NovelToon NovelToon

Hanya Istri Sementara

1. Desakan Menikah

"Sampai kapan kau akan menunggu wanita itu, umurmu sudah tidak muda lagi nak. Umur Oma juga semakin tua, nak. Oma tidak tau sampai kapan bisa hidup di dunia ini."

"Oma bicara apa? Aku yakin umur Oma akan panjang. Oma harus menemaniku sampai menikah dan mempunyai anak." Marsell begitu khawatir melihat omanya tergeletak di atas ranjang rumah sakit. Dia bahkan meninggalkan meeting pentingnya begitu mendapatkan kabar kalau omanya tidak sadarkan diri.

"Tidak nak, Oma tidak yakin bisa hidup lebih lama lagi kalau terus-terusan memikirkanmu. Menikahlah agar Oma bisa tenang," ujar sang Oma.

"Oma aku ... beri aku waktu sebentar lagi Oma. Dia janji akan kembali secepatnya dan kami akan segera menikah." Marsell begitu mencintai kekasihnya, kekasih yang sudah lima tahun lamanya meninggalkannya demi mengejar kariernya sebagai penyanyi internasional.

"Sampai kapan nak, sampai kapan kau akan menunggu wanita itu dengan sia-sia. Dia tidak mencintaimu, dia lebih mencintai kariernya."

"Dia mencintaiku Oma, dan aku juga sangat mencintainya. Saat ini namanya sedang naik daun, menikah akan membuat kariernya meredup Oma. Dia ingin memenangkan penghargaan tahunan sebagai penyanyi terbaik di kancah internasional. Setelah itu dia janji akan kembali."

Sang Oma menarik tangannya dari genggaman cucunya. Cucu dari anak pertamanya yang telah tiada. Marsell adalah satu-satunya harapan yang bisa mewarisi kerajaan bisnis keluarga.

"Omaa ...."

"Untuk apa semua itu nak, apa dia pikir kau tidak bisa memberinya uang setelah menikah. Untuk apa bersusah payah di luaran sana. Bahkan apapun yang dia mau bisa dengan mudah dia dapatkan setelah kalian menikah. Kamu juga bukan sembarang laki-laki nak. Wanita mana yang tidak mau menikah denganmu, untuk apa menunggunya lagi."

"Oma, dia hanya ingin membuktikan dirinya kalau dia pantas bersanding denganku. Dia tidak ingin terkenal karena menjadi istriku."

"Justru dia sama sekali tidak pantas, wanita yang rela meninggalkan lelaki yang dicintainya demi karier. Lalu bagaimana kalau kalian sudah menikah dan mempunyai anak, dia akan meninggalkan suami dan anaknya untuk mengejar impiannya itu."

"Tidak Oma, dia berjanji akan kembali dan melepaskan semuanya setelah mendapatkan penghargaan itu."

"Itu hanya omong kosong nak. Sampai kapan kau akan menipu dirimu sendiri. Semua itu bisa ia dapatkan setelah kalian bersama. Untuk apa dia di luaran sana bernyanyi di atas panggung dan memamerkan tubuhnya. Tidak ada larangannya seorang artis untuk menikah kan."

"Tap Oma ...."

"Cukup nak, suruh dia kembali ke sini dan menikah denganmu. Kalau dia tidak mau segera kembali, menikahlah dengan wanita pilihan Oma." Sang oma memalingkan wajahnya.

...

Marsell keluar dari ruangan omanya dengan langkah gontai. Dia sudah berjanji pada kekasihnya akan menunggunya pulang. Bagaimana sekarang dia akan memintanya untuk pulang dan menikah. Namun, sepertinya keputusan sang Oma tidak bisa dibantah lagi. Dia harus bertemu dengan kekasihnya.

Marsell menghubungi assistennya.

"Siapakah pesawat, aku akan terbang ke Amerika malam ini." Bukan hal yang sulit untuk Marsell untuk bertemu dengan kekasihnya kapanpun ia mau. Keluarga memiliki pesawat pribadi dan kekayaan yang tidak bisa dihitung banyaknya.

"Laura, aku harap kamu mengerti," gumamnya berharap.

...

Di dalam ruangan rawat inap VVIP.

"Nyonya, apa anda yakin akan membiarkan tuan muda menikah dengan artis itu."

"Aku tidak yakin wanita itu akan mau meninggalkan kariernya. Itu yang membuatku tidak setuju dengan hubungan mereka. Wanita itu terlalu egois, selalu mementingkan dirinya. Wanita itu juga tidak sebaik yang Marsell pikirkan." Ya selama ini sang Oma sudah menyelidiki wanita yang merupakan kekasih cucu kesayangannya. Selama di luar negeri wanita itu bahkan beberapa kali menjalin hubungan dengan pria yang berbeda.

"Kenapa anda tidak menggunakan foto-foto itu untuk memisahkan mereka?" tanya assisten kepercayaan Oma.

"Apa menurutmu cucuku akan percaya dengan semua itu. Cucuku sangat mencintainya. Dia tidak akan percaya kalau tidak melihatnya dengan mata kepalanya sendiri."

"Apa perlu kita buat agar tuan muda memergoki kekasih sedang bersama laki-laki."

"Tidak perlu, jangan sampai membuat wanita itu curiga. Dia akan mencari cara agar cucuku percaya. Gunakan rencana awal. Tawarkan kerjasama yang menarik untuknya, buat dia bertahan lebih lama di sana."

...

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama. Marsell sudah sampai di negara tempat kekasihnya berada. Dari landasan pacu dia langsung menuju lokasi konser kekasihnya. Tak lama dia sudah sampai di sana. Lebih dulu dia menghubungi sang kekasih kalau dia menunggu di mobil.

"Hallo Tuan, maaf nona Laura sedang di atas panggung." Begitu kata sang assisten kekasihnya.

"Sampaikan padanya aku menunggunya." Setelah itu dia mematikan panggilan ponselnya.

Marsell sudah sangat yakin kalau sang kekasih akan ikut pulang bersamanya dan mereka akan menikah. Dia bahkan sudah menyiapkan kejutan untuk melamar wanita itu.

"Aku harap kamu tidak mengecewakanku," katanya dalam hati sambil memandangi cincin berlian yang sengaja ia pesan untuk melamar kekasihnya. Sudah lama sekali dia menyiapkan itu semua.

Laura selalu beralasan ingin mengejar mimpinya. Ingin membuktikan kalau dia pantas bersanding dengan Marsell dan tidak ingin bergantung pada Marsell. Dia juga mengatakan tidak ingin terkenal karena dia merupakan kekasih Marsell yang merupakan pengusaha muda ternama incaran banyak wanita. Jadilah mereka berpacaran dengan cara sembunyi-sembunyi.

Namun, tanpa wanita itu sadari kalau semua yang diraihnya semuanya berkat dukungan Marsell dibelakangnya. Semua dukungan dari orang-orang ternama semua itu karena Marsell. Sayangnya wanita itu menganggap dirinya terlalu tinggi, hingga mengira kalau semua itu berkat kemampuannya sendiri. Padahal jika Marsell menghentikan semua dukungannya, dia bukanlah apa-apa.

Semua orang menghormatinya karena tau ada orang hebat di belakangnya.

Wanita itu baru saja turun dari atas panggung, setelah menyelesaikan lagu terakhirnya di konser yang cukup megah. Yang akan membuatnya lebih dikagumi orang.

Sang asisten langsung membantu majikannya yang baru saja masuk ke dalam ruangan istirahat. Memberinya minum dan keperluan lainnya.

"Nona, tadi Tuan Marsell menghubungi anda. Saya sudah mengatakan kalau anda masih di atas panggung."

"Marsell?" Wajah Laura berbinar. "Apa dia menitipkan pesan?"

"Tuan bilang kalau dia menunggu nona di mobil."

"Benarkah? Aku akan ke sana sekarang." Laura menyambar masker, topi serta kacamatanya.

Bertepatan dengan itu seseorang memasuki ruangan. Orang itu ada manager Laura. Yang mengatur segalanya tentang kegiatan serta kontrak dan kerjasama yang akan dilakukan Laura.

"Kamu mau kemana?" tanyanya.

"Mau menemui Marsell, Kak."

"Ohh, hati-hati jangan sampai ada yang memotretmu."

"Siap. ehh ngomong-ngomong apa mungkin ini sudah saatnya aku berhenti di sini. Aku sudah cukup puas dengan semua ini. Aku rasa ini saatnya aku berhenti di sini, aku akan kembali pada kekasihku," ujar Laura.

"Apa kau bercanda? Kau mau berhenti sekarang?"

"Yaa, Marsell terlalu sempurna untuk dilepaskan. Aku ingin kembali ke negaraku bersamanya. Aku yakin aku masih bisa berkarier meski sudah menikah kan Kak."

"Hmmm ya mungkin tapi sangat jarang produser yang mau mengontrak artis yang sudah berumahtangga. Kau tau sendiri bagaimana selera penggemar jaman sekarang. Kalau kau menyerah. Masih banyak bakat-bakat muda yang siap menggantikan mu. Itu semua tidak masalah, kau punya suami kaya. Tidak perlu bersusah payah lagi, cukup duduk di rumah dan mengurus suami dan anak-anakmu," sindir sang manager.

"Tidak Kak, kau tau kan. Aku tidak pernah mau seperti itu. Aku ingin dianggap setara dengan suamiku nanti, aku akan tetap berkarir dengan kamampuanku. Aku yakin para penggemarku tidak akan mempermasalahkannya."

"Kau jangan terlalu percaya diri, mereka menyukaimu karena kamu masih muda cantik dan juga lajang. Setelah kau menikah, auramu akan memudar, tidak lagi bersinar seperti sekarang. Aku hanya mengingatkanmu, perjalananmu tinggal sedikit lagi untuk menuju titik tertinggi. Bukankah akan sia-sia jika mundur sekarang." Wanita itu duduk menyilangkan kakinya. "Aku bukan takut rugi, aku masih bisa mencari artis lain untuk aku didik menjadi bintang. Yang masih muda dan mudah diatur tentunya. Pikirkan itu baik-baik sebelum mengambil keputusan."

"Baiklah, aku akan memikirkan hal itu dengan matang." Laura pun pergi meninggalkan ruangan itu.

"Ck. Apa dia merasa sudah hebat sekarang, mau berhenti seenaknya. Sia-sia aku membuatnya seperti ini kalau berhenti di sini. Dia harus mendapatkan penghargaan itu agar namaku semakin dikenal sebagai manager artis terbaik."

Sang manager memandang kepergian Laura dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. Mereka sama-sama mengawali semuanya dari nol. Dari awal Laura debut, dialah yang berusaha keras untuk membuat nama Laura semakin dikenal. Mencari job kesana-kemari, mengantarkan Laura meski panas ataupun hujan. Jika Marsell adalah pendukung rahasia, maka Meli si manager adalah yang selalu ada di samping Laura.

2. Lamaran Gagal

Tak lama. Laura yang masih menggunakan pakaian konsernya datang menemui Marsell. Dia datang mengendap-endap menghindari wartawan. Untunglah Marsell berada di area parkir VVIP, tidak bisa sembarangan orang masuk ke area itu.

Supir yang mengantar Marsell sudah turun untuk membukakan pintu dan membiarkan majikannya mempunyai waktu berdua dengan sang kekasih.

"Sayang ... aku sangat merindukanmu." Laura langsung menghambur ke pelukan Marsell.

Marsell mengusap lembut kepala kekasihnya.

"Maaf membuatmu menunggu lama."

"Tidak masalah, bukankah aku sudah biasa menunggu," ujar Marsell memberikan sindiran.

"Ishh iya maaf, kamu tau kan kalau ini impianku sejak kecil."

"Aku tau." Marsell mengecup punggung tangan kekasihnya.

"Kenapa tiba-tiba datang tidak memberitahuku terlebih dahulu," protes Laura.

"Aku ingin memberimu kejutan, apa kau sudah selesai? Aku akan membawamu ke suatu tempat."

"Sudah," angguk Laura.

"Baguslah, tapi sebelumnya kita cari pakaian untukmu lebih dulu. Bagaimana bisa mereka memberimu pakaian yang terbuka seperti ini." Marsell melepaskan jasnya lalu dipakaikan pada Laura.

Laura menghambur ke pelukan Marsell lagi. Dia juga sangat mencintai kekasihnya, siapa yang tidak jatuh cinta pada pria sempurna seperti Marsell. Pria itu juga begitu perhatian pada Laura. Hanya saja Laura yang lama tinggal di luar negeri terbawa suasana. Rasa kesepian membuatnya menjalin hubungan beberapa pria tapi hanya untuk bersenang-senang. Dia masih tetap memilih Marsell.

"Kita mau kemana?"

Marsell tidak menjawab, dia hanya terus menggenggam tangan Laura yang sepanjang jalan ada di pelukannya.

Mereka sampai di butik ternama dan Marsell sudah membuat tempat itu kosong hanya dalam waktu sekejap. Demi melindungi kekasihnya dari wartawan tentunya. Para pelayan tokopun sudah di bayar mahal. Jika berani membocorkan apa yang mereka lihat konsekuensinya tidak main-main.

Laura selalu bangga diperlakukan seperti ratu oleh Marsell. Sebenarnya akhir-akhir ini dia juga mulai lelah dengan pekerjaannya. Kalaupun dia mengakhiri itu, dia masih memiliki Marsell sebagai sandaran.

"Apa seperti ini sudah cantik?" tanya Laura setelah mencoba pakaian.

"Kau selalu cantik menggunakan apa saja," puji Marsell sambil meraih pinggang kekasihnya posesif. Membuat wanita itu merona.

"Bungkus semua yang kekasihku pegang," ujar Marsell sebelum meninggal butik.

Mereka pun sampai di tempat yang sudah dipersiapkan oleh Marsell. Dia sudah menyulap sebuah lapangan sepak bola menjadi tempat yang begitu romantis.

"Sayang, kenapa mataku harus ditutup segala," protes Laura. Dia sangat penasaran dengan kejutan dari kekasihnya.

"Sebentar lagi kita sampai, hati-hati ..." Marsell menuntun kekasihnya sampai ke area yang sudah dipersiapkan.

Marsell membuka penutup mata kekasihnya. Membuat wanita itu menganga melihat lapangan sepakbola yang sudah disulap menjadi begitu romantis. Laki-laki itu pun menuntun kekasihnya ke tengah-tengah dekorasi bunga.

"Sayang ini sangat indah, bagaimana kau bisa mempunyai ide seperti ini." Laura tidak berhenti berdecak kagum.

"Laura ...," panggil Marsell. Dia sudah berlutut di depan kekasihnya.

"Marsell kau!"

"Laura ... maukah kau menikah denganku?" tanyanya dengan yakin.

Laura terharu, dia juga sangat bahagia mendapatkan kejutan seperti itu. Lalu mendengar kekasihnya mengajaknya untuk menikah. Dia langsung mengangguk setuju.

"Ya, aku mau."

"Yess! Terimakasih sayang. Aku akan memasang cincinnya sekarang."

Baru saja cincin itu hampir terpasang, tapi ponsel Laura berbunyi ternyata itu dari sang manager.

"Sebentar aku angkat telepon dulu," kata Laura. Betapa bahagianya mendengar kabar yang membahagiakan bertubi-tubi hari ini. Baru saja sang kekasih melamarnya sekarang managernya mengabari kalau namanya telah lolos seleksi lima besar untuk mendapatkan penghargaan impiannya.

"Sayang ada apa?" tanya Marsell.

Laura langsung memeluk kekasihnya. "Sayang aku lolos, sedikit lagi aku bisa mendapatkan penghargaan itu."

Marsell tidak tau harus berkata apa, dia bingung dengan situasi itu sekarang. "Selamat, kau hebat."

"Terimakasih sayang, ayo kita pasang cincinnya."

Marsell bergeming, menatap cincin itu.

"Ada apa? Kenapa kau tidak memakaikan cincin itu di jariku?"

"Bisakah kita menikah secepatnya. Kau masih bisa bernyanyi setelah kita menikah. Aku tidak akan menghalangimu," ujar Marsell.

"Itu ... tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi. Hanya sampai aku mendapatkan penghargaan itu. Aku janji akan meninggalkan semuanya setelah itu."

"Tidak bisa, aku tidak bisa menunggu lagi. Kita akan menikah satu bulan lagi. Kau mau kan?"

"Ada apa denganmu Marsell. Bukankah kau bilang akan menunggu?" Laura kecewa, tapi dia tidak tau kalau Marsell jauh lebih kecewa. "Aku tidak bisa menyerah sekarang ...," sambung Laura.

"Baiklah, jadi itu pilihanmu? Aku harap kamu tidak menyesalinya." Marsell memasukkan kembali cincinnya. Dia benar-benar kecewa, haruskah dulu dia tidak mengijinkan kekasihnya pergi mengejar mimpinya. Harusnya dulu dia tidak mendukungnya.

"Marsell, apa maksudmu?"

"Ayo, aku akan mengantarmu," ujar Marsell lalu dia berjalan lebih dulu.

Di dalam mobil bahkan keduanya tidak berbicara. Hingga sampai tidak ada perpisahan yang manis seperti biasanya. Marsell terlanjur kecewa dengan keputusan kekasihnya. Setelah Laura turun dia langsung pergi dari sana.

"Langsung ke bandara," titah Marsell. Tidak ada gunanya berlama-lama di sana.

Sementara Laura menatap kepergian Marsell dengan kepedihan. Apa mungkin dia sudah salah memilih tapi tidak ada salahnya kan mengejar impiannya. Dia meyakini kalau Marsell pasti akan mengerti nanti, pada saat ia kembali laki-laki itu pasti akan luluh.

Beberapa hari kemudian.

Marsell sama sekali tidak lagi menghubungi kekasihnya. Meski Laura beberapa kali menghubunginya tapi dia tidak membalas atau mengangkat telepon dari Laura. Namun, dia masih berbaik hati dengan membiarkan dukungan tetap mengalir untuk Laura. Sebenarnya dia sangat mampu menghentikan langkah Laura dan memaksa kekasihnya kembali tapi tidak Marsell lakukan. Dia ingin semuanya tulus dari keinginan Laura sendiri.

Tok tok tok.

"Tuan, Nyonya besar meminta anda kembali," ujar sang asisten.

Marsell bisa menebak apa yang akan dikatakan omanya. Beberapa hari yang lalu sang Oma sudah keluar dari rumah sakit dan keadaannya sudah membaik jadilah Marsell tidak datang menemui omanya. "Aku akan pulang hari ini," jawab Marsell tanpa mengalihkan pandangannya pada layar monitor.

...

Sesuai janjinya Marsell pulang ke rumah omanya. Selama ini dia memilih tinggal di apartemen miliknya karena merasa tidak betah tinggal di sana. Terutama dengan paman dan bibinya yang tidak menyukainya.

"Selamat malam Oma," sapa Marsell.

"Akhirnya kau datang juga. Duduklah," ujar sang Oma.

Tiga orang di sana menatap Marsell tidak suka karena mereka merasa Oma selalu pilih kasih pada cucu pertamanya itu. Terutama sang paman yang merupakan suami dari adik ayahnya Marsell. Dia ingin sekali menjadi putranya pewaris juga tapi Oma bahkan tidak membiarkan putranya bekerja di perusahaan.

"Ck, cucu kesayangan Oma bahkan tidak menemani Oma di rumah sakit. Dia hanya melihat Oma sekali, setelah itu sama sekali tidak memperdulikan Oma," sindir sepupu Marsell. Usia mereka tidak berbeda jauh, bedanya Marsell sudah berhasil memimpin perusahaan tapi sepupunya yang bernama Rico itu hanya tau bersenang-senang.

"Diamlah Rico! Oma tidak menyuruhmu bicara. Makan saja makananmu."

Rico memegang sendok makannya dengan kesal karena sang Oma selalu saja membela Marsell.

"Habiskan makananmu nak," ujar ibunya yang merupakan bibi Marsell. Sebenarnya sikapnya cukup baik hanya saja dia mudah terprovokasi oleh suami dan anaknya.

Marsell duduk dengan tenang, tidak memperdulikan paman dan sepupunya yang menatapnya dengan tajam. Dia sudah terbiasa, bahkan sejak kecil. Saat omanya tidak ada, paman dan sepupunya itu sering membully nya.

"Anak sialaaan ... kau selalu saja menghalangi jalanku," geram sang paman dalam hati. Dia merasa tidak adil, sudah bertahun-tahun mengabdi di perusahaan milik keluarga istrinya tapi hanya menjabat sebagai bawahan.

3. Gadis Dari Desa

"Jadi apa keputusanmu? Apa dia mau kembali?" tanya Oma. Mereka sekarang sedang berdua di ruang baca.

Marsell tau apa yang akan ditanyakan omanya, dia sudah kalah. Tidak mampu membawa kekasihnya kembali.

"Aku akan menuruti perintah Oma," ujar Marsell.

Oma tersenyum tipis, akhirnya cucunya melepaskan wanita itu.

"Baiklah, karena kau sudah setuju. Besok Oma akan perkenalkan kamu dengan wanita pilihan Oma."

"Hmm ... kalau tidak ada lagi yang mau Oma bicarakan. Aku akan kembali ke kamarku," kata Marsell. Dia sama sekali tidak menolak lagi.

"Tinggu nak, apa kamu tidak ingin tau siapa wanita itu?"

"Tidak Oma, apapun pilihan Oma pasti itu yang terbaik. Aku ke kamar dulu Oma." Marsell pun berpamitan.

...

"Nyonya besar, tampaknya tuan muda terlihat tidak baik-baik saja," ujar sang asisten setianya.

"Iya, aku juga melihatnya. Dia akan melupakan wanita itu pelan-pelan." Oma sangat yakin kalau wanita pilihannya adalah wanita yang tetap untuk mendampingi cucunya. "Kau suruh orang kita untuk menjemputnya," titah Oma.

"Baik Nyonya."

...

Paginya di meja makan.

"Cucuku, jangan lupa hari ini kamu harus pulang lebih cepat," ujar Oma.

"Ada apa Oma?"

"Apa kau lupa, kamu sudah setuju rencana perjodohan Oma. Hari ini gadis itu akan datang, Oma harap kamu bisa pulang lebih cepat untuk makan malam bersama."

"Baiklah, akan aku usahakan Oma." Marsell tidak punya pilihan lain lagi, selain mengikuti kemauan omanya.

Sementara sang paman terlihat tidak suka karena keponakannya mau menuruti permintaan ibu mertuanya. Ia berharap Marsell menentang kemauan wanita tua itu agar hubungan mereka memburuk.

"Kak Marsell mau menikah dengan siapa Oma, bukankah kekasihnya masih ada di luar negeri?" tanya Nico.

"Dengan pilihan Oma. Wanita yang jauh lebih baik dari pada penyanyi itu."

"Apa kak Marsell sudah tidak mencintai kekasihnya itu? Sayang sekali, padahal dia sangat cantik dan seksi. Teman-temanku bahkan selalu membayangkan kak Laura," ledek Nico.

Mendengar itu Marsell marah dan meletakkan sendoknya dengan kasar. Semua orang sampai tersentak. Tidak berhenti di situ. Marsell bahkan mencengkeram kerah sepupunya.

"Aku peringatkan kau dan teman-temanmu jangan sekali-kali menghina Laura dengan tatapan mesum kalian!! Laura wanita baik-baik dan terhormat," geram Marsell.

"Hahaha, apa Kakak tidak lihat bagaimana cara berpakaiannya di atas panggung. Bagaimana tidak membuat laki-laki berpikir seperti itu. Jangan salahkan kami, ajari saja kekasihmu cara berpakaian yang benar," ledek Nico, dia tidak ada takutnya pada Marsell meski sudah sering terkena amukannya.

"Marsell, sudah nak. Maafkan adikmu, dia hanya bercanda. Tolong lepaskan tanganmu," pinta bibi Marsell sambil ketakutan. Bukan sekali ini anaknya membuat ulah, dia takut ibunya makin tidak menyukai putranya yang susah diatur itu.

"Minta maaf pada kakak sepupumu, nak," perintah Sira pada putranya.

"Aku tidak bercanda Mah, memang kenyataannya seperti itu." Nico makin menantang Marsell yang saat ini sudah merah padam wajahnya. Tangannya sudah mengepal, siap untuk memukul.

"Nico! Minta maaflah," seru Sira lagi.

Mereka berdua saling menatap tajam tidak ada yang mau mengalah. Marsell semakin kuat mencengkram kerah baju sepupunya sampai leher Nico terasa tercekik. Tapi Nico juga tidak mau mengalah lebih dulu.

"Sudah, sudah lepaskan dia, Marsell. Habiskan saja makananmu, bukankah kau ada meeting pagi ini," ujar Gina sang Oma. Melerai kedua cucunya yang hampir tidak pernah akur.

Dengan terpaksa Marsell melepaskan cengkeramannya, mendorong tubuh sepupunya sampai hampir terjungkal kalau saja Sira tidak segera menangkapnya. "Kau tidak apa-apa nak?" tanya Sira.

"Aku sudah kenyang, aku akan berangkat sekarang Oma," pamit Marsell.

"Hati-hati nak." Oma menghela nafasnya. Padahal sudah banyak orang yang mengatakan hal itu tapi mata Marsell tidak terbuka juga.

"Mah, maafkan Nico. Dia tadi hanya bercanda pada Marsell." Sira takut putranya terkena amarah ibunya lagi.

"Nico ...," panggil Gina.

"Iya Oma."

"Mah, maafkan Nico. Dia tidak sengaja mengatakan hal itu. Mah ... jangan hukum dia lagi." Sira terus memohon untuk putranya tapi diabaikan.

"Nico, ambillah kartumu lagi di laci kamar Oma."

Semua orang terheran-heran, karena biasanya jika Nico membuat masalah dengan Marsell pasti dia akan berakhir dihukum. Bahkan sudah dua Minggu ini kartu kreditnya ditahan sang Oma karena terakhir kali dia membuat Marsell kesal.

"Terimakasih Oma." Nico tersenyum bahagia. Padahal dia sudah siap dihukum tapi omanya justru tidak menghukumnya. Justru membebaskannya dari hukuman.

...

Di dalam mobil. Seorang gadis cantik dengan penampilan sederhana. Sedang melamun memandangi jalanan kota yang cukup ramai. Dia adalah Meisya. Seorang gadis muda berusia Dua dua puluh tiga tahun. Yang akan dijodohkan dengan Marsell.

Pikiran Meisya dipenuhi tanda tanya, akankah dia diterima oleh keluarga Gina. Dia telah mengenal Gina, wanita yang begitu baik padanya dan keluarganya tapi akankah cucunya juga sebaik Oma Gina.

"Nona, kita sudah sampai," ujar supir yang menjemput Meisya dari desanya.

"Ohh iya, terimakasih Pak."

Meisya segera turun, membawa tasnya yang berisi pakaian. Dia menggunakan kemeja panjang dan rok panjang, sangat sederhana tapi tetap terlihat cantik bahkan tanpa makeup yang menghiasi wajahnya.

"Biar saya bawakan tasnya, Nona."

"Tidak usah Pak. Saya bisa membawanya sendiri. Oh iya apa benar ini rumahnya Oma Gina?" tanya Meisya. Dia tidak menyangka kalau Gina begitu kaya, rumahnya sudah seperti istana dengan pelayan yang begitu banyak. Dari pintu gerbang sampai di depan rumah saja ia melihat banyak pelayan.

"Benar Nona, ini rumah Nyonya besar. Selamat datang di rumah ini Nona Meisya," ujar asisten kepercayaan Oma Gina sekaligus kepala pelayan di rumah itu.

"Anda??"

"Saya Jeni, Nona. Kepala pelayan di rumah ini. Mari silahkan masuk. Nyonya besar sudah menunggu anda," sapa Jeni lalu mempersilahkan Meisya untuk masuk.

"Terimakasih Bibi Jeni."

"Cukup panggil saya Jeni, Nona."

"Ah tidak Bibi, itu tidak sopan. Bibi lebih tua dariku," ujar Meisya.

"Kalau begitu panggil saya asisten Jeni saja, Nona," pinta asisten Jeni pada Meisya. "Silahkan berikan tasnya pada pelayan, biar Nona bisa bertemu dengan Nyonya besar dengan nyaman."

"Baiklah bibi asisten," ujar Meisya membuat para pelayan terkekeh.

Meisya tidak mungkin memanggil orang yang lebih tua darinya dengan memanggil namanya langsung.

Asisten Jeni pun membawa Meisya memasuki rumah itu tapi tak sengaja bertemu seseorang.

Nico baru saja mengambil kartu kreditnya. Dia akan berpesta dengan teman-temannya hari ini. Dia menuruni tangga sambil bersiul dan menciumi kartu kreditnya. "Akhirnya kau kembali juga sayangku," ujar Nico bermonolog sendiri.

"Anda mau kemana Tuan Nico? Tolong jangan melakukan hal yang membuat Nyonya besar kesal lagi." Jeni yang melihat Nico menatap curiga.

Nico segera menyembunyikan kartu kreditnya. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak ikut campur urusan orang lain, aku ini juga majikanmu. Kamu fokus merawat Oma saja," ketus Nico. Tatapannya beralih pada sesosok gadis dengan pakaian tertutup dan bergaya kampung.

"Apa dia pembantu baru kita, Jeni? Akhirnya ada yang masih muda juga pembantu kita," ujar Nico melihat Meisya. "Hai, aku Nico. Siapa namamu?" sapa Nico kemudian.

Meisya melihat Nico, dalam pikirannya bertanya-tanya. Apa mungkin laki-laki itu yang akan dijodohkan dengannya, karena Meisya belum pernah melihat wajah Marsell. Kalau iya, sungguh tidak tau sopan santun sekali calon suaminya.

"Mari Nona, Nyonya besar sudah menunggu anda." Jeni membuyarkan lamunan Meisya.

"Tunggu Jeni, siapa dia?" Nico mencegah Jeni.

"Sebaiknya anda tidak menghalangi kami. Jangan sampai membuat Nyonya besar menunggu lama," tegas Jeni.

Nico yang baru saja mendapatkan kartunya kembali langsung menyingkir. Tidak ingin omanya kembali menahan kartunya, tapi dia penasaran dengan gadis itu. Jadilah dia mengikuti mereka dan menguping pembicaraan mereka dengan Omanya.

"Tuan Nico, sebaiknya anda tidak di sini. Atau Nyonya besar akan berubah pikiran lagi." Jeni memergoki Nico berada di depan pintu.

"Baiklah, baiklah. Aku akan pergi."

Meisya sudah ada di dalam kamar Oma Gina.

"Apa kabarmu, nak? Kemarilah, biar Oma melihatmu." Oma menggerakkan tangannya menyuruh Meisya mendekat.

"Saya sehat Oma, bagaimana kabar Anda?" tanya Meisya.

"Oma sangat baik nak. Kau semakin cantik sayang. Oma tidak salah memilihmu untuk menjadi cucu menantu Oma. Sementara kamu akan tinggal di sini, nanti Jeni akan mengantarmu ke kamar yang sudah disiapkan."

"Oma ... boleh saya bertanya?" ragu Meisya.

"Ya sayang, katakanlah. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tebak Oma.

"Apa cucu Oma menerima perjodohan ini? Apa dia mau menerimaku. Wanita yang hanya berasal dari desa." Meisya tentu saja merasa minder. Keluarganya dan keluarga Oma Gina bagaikan langit dan bumi. Apa mungkin dia pantas bersanding dengan cucunya.

"Kau ini bicara apa nak. Oma sudah pernah bilang kalau Oma tidak pernah melihat orang dari status sosialnya. Kamu gadis baik, Oma sudah mengenalmu dari kecil dan Oma juga mengenal kedua orangtuamu. Oma percaya kalau mereka pasti mendidikmu dengan baik dan cucu Oma pasti juga akan menyukaimu kalau dia sudah mengenalmu."

"Begitukah." Meisya sedikit lega. Dia sungguh tidak ingin dikucilkan di tempat itu. Lebih baik dia hidup di desa dengan kedua orangtuanya dari pada di kota besar seperti itu. Kalau saja tidak mengingat bagaimana kebaikan Oma Gina.

"Sekarang kamu beristirahatlah, nanti kita makan siang bersama. Jeni, antarkan Meisya ke kamarnya," perintah Oma.

"Baik." Jeni membungkukkan tubuhnya. "Mari nona, saya akan menunjukkan kamar Anda."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!