dari pemuda yang ada dihadapanku. Aku pikir ibu itu akan datang menarik anaknya yang bertingkah konyol di kampusku.

Namun diluar dugaan, ibu itu menangis dan memelukku seperti apa yang dilakukan pemuda tadi. Aku makin bingung dengan perlakuan mereka. Karena merasa tidak enak telah mengacaukan rapat, aku keluar ruangan menuju parkiran.

“Maaf, kalian siapa, ya? apa kalian mengenal aku atau keluargaku?” tanyaku hati-hati pada mereka. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu itu malah meminta aku untuk memeperlihatkan lengan.

“Boleh bunda lihat lengan kananmu, nak?” tanyanya seraya mnghapus air mata.

Dengan muka bingung aku memperlihatkan lengan kananku yang terdpat dua tanda lahir. Melihat tanda lahirku, ibu itu kembali menangis dan memelukku.

“Nayla, ini bunda, nak. Bunda yang melahirkanmu..hiks..hiks” jelas ibu itu disela tangisnya.

Mendengar penuturannya, spontan aku melepaskan pelukannya.

“Maaf, mungkin anda salah orang. Mamaku ada di kampung.” kataku meyakinkan.

“Boleh bunda minta nomor mamamu di kampung, nak?" ucap ibu yang mengaku orang tuaku itu dengan lembut.

Aku menyebutkan nomor mama yang telah aku hafal mati. Setelah mencatat nomor mama, dia menelpon dengan speaker aktiv.

“Assalamu’alaikum” ucap mama diujung telpon.

“Wa’alaikumsalam, apa betul ini dengan ibu Sri?” tanya ibu itu sopan.

“Iya betul, anda siapa, ya?” tanya mama. Aku hanya mendengarkan percakapan mereka.

“Aku, Sintia Maharani, apa ibu masih ingat?” jawab ibu itu.

Sejenak mama diam, aku tidak mengerti kenapa mama terdiam ketika mendengar nama yang di sebutkan oleh ibu yang mengaku orang tuaku.

“Aku masih ingat, bu. Maaf, ibu untuk apa ya menelponku? apa ibu mau mencoba membunuh bayi ibu yang lainnya?” jelas ibu sopan namun tegas.

Spontan ibu yang didepanku menangis.

“Maaf, bu, saat itu tidak seperti yang ibu lihat. Aku tidak ada niat sama sekali membunuh darah daging sendiri. Tolong, bu, aku ingin anak aku kembali.” jelas ibu itu diselah tangisnya.

“Tidak bisa! Setelah 21 tahun aku menyayanginya, ibu dengan gampangnya meminta dia sebagai anakmu? maaf, dia anak aku sampai kapanpun itu.! Jelas ibu berapi-api.

“Apa anak itu sekarang kuliah di Jakarta bu?" tanyanya lagi.

“Tidak ada urusannya sama ibu. Tolong jangan ganggu dia.” jawab mama lagi.

“Apa dia mengambil jurusan sastra bu?” orang tua di depanku tidak berhenti bertanya walau sudah dimarahi mama.

“Pokoknya tidak ada urusannya dengan ibu.” jelas ibu tegas.

“Kalau memang benar, berarti Nayla adalah anak aku. Dia sudah tumbuh menjadi gadis cantik." ucap ibu itu lagi.

“Maksud ibu, apa?” tanya mama penasaran.

“Iya, Nayla ada di depanku. Aku datang menemuinya. Tolong izinkan aku untuk memintanya kembali, bu.” ungkap ibu itu dengan tersedu-sedu.

“Tidak bisa! dia anakku. Kamu tidak berhak mengambilnya kembali.” marah mama pada ibu yang mengaku orang tuaku.

Mendengar percakapan mereka, aku tidak tahan lagi. Segera aku berlari menuju belakang kampus untuk meluapkan air mata yang sudah mendanau.

“Nayla! Nayla, tunggu, dik.” panggil pemuda yang tadi memelukku.

Aku tidak peduli, aku terus saja berlari hingga kaki ini tidak lagi mampu untuk menopang tubuhku. Sejenak pandanganku buram, gelap. Aku pingsan.

***

“Aku dimana, ma?” tanyaku pada mama ketika kesadaranku mulai kembali.

“Kamu di rumah sakit sayang. Kemarin kamu pingsan di kampus.” jelas mama dengan lembut.

“Ma, apa benar apa yang aku dengar kemarin?” tanyaku hati-hati.

Terlihat mama menghela napas.

“Iya sayang, kamu memang buka anak kandung mama. Tapi kamu harus percaya kalau mama sayang sama kamu.” ungkap mama dengan penuh kasih sayang.

Aku menangis lalu bangkit untuk memeluknya. Saat aku sedang memeluk mama, orang yang mengaku ibu kandungku datang bersama pemuda yang mengaku kakakku.

“Nayla, maafkan bunda. Bunda sayang sama kamu” ucapnya berusaha mendekatiku.

Aku menepis tangannya yang berusaha membelai rambutku.

“Anda siapa? aku hanya punya satu mama. Anda jangan ngaku-ngaku.” jelasku padanya.

“Maafkan bunda, nak, bunda tidak berniat menyakitimu.” jelasnya dengan air mata.

“Sayang, dia bunda yang melahirkan kamu. Kamu harus memaafkan kesalahnnya dimasa lalu, biar bagaimanapun dialah yang melahirkanmu.” nasihat mama dengan lembut.

Karena aku orangnya penurut sama mama, jadi aku ngikut dengan nasihat mama.

“Baiklah, aku akan memaafkan anda. Tapi anda jangan lagi menemuiku.” jelasku padanya.

“Tolong panggil aku dengan sebutan bunda.” katanya lagi.

Aku menoleh pada mama, dan mendapati anggukan dari mama.

“Iya, bunda.” kataku pelan.

Dia menangis dan memelukku penuh haru, begitu juga pemuda yang mengaku kakakku. Air matanya terus saja mengalir.

“Terima kasih, sayang, kamu telah memaafkan bunda. Demi memenuhi permintaanmu, bunda tidak akan menemuimu lagi.” jelasnya. Aku rasa badannya seketika lemas dipelukanku, dan ya dia tumbang. Seketika pemuda itu memeluknya.

“Bunda…bunda..hiks..hiks bangun bunda.” pemuda itu menggoyang-goyangkan tubuh bunda.

Mengetahui bunda telah meninggal, aku seketika memeluknya.

“Bunda, bunda bangun.. Nayla sudah memaafkan bunda. Nayla hanya bercanda melarang bunda menemuiku lagi, bunda bangun hiks..hiks.”

Aku terus saja membangunkan bunda, namun sayang tuhan berkehendak lain. Bunda telah pergi memenuhi panggilannya.

Kepergian Bunda

Senja berlalu meninggalkan bumi, shalawat di setiap masjid telah berbunyi menandakan azan magrib akan segera dikumandangkan. Namun, kaki ini berat untuk meninggalkan gundukan tanah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah yang tertabur diatasnya.

“Nayla, pulang yuk sudah magrib.” ajak mama padaku namun aku tak bergeming sedikit pun.

“Nayla, mama minta maaf selama ini mama tidak menceritakannya padamu. Mama takut kamu sedih mengetahui fakta ini, mama juga tidak mau kehilangan kamu. Dulu saat kamu umur enam bulan, mama bertemu dengan orang tua kandungmu meraka memintamu kembali. Mama mengembalikanmu pada mereka, namun mama merasa kehilanganmu hingga mama nekat menculikmu dari mereka..hiks..hiks.”

Mama menjelaskan dengan deraian air mata yang mengalir dipipinya.

“Kenapa aku sampai ada sama mama?” Tanyaku penasaran dengan jalan hidupku yang terjadi bagai mimpi.

“21 tahun lalu, mama melahirkan di sebuah rumah sakit yang ada di kota. Namun, anak yang mama lahirin diambil kembali oleh Allah, mama kehilangan dia saat lahir. Disaat itu pula kamu lahir. Kamu dibawa oleh suster ke ruangan dimana bundamu di rawat setelah lahiran. Ranjang bundamu berdampingan dengan ranjang mama, jadi mama bisa lihat apa yang sedang bundamu lakukan. Bundamu menutupi kepalamu dengan bantalnya, dia berusaha membunuhmu namun aku menggagalkannya. Bunda dan ayahmu dulu kehilangan harapan untuk merawatmu, perusahaan ayahmu dalam masalah sehingga mereka harus ke luar negri untuk menyelesaikan masalah itu. Karena mereka berpikir kamu akan menyusahkan mereka saat memperbaiki perusahaan, maka kamu akan dibunuh. Disitulah aku meminta untuk merawatmu saja”

Jelas mama menerawang ke masa lalu, masa yang menjadikannya sebagai malaikat tanpa sayap hingga saat ini.

“Ya, sudah sekarang kita pulang yuk, sudah azan.” Mama meraih tanganku.

Aku berjalan dalam kebisuan, begitu pula dengan mama dan laki-laki yang mengaku sebagai kakaku, sedangkan bapak dan kakak-kakakku masih diperjalanan. Pikiranku melayang ke masa lalu. Hingga pikiran-pikiran tentang keluargaku terbayang. Kasih sayang dari mama dan bapaku yang sudah aku anggap sebagai orang tua kandungku, kasih sayang dari kedua kakakku yang tidak pernah hilang. Hingga aku tidak percaya bahwa aku hanyalah anak angkat.

Tiba di rumah, aku dan mama langsung melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Aku khusuk dengan do’a. Air mata tak henti mengalir bak air terjun yang bebas meluncur. Aku berterimah kasih pada Allah, karena mengirimkan malaikat padaku. Hingga azan isya menghentikan do’aku.

Setelah melaksanakan sholat isya, aku enggan untuk keluar kamar. Aku duduk di sebuah kasur empuk yang ada di kamar itu. Karena pikiran kacau, aku tidak ada waktu untuk mengagumi kemewahan setiap desain yang ada di kamar itu. Hingga pikiranku terhenti dengan keributan diluar.

“Kalian keterlaluan telah menculik putri kami. Apa kalian tau, kelakuan kalian itu mengakibatkan depresi pada istriku hah?”

Bentak lelaki paruh baya pada mamaku. Aku tidak tahan melihat mama dibentak oleh orang lain. Sebelum kata-kata dari orang itu makin menusuk hati mama, aku segera berlari untuk menolong mama.

“Maaf, anda tidak berhak membentak mamaku!” Aku berbicara dengan nada tinggi.

Seketika air mata laki-laki paruh baya itu mengalir, entah apa yang membuatnya menagis aku juga tidak mau tau. Hingga suara pemuda yang mengaku sebagai kakakku masuk.

“Ayah!"

Dia memeluk laki-laki paru baya itu sambil menagis, begitupun sebaliknya. Mereka saling memeluk dalam tangisan, hingga muncul satu pemuda lagi.

“Maaf, pak, ada tamu di luar katanya bapak dan saudaranya Nayla. Aku sudah bilang tidak ada nama Nayla disini, tapi mereka bersikeras.” Ucapnya dengan sopan.

Mendengar itu, aku langsung berlalri keluar dan memeluk sosok bapak yang sangat menyayangiku itu. Air mataku kembali tumpah dalam pelukannya begitupun dengan kedua kakakku, mereka ikut menangis ketika bertemu denganku. Sementara pemuda yang tadi menyampaikan adanya bapak kebingungan.

“Maaf, apa kamu yang namanya Nayla?" tanya pemuda itu. Aku tidak memperdulikannya dan mengajak bapak serta kedua kakakku masuk.

Saat kami masuk, suasana kembali tegang. Dia menatap bapak seolah ingin menelan hidup-hidup. Belum sempat dia bicara, aku langsung mengajak mama, bapak serta kedua kakakku untuk pergi dari sana.

“Ma, Pa, sebelum malam semakin larut lebih baik kita kembali ke kosku sekarang.” Ajakku pada mereka.

Namun sebelum aku meraih tangan mama, lelaki paru baya itu memelukku sangat erat.

“Jangan pergi, nak, tetaplah disini bersama ayah. Ayah tidak mau kehilangan kamu lagi..hiks..hiks” tangisnya pun pecah.

Aku enggan membalas pelukannya, karena aku kecewa dia telah membentak malaikat dalam hidupku. Air mataku pun tidak lagi ada, mungkin telah kering akibat keluar seharian. Perlahan aku melepaskan pelukannya.

“Maaf, besok aku harus kuliah dan semua barang-barangku juga ada di kos.” Ucapku dingin.

“Nanti aku suruh Fahmi yang ambil semua barangmu kesini.” Jawabnya.

Disaat aku berdebat dengan lelaki paruh baya yang tak lain adalah ayah kandungku, pemuda yang mengaku kakakku menghampiri mama.

“Tante, tolong bujuk Nayla untuk tetap disini aku tidak mau kehilangan adikku lagi. Tolong, tante, biarkan kami menebus kesalahan kami dimasa lalu.” Ucapnya memohon.

Tanpa menjawab permohonan dari pemuda itu, mama langsung menghampiriku.

“Kamu tetap disini, nak, ini adalah rumahmu juga. Kasihan ayah dan kakakmu jika harus kehilangan kamu lagi. Mama, bapak dan kakak-kakakmu akan disini malam ini. Besok kami harus balik di kampung karena adikmu hanya sendiri.”

Ucap mama dengan senyum paksa, aku tau mama juga tidak mau kehilanganku

“Tidak, ma, aku akan pulang sama kalian. Aku tidak mau disini.” Tolakku.

“Tidak bisa, sayang. Kamu kan harus kuliah, ingat janjimu sama mama kamu harus jadi sarjana.”

“Baiklah, aku akan tetap di kota ini tapi tetap tinggal di kos.” Putusku frustasi.

“Sayang, kan ada ayah sama kakakmu disini masa kamu masih tinggal di kos padahal punya rumah.”

“Iya, nak, kamu tinggal disini sama ayah dan kakakmu. Ayah tidak mau jauh lagi darimu sayang.” Kini lelaki paruh baya itu yang buka suara.

“Tidak mau, aku akan menerima anda sebagai ayah dan dia sebagai kakak kandungku dengan catatan aku tetap tinggal di kos!” Bentakku.

“Baiklah jika itu yang kamu mau, yang penting kamu mau menerima ayah sebagai ayahmu dan Dirga kakakmu, ayah setuju. Tapi, izinkan ayah untuk menafkahimu.” Ungkapnya pelan.

***

Sejak terungkapnya masa lalu tentang diriku, rasa sayangku pada mama dan bapak serta keluargaku tidak berkurang. Aku telah menganggap kejadian itu tidak pernah ada, aku tetap aktiv dengan berbagai aktivitasku di kampus. Hingga pemuda yang tak lain adalah Fahmi yang bekerja di perusahaan ayah muncul.

“Maaf, mbak, pak Anton ingin bertemu dengan mbak.” Ucapnya sopan.

Tiga sahabatku lansung menoleh ke sumber suara, tepatnya di belakang mereka. Mereka terpesona dengan wajah sang supir, ya aku menganggapnya supir karena selalu ngotot mau ngantarin aku kemana-mana.

.

Masa Lalu

“Kenapa ayah tidak menelponku secara langsung?” jawabku ramah.

Walaupun aku punya masalah besar yang hampir saja membuatku putus asa, tapi aku tetap menjaga sopan santun.

“Katanya ada hal penting yang harus dibicarain, makanya beliau memintaku untuk menjemput mbak Nayla langsung.”

“Ya sudah. Teman-teman, aku duluan ya.” Aku meraih tas ransel kesayanganku.

“Eh, Nay, kamu belum bayar.” Ucap Lala.

“Ira yang bayar, kan tadi dia yang maksa aku buat datang disini.” Jawabku hendak berdiri.

“Kamu aneh banget sih, Nay, punya kartu kredit serta ATM yang nominalnya banyak tidak pernah dipake. Malah nyiksa diri dengan makan nasi sama sambal tiap hari.” Celetuk Lala, sahabatku.

“Huss.. kamu jangan gitu, La.” Ucap Nani menimpali.

“Ya udah deh, kalian lanjut aja ngomongin aku, ya. Aku mau pergi Assalamu’alaikum.” Ucapku berlalu meninggalkan sahabatku.

Di dalam mobil hanya aku dan Fahmi. Kemacetan membuat kami berlama-lama dalam mobil dengan keheningan bak sedang sendiri.

“Hmmm, aku boleh nanya?” tanyaku sopan.

“Boleh, tanya aja mbak.” Jawabnya fokus pada jalan di depan.

“Eh, kamu panggil saja aku Nayla jangan mbak, aku kan lebih muda dari kamu. Dan aku akan manggil anda dengan sebutan kakak, Aku sudah terbiasa memanggil orang yang lebih tua denga panggilan kakak.” Ucapku yang hanya di lirik oleh Fahmi.

“Ayah itu orangnya gimana sih? Dan kak Dirga kenapa tinggal di luar Negri? Almarhumah bunda apa mencariku?” tanyaku penasaran.

“Ayah sama bundamu itu sosok yang sangat penyayang, selama 21 tahun ayah sama bundamu sering uring-uringan mencarimu. Bundamu frustasi tidak kunjung menemukanmu hingga penyakit yang dia alami tidak lagi dihiraukannya, karena menemukanmu adalah prioritas utamanya. Hingga Dirga tidak sengaja bertemu dengan kakakmu di kampung. Mereka berteman, hingga kakakmu mengajak Dirga ke rumahnya, disitu Dirga melihat fotomu.” Jelasnya menerawang.

“Lalu, kenapa kak Dirga begitu yakin kalau aku adiknya?” tanyaku lagi. Aku bertanya pada kak Fahmi karena aku tau sejak kecil kak Fahmi sudah mengabdi pada ayahku.

“Dia melihat tanda lahir di lenganmu, juga melihat mama dan bapakmu yang persis dengan foto yang diberikan oleh bundamu. Setelah lama mereka berteman, Dirga menceritakan semuanya pada kakakmu dan meminta menemuimu. Awalnya kakakmu menolak permintaan Dirga, tapi saat mengetahui bundamu masuk rumah sakit dan sekarat, kakakmu menyebutkan alamat kuliahmu serta mengirimkan fotomu di WA nya.”

Tak terasa air mataku mengalir, aku ingin bertemu dan minta maaf sama bunda. Selama ini aku sudah salah menilai bunda. Aku berdosa padanya. Melihat aku menangis, kak Fahmi khawatir.

“Eh, kok malah nangis mbak. Eh, Nay?”

“Antarkan aku ke makam bunda.” Pintaku tanpa menjawab kekhawatirannya.

Kak Fahmi langsung membelokkan mobil menuju TPU, dia menepikan mobil setelah mendapat tempat yang pas untuk parkir.

Selama di makam bunda, aku menceritakan banyak hal tentang kisah hidupku pada bunda. Air mata mewarnai kisahku saat bercerita. Tak jarang juga aku tersenyum dikala cerita bahagiaku.

Setelah 30 menit aku mengadu pada bunda, aku kembali ke mobil untuk melanjutkan perjlanan menemui ayah..

“Assalamu’alaikum,” sapaku pada ayah ketika memasuki ruang kerjanya.

“Wa’alaikumsalam, masuk sayang.” Jawabnya.

Aku masuk, diikuti oleh kak Fahmi yang membawa kopi untuk ayah. Saat kak Fahmi pamit untuk keluar, ayah menyuruhnya mengerjakan tugas ayah.

“Fahmi, tolong kamu bantu aku untuk menyelesaikan proyek kemarin yang tertunda ya, kamu pake saja komputerku.”

Kak Fahmi menyanggupi dan langsung menuju meja kebesaran ayah. Aku penasaran, kok kak Fahmi yang hanya sebagai supir bisa ngerjain proyek ayah?.

“Fahmi itu bukan supir, dia manager di perusahaan ini. Hanya terkadang ayah menyuruhnya untuk menjemputmu karena dia orang yang ayah percaya.” Jelas Ayah seolah tau isi pikiranku.

“Oh,” jawabku cuek.

“Oh ya, ayah kenapa manggil aku kesini?” Tanyaku penasaran.

“Ada hal penting yang ayah ingin sampaikan padamu.” Jawab ayah.

“Iya yah, maksud Nayla hal penting apa? Nayla tidak punya banyak waktu. 1 jam lagi Nayla harus balik ke kampus ada rapat yang harus Nayla hadiri.” Ungkapku panjang lebar.

“Apa tidak boleh diwakili?” tanya ayah.

“Tidak bisa, ayah, Nayla sekretaris. Nayla harus selalu hadir dalam rapat itu.”

Ya, aku yang menjabat sebagai sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa harus hadir pada setiap rapat yang diadakan. Sebagai lembaga tertinggi di tingkat fakultas, mengharuskan kami sebagai pengurus selalu mengadakan pertemuan.

“Baiklah, sebenarnya ayah memanggil kamu kesini karena ayah ingin kamu segera menikah dengan pilihan ayah.” Jelas ayah.

Deggg,! Pernyataan ayah bagai petir disiang hari.

“Maksud ayah, apa? Aku masih kuliah dan belum mau menikah sekarang. Aku ingin bahagianin bapak sama mamaku.” Aku tidak terima dengan pernyataan ayah.

“Ayah ingin melihat kamu bahagia sayang, ayah yakin pilihan ayah bisa membuat kamu bahagia. Jadi suatu saat nanti jika ayah telah menyusul bunda, ayah bisa tenang. Bunda juga pasti setuju dengan keputusan ayah, bunda juga sangat sayang pada pilihan ayah.”

“Kenapa ayah mengatur hidup Nayla? Apa ayah belum puas telah meninggalkan Nayla? Sampai kapanpun aku tidak mau menikah dengan pilihan ayah.”

Aku berdiri dan hendak keluar dari ruangan menyebalkan itu, tanpa memperdulikan panggilan ayah.

“Kalau kamu tidak mau menikah dengan pilihan ayah, bapak kamu akan masuk penjara karena telah menculikmu dari ayah dan bunda 21 tahun lalu.” Teriak ayah, saat aku hendak menutup pintu.

“Jangan coba-coba mengganggu keluargaku kalau ayah masih ingin aku anggap sebagai orang tuaku.” Ancamku pada ayah.

“Ayah tidak akan mengganggu mereka jika kamu mau menikah dengan pilihan ayah. Ini semua juga ayah lakukan demi kebahagiaanmu, sayang.”

“Apa ayah pikir dengan memaksaku menikah dengan pilihan ayah yang belum pernah aku kenal sebelumnya bisa membuatku bahagia? Apa ayah pikir dengan mengancam memenjarakan bapakku aku akan senang? TIDAK! Yah, kebahagiaanku hanya satu tetap menjalani hidup seperti sebelumnya. Aku tidak ingin jalan hidupku berubah hanya karena masa lalu. Dan ini, aku kembalikan kartu kredit serta ATM yang pernah ayah berikan padaku. Nominalnya masih utuh, satu rupiah pun aku tidak menggunakannya.”

Aku meletakkan kartu kredit serta ATM diatas meja, lalu berlari keluar ruangan. Dari luar aku masih mendengar ayah menyuruh kak Fahmi untuk menyusulku. Aku tidak peduli dengan tatapan para karyawan ayah yang kebingungan. Mungkin mereka pikir aku menangis karena tidak diterima kerja di perusahaan itu, apalagi aku sedang memegang map persis orang melamar kerja.

Saat tiba di depan lift, aku bingung bagaimana cara masuknya karena aku belum pernah menggunakannya sendiri. Hingga ada salah seorang karyawan menekan tombol, entah tombol apa sehingga pintu lift terbuka. Aku ikut masuk bersamanya, aku pikir lift itu akan membawaku ke lantai dasar. Nyatanya tidak, aku malah kesasar di lantai 8.

Saat keluar dari lift, aku mencari tangga darurat untuk turun. Tidak peduli berapa tenagaku yang akan terkuras ketika melewati tangga. Yang ada dalam pikiranku hanyalah pergi dari kantor ayah.

Saat tiba di lantai 4, kepalaku mendadak Pusing. Semua menjadi buram dan gelap, aku pingsan dilantai 4

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!