NovelToon NovelToon

The Novelist'S Secret Lover

1. Angin Musim Gugur

"Kau yakin turun di sini? Coffe shop itu bahkan belum buka!" Martin Myers bertanya pada Gabriela, istrinya.

"Yahh, tak apa. Farah bilang ingin bertemu pagi ini di sini!" Gaby membuka pintu mobil. Sebelum turun, dia mendaratkan ciuman kecil di pipi Martin.

"I love you, Honey," bisik Martin mesra.

"I love you too," balas Gaby sembari melempar senyuman lembut. "Berhati-hatilah. Jangan ngebut!" pesan Gaby, lalu keluar dari mobil.

"See you later!" ujar Martin sambil mengecek pintu mobil yang barusan ditutup istrinya. Gaby melambaikan tangan dan menepi.

Pria tampan berpenampilan bersih dan berkaca mata itu mengarahkan mobil untuk kembali melaju menuju kantornya di sebuah lembaga riset dan penelitian. Dia adalah salah seorang ilmuwan peneliti di sana.

Gaby melihat coffe shop yang dia dan Farah jadikan tempat pertemuan. Sekarang pukul enam pagi. Entah toko itu tutup, atau dia yang datang kepagian. Akhirnya wanita itu memutuskan menunggu di bangku taman yang dipasang pemerintah kota di sepanjang trotoar rindang di boulevard.

Dikeluarkannya ponsel dari tas kecil yang menyilang tubuhnya. Melakukan panggilan telepon pada Farah.

"Iya, sebentar lagi aku sampai. Aku sedang di lampu merah depan toko Farmasi," Farah langsung nyerocos begitu mengangkat telepon.

"Syukurlah. Tapi aku mau bilang, bahwa coffe shop itu ternyata belum buka jam segini. Jadi aku menunggumu di bangku taman di kanan toko itu!" Gaby menjelaskan.

"Oke. Nanti kita cari coffe shop lain yang sudah buka!" Farah menutup pembicaraan.

Gaby menggenggam ponselnya dan melihat ke arah kanan, di mana mobil Farah akan muncul. Udara dingin pertengahan musim gugur, sudah terasa menggigilkan. Dirapatkannya long coat dan neck cover flanel ke dada untuk mengusir hawa dingin.

Dengan irama teratur, tumit sepatu boot-nya mengetuk paving blok trotoar. Matanya menatap ke langit dengan penuh perhatian. Menjelang musim dingin, burung-burung di utara akan bermigrasi ke selatan yang lebih hangat.

Berbondong-bondong burung terbang melintasi kota mereka setiap tahun. Tangannya membuka kamera ponsel dan mencoba membidik pemandangan indah di langit pagi.

"Kenapa pula aku lupa membawa kamera hari ini?" sesalnya.

Padahal autum adalah season favoritnya. Tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin. Dan di saat ini, alam bisa terlihat sangat cantik dalam nuansa oranye yang hangat. Perpaduan antara akhir musim bunga untuk menyambut musim dingin.

Dia berhasil mendapatkan beberapa bidikan foto amatir di ponselnya. Bahkan masih menyempatkan untuk mengambil foto jalanan lengang yang dirindangi dahan-dahan jacaranda di sepanjang sisi jalan.

Suara decit ban yang berhenti, mengalihkan perhatiannya. Gaby menoleh dan tersenyum cerah ke arah wanita cantik berambut ikal usia empat puluhan itu. Embusan angin musim gugur mengibarkan rambutnya yang berwarna cokelat madu.

"Apa kau ingin ganti profesi jadi fotografer sekarang?" terdengar suara khas Farah menyapanya.

Gaby hanya menggeleng dan tersenyum. Dia melangkah ke arah mobil.

"Ayo naik, kita cari coffe shop lain!" ajak Farah.

Gaby mengangguk setuju. Sebentar lagi jari-jarinya bisa membeku, karena lagi-lagi dia lupa mengenakan sarung tangan! Dibukanya pintu mobil dan duduk di kursi depan samping Farah. Wanita itu memperhatikan jalan lewat kaca spion sebelum mengarahkan mobilnya ke tengah.

"Sudah berapa lama kau di luar situ?" tanya Farah khawatir, saat melihat Gaby merapatkan baju hangatnya. Dari goyangan ranting dia tahu bahwa angin utara. berembus lumayan kencang pagi ini.

"Mungkin sepuluh menit!" sahut Gaby santai.

"Martin akan mengomeliku jika kau terkena flu karena cuaca dingin!" keluh Farah.

Gaby tertawa kecil mendengarnya. Sebagai editor perusahaan penerbitan, Farah juga adalah teman kuliah suaminya dulu. Tapi kemudian Farah melepaskan jaket lab-nya untuk mengejar passion-nya di bidang jurnalistik.

Namun itupun tak lama. Dia kembali tergoda untuk ganti haluan setelah mengenal Gaby dalam sebuah acara yang diliputnya. Farah tak menduga Gaby ternyata menyimpan kemampuan menulisnya dalam puluhan disk.

Dia percaya bahwa Gaby dan mungkin ratusan penulis kecil lainnya kesulitan menembus perusahaan penerbitan, karena nama mereka sama sekali belum dikenal orang.

Dengan niat mulia mengangkat nama para penulis baru, Farah bersama teman-teman se-idenya membuat perusahaan penerbitan sendiri, khusus untuk mereka yang tak dilirik penerbit besar.

Sejak itulah, lima tahun yang lalu, novel-novel Gaby mulai diterbitkan secara teratur. Setahun dua kali, novelnya naik cetak. Namanya dan beberapa nama penerbit kecil lain, mulai sedikit dikenal masyarakat yang berkecimpung di bidang literasi.

"Kau melamun?" suara Farah membuatnya menoleh.

"Tidak!" bantah Gaby.

"Tapi pandanganmu kosong!" tuduh Farah.

"Aku sedang mengingat-ingat perjalananku sebagai penulis. Jika tidak bertemu denganmu, maka aku akan tetap jadi seorang pelayan cafe saja." Gaby kembali menerawang.

Farah menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mobil menepi dan berhenti. Gaby melihat keluar jendela. Ada sebuah coffee shop sederhana di sana. Dia melepaskan savebelt dan bersiap untuk turun. Tapi jarinya urung membuka pintu, karena Farah masih duduk di tempatnya sambil melihat ke jalanan depan.

"Apa yang begitu menarik perhatianmu di sana?" Gaby ikut memperhatikan jalan di depan dengan seksama.

"Hahh ... tidak ada apa-apa. Ayo turun!" Farah mengelak dan bersiap turun.

Meskipun heran dengan sikap Farah, Gaby akhirnya mengangkat bahu tak peduli, lalu ikut turun.

Keduanya melangkah beriringan melintasi trotoar selebar satu meter dan langsung mendorong pintu coffe shop.

Bunyi bel di atas pintu berdenting saat daun pintu terbuka. Itu pengingat untuk pelayan. Bahwa ada pelanggan yang masuk toko.

Aroma kopi yang harum bercampur dengan aroma roti yang sedang dipanggang, menguar memenuhi seantero ruangan. Aroma memabukkan yang akan selalu dirindukan para penggemar kopi.

Gaby dan Farah memilih meja kedua dari jejeran meja yang menempel tembok hingga belakang. Seorang pelayan manis mengenakan apron bermotif coffee cup di dada, datang menghampiri dan meletakkan kertas menu di meja. Dia menunggu di situ, siap untuk mencatat pesanan Gaby dan Farah.

"Aku pesan Caffe Latte dan Beef Croissant," ujar Gaby setelah melihat menu sekilas.

"Mochaccino dan Macaroni Shcotel!" Farah mengembalikan lembaran menu pada gadis pirang manis itu.

"Mohon ditunggu," sambut gadis itu sebelum beranjak.

"Tempat yang sangat bagus! Aku belum pernah ke sini," Gaby berkomentar.

Dilihatnya seorang pria yang mengenakan sweater abu-abu muda, masuk. Dia menenteng tas dan langsung duduk di meja panjang di bagian paling depan coffee shop. Area itu dapat membuat pengunjung menatap dengan leluasa ke arah lalu lalang orang di trotoar dan jalanan, melalui dinding kaca lebar di bagian depan toko.

Pria itu mengeluarkan laptopnya sambil berteriak pada gadis manis di balik meja kerja. "Berikan aku Espresso dan Fish and Chips, Sally," ujar orang itu.

"Oke!" Gadis bernama Sally itu menyahuti.

"Sepertinya dia pelanggan di sini," pikir Gaby.

Farah menoleh ke tempat pandangan Gaby terarah. "Apa ada yang menarik darinya?" tanya Farah.

"Tidak. Dia hanya seorang pemuda pekerja biasa. Buru-buru berangkat kerja dan lupa sarapan. Bahkan dia mungkin belum menyelesaikan tugas pentingnya hari ini. Tidak menarik sama sekali!" jawab Gaby.

Sally datang dan menyajikan pesanan mereka berdua. Aroma kopi dan makanannya benar-benar menggoda. Asap yang masih mengepul dari Croissant dan Makaroni yang dipenuhi lelehan keju, benar-benar menggoda. Keduanya segera mencicipi hidangan yang tersaji.

"Hemmmhhh ... lezat sekali!" Gaby memiringkan kepala sambil memejamkan mata. Mulutnya mengunyah rotinya perlahan. Dari ekspresinya tampak jelas dia sedang menikmati kelezatan roti itu.

Farah terkekeh melihatnya. "Kau sangat ekspresif! Melihat wajahmu itu, orang yang tidak lapar juga jadi ingin ikutan makan. Sepertinya kau cocok menjadi Food Vlogger. Ekspresimu alami, jujur, dan tak dibuat-buat," komentar Farah.

Dia pun tak mau ketinggalan mencicipi makanan pesanannya. Semoga sama nikmat dengan yang dipesan Gaby. Sendok pertama masuk ke dalam mulutnya, membuat mata Farah yang bulat hitam itu membelalak.

"Kau benar, makanan di sini sangat lezat! Kenapa kita tak pernah ke sini sebelumnya?" rentetan kata-kata pujian Farah tak bisa dibendung.

Gaby tersenyum. Perlahan dia menyeruput kopinya. Setelah potongan roti kedua berhasil ditelannya, wanita itu melontarkan pertanyaan.

"Kau mengajakku keluar di hawa dingin, tentu bukan sekedar ingin mencari cafe baru, kan? Katakan saja ada apa!" tanya Gaby akhirnya.

********

2. Introvert

"Kau mengajakku keluar di hawa dingin, tentu bukan sekedar ingin mencari cafe baru, kan? Katakan saja ada apa!" tanya Gaby akhirnya.

Farah yang sedang mengangkat sendok makaroni ke mulut, terdiam. Sendok itu diletakkan lagi di mangkuk. Wanita itu menatap Gaby dalam-dalam.

"Aku mau menanyakan naskah novel terbarumu. Jika kau tidak menerbitkan satu judul di akhir tahun ini, maka namamu akan ditenggelamkan oleh penulis-penulis baru!" Farah menekankan intonasi suaranya. Sikapnya sangat serius.

Sebagai editor dia tentu tak ingin Gaby berpindah ke penerbit lain yang mungkin lebih terkenal, setelah perusahaannya membina namanya. Sementara sebagai teman, dia ingin membantu memecahkan masalah Gaby jika itu membuatnya tidak produktif menulis.

Direktur mulai khawatir saat awal tahun lalu Gaby tak mengirimkan naskah baru. dan sekarang sudah bulan Oktober. Itu artinya Gaby melewatkan dua jadwal terbitnya. Jadi mereka mengirim Farah untuk menanyakan masalahnya.

Bagaimanapun, novel-novel yang ditulis Gaby tetap laku di pasaran. Hingga novel pertamanya dicetak ulang pertengahan tahun lalu, untuk menutupi absennya dia menyetor karya baru.

Bahu Gaby melorot turun dan wajahnya sedih. Sikapnya itu mengkhawatirkan Farah. Dia sangat tahu bahwa Gaby adalah pribadi yang jujur. Dia selalu mengekspresikan emosi apa adanya. Semua bisa dibaca dengan jelas di wajahnya, seakan tertulis disana apa yang dirasakannya.

"Katakan padaku, jika kau punya masalah. Apakah Martin menyakitimu?" selidik Farah dengan kening mengerut.

Martin temannya, Gaby juga temannya. Dialah yang memperkenalkan dua orang itu dulu, karena merasa keduanya akan cocok satu sama lain.

Gaby menggeleng menyanggah dugaan Farah. "Aku tidak tahu, Farah. Entah bagaimana, aku merasa otakku buntu. Aku tak bisa menulis, bahkan satu katapun!"

Farah terkejut melihat mata Gaby yang berkaca-kaca. Keningnya yang mengerut bingung seakan melontarkan permintaan tolong. Itu ekspresi yang sangat jujur yang pernah ditangkap Farah dari wajah wanita cantik itu.

"Kau mungkin sedang stress. Sebelum makin parah sebaiknya kau minta ijin pada Martin untuk berlibur. Jika perlu, pergilah berdua dengannya. Tempat dan suasana baru mungkin akan memberi energi baru untuk kalian berdua serta mengendorkan ketegangan yang membelenggumu!" saran Farah panjang lebar.

Mata Gaby membulat mendengar saran itu. "Kurasa kau ada benarnya. Sudah dua tahun kami tidak pergi berlibur. Nanti malam akan kutanyakan padanya. Semoga Martin setuju untuk meluangkan waktu akhir bulan ini!"

Melihat Gaby kembali bersemangat, Farah merasa lega. "Syukurlah, jika ideku bisa membantu," katanya tersenyum. "Itulah gunanya teman. Kau harusnya membicarakan ini denganku jauh-jauh hari, agar tidak berlarut-latut!" sesal Farah.

Gaby menatapnya lembut dengan perasaan bersalah dan berkata dengan suara lirih. "Maafkan aku ...."

Sambungnya lagi. "Sekarang lupakan soal itu! Mari lanjutkan makan sebelum hidangan lezat ini jadi terlalu dingin!"

Gaby menyuap lagi sepotong roti isi daging ke mulutnya. Ekspresinya yang kembali bahagia, melegakan Farah. Dia ikut makan juga.

*

*

Malam itu, di rumah.

"Kenapa kau tak mengatakan tentang masalahmu padaku?"

Martin menyesali Gaby yang masih begitu tertutup padanya. Mereka sudah tiga tahun menikah, tapi istrinya itu masih terasa berjarak darinya.

Sebagai suami, Martin telah dengan sabar membimbing dan meyakinkan Gaby bahwa dia bisa dipercaya untuk membahas apapun yang mungkin sedang menari di pikiran istrinya.

Bahkan Martin akan bersedia mendengarkan meskipun hanya itu sekedar gosip murahan yang umumnya dilakukan para wanita di luar sana.

Tapi itu tak pernah terjadi. Gaby yang dikenalnya sejak pertama bertemu hingga telah menjadi istrinya, tidak berubah sama sekali. Dia pribadi yang tertutup dalam beberapa hal dan terlihat asik dengan dunianya sendiri.

Jika Martin tidak memulai pembicaraan atau memancingnya dengan ide menarik, maka rumah mereka akan sunyi. Gaby lebih suka tenggelam di meja kerja, atau tertelungkup kelelahan di tempat tidur dengan laptop menyala. Kadang dia duduk diam cukup lama sambil memegang cangkir kopi di balkon. Jika Martin menyapa, selembut apapun suara yang dikeluarkan, Gaby akan selalu sedikit terkejut, sebelum mulai tersipu malu.

Dari pemahamannya istrinya adalah seorang introvert. Pribadi yang sering disalah pahami oleh orang lain. Tapi menurutnya Gaby hanya sulit mempercayai orang baru. Mendapati kenyataan Gaby bersedia menikah setelah masa pacaran singkat mereka, Martin merasa seperti mendapat jackpot. Artinya Gaby mulai menaruh kepercayaan padanya. Itu kemajuan besar, mengingat jumlah teman dekatnya yang bisa dihitung jari.

"Aku tidak merasa punya masalah, Martin. Kehidupan kita baik-baik saja. Aku hanya tidak punya ide baru untuk menulis. Jadi apa yang harus kuceritakan padamu?" Gaby menggenggam tangan suaminya.

"Farah yang menyimpulkan aku stress. Dia menyarankan kita pergi liburan berdua. Mungkin dengan melihat tempat baru, suasana baru, aku bisa mengembalikan kesegaran otakku dan mendapat inspirasi!" Gaby menunjukkan mimik lucu di wajahnya yang sukses meluluhkan hati Martin.

Martin memeluk Gaby hangat. "Jangan tunjukkan ekspresi begitu pada orang lain!" ujarnya cemburu.

"Kau sangat tahu bagaimana sikapku pada orang lain!" bantah Gaby sambil menyandarkan tubuhnya ke dada Martin.

"Hahaha ... aku ingat hari peluncuran buku Profesor Sommers. Rekanku mengira aku membawa robot, karena kau hanya berdiri diam tak berekspresi!" gelak Martin.

"Maafkan aku ya ...." Gaby meraih lengan suaminya dan menariknya ke dekat dadanya. "Itu sebabnya aku enggan mengikuti acara kantormu. Aku takut mempermalukanmu! Aku‐‐‐"

"Lupakan! Aku tak peduli komentar orang lain. Selama kau mencintaiku, itu sudah cukup." Martin mengecup puncak rambut Gaby dan mengeratkan pelukannya untuk memberi Gaby rasa nyaman, hangat dan aman.

"Terima kasih sayang ... kau sangat memahamiku," lirih Gaby.

"Hemm ...." Mereka larut dalam kemesraan sejenak.

"Kukira saran Farah masuk akal," ujar Martin setelah melepaskan bibir Gaby.

"Kau bersedia?" mata Gaby membulat. "Kapan kau bisa libur? Kita bisa pesan tiket dan memilih tempatnya jauh-jauh hari!"

Melihat istrinya begitu antusias, Martin kembali gemas dan meraihnya lagi ke dalam pelukannya.

"Sayangnya, hingga bulan depan aku tak bisa ambil cuti. Jika projek baru ini sukses mungkin aku baru bisa mengambil cuti," bisik Martin.

"Hah?" Gaby sedikit bingung. Dia membalikkan badan menghadap suaminya. "Jadi apa maksudnya tadi itu?" tanyanya minta kepastian.

Kekecewaan membayang di sana. Martin merasa bisa melihat bahwa sumber mata air di dua mata sepolos mata kucing itu bisa meluap seketika.

"Bisakah kau liburan sendiri? Pilih tempat yang sangat ingin kau kunjungi. Kau sangat butuh merecharge jiwamu," kata Martin sambil menangkupkan dua tangannya di rahang Gaby.

Istrinya protes. "Kau ingin aku pergi sendiri ke tempat asing?" tanyanya tak percaya.

"Kita bisa pilih tour trip yang aman dan terpercaya." Martin menenangkan ketakutannya.

"Kau sangat tahu aku sulit berinteraksi dengan orang lain!" protesnya lagi. Martin diam sebentar. Pria itu berpikir keras memecahkan masalah tersebut.

"Bagaimana jika kau pergi liburan tanpa travel? Semisal menyewa villa di tempat yang penuh inspirasi? Jadi kau tak terlalu perlu berinteraksi dengan orang lain. Paling kau butuh sedikit bicara pada sopir taksi, pelayan di cafe. Selebihnya kau boleh tak peduli! Yahh, seperti di sini saja." Martin memberikan idenya.

"Jika projekku selesai tepat waktu, aku akan menyusulmu ke sana. Setelah itu kita bisa melanjutkan ke tempat wisata. Bagaimana?" tanya pria itu.

"Jika begitu, itu sama seperti saat aku menyewa flat sebelum menikah," gumam Gaby.

"Kurang lebih begitu. Kau tak butuh guide jika seperti itu. Kau bisa pergi ke taman, ke cafe, ke musium, setelah itu pulang dan menuliskan apa yang kau temui hari itu. Bukankah menyenangkan memiliki waktu untuk dirimu sendiri sementara waktu?" tambah Martin lagi.

"Ide yang sangat menantang! Tapi kurasa itu pilihan bagus." Gaby tersenyum cerah.

"Kau suka?" tanya Martin dengan senyum lebar. Gaby mengangguk dan ikut tersenyum.

"Jadi, tempat mana yang sangat ingin kau kunjungi?" tanya suaminya cepat.

"Scotland!" jawab Gaby cepat. Begitu cepat, hingga membuatnya terkejut sendiri dan menutup mulut.

Tapi Martin justru tertawa. "Berarti itu adalah tempat impianmu. Namanya melompat begitu saja!" Pria itu tertawa gemas sambil memeluk istrinya.

"Kau sangat lucu!" ujarnya merayu.

"Tidak!" bantah Gaby.

"Iya ...."

Suaminya menutup mulutnya agar tak ada bantahan lagi.

******

3. Edinburg

Tiga hari setelah itu, Martin mengantar istri tercintanya ke bandara. "Jangan lupa mengubungiku begitu kau sampai, oke?" Martin mengingatkan.

Gaby lebih banyak diam. Beberapa kali dia hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala.

""Apa kau gugup?" tanya Martin penuh perhatian.

Gaby mengangguk dan menatap suaminya dengan mata menyipit.

"Jika kau sangat takut, kita batalkan saja!" Martin memberikan pilihan.

"Tidak! Kita sudah membeli tiket dan membayar sewa flat itu untuk sebulan!" Gaby cemberut. Dia tak begitu suka membuang-buang uang percuma.

"Aku berangkat!" Wanita muda itu meneguhkan hatinya.

"Kau yakin?" Martin masih mencoba meyakinkannya sekali lagi.

"Ya! Aku yakin!" Kali ini suaranya jelas, tegas dan tanpa ragu. Anggukannya memperkuat ucapan yang baru saja dilontarkan.

"Baiklah ... bersenang-senanglah di sana. Aku akan merindukanmu, di sini," Martin mengecup kening istrinya sekali lagi, sebelum melepaskan pegangannya.

"I love you!" ujar Gaby sambil melambaikan tangan dan melangkah pergi.

"I love you more!" balas Martin. Senyumnya sedikit sumbang. Ini kali pertama mereka berjauhan untuk waktu lama, setelah menikah selama tiga tahun. Dia sedikit tak terbiasa.

Setelah melewati proses panjang dari cek in hingga menunggu, akhirnya pesawat bersiap untuk lepas landas menuju Slotlandia. Pesawat itu langsung menuju Edinburg, kota tua yang jadi impian Gaby untuk dikunjungi.

Tak banyak yang dilakukannya sepanjang perjalanan, selain makan dan tidur. Dengan bosan, dicobanya menambahkan beberapa catatan dalam jadwal liburannya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya tenggelam dalan mimpi mengunjungi desa-desa tradisional di pinggir kota. Gaby bahkan membuat catatan tempat mana yang akan dikunjunginya, jika Martin menyusul nanti.

Keesokan pagi, pesawat itu sudah mendarat di Edinburg. Udara dingin langsung menyergap, begitu dia keluar dari pintu, sembari menyeret koper. Udara sejuk menerpa pipinya yang seputih pualam. Meninggalkan jejak semu kemerahan di sana.

"Gabriela!" terdengar seseorang menyerukan namanya di antara kerumunan orang di pintu keluar.

Kepala Gaby celingukan mencari. Pemilik flat yang disewanya memang berjanji akan menjemput di bandara.

"Gabriela!" Terdengar lagi suara yang yang memanggilnya.

Gaby melihat wanita paruh baya yang melambaikan tangan padanya. Diseretnya koper untuk menghampiri wanita itu. Wajahnya cantik dan lembut serta terawat baik, di usianya yang menurut Gaby, belum sampai lima puluh tahun.

"Emily?" tanya Gaby meyakinkan.

"Yah, Emily Blair," sahutnya.

"Senang bertemu denganmu. Apa kau menunggu lama di cuaca begini?" tanya Gaby khawatir.

"Tidak! Aku sampai lima menit yang lalu. Ayo, masukkan kopermu dan pergi dari sini, sebelum turun hujan!" ujarnya.

Gaby menyeret kopernya ke bagasi belakang yang dibuka Emily. Dengan segera mobil mungil itu meluncur pergi, meninggalkan bandara yang selalu hiruk pikuk.

"Apakah flat itu jauh dari bandara?" tanya Gaby ingin tahu.

"Lumayan. Bukankah kau memilih flatku karena letaknya sedikit di luar kota?" Emily balik bertanya.

"Yah, benar. Aku ingin ketenangan dan menikmati waktu liburanku dengan santai!" jawab Gaby.

"Antara flatku, dan bandara, ada kota Edinburg, ujarnya tersenyum.

Gaby mengangguk mengerti. Dia melemparkan pandangan ke luar kaca mobil. Pemandangan indah musim gugur memukau matanya.

Satu jam kemudian, mereka tiba. Gaby keluar dari mobil dengan cepat. Sejak memasuki kota Edinburg, matanya tak henti-henti dibuat terpana.

"Kota yang indah sekali!" ujarnya penuh keharuan. Impian lamanya untuk menjejakkan kaki di sini, sudah terwujud.

"Kulihat, kau sangat menyukainya!" Emily tersenyum senang.

Gaby mengangguk. "Sudah lama aku ingin bisa ke sini. Menjelajahi seluruh Scotland, jika mungkin," cerocosnya tanpa sadar.

"Itu pasti menyenangkan. Kau butuh setidaknya tiga bulan, untuk menjejaki seluruh Scotland!" timpal Emily.

"Itu flat yang kau sewa! Seluruh lantai tiga, untukmu!" Emily tersenyum senang.

"Akhirnya aku punya teman," tambahnya.

"Hai Emily, kau sudah kembali?" sapa seorang wanita berkaca mata.

"Yah. Jalanan sangat lancar hari ini," timpal Emily.

"Kau yang menyewa lantai tiga?" tanya wanita itu saat melihat Gaby menarik kopernya menyusuri jalan masuk.

"Ya!" sahut Gaby singkat. Dia tak terlalu suka pada wanita itu, karena terlalu cerewet.

"Bagus. Akhirnya ada tambahan orang untuk mengobrol sambil menikmati teh sore," ujarnya.

Gaby hanya tersenyum dan terus mengikuti Emily. Dia punya tangga sendiri di samping sebuah toko kecil yang diberi nama White Tea House.

"Apa toko itu milikmu?" tanya Gaby.

"Ya, sahut Emily singkat. Wanita itu berhenti sejenak. "Aku tinggal di sini!" tunjuknya ke arah sebuah pintu bercat hijau botol.

"Oh, bagus untukmu. Tak perlu jauh pergi ke tok," gurau Gaby.

"Kau benar. Jika kita bisa tinggal dan bekerja di satu tempat, bukankah itu lebih efisien dan hemat?" tambah Emily.

"Benar sekali!" Gaby mengangguk. Dia sudah kelelahan, lapar dan kedinginan.

"Ini kamarmu!" Emily membuka kunci pintu ruangan lantai tiga.

Gaby segera masuk, untuk menghindari udara dingin menusuk. Di dalam sana udara tidak terlalu hangat, sebab berada tepat di bawah atap.

Emily dengan cepat menyalakan mesin pemanas ruangan. "Ini mesin pemanas. Ini saklar lampu. Ada fan juga. Dan ini pantry mungil untukmu memasak sesuatu, jika ingin."

Emily menjelaskan semua tombol yang ada di ruangan itu. Gaby mengamati flatnya yang sederhana namun cukup luas dan lengkap.

"Ke sini lah. Kau mungkin akan menikmati duduk di sini, sambil melihat pemandangan kota!"

Emily memanggil Gaby ke dekat jendela kaca besar dengan bench yang dilapisi busa empuk.

Gaby mencoba duduk di tepi jendela. Dan itu memang menakjubkan. Dari situ dia bisa melihat puncak-puncak bangunan yang unik, khas era pertengahan.

Mulutnya yang terbuka meyakinkan Emily bahwa tamunya puas dengan kamarnya. "Tunggu saat petang dan lampu-lampu kota menyala. It's amazing!" Emily sedikit berpromosi.

"Aku jadi tak sabar menunggu petang," aku Gaby.

"Baik, aku akan mentransfer sisa uang sewanya!" ujar Gaby, agar Emily bisa segera pergi, dan dia bisa langsung istirahat.

Tangannya membuka ponsel dan mengutak-atik, mencari wifi, agar proses pembayaran cepat selesai.

Suara dentingan ponsel Emily jadi tanda bahwa pembayaran sewa flat itu telah dilunasi.

"Baiklah. Kau bisa istirahat sejenak. Jika lapar, kau turunlah ke bawah. Atau berjalan sedikit ke kanan hingga ujung. Nanti kau akan menemukan cafe di seberang jalan itu!" saran Emily.

"Baik. Terima kasih sarannya. Aku ingin istirahat sebentar," sahut Gaby.

"Selamat menikmati liburanmu, Gabriella!" ujar Emily.

"Panggil aku Gaby saja." Wanita muda itu tersenyum mamis penuh rasa terima kasih.

"Ok, Gaby."

Emily meluar dari ruangan itu dan turun. Tak berselang lama, terdengar rintik hujan turun ke bumi.

"Hah .... Bukan pergi ke Inggris, kalau tidak bertemu hujan." Gaby menggelengkan kepalanya.

Martin sudah mengingatkannya untuk membawa sepatu boot yang anti air, payung, obat flu, serta jaket tebal dan hangat.

"Scotland, aku datang dari jauh. Maka kau harus memberiku banyak ide bagus!" gumamnya lirih.

*******

Visual. Jacaranda adl pohon peneduh, berbunga ungu.

Kota Edinburg.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!