PLAK
Tamparan mendarat keras di pipi seorang wanita cantik bergaun putih dengan motif bunga sakura. Wajahnya sampai menoleh ke samping, karena kerasnya tamparan yang dilakukan pria yang tak lain adalah suaminya sendiri. Wanita itu menoleh dengan masih memegangi pipi yang terasa sangat panas. Hancur hatinya saat mengetahui suaminya berselingkuh, dan dia malah dihajar seperti ini saat meminta penjelasan.
“Mas Rangga, kenapa Mas tega sama aku? apa kurangnya aku sebagai istri?” bentak wanita bernama asli Alina itu.
“Kurangnya kamu? kamu mau tahu apa kurangnya? Kamu tidak memasak menggunakan kecap cap Angsa!”
‘Kecap cap Angsa, gunakan kecap cap Angsa agar suami Anda tidak mencari wanita lain yang memasak menggunakannya’
_
_
Sebuah iklan dari produk kecap membuat Gia melongo, dia tak percaya iklan seperti itu bisa membuat kegaduhan meski bukan pertama kali ini melihatnya. Ia pun saling pandang dengan rekan kerjanya yang lain karena sang kepala membawa rekaman iklan itu. Sedangkan Pak Rafli - kepala tempatnya bekerja langsung mematikan layar yang letaknya tepat di tengah ruang rapat, pria itu geleng-geleng kepala.
“Iklan ini mempertontonkan tindakan KDRT yang cukup serius, banyak laporan masuk yang mengatakan bahwa anak-anak menirukan adegan pembuka iklan itu."
“Aku sudah tahu, aku yang merangkum laporannya. Dia bicara seperti itu ke siapa?” gumam Gia. Gadis cantik berumur 24 tahun itu membalas senggolan kaki temannya di bawah meja.
“Jangan mencari gara-gara Gia, atau kamu akan diminta lembur lagi,” bisik Citra sang rekan kerja.
Gia mencebikkan bibir kesal. Sudah hampir dua tahun ini dia bekerja di LPA. LPA sendiri memiliki kepanjangan Lembaga Perlindungan Anak, sebuah NGO atau Lembaga non kepemerintahan yang memiliki visi dan misi melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak. Gia pikir dia akan sering ke luar pulau, atau bahkan ke pelosok negeri untuk membantu program lembaga dalam mensejahterakan anak.
Namun, ternyata dia harus kecewa karena LPA lebih suka mengurusi masalah yang tidak begitu serius. Ini karena sang kepala yang bernama Rafli lebih fokus memberikan pendampingan ke anak selebritis yang orangtuanya bersiteru, anak pejabat korup, dan juga perebutan hak asuh anak di antara para konglomerat.
“Si Rafli rambut cangkok itu, jika dia tidak menjebakku dengan kontrak lima tahun, aku pasti sudah memilih pergi dari sini,” gerutu Gia. “Ingin sekali aku jambak rambutnya agar tercabut sampai ke akar.”
“Huss …, sudah jangan membuat keributan lagi,” bisik Citra mengingatkan.
“Beginilah kalau sebuah lembaga dipimpin oleh tikus sawah. Sekali dia berulah lagi akan aku potong anunya.”
“Gia, anu apa?” tanya Citra yang dibuat melotot karena perkataan Gia.
“Anu itu rambut cangkoknya, kamu pikir apa?” amuk Gia, “Mana berani aku berkata vulgar di sini,”imbuhnya.
Citra menyenggol lengan Gia, dia cemas karena temannya itu memasang muka marah. Mata Gia menyipit dan bahkan tangannya sudah mengepal, dia takut kejadian beberapa minggu yang lalu terjadi lagi. Gia yang notabene adalah anak salah satu pengusaha di kota itu memang memiliki nyali yang cukup besar. Jika tidak punya nyali, tidak mungkin dia memilih melamar kerja di LPA dari pada menjadi direktur di perusahaan papanya sendiri. Bekerja di lembaga itu adalah cita-citanya sejak kecil, dia ingin mewujudkan impian almarhumah sang mama yang dulu juga bekerja di LPA, tapi siapa sangka kejadian satu minggu lalu yang dimaksud Citra terjadi lagi.
Siang itu Gia datang, dia melepaskan tas dan menaruh berkas yang dia bawa ke meja kerjanya dengan sedikit kasar. Gadis itu menyingsingkan lengan kemeja lantas berjalan dengan langkah lebar menuju ruangan Rafli.
“Pak, kenapa Anda memutar balikkan fakta hanya untuk membantu kasus Bu Mutia? Sudah jelas dia melakukan tindakan korupsi dengan memotong dana bantuan ke yayasan-yayasan anak yatim piatu.”
“Sudahlah! kenapa ribut? apa yang kamu ributkan sih Gia,” jawab Rafli dengan raut muka tidak suka. “Dia punya anak umur dua tahun, anaknya butuh dia untuk itulah aparat penegak hukum memutuskan Bu Mutia tidak ditahan.”
“Bapak coba lihat ke penjara-penjara wanita, banyak yang melahirkan dan bahkan membesarkan anak mereka di sana.” Gia tak mau kalah, sudah mendidih darahnya karena sikap sang atasan.
“Dia makan hak anak yatim, Pak. Ini bukan perkara main-main.”
“Halah … anak yatim apa? mereka itu punya orangtua, hanya saja tidak mau mengurusi karena malu. Lihat saja wajah anak-anak itu, wajahnya bagus-bagus. Anak-anak orang kaya itu."
Gia murka. Dia mendekat ke arah Rafli, dijambaknya rambut atasannya itu. Padahal Rafli baru melakukan pencangkokan rambut di Thailand beberapa minggu lalu. Rafli pun berteriak kesakitan sedangkan Gia tak memperdulikan dan terus menyerang.
“Hentikan! Ampun-ampun, ini sakit!” teriak Rafli.
Namun, aksi brutal itu hanya ada di dalam angan-angan Gia. Gadis itu nampak masih berdiri di depan meja Rafli dengan muka cemberut.
“Kenapa? sudah sana pergi! Bukankah kamu harus melakukan observasi ke anak artis iklan kecap itu,” kata Rafli.
“Saya sudah dari sana,” jawab Gia, di LPA hanya dia yang berani ketus ke sang atasan.
Siapa sangka, setelah muncul iklan berbau KDRT yang dibintangi oleh artis bernama Alina, kini wanita itu melaporkan suaminya dengan tuduhan KDRT. Di mana sang suami adalah pemilik perusahaan bernama AIR FOOD yang memproduksi kecap merek Angsa itu. Tak hanya dugaan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pria bernama Airlangga Wijaya itu ke sang istri, tapi juga ke putra mereka yang masih berumur empat tahun bernama Gani.
“Ya sudah buat laporannya, dan satu lagi. Ini!” Rafli melempar beberapa lembar kertas ke meja dengan arogan.
Jika tidak karena kontrak dan harapan mamanya, Gia pasti sudah benar-benar mencabut rambut pria di hadapannya ini. Meski begitu Gia tetap berusaha tenang, merubah kebusukan menjadi kebaikan memang tidak gampang. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, sebelum mendekat dan meraih kertas yang Rafli lempar, dia membaca biodata seorang anak di sana.
“Anak itu namanya Mahameru, ibu kandungnya meminta bantuan lembaga kita karena dia tidak boleh bertemu dengan anaknya. Si ibu berkata pria yang merawat anak itu, bukanlah ayah kandung,” ucap Rafli memberi penjelasan.
“Lalu bagaimana ceritanya anak ini dirawat oleh pria yang bukan ayah kandungnya?” tanya Gia curiga.
Rafli nampak berpikir, dia tidak bisa langsung menjawab ucapan Gia. Sebenarnya ibu kandung anak bernama Mahameru itu memintanya membuat rekomendasi. Rekomendasi itu nantinya akan digunakan ke pengadilan untuk menggugat hak asuh. Rafli sadar sudah melakukan kesalahan, seharusnya dia tidak memberitahu kasus ini ke Gia.
“Sudah! bawa sini! kamu urusi saja kasus keluarga kecap Angsa, tidak perlu mengurusi yang ini,” kata Rafli.
Gia pun mengembalikan kertas yang diberikan Rafli ke meja, tapi sebelum keluar dari ruangan pria itu dia mengancam dengan berkata, “Bapak tidak berpikir untuk menerima uang dari salah satu pihak, kan?"
_
_
_
Hei Jumpa di Novel baru Na
semoga kalian mau mengikuti sampai TAMAT
Sebulan sudah berlalu setelah terakhir kali Gia marah ke atasannya, karena kasus seorang koruptor kelas kakap bernama Mutia. Ia duduk di sebelah jendela sebuah kafe bersama Citra, satu-satunya teman yang waras dan memiliki misi yang sama seperti dirinya di LPA. Gia heran kenapa susah sekali merubah tatanan suatu sistem jika sudah busuk seperti ini.
Menatap kopinya dengan menyanggah pipi, Gia lagi-lagi membuang napas kasar dari mulut. Ia bahkan tahu bahwa ada sebuah kasus perebutan hak asuh, di mana Rafli ada indikasi memihak karena uang. Ingin rasanya Gia berhenti bekerja di LPA, tapi kontrak lima tahun yang tidak dia baca dengan teliti membuatnya terjebak di sana. Belum lagi mengingat bagaimana dulu nama LPA bersinar saat dipimpin sang mama, Gia juga ingin membuat lembaga itu kembali ke jalan yang benar.
“Gi, apa kamu sudah melihat berita terkini tentang kasus KDRT yang dilakukan CEO kecap ke istrinya? Ada rumor yang menyebutkan bahwa itu rekayasa si mba A karena ingin berpisah, mba A ini berselingkuh,” ucap Citra dengan nada julid.
“Kenapa harus pakai inisial? Bilang saja A-li-na,” eja Gia dengan penekanan di setiap kata. “Aku sudah diminta pak Rafli melakukan observasi, tapi waktu itu Alina tidak ada di rumahnya, dan sang pembantu pun tidak mengizinkan aku masuk menemui putranya.”
Gia mengangkat cangkir, menyeruput coffee latte yang amat sangat dia sukai. Bibirnya maju karena kopi itu dirasa kurang manis.
“Kenapa?” tanya Citra dengan tatapan heran.
“Tidak apa-apa, seperti kurang gula,” jawab Gia. Ia mencoba meminum kopinya lagi sedangkan Citra sibuk berselancar di dunia maya dengan ponsel di tangan.
“Lalu kapan kamu akan melakukan observasi ke anak artis itu lagi, apa jangan-jangan pak Rafli sudah memberikan pekerjaan ini ke Sofia?” tebak Citra. “Jika benar Sofia yang mengerjakan, sudah bisa dipastikan ada yang tidak beres.”
“Aku tidak peduli. Apa kamu tahu? aku diam-diam merakit bom, aku akan melemparkannya ke depan muka pak Rafli saat sudah siap nanti,” kata Gia dengan menggebu.
“Dan saat itu tiba …. BOOM!” Gia membuat Citra kaget dan bahkan menatap tanpa berkedip.
“Aku akan membuatnya jatuh, dia tidak akan bisa mengelak semua perbuatan korupnya itu,” imbuh Gia.
Citra menelan ludah, tangannya terangkat ke atas ingin memukul Gia karena sudah membuatnya kaget. Gadis manis berkacamata minus tiga itu pun kembali menatap ponsel untuk mencari berita apa yang paling terbaru hari itu.
“Gi, lihat ini! pria bernama Airlangga ini sangat tampan, wajahnya kalem, dia terlihat seperti pria baik-baik, aku masih tidak percaya dia melakukan KDRT ke istrinya,” cerocos Citra, dia menunjukkan foto pria yang disebutnya CEO kecap tadi ke Gia.
“Mereka akan bercerai ‘kan? setelah bercerai lihat saja, pasti akan ada perebutan hak asuh anak mereka yang bernama Gani. Aku tahu dan yakin, siapa yang meminta bantuan pak Rafli pasti adalah pihak yang penuh dusta.”
Gia menoleh ke luar jendela kafe, dia menatap jauh ke jalanan dan tak sadar sepasang mata tanpa sengaja menoleh dan kebetulan melihatnya. Gadis itu membuang napas lagi, membuat pria yang menatapnya dari dalam mobil bergumam sendiri.
“Ternyata, bukan aku saja yang merasa banyak masalah.” Airlangga duduk di kursi penumpang mobilnya. Ia memulas senyum tipis dan seketika murung kembali mengingat gugatan cerai yang dilayangkan sang istri.
“Pak, jika Anda tidak segera memberi klarifikasi, saya takut rumor akan semakin liar beredar. Di sosial media, semua orang tidak lagi menyebut kecap cap Angsa tapi kecap KDRT,” ujar Alvian – yang merupakan sekretaris pria berumur 36 tahun itu.
Airlangga membuang napas kasar dari mulut, sama persis seperti apa yang dilakukan gadis yang dilihatnya tadi. Ia melempar muka ke luar jendela mobil. Termenung sejenak kemudian berpikir.
“Sepertinya ucapan papa benar, setelah ini aku harus mencari perawan untuk dijadikan istri.”
_
_
Gia menatap layar laptopnya malam itu, dia masih butuh menyelesaikan laporan beberapa kasus yang ditangani oleh LPA, salah satunya kasus seorang anak bernama Mahameru. Gia berpikir tidak akan bersinggungan dengan masalah ini, karena si rambut cangkok seperti tidak ingin dirinya terlibat. Namun, tiba-tiba saja atasannya itu berkata pria yang disebut bukan ayah kandung Mahameru, meminta dirinya melakukan observasi ke anak itu.
“Sepertinya perjuanganku tidak sia-sia, baguslah kalau semakin banyak orang luar yang tahu, bahwa LPA tidak sedang baik-baik saja,” gumam Gia.
Awalnya penuh semangat, tapi tak lama pundaknya jatuh karena merasa perkerjaan tidak habis-habis. Rafli seolah selalu menindasnya setelah dia ikut campur ke urusan yang mendatangkan keuntungan pribadi bagi pria itu. Rasanya Gia ingin behenti, tapi hati nuraninya tidak bisa mengingkari, dia ingin mengembalikan LPA seperti sedia kala.
Di sisi lain, Airlangga juga sama. Ia diam di depan meja kerjanya dengan penerangan lampu temaram. Baginya kantor adalah tempat ternyaman untuk merenung. Karena jika dia pulang ke rumah, ada putri tirinya yang sangat berisik, anak dari almarhum istri pertamanya itu memang ikut dengannya. Hal ini bukan tanpa alasan. Papa kandung putri tirinya itu juga sudah tiada. Saat mamanya meninggal anak itu menangis berhari-hari bahkan sampai berlutut memohon agar dia tidak membuangnya. Siapa yang tega melihat gadis yang selalu ceria berubah menjadi putus asa seperti itu.
“Zie pasti tahu aku sedang lembur, atau jangan-jangan ada Marsha di rumah, jadi dia tidak bawel menanyakan jam berapa aku pulang.”
Airlangga berbicara sendiri, sebelum tatapan matanya tertuju pada sebuah pigura di atas meja. Potret keluarganya yang nampak bahagia terpampang jelas di sana. Dirinya, Alina, Zie dan juga Gani. Airlangga mengusap mukanya kasar, dia masih tidak percaya bahwa akan muncul berita KDRT yang dialami Alina karena perbuatannya. Padahal sudah jelas wanita itu yang berselingkuh dengan produser film yang pernah dibintangi.
“Huh ….” Airlangga membuang napas kasar dari mulut, haruskah dia dua kali menjadi duda? Setelah ditinggal mati, kini diceraikan. Benar kata orang kalau cinta sejati susah untuk ditemukan.
“Sepertinya aku tidak cocok memiliki istri seorang artis, tapi dipikir-pikir aku sudah pernah menikahi wanita biasa. Apa setelah ini aku harus mencari wanita pekerja kantoran untuk dijadikan istri, atau menduda saja sampai mati?"
“PERAWAN, CARI YANG PERAWAN!”
Airlangga membelalakkan mata, bulu kuduknya merinding saat suara itu tiba-tiba saja menggema di ruang kerjanya. Ia mengerjab dan langsung berdiri. Cepat-cepat dia sambar jas dan ponsel dari meja. Airlangga lari terbirit-birit keluar dari ruang kerja menuju lift untuk pergi dari sana.
“Aku sepertinya sudah lelah, aku memang tidak cocok bekerja lembur. Bagaimana bisa suara Papa terdengar jelas membentak seperti tadi,” ucap Airlangga ketakutan, karena sang Papa sudah beda alam dengannya.
Gia mengembuskan napas kasar, mengangkat kedua tangan ke udara dan menariknya ke atas untuk meregangkan otot tubuh. Dia mengemasi barang-barangnya dan bersiap pulang, dituntut kerja keras terus bagai kuda oleh Rafli bisa-bisa membuatnya mati muda.
Gia pun berjalan dengan langkah kaki tanpa semangat, bibirnya terus menggerutu karena pekerjaan yang tak ada habisnya. Hingga saat baru saja keluar dari gedung dan melewati pos satpam, Gia berhenti melangkah karena disapa oleh satpam kantornya.
“Baru mau pulang mbak Gia?” tanya satpam bernama Tomon.
Gia mengulas senyum mendengar suara pria tua itu, hingga kemudian memilih menghampiri karena sudah akrab.
“Iya, Pak. Tadi banyak kerjaan,” jawab Gia setelah berada di pos.
“Mau gorengan? Masih anget.” Pak Tomon menyodorkan kantung plastik berisi gorengan yang dia beli seharga dua ribu tiga biji.
Gia tersenyum lebar, lantas memilih duduk di pos bersama Pak Tomon. Pria itu adalah satpam senior di LPA. Beliau sudah bekerja di LPA hampir dua puluh tahun lamanya, bekerja dari masih perjaka, menikah, hingga sekarang sudah memiliki dua cucu.
“Mbak Gia ini pekerja keras sekali, mirip dengan almarhumah ibunda mbak,” kata Pak Tomon sambil menikmati gorengan bersama Gia. Gadis itu pun berhenti mengunyah, lantas menatap pria tua yang duduk di sebelahnya.
“Ibu mbak Gia itu salah satu karyawan yang disiplin, pekerja keras, dan baik hati. Bapak sedih saat tahu ibu Mbak meninggal karena sakit, mungkin dia kelelahan tapi tak dirasa.” Pak Tomon tiba-tiba mengingatkan Gia akan ibunya.
Gia sendiri hanya diam, kejadian itu memang terasa begitu cepat terjadi. Ibunda Gia meninggal saat Gia berumur enam belas tahun, wanita itu meninggal karena serangan jantung saat menghadiri pertemuan dan menginap di sebuah hotel. Ayah Gia—Indra, kini sudah menikah lagi dan memiliki anak berumur dua belas tahun.
“Iya, Pak. Mungkin umur Ibu hanya sampai segitu,” ucap Gia mencoba legowo dan ikhlas.
Pak Tomon memandang Gia, tahu jika gadis itu pasti juga sedih kehilangan meski itu sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Gia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian berdiri dan merapikan pakaiannya.
“Saya pulang dulu ya, Pak. Takut sampai rumah kemalaman.” Pamit Gia.
Pak Tomon mengangguk, kemudian berpesan agar Gia hati-hati di jalan.
Gia pun pergi dari kantor LPA, dia mengemudikan mobil membelah jalanan yang masih padat meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hingga jalanan tiba-tiba macet, Gia mencoba menatap lurus ke depan. Ternyata ada kecelakaan tepat di depan dua mobil yang berada di depan Gia.
“Kenapa tidak ada orang yang turun untuk menolong?” gumam gadis berparas ayu itu.
Gia pun memilih membuka mobil untuk menolong, hingga terkejut saat melihat pintu mobil yang berhenti tepat di hadapannya juga terbuka, seorang pria berperawakan tinggi keluar dari mobil. Pria berkemeja putih dengan kedua lengan tergulung sampai siku itu, berlari ke arah depan mobil. Gia pun ikut bergegas berlari menyusul pria itu untuk melihat kondisi korban kecelakaan.
Ternyata ada seorang wanita yang menggendong balitanya jatuh saat mengendarai motor. Gia melihat pria yang tadi berlari di depannya membantu mengangkat motor karena menimpa kaki ibu tadi, lantas mendorong agar menepi supaya pengendara lain bisa lewat.
Gia terkejut saat melihat pria yang sedang membantu pemotor itu, dia merasa tak asing saat melihat wajah pria itu, meski begitu Gia memilih mengabaikan rasa penasarannya untuk membantu ibu tadi berjalan ke pinggir dengan cara memapah. Ibu itu nampak terpincang-pincang, kakinya pasti sangat sakit.
Tak memakan waktu lama, kendaraan lain pun mulai kembali berjalan melewati mobil milik Gia dan mobil pria yang ternyata adalah Airlangga – CEO kecap yang menjadi bahan gunjingannya dan Citra siang tadi.
“Ibu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” tanya Gia memberikan perhatian setelah wanita itu duduk.
Anaknya menangis, mungkin karena syok terjatuh dari motor. Gia pun berinisiatif mengambil air mineral yang ada di mobil.
“Ibu sedang sakit? Suaminya ke mana? Kenapa malam-malam naik motor sendirian sambil bawa anak, itu sangat berbahaya?” tanya Airlangga penuh kecemasan.
Gia datang kembali dengan sebotol air di tangan, dia langsung memberikan air minum itu, meminta si ibu untuk minum terlebih dahulu.
“Minum dulu ya, Bu. Adiknya juga,” kata Gia memberi perhatian.
Wanita itu tiba-tiba menangis setelah minum, memandang Airlangga dan Gia secara bergantian, kemudian mengusap wajah anaknya. Terang saja hal ini membuat Airlangga dan Gia sangat terkejut, kenapa wanita itu malah menangis, hingga keduanya sama-sama berpikir jika mungkin wanita itu ketakutan karena hampir celaka.
“Saya kabur dari rumah karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, suami saya tidak segan memukul meski saya sudah meminta ampun. Saya tidak tahan, makanya nekat kabur bawa motor membawa anak saya,” kata ibu itu sambil menangis, bahkan memeluk erat anaknya yang masih dalam gendongan.
Gia sejak tadi berjongkok di hadapan ibu itu, memandang penuh rasa iba. Ia berpikir nasib ibu itu sangat menyedihkan, dari KDRT sampai hampir celaka di jalanan.
Airlangga sendiri terlihat tak acuh dengan keberadaan Gia di sana, kemudian memilih fokus pada ibu tadi dan anaknya.
“Ibu sekarang bagaimana, apa ada yang sakit?” tanya Airlangga.
“Tidak, Mas. Kaki saja lecet,” jawab ibu itu sambil menengok ke kaki yang tadi tertimpa motor.
“Lalu Ibu sekarang mau ke mana?” tanya Gia yang kasihan. Apalagi ini sudah malam dan motor ibu itu sedikit rusak.
Airlangga melirik sekilas ke Gia yang berjongkok, kemudian memilih membuang muka ke arah lain.
“Tidak tahu, mungkin akan pulang ke rumah saudara,” jawab wanita itu mencoba menenangkan diri setelah sebelumnya syok karena hampir tertabrak mobil yang berada di depan mobil Airlangga.
Gia menoleh ke Airlangga yang berdiri, tapi pria itu memalingkan wajah seolah tak sudi melihat Gia. Gadis itu mengerucutkan bibir, kenapa pria itu harus memalingkan wajah hingga membuatnya kesal.
Beberapa pengemudi ojek online yang melihat kejadian itu pun menghampiri, mereka hendak membantu ibu tadi membetulkan motor yang sedikit rusak.
“Lain kali hati-hati, Bu.” Airlangga memberikan pesan agar ibu itu tidak kembali jatuh hingga membuatnya celaka.
“Makasih ya, Mas, Mbak.” Wanita itu berterima kasih karena dua orang itu mau menolongnya. Bersyukur karena keduanya dengan cekatan membantu bangun karena tertimpa motor.
Gia dan Airlangga kembali berjalan ke mobil karena mobil mereka masih di tengah jalan dan sedikit menghalangi lajunya pengendara lain. Keduanya berjalan bersisian meski dengan jarak yang agak jauh, di sana Gia melihat jika Airlangga begitu tak acuh, bahkan menoleh saja tidak, meski keduanya sama-sama menolong wanita tadi.
“Pria ini ternyata sangat dingin, dia pasti sombong, bahkan tersenyum atau sekadar menoleh saja tidak,” gerutu Gia dalam hati.
Gia pun membuka pintu mobil, tapi sebelum masuk gadis itu memperhatikan Airlangga yang juga hendak masuk ke mobil.
“Apa dia benar melakukan KDRT ke istrinya, cih … orang zaman sekarang memang banyak yang bermuka dua. Sok baik ke orang lain tapi jahat ke orang terdekatnya sendiri.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!