Dianggap sebagai pembawa sial dalam keluarga. Joana Alexandra harus hidup dalam kemiskinan yang berbanding terbalik dengan semua saudaranya yang bergelimang harta dan tidak pernah kekurangan.
Joana merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara. Meskipun Dia anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Dia dianggap aib keluarga karena kelahirannya yang merupakan hasil hubungan gelap antara Ibu dan kekasih gelap Ibunya. Hingga pada saat kematian Ayahnya, Joana ditinggalkan tanpa warisan sepeserpun. Kakaknya juga juga tidak sudi membagi sedikit warisan dari Ayah kandung kepada anak yang tidak jelas.
Joana bekerja di perusahaan penerbitan buku, Dia bekerja menjadi editor novel dengan pangkat karyawan biasa.
Hari-harinya bekerja tampak biasa.
Pagi itu Joana sampai di kantor tempatnya bekerja, Ia tampak sibuk mengedit kalimat-kalimat dalam naskah yang Dia edit sebelum diserahkan kepada pusat percetakan. Naskah yang kali ini Joana revisi adalah sebuah novel tragedi yang berlatar kerajaan dengan genre fantasi. Yang mana dalam novel diceritakan tentang jiwa seorang tentara wanita yang berpindah dimensi masuk kedalam novel menjadi antagonis. Sang tentara tersebut harus menghindari kematian yang sudah tertulis di dalam novel, sehingga dengan pengalamannnya sebagai tentara, Dia berhasil mengubah takdir dan mencintai sang antagonis pria yang bernama Killian.
Entah karena apa kehidupannya yang begitu sial, Joana bangun di tempat asing dengan tubuh lemas tak berdaya.
Ketika membuka matanya, Joana mendapati dirinya di sebuah ruangan bernuansa retro ala eropa kuno. Dengan dinding yang berwarna putih polos dan furnitur yang kebanyak terbuat dari kayu yang sangat bagus kualitasnya dengan ukiran yang sangat indah tentunya.
Joana bangun dengan tertatih hingga akhirnya setelah berjuang keras ia dapat bersandar di sandaran ranjang yang bertiang dengan korden putih yang senada dengan alas tidurnya.
“Kau, bisakah kau membantuku?” Ujar Joana dengan suara serak pada seseorang yang memakai gaun pelayan berwana hitam dan putih ala pelayan zaman dulu.
Wanita paruh baya itu hanya diam seolah mengabaikan Joana yang tengah berusaha bangun.
“Hei, Kau.” Sekali lagi Joana memanggil wanita itu. Tapi sayangnya wanita itu tidak bergerak sama sekali.
Joana mencoba membuka matanya lebih lebar mengamati sosok disamping pintu besar yang berukirkan corak dengan emas.
Memang benar Dia tidak salah lihat, memang benar ada seseorang disana.
“Hei-“ Sebelum Joana berteriak lebih dalam, tiba-tiba kepala Joana terasa sakit seperti ada sebuah martil besar yang menimpa dari atas kepalanya dengan sangat keras.
Di iringi dengan dengan rasa sakit yang luar biasa, tiba-tiba ingatan yang bukan miliknya mulai menyeruak masuk di otaknya.
“Ahhh- Sak—ittt” Joana menggeram kesakitan menarik rambutnya sekuat mungkin mencoba mengurangi rasa sakit dikepalanya. Joana terjatuh dari kasurnya, tergeletak meringkuh kesakitan dengan kedua tangan masih menarik rambutnya yang hitam.
Sementara pelayan yang terlihat tadi hanya menampilkan wajah biasa dan meninggalkan kamar seperti tidak terjadi apa-apa.
Joana kemudian terisak tersedu-sedu setalah ingatan-ingatan kejam dari orang lain masuk seakan menjadi ingatannya sendiri.
“Apa ini? Ini bukan ingatanku?” Joana meringis menahan kesakitan dan ingatan yang masuk perlahan.
Flashback on
Joana sudah selesai merevisi novel pada jam 11.30 malam. 30 menit menuju tengah malam. Joana pulang dengan berjalan kaki karena letak kos-kosannya berdekatan dengan kantor Dia bekerja.
Dengan tubuh sempoyongan lelah akibat seharian duduk mengamit komputer, Joana dengan lemas memperhatikan jalanan yang masih sangat ramai penuh dengan hingar bingar meski sudah masuk tengah malam.
Sejenak ia melihat gedung pencakar langit yang terlihat sangat berkilau di tengah malam yang dingin menusuk. Itu adalah perusahaan milik keluarga Ibunya yang sudah diambil alih oleh kedua kakak laki-laki yang membuangnya. Ia menatap gedung tinggi itu dengan tatapan sendu, Apakah ini salahnya harus dilahirkan sebagai anak haram? Sepersekian detik air mata menetes di mata hitamnya, tapi langsung dia hapus seketika.
Joana kembali melangkahkan kakinya menuju gang yang tidak terlalu menyeramkan karena penerangan masih menyala dengan terang.
Joana tersenyum lega ketika melihat kosnya sudah nampak didepan mata.
Namun pada detik berikutnya, senyum Joana luntur merasakan nyeri dibagian dada sebelah kirinya.
Ia menunduk menatap tajam pada sebuah tangan besar yang menusukkan pisau tepat di jantung gadis itu dari depan sesaat sampai di pertigaan gang.
Joana terkapar lemas di atas jalanan yang sepi. Pria berjubah hitam itu kemudian mengambil pisau yang masih tertancap di dada Joana lalu meninggalkannya sendiri tergeletak bersimbah darah yang kian banyak ketika pisaunya dicabut untuk meninggalkan barang bukti.
Flashback off
Joana terbangun dari tidurnya dengan meringkuk di sisi bawah ranjang yang besar. Ia tertidur setelah menangis menahan rasa sakit luar biasa dan ingatan aneh yang tiba-tiba masuk di otaknya.
Joana bangkit dan berjalan sempoyongan menuju cermin yang digunakan sebagai meja rias.
Ia mengamati bayangan dirinya dari pantulan cermin, tubuh yang sama namun berbeda. Joana memegang pipinya dan kemudian menamparnya. “Aww. Sakit.” Racaunya pada diri sendiri masih menatap cermin menyamakan gerakannya dengan di cermin.
Mengenakan gaun tidur tebal berwana putih dengan renda yang berputar di bawah gaunnya. Ia mengamati wajah putihnya, rambut hitamnya, tubuh kurusnya.
“Ini wajahku, ini tubuhku, tapi... Mata ini...” Gumam Joana kemudian menatap tajam bayangan warna bola mata yang tampak di cermin. “Mata Biru...”
Hingga setelah beberapa saat mengamati dirinya dari balik cermin. Joana berganti menatap ruangan asing dimana ia berdiri. Ia merasa familier dengan ruangan ini. Ruangan putih yang ada dalam ingatannya.
“Iya, ingatan.” Gumam Joana. “Aku di tusuk di bagian dada.” Sambungnya seraya menyentuh area dada bekas tusukan yang seharusnya sakit tapi tidak terasa sakit sekalipun.
Sedetik kemudian, Joana menyadari situasi dengan ingatan yang bukan miliknya tiba-tiba menyeruak di dalam otaknya.
“Apa aku pindah dimensi?” Joana mulai gusar dengan ingatan dan tempat yang asing namun familier baginya. “Oh, God. Jika kau mau membuangku kesini setidaknya berikan aku kehidupan yang bahagia, damai, dan sentosa. Jangan malah kehidupan sial yang sama dengan kehidupanku dulu.” Joana merutuki siapapun yang dianggapnya sebagai penyebab ia di Negeri antah berantah bernama Kerajaan Foresta Fredda yang berarti Kerajaan Hutan Dingin.
Bagaimana Joana tidak merutuki, dia berada ditubuh Joana Adalberto. Putri bungsu yang terabaikan dari keluarga Duke Ferio Adalberto yang terkenal kejam dengan sihir kegelapannya.
Namun yang lebih kejam disini adalah, Joana harus hidup menggantikan putri Duke yang lemah dan tidak memiliki sihir, sehingga Dia diabaikan seluruh keluarganya. Dan bahkan Duke memilih mengadopsi anak perempuan seusianya menggantikan Joana yang tidak berguna.
Di dunia ini sihir adalah segalanya. Sihir menduduki puncak piamida kekuasaan. Jika tidak memiliki sihir maka orang tersebut akan dianggap sebagai buangan masyarakat. Apalagi Joana yang sudah terkenal menjadi aib keluarga Adalberto sebagai Lady bangsawan yang terbuang.
Joana tertawa getir meratapi kehidupan keduanya ini. Ia masih berdiri di depan cermin yang menampakkan sosok cantik dibaliknya. “Hahaha” Joana tertawa seakan menertawakan kehidupannya yang memang tidak pernah baik. Baik di kehidupan pertama maupun kehidupan kali ini.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berjalan masuk ke kamar tanpa ketukan atau izin untuk memasuki kamar seorang Nona yang dilayaninya.
Dengan tatapan meremehkan, wanita itu berjalan dengan santai membawa semangkuk sup menjijikan diatas meja yang biasa Joana gunakan untuk makan di dalam kamarnya.
Joana ingat, Dia adalah wanita yang mengabaikan saat dirinya merintih kesakitan. Juga dalam ingatan Joana sebelumnya, wanita itu sering membawakan makanan sampah yang mau tidak mau dimakan oleh Joana karena hidup sebagai Lady terbuang.
Joana menatap wanita dengan pandangan dingin, sementara wanita berbaju pelayan itu dengan santai meletakkan mangkok dengan sembarangan sehingga cairan kotor itu sedikit terciprat ke atas meja.
“Silahkan dimakan, Nona.” Ujar pelayan dengan nada merendahkan. Meskipun dengan embel-embel nona di depan, Dia tidak memberikan rasa hormat sama sekali.
Joana mengamati wanita itu dengan wajah datar namun terkesan menekan. Ia berjalan pelan ke arah meja dan kursi yang terdapat sup menjijikkan itu. Terlihat senyum miring di bibir wanita tua itu, mungkin yang ada dipikirannya adalah selamat menikmati hidangan sampah mu nona.
Joana tidak duduk. Dia mengambil mangkuk itu kemudian melemparkannya tepat mengenai kening pelayan tua itu.
Cairan menjijikkan itu juga terciprat kesembarang arah. Joana tidak peduli. Saat ini yang Dia pedulikan adalah membalas wanita tua yang tidak tahu rasa hormat mempelakukan majikan dengan semena-mena.
Wanita itu menggeram kesakitan. Darah mengalir deras di kening keriput itu. Namun Joana hanya diam dengan wajah datar kemudian duduk di samping ranjang dan menyilangkan kakinya dengan anggun.
“Apa seperti itu sikapmu melayani nona muda keluarga Duke Adalberto?” Tanya Joana masih memasang wajah dinginnya.
Wanita tua itu terkejut dengan tindakan nona di depannya. Biasanya nonanya hanya menunduk dan memasang wajah murung. Tapi apa ini? Dia memasang wajah tegas seperti kaum bangsawan.
“Hei, kalau nona tidak mau makan ya sudah, Saya tidak akan membawakan makanan lagi untuk Anda.” Ujarnya dengan senyum sinis memegangi keningnya yang berdarah dan hendak meninggalkan kamar.
“Kau mau kemana?” Joana menghentikan langkah pelayannya.
Pelayan itu berbailik dan masih dengan angkuh, “Apa lagi?”
“Jilati itu.” Timpal Joana dengan melirik cipratan cairan manjijikkan diatas lantai yang dibilang sup oleh pelayan itu.
“Apa Kau sudah gila? Bagaimana mungkin Aku menjilati sampah itu?” Pelayan itu ternganga tidak percaya dengan perintah nonanya. Joana yang selama ini bersikap lembut dan pemalu sudah hilang, diganti dengan Joana yang dingin dan tegas.
“Jika menurutmu sampah, kenapa Kau malah memberikan padaku?” Joana dengan tatapan dingin menatap tajam netra coklat dari pelayannya itu. “Cepat jilati sampah itu atau-“ Joana menggantungkan kalimatnya mengamati reaksi pelayan kurang aja di dedepannya. “Kupecat kemudian kubunuh seluruh anggota keluargamu tanpa ada boleh satupun yang hidup.” Sambungnya dengan nada mengancam.
Seketika pelayan itu gemetar dengan sikap nonanya yang tidak biasa. Seperti tidak ada keraguan dalam ucapannya. Pelayan itu kemudian terduduk meminta maaf pada Joana. Badan pelayan itu sudah gemetar dengan ancaman yang terlihat sungguh-sungguh. “Nona, Maafkan Saya. Saya akan membawa makanan yang baru.” Ujarnya sembari bersujud mengemis meminta pengampunan.
Joana kemudian berdiri menuju nakas disamping tempat tidurnya. Dia meraih vas bunga kemudia melempar tepat mengenai pucuk kepala pelayan itu.
Suara riuh vas pecah juga membawa keributan di dalam kamar sederhana Joana.
Wanita tua itu pingsan dengan darah yang semakin banyak keluar dari kepalanya.
Mendengar suara riuh dari balik kamar Joana. Beberapa pelayan dengan santainya masuk ke dalam tanpa mengetuk atau permisi.
Tiga pelayan muda membuka pintu kemudian masuk dan menemukan pemandangan yang cukup mengerikan. Mereka kira nonanya lah yang akan dalam bahaya karena ulah pelayan senior. Tapi pemandangan yang tersaji malah pelayan senior mereka pingsan meringkuk dengan darah di kepala.
Mereka menutup mulutnya karena terkejut, sedetik kemudian melirik seorang gadis cantik bergaun tidur berwana putih dengan tatapan dingin duduk menyilang diatas ranjang.
“Apakah ini cara kalian dididik sebagai pelayan rendahan yang tidak tahu sopan santun?” Suara Joana dengan nada dingin menyerbak seisi ruangan.
Ketiga pelayan itu merasa ketakutan kemudian mendudukkan diri bersujud minta maaf.
“Maafkan kami Nona.” Ujar salah satu pelayan pelayan berambut coklat pendek dengan frekles memenuhi pipinya.
“Kau.” Tunjuk Joana pada gadis yang meminta maaf padanya. “Bersihkan kekacauan ini dan ambilkan aku makanan yang layak.” Sambung Joana melirik kekacauan ulahnya sendiri. “Dan kalian berdua, bawa wanita tua itu enyah dari pandangannku.”
Ketiga pelayan itu mengiyakan dengan gemetar rasa takut.
“Oh, ya.” Joana kembali bersuara ketika melihat ketiga pelayan muda itu bangkit berdiri hendak melaksanakan perintah. “Setelah ini minta gaji dan pesangon pada Kepala Pelayan, karena Aku sudah memecat kalian berempat.”
Ketiga pelayan itu hendak membuka suara tidak terima putusan pemecatan tiba-tiba ini. Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, “Maafkan kami nona.” Ketiganya kembali dalam posisi bersujud minta maaf dengan tangis yang tidak bisa dibendung. “Hiks, hiks, maafkan Kami nona, jika Kami dipecat Kami tidak bisa bekerja ditempat lain lagi Nona” Ketiga pelayan itu terisak dengan tangisan.
Joana menatap jengah ketiga pelayan itu. “Apa peduliku? Kalian bersikap kurang ajar pada Nona yang kalian layani.”
“Hiks, tapi nona-“ Salah satu pelayan membuka suara mencoba meminta pengampunan. Ada rasa bersalah pada manik mata ketida pelayan itu.
“Jika dalam hitungan tiga kalian tidak melaksanakan perintahku, kalian akan bernasib seperti wanita tua itu.” Joana dengan nada dingin dan mengancam akhrinya membuat ketiga pelayan itu melakukan perintahnya.
15 menit kemudian, pelayan yang membersihkan ruangan Joana sudah pergi setelah memberikan sepiring steik daging dan potongan kentang.
Joana kemudian memakan makanan tersebut dengan damai.
Sementara itu di ruangan kerja Duke Ferio Adalberto, Kepala Pelayan Eiden sedang membicarakan masalah yang di sebabkan oleh Lady Joana Adalberto.
“Tuan, Saya mendapat laporan Nona Joana memecat tiga pelayan muda dan membunuh satu pelayan senior yang melayaninya, Tuan.” Ujar pria berambut putih yang termakan usia.
“Apa anak itu membuat masalah lagi, Eiden?” Balas Duke tanpa menoleh ke arah kepala pelayan dan masih fokus dengan berkas di tangannya.
“Nona memukul pelayan senior hingga meninggal, Tuan.” Kepala Pelayan mengucapkannya dengan sedikit ragu. Pasalnya jika nonanya itu membuat masalah, maka nonanya akan mendapat hukuman pemecutan dari Ayahnya.
Mendengar penjelasan Kepala Pelayan, akhirnya sang Duke menatap tajam pria tua di depannya. “Apa kegilaannya kali ini sampai membunuh seorang pelayan?” Sahut Duke dengan tatapan tegasnya. Seperti sudah biasa mendengar kegilaan dari putri kandung yang selalu meminta perhatiannya.
“Karena pelayan memberikan makanan sampah, Tuan.” Jawabnya dengan ketakutan pada sosok Duke kegelapan.
Duke Ferio lantas tersenyum sinis mendengar penjelasan kepala pelayan. “Aku akan menemui Anak itu sekarang.” Duke Ferio bangkit dari duduknya berjalan menuju lantai tiga tempat Joana tinggal di ikuti kepala pelayan dari belakang.
Joana tinggal dilantai tiga sendirian, sementara kedua kakak laki-laki dan saudara perempuan yang diadopsi oleh Duke Ferio tinggal di lantai dua kediaman Duke Adalberto.
***
Joana menatap malas pada kedua pria berbeda usia yang membuka pintu kamarnya tanpa permisi. Mereka adalah Ayah dari sosok dari tubuh yang tempatinya dan yang berdiri di belakangnya pasti Kepala Pelayan Eiden.
Joana membuang napas, “Bisakah kalian memberikan kedamaian padaku?” Gumam Joana lirih sembari menatap malas kedua pria itu dan memilih melanjutkan memotong daging steiknya.
“Jadi apa yang Kau inginkan sekarang, Joana? Apa kau membunuh pelayan agar mendapat perhatian lagi?” Sahut sinis duke pada putrinya, seakan tahu setiap keributan Joana pasti bertujuan untuk meminta perhatian darinya.
Joana tersenyum sinis kemudian meletakkan alat makannya diatas piring. “Jadi dia mati? Syukurlah.” Balas Joana mengulas senyum yang terkesan menyeramkan. Kemudian menoleh ke arah orang yang disebut Ayah oleh pemilik tubuh. “Saya tidak butuh perhatian dari Anda lagi, Tuan Duke Ferio Adalberto Yang Terhormat.”
Kedua pria berbeda usia itu terkejut dengan balasan yang diberikan padanya. Biasanya putri kandungnya ini akan menangis dan bersujud meminta maaf atas kesalahannya. Tapi apa ini? Bahkan tidak ada rasa takut atau bersalah di wajahnya. Dan bahkan berani menjawab ucapannya dengan tegas.
“Oh, ya Kepala Pelayan.” Lirik Joana pada Kepala Pelayan yang berdiri dibelakang sang Duke. “Mulai hari ini, pecat semua pelayan yang melayaniku. Aku tidak mau melihat satupun pelayan lalu lalang di depanku.” Sambungnya dengan dingin memerintah Kepala Pelayan.
Duke Ferio terkejut dengan perubahan sikap putrinya. Seperti ada sosok lain yang menempati putrinya.
Sementara Kepala Pelayan yang mendapat perintah pemecatan, hanya diam dibalik punggung tuannya. Ia harus menunggu instruksi dari majikan di depannya.
“Siapa Kau?” Tanya Duke Ferio yang merasa tidak mengenal gadis di depannya. Karena Joana yang ia kenal adalah gadis penakut dan pemalu, selalu menundukkan kepala dimanapun berada. Serta dengan panggilan Duke Ferio Adelbarto yang Terhormat?.
Joana menatap jengah kepada Ayahnya lagi kemudian tersenyum culas pada sosok gagah yang memandanginya dengan heran. “Tentu saja Saya Joana, Yang Mulia. Putri kandung keluarga Adalberto yang terbuang.” Ujar Joana dengan nada mengejek pria yang disebut Ayahnya itu.
Deg! Duke Ferio merasa tertampar dengan ucapan putrinya. Memang benar Joana adalah putri yang terbuang karena tidak memiliki kemampuan sihir sama sekali. Tapi apa ini? Kenapa ia merasa bersalah padanya?
“Yang Mulia?” Beo Duke Ferio mengulang panggilan yang diberikan putrinya. Biasanya dia akan menyapanya dengan sebutan ‘Ayah’ dan senyum bodohnya.
Sekali lagi, Joana tersenyum sinis kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan nada dingin tanpa ekspresi. “Apa Anda mau Saya panggil dengan sebutan Ayah? Tapi apa Anda pantas?”
Seakan menohok hati yang terdalam Duke Ferio. Dia menatap putrinya dengan diam tanpa ekspresi beberapa saat, kemudian meninggalkan kamar putrinya di ikuti kepala pelayan. “Baiklah, bersikaplah seperti itu terus, Joana.” Gumamnya lirih sambil berjalan.
Duke berjalan cepat menuruni tangga seraya memikirkan perubahan sikap pada putrinya yang tiba-tiba.
“Ayah.” Panggil seorang gadis muda berambut pirang yang memiliki mata berwarna biru.
Jika dibandingkan, Joana adalah sisi gelap dan Marina ada sisi terang. Begitulah, karena Joana memiliki rambut hitam pekat seperti mendiang Ibunya, dan Marina memiliki rambut pirang yang bersinar.
“Apa Ayah baru menemui Joana? Apa Dia membuat masalah lagi, Ayah?” Tanya Marina yang hendak turun entah kemana.
“Marina.” Balas Duke menyadari keberadaan putri angkatnya. “Iya, Ayah baru menemui Adikmu, Joana.”
Setelah mendengar jawaban Ayahnya, Marina menuruni tangga beringan selayaknya Ayah dan Anak yang terlihat harmonis. “Kau mau kemana?” Ujar Duke mengalihkan pembicaraannya tentang Joana.
“Saya mau berlatih dengan Kak Jeremy, Ayah.” Jawab Marina dengan senyum khasnya.
“Baiklah.” Hanya itu yang Duke katakan kemudian berpisah dengan Marina menuju ruang kerjanya.
Sementara Kepala Pelayan masih di anak tangga terakhir karena Marina mencekal tangannya. “Masalah apa yang Joana perbuat kali ini?” Tanya Marina menyelidik dengan senyum culasnya.
Kepala Pelayan menghela napas kemudian menjawab pertanyaan dari nonanya. “Nona Joana membunuh seorang pelayan, Nona Marina.”
Mendengar hal itu, senyum miring muncul di bibir Marina tatkala mendengar masalah dari saudari perempuannya. “Semakin gila tu anak.” Gumamnya dengan senyum miring yang belum lepas. Kemudian dengan angkuh meninggalkan kepala pelayan menuju barak tempat latihan sihir.
***
Sementara di sisi lain, Joana tengah pusing dengan ingatan dari pemilik tubuh barunya.
Ia merebahkan tubuhnya dikasur empuk kemudian mengingat semua kenangan yang dimiliki Joana yang asli.
Betapa semakin gila dibuatnya ketika ia mengingat setiap nama yang berhubungan dengan pemilik tubuh.
“Marina, Jacob, dan Jeremy Adalberto?” Monolog Joana mengingat nama-nama saudaranya.
“Gilaaaaaaa!” Joana semakin berteriak tidak jelas mendapati nama-nama yang pernah ia kenal di kehidupan sebelumnya. “Bukankah itu nama tokoh di novel The Killian’s Love?” Joana duduk diatas ranjang dan mulai mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
Pikirannya melayang mengingat isi cerita dan akhir dari novel yang menjadi tugasnya dalam kehidupan sebelumnya sebagai editor.
Joana bangkit berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil kertas dan pena dengan gusar.
Well. Tokoh utama sesungguhnya di novel adalah Marina yang seorang transmigran dari abad 21 yang merasuki tokoh antagonis yang mengejar cinta Putra Mahkota. Kemudian tokoh protagonis dalam novel seharusnya Lady Ellia Earlene yang merupakan putri bangsawan jatuh yang di cintai Putra Mahkota, Kinsey De Fredda. Tapi karena Marina yang datang dari dunia abad 21 berjuang merubah takdir yang seharusnya mati terbunuh oleh Putra Mahkota mengajak Killian sebagai sekutu dan menghindari takdirnya mati dibunuh ditangan Putra Mahkota.
“Kemudian Joana? Siapa Joana?” Joana menghentikan tulisannya mencoba mengingat tokoh Joana dalam novel. Seingatnya nama Joana tidak pernah muncul di cerita. Jika pernah muncul pun Dia pasti mengingatnya karena kesamaan nama. “Tunggu-“ Gumam Joana di tengah pikirannya menghubungkan ingatan dalam novel dan ingatan pemilik tubuh.
“Kapan jiwa Marina abad 21 masuk?”
Sekali lagi, Joana merasa frustrasi dengan ingatannya yang dangkal. “Aku bahkan pusing dengan alur yang penulisnya buat!”
“Aku harus mengamati pergerakan Marina, pasti dengan perubahan sikap Marina menandakan jiwa baru memasukinya. Aku bisa memintanya menjadi sekutuku nanti.” Gumamnya kemudian. “Tapi bagaimana cara mengawasinya?” Joana menarik rambutnya dengan kasar kemudian menjatuhkan kepalanya diatas meja saking terlalu frustrasi.
“Ah, Putra Mahkota.” Ujar Joana tiba-tiba setelah mendapatkan pencerahan.
Dengan senyum seakan menemukan jalan keluar, Joana kembali berjalan menuju ranjang merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya.
***
Beberapa hari berikutnya, Joana Alexandra yang sudah menempati tubuh seorang gadis bernama Joana Adalberto tengah asik memasak di dapur yang berada di lantai tiga. Setelah pemecatan semua pelayan yang mengurus lantai tiga, akhirnya Joana dapat hidup dengan damai, tidak ada penganggu dan tidak ada suara tentunya.
“Ini lah hidup.” Gumam Joana memejamkam matanya menikmati hidangan sup Vellutata di Zucca dari Italy.
Meskipun sendirian di lantai tiga, tapi Joana merasakan kedamaian sesungguhnya. Menjadi keluarga kaya raya, tidak pernah kekurangan uang, dan ada bahan makanan yang selalu segar di pagi hari entah siapa yang membawanya, tapi di benak Joana inilah kedamaian yang sesungguhnya. Tetap kaya raya meskipun hanya berdiam diri, tidak peduli dengan urusan apa yang dilakukan oleh keluarganya yang berada di lantai dua.
Setelah makan, Joana memandangi pemandangan putih yang hamparan daratan yang tertutup salju tebal dari balkon kamarnya. Pemandangan yang tersaji hanya rentetan pohon yang entah namanya dengan hamparan salju menggunung. Jadi wajar kalau tempat yang di tinggalinya sekarang bernama Kerajaan Foresta Fredda atau Kerajaan Hutan Dingin. Jadi wajar juga kalau Joana selalu memakai gaun tebal dan syal yang menjaga kehangatan tubuhnya meski didalam rumah.
Kerajaan Foresta Fredda terkenal dengan para penyihirnya yang memiliki kekuatan luar biasa dibanding kerajaan lain. Banyak dari kerajaan tetangga takut dengan kehebatan para penyihir Kerajaan Foresta Fredda. Jika semua penyihirnya disatukan, bisa-bisa menghancurkan seluruh benua.
Ada enam jenis sihir yang ada di Kerajaan Foresta Fredda, yaitu api, tanah, air, udara, kegelapan, dan cahaya. Dan untuk sihir api terbagi lagi kedalam beberapa warna sesuai tingkatannya, dari tingkatan yang terendah yaitu api kuning, jingga, merah, biru, hijau, dan api hitam. Anggota Kerajaan biasanya memiliki sihir api hijau dan sihir cahaya secara bersamaan. Grand Duke Killian Edellyn memiliki sihir api hijau dan sihir kegelapan. Duke Adalberto dan putranya Jeremy memiliki api biru dan sihir kegelapan, sehingga Jeremy diangkat menjadi kepala kesatria di istana. Sedangkan Marina memiliki sihir api kuning, sihir api terendah. Dan Joana? Lady bangsawan terbuang karena tidak memiliki sihir sama sekali.
“Itu Marina?” Gumam Joana menyipitkan mata menemukan seorang wanita berambut pirang menuruni kereta kuda yang berhenti di depan gerbang tinggi. Terlihat Dia di temani oleh seorang pria tampan yang menurut Joana dalam ingatannya adalah sang kakak pertama, Jeremy.
Joana memandangi interaksi keduanya dengan lamat, netra birunya tidak mau melepas pandangannya pada Marina, sosok yang akan ia awasi dan menjadi sekutu.
Tiba-tiba ketika mencoba mengalihkan tatapannya menuju Jeremy, pria itu membalas tatapan Joana dari balik jendela bangunan lantai tiga. Meski Dia berada di halaman luar kediaman Duke, tapi tatapannya begitu tajam dan menusuk.
Sontak Joana terkejut dan menyembunyikan diri agar tidak terlihat. “Hampir saja.” Joana bersembunyi dibalik tirai sambil mengelus dadanya yang berdetak cepat karena takut.
Setelah menunggu beberapa saat mengintip dirasa Jeremy dan Marina sudah hilang dari pandangan, Joana kemudian menutup jendela balkon kamarnya, tidak lupa menutupnya dengan tirai tebal agar suhu dingin tidak masuk kedalam kamar.
Ia menuju meja kerjanya yang berada dekat dengan perapian, Joana mulai mencari lembar kertas dan berniat membuat tulisan sebuah karya novel. Mengingat pekerjaannya dulu sebagai editor novel, tentu Joana sangat ahli mengolah kata merangkai cerita.
Joana berencana menerbitkan sebuah novel romansa yang tokohnya adalah dirinya sendiri di kehidupan sebelumnya namun menggunakan latar kerajaarn agar terlihat nyata.
Di Negeri ini, para gadis bangsawan lebih menyukai berdiam diri ditemani teh dan novel romansa. Karena terkadang pada bulan-bulan tertentu cuaca menjadi sangat dingin dan jarang ada orang yang keluar dari rumah untuk sekedar jalan-jalan.
Setelah beberapa jam berjibaku dengan tulisannya, “Selesai.” Ujar Joana penuh semangat mengangkat lembaran kertas yang berisi novel dari kisah kehidupan dulunya dengan dibumbui sedikit dramatisasi.
Dengan senyum yang merekah, Joana mengangkat dan mencium naskah yang ditulisnya. Tentu tulisan yang digunakan adalah aksara dari dunia ini.
“Apa yang Kau lakukan?” Suara bariton memecah keheningan kamar Joana yang berada di lantai tiga.
Dengan malas dan mulai memasang wajah dingin, Joana berbalik menuju sumber suara. Ternyata Jeremy yang berdiri bersedekap dada di ambang pintu.
“Bukan urusanmu.” Jawab Joana ketus masih memasang wajah datar.
Mendengar respon sang adik, Jeremy cukup terkejut dengan perubahan sikap adiknya. Benar kata Ayahnya, Joana berubah.
Jeremy mencebik tidak peduli kemudian mengutarakan ejekan sinisnya. “Apa rencanamu kali ini?” Lanjutnya dengan suara berat miliknya. Tentu dengan ekspresi datar tentunya. Kakak pertama yang selalu mengejek Joana dengan kasar.
Hah?
“Pergilah jika tidak ada hal penting yang mau dibicarakan. Jangan membuang waktu berhargamu untuk berhadapan dengan Lady terbuang ini.” Timpal Joana dengan memutarkan bola mata malasnya.
Bagaimana Part ini? Jangan lupa kasih komentar :D
“Pergilah jika tidak ada hal penting yang mau dibicarakan. Jangan membuang waktu berhargamu untuk berhadapan dengan Lady terbuang ini.” Timpal Joana dengan memutarkan bola mata malasnya.
“Apa ini rencanamu? Mendiamkan kami agar kami merasa khawatir padamu?” Sambung Jeremy dengan menyunggingkan senyum mengejek. “Tidak akan pernah.”
Mendengar hal itu, Joana terkekeh cukup keras untuk di dengar oleh pria di ambang pintu tersebut. “Aku masih cukup waras untuk tidak merengek meminta perhatian dan kasih sayang dari kalian.” Jawab Joana tanpa ekspresi kemudian menyunggingkan senyum sinisnya. “Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, silahkan keluar! Tuan Muda Jeremy Adalberto yang Terhormat.”
Dalam hati Jeremy tersentak dengan sikap adik kandungnya ini alih-alih takut dan menundukkan kepala, Dia malah berani menjawab setiap ucapanku. Dan Dia bilang apa? ‘Tuan Muda Jeremy Adalberto yang Terhormat?’.
Meskipun terkejut, Jeremy harus menutupinya dengan wajah biasa yang selalu ia tampilkan kala di depan Joana. Jeremy kemudian membalas perkataan adik yang tidak dianggap ini dengan cemoohan lagi, tidak lupa senyum mengejak, “Bertahanlah selama mungkin, kediaman ini lebih terasa damai tanpa kehadiranmu.”
“Ya ya. Aku juga damai disini tanpa kalian.” Sahut Joana cepat kemudian berbalik menyibukkan dirinya dengan naskahnya. “Lebih baik lagi kalau kalian tidak mencampuri urusanku.” Sambung Joana memunggungi sang kakak.
Jeremy semakin terdiam menatap punggung sang adik kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar Joana dengan pemikirannya.
***
Sudah satu bulan Joana terjebak di kediaman Duke Adalberto. Terasingkan di lantai tiga yang hanya ditemani oleh pelayan satu-satunya yang ia rekrut saat pergi ke suatu tempat menjual naskahnya.
Hari ini, Joana dengan gaun tebal dan memakai jubah bertudung, Joana untuk pertama kalinya turun dari lantai tiga menuju ke ruangan Ayahnya.
“Saya ingin bertemu dengan Yang Mulia Duke.” Ujar Joana pada Kepala Pelayan yang berjaga di depan pintu ruang Duke seperti yang biasa ia lakukan.
“Saya akan menginformasikan kepada Tuan Duke terlebih dahulu Nona.” Jawab Kepala Pelan yang menundukkan kepala sejenak kemudian masuk ke dalam.
Beberapa menit kemudian Kepala Pelayan keluar dan memberikan izin, lantas ia pun membukakan pintu mempersilahkan nonanya untuk masuk.
Untuk pertama kalinya Joana Adalberto palsu masuk ke ruangan Duke. Disana ada Kakak keduanya Jacob yang berdiri disamping Duke Ferio yang duduk di meja kerjanya.
Mereka berdua sama-sama menatap Joana yang berjalan dengan angkuh tanpa ekspresi. “Selamat pagi Tuan Duke Ferio dan Tuan Muda Jacob Adalberto.” Sapa Joana membungkukkan sedikit badan dan menyilangkan kakinya ala salam para bangsawan.
Jacob yang pertama kali melihat perubahan Joana nampak terkejut, Ia sudah mendengar perubahan Joana dari Kakak dan Ayahnya, tapi tentu Jacob tidak akan mempercayai seorang anak seperti Joana akan berubah.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Jacob dengan nada ketus dan mencemooh. Sementara Duke hanya diam tanpa ekspresi menatap putri yang terbuang.
“Saya ingin keluar.” Jawab Joana to the point. Ia terlalu malas beromong-kosong dengan penghuni mansion ini.
Ferio menaikkan sebelah alisnya heran sekaligus terkejut dengan putri yang sebulan tidak membuat masalah tiba-tiba meminta keluar.
“Untuk apa?” Tanya Ferio.
“Kau akan mempermalukan keluarga Adalberto jika kau menunjukkan sosokmu yang menjijikkan itu.” Ejek Jacob lagi. Sepertinya pria itu yang paling membenci Joana sebagai adiknya.
Namun Joana hanya menatap malas pada pria yang sedang berdiri itu. “Saya bosan.” Hanya itu penjelasan yang diberikan Joana sebagai alasan. Memang benar tujuan utamanya keluar memang karena bosan, dan tujuan lain yaitu menjual naskah sekaligus bertemu dengan ketua gilda informasi yang sekaligus Grand Duke Killian Edellyn.
“Jangan khawatir Tuan Duke. Saya tidak akan membuat nama Anda tercoreng karena Saya. Saya masih waras untuk tidak membuat nama Saya yang jelek lebih jelek lagi.” Sambung Joana yang belum mendengar jawaban dari Duke.
Mendengar hal itu, Jacob semakin menatap Joana dengan tatapan meremehkan sekaligus mengejek. Mungkin dalam hatinya sekarang berkata ‘Itu tahu kalau image mu sudah jelek di kalangan bangsawan’
“Baiklah, ajak pengawal Rion bersamamu.” Jawab Ferion setelah menimbang alasan.
“Terimakasih Tuan Duke.” Joana kembali memperagakan salam ala bangsawannya.
Joana kemudian berbalik dan hendak meinggalkan Ayah dan Anak itu.
***
Di pasar, Joana telah turun dari kereta kuda dengan dibantu oleh pengawal keluarga Adalberto bernama Rion. Pria gagah dengan rambut coklat dan mata hazel yang indah.
“Terimakasih Tuan Rion.” Joana mengucapkan terimaksih kepada pengawal yang memberikan tanggannya membantu turun dari kereta kuda.
“Ini sudah kewajiban Saya, Nona.” Balas pengawal itu membungkkan badan dengan sopan.
“Apa Saya boleh mengantar Anda, Nona?” Tanya pengawal itu karena melihat nonanya celingak celinguk seperti kebingungan.
“Ah, Saya mau mencari tempat yang menjual novel sekaligus penerbitannya.” Sahut Joana akhirnya. Untung saja ada Rion yang bisa ditanyainya.
“Nona tidak perlu sopan pada Saya.” Pengawal Rion merasa ucapan nonanya tidak pantas diucapkan pada pengawal rendahan sepertinya. “Tempat percetakan buku ada di ujung jalan, Nona. Mari Saya antar ke tempat itu.”
Pengawal Rion berjalan beriringan karena Joana merasa tidak nyaman jika Dia hanya berjalan mengikutinya dari belakang. Berangkat bersama tapi kenapa pria itu di belakang. Jadi mau tidak mau pengawal tampan itu menuruti Nonanya.
“Ini Nona tempatnya.”
Rion dan Joana berdiri tepat di bangunan kayu sederhana. Ketika Joana masuk, Dia disambut oleh para penjaga tokoh yang ramah.
Sejak keluarnya Joana dari kediaman Duke, Joana sudah menggunakan gaun tebal sederhana dengan tudung yang menutupi seluruh gaun dan rambutnya. Karena dengan melihat warna rambut hitam Joana, pasti mereka akan segera mengetahui tentang Joana Adalberto sang Lady buangan dari keluarga Duke Adalberto.
“Saya ingin bertemu dengan pemilik toko buku ini.” Sahut Joana akan kedatangannya kesana.
Beberapa menit kemudian, Joana dibawa oleh penjaga toko memasuki ruang yang digunakan sebagai transaksi khusus, sementara Rion berada di luar bangunan.
“Selamat siang, Nona.” Sapa pria yang memiliki tubuh cebol yang di kenal sebagai pemiliki.
Joana diam tidak membalas sapaan tersebut. Kemudian langsung memberikan selembar kertas yang berisi ringkasan cerita yang Dia buat. Joana hanya memberikan satu lembar karena kerahasiaan naskah agar tidak di palgiasi jikalau transasksi gagal dilakukan. Mungkin ini karena otaknya sebagai editor berpikir cerdas sebelum melakukan sesuatu.
“Saya ingin menjual naskah Saya, Tuan Baron. Silahkan Anda membaca sedikit isi dari naskah yang saya buat.” Ujar Joana menyerahkan selembar kertas tersebut pada pemilik.
Pria cebol berambut keriting itu hanya menerimanya dalam diam. Ada rasa tertekan saat berhadapan dengan Nona misterius di depannya. Apalagi dengan tudung dan hanya menampakkan wajah yang datar tanpa ekspresi.
“Wow. Sangat bagus, Nona.” Puji pemilik toko buku itu setelah membaca habis rangkuman cerita.
“Ini pertama kalinya saya membaca novel bergenre tragedi, romantis, komedi, dan perselingkuhan, Nona.” Sambungnya dengan nada ceria seakan mendapat rejeki nomplok yang akan datang setelah bukunya terbit.
“60 : 40” Sahut Joana langsung merundingkan keuntungan tanpa banyak omong. “Saya 60 dan Anda 40 persen, bagaimana?”
Pria cebol itu terkejut dengan tawaran yang diberikan Joana. “Nona, tapi kami biasanya membagi keuntungan 70:30, Nona. 70 untuk penulis, dan sisanya untuk toko ini.” Jawab pemliki toko. Usaha toko buku yang ia jalankan selalu menerapkan keuntungan tersebut, makanya ia tidak serta merta menerima permintaan gadis polos tanpa tahu hukum bisnis.
“Saya tahu.” Balas Joana cepat. “Sepuluh persen tambahan untuk Anda jika merahasiakan identitas Saya.”
Joana kemudian membuka tudungnya yang memperlihatkan rambut hitam lurus yang dikucir kuda.
Seketika mata pemilik toko itu membulat lebar, “Nona Joana Adalberto? Salam hormat bertemu dengan Anda, Nona.” Dengan cepat pemilik toko itu berdiri dan kemudian membungkukkan padanya.
“Tidak perlu terlalu sopan, Tuan Baron. Saya disini adalah partner kerja Anda. Apalagi Saya hanya Lady yang terbuang, jadi tidak perlu sesopan itu pada Saya.”
“Ah, Baik.” Pria itu kembali duduk. Namun duduknya terasa canggung karena gadis di depannya ternyata seorang bangsawan kelas atas.
“Jadi Saya memiliki permintaan, Tuan.” Ujar Joan kemudian. “Novel yang Saya buat dengan nama pena Alexandra ini akan Saya berikan satu bab dalam satu minngu. Dan setiap minggu, datanglah ke kediaman Duke Adalberto untuk mengambil naskahnya. Tentu harus dilakukan diam-diam, Saya tidak ingin keluarga Saya mengetahuinya.” Jelas Joana dengan muka datar yang belum luntur sejak masuk ke toko.
“Baik, Saya akan melakukannya, Nona.” Timpal pemilik toko dengan sopan.
“Untuk masalah pembayaran, tolong Anda simpan dulu sampai Saya menemukan orang yang tepat sebagai penyimpan dana saya.”
Pria itupun mengangguk lagi, mengerti dengan permintaan Joana.
***
Setelah menandatangani kontrak, Joana beralih ke gilda informasi. Joana telah lepas dari pengawalan Rion dengan alasan ingin ke toko baju, dan sepertinya Rion masih berdiri di depan toko baju menunggunya.
Joana memasuki sebuah bar. Tanpa perkenalan atau apa, Joana langsung memesan kode rahasia pada bartender. Dan bartender pun mengerti permintaan wanita yang dilayaninya.
“Saya ingin kopi yang spesial.” Ujar Joana seperti kode meminta bertemu dengan ketua gilda.
Awalnya bartender merasa terkejut bagaimana wanita yang tampak polos seperti tidak mengetahui dunia luar mengetahui kode yang paling rahasia, tapi ia tetap melayaninya sebagai pelanggan gilda dengan ramah.
Tanpa pikir panjang, bartender itu masuk ke dalam bar, menuju ruang khusus yang digunakan oleh ketua gilda.
“Tuan, ada Nona yang mau bertemu dengan Anda.” Ujar bartender itu dengan sopan pada seorang pria berbadan kekar memakai topeng menutupi wajahnya.
“Nona?” Pria itu menaikkan sebelah alisnya yang tertutup oleh topeng, kemudian dilanjutkan dengan senyum yang entah apa artinya. “Bawa kesini.”
***
Sebenarnya Joana terpaksa menemui ketua gilda yang sekaligus tokoh antagonis yang menjadi tokoh utama novel, yaitu Grand Duke Killian Edellyn.
Joana telah menunggu sesuai alur dalam novel, tapi sayangnya Marina tidak menujukkan gelagat perubahan meski alur yang sebenarnya sudah terlewat dan Marina masih di tahap mencintai Putra Mahkota dengan gila.
Jika bukan Marina, maka Joana yang akan menggantikan alur dalam novel.
Joana diarahkan menuju ruang rahasia oleh sang bartender. Hingga tiba di sebuah pintu berwarna hitam pekat dengan gagang perak berbentuk bulat. Bartender itu mengetuk sebagai tanda bahwa sudah membawa tamu.
“Masuklah.” Suara berat dari dalam yang terdengar merdu.
Pria dengan topeng itu menatap tajam ke arah seorang gadis yang tertutup tudung. Terlihat gadis itu dengan angkuh duduk di depan kursi yang berhadapan dengannya. Tanpa meja, hanya kursi.
“Apa yang kau inginkan, Gadis kecil?” Tanya Killian dengan suara khas bariton. Ia masih mengamati gadis itu dengan tajam. Penasaran apa yang di inginkan gadis polos masuk ke gilda informasi bertemu dengan ketuanya langsung.
“Saya memiliki informasi yang menarik, Yang Mulia Grand Duke Killian Edellyn.” Jawab Joana sembari menurunkan tudungnya yang menampilkan rambut hitam pekat dibawah sinar lampu. Kemudian mata birunya menatap tajam mata merah yang dimiliki Killian tanpa rasa takut.
Grand Duke Killian terkejut bagaimana gadis ini mengetahui identitasnya yang bahkan tidak diketahui anggota gildanya sendiri.
Namun ketika gadis itu membuka tudungnya, lebih terkejut lagi ketika mengetahui dia adalah Lady yang dirumorkan sebagai Lady yang terbuang dari keluaraga Adalberto.
“Bagaimana kau tahu?” Tanya Killian dengan nada mengancam serta mengeluarkan sihir pekatnya untuk menekan gadis di depannya.
Joana terbatuk-batuk merasakan lehernya seperti di cekik oleh sesuatu. Ia berusaha tetap bertahan meski Killian memberikan sihir padanya. Ia juga tidak bisa melawan karena Dia tidak memiliki sihir sama sekali.
“Tu-an.” Joana berusaha membuka suara ditengah tekanan sihir Killian sang antagonis novel. Ia sadar pertemuannya dengan Killian pasti mengundang bahaya.
Kedua tangan Joana tetap memegang lehernya yang terasa sakit dan napas yang tercekat, berusaha mencari udara untuk membuatnya tetap bertahan.
Akhirnya setelah beberapa menit, Killian melepaskan sihir penekan memberi kesempatan pada gadis berambut hitam itu. Datang ke rumah iblis tanpa tahu bahayanya, Gadis bodoh. Apa Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan iblis haus darah?
Killian cukup penasaran bagaimana gadis yang tidak mengetahui dunia luar tahu tentang dirinya yang seorang Grand Duke. Rasa penasaran akhirnya muncul di benak Killian.
"Baiklah Nona. Anda hanya memiliki satu kesempatan." Sahut Killian dengan nada mengancam namun ada sedikit senyum yang muncul di sudut bibirnya yang tertutup topeng.
Sementara Joana terlihat berusaha mengatur napasnya yang tersengal akibat sihir Killian.
Terdapat bekas merah seperti luka yang disebabkan luka tercekik sebuah tali, melingkar di leher Joana yang kontras dengan kulitunya yang putih.
"Sa-ya-me-miliki informasi, Yang-Mulia." Jawab Joana dengan tersengal.
"Informasi apa yang kau berikan?" Tanya Killian lagi dengan mengangkat sebelah alisnya keheranan.
"Pangeran." Jawab Joana mantap. Menegakkan tubuhnya dan berusaha mengatur napasnya kembali.
"Pangeran? Putra Mahkota Kinsey?"
Joana menggeleng cepat. "Bukan. Pangeran kedua, Kenzie De Fredda."
Mendengar nama pangeran yang sudah mati di bahas, membuat Killian semakin penasaran dengan informasi dari gadis pemberani ini. Apa dia akan memberitahu informasi penyebab kematian pangeran?
"Pangeran kedua, masih hidup."
Seketika membuat Killian terkejut. Bagaimana mungkin orang yang dinyatakan mati malah dibilang masih hidup oleh seorang gadis polos. Memang benar sampai saat ini jasadnya tidak ditemukan. Tapi Killian telah mencarinya selama beberapa tahun belum menemukan jasad atau tubuh pangeran kedua yang sekaligus sahabatnya itu.
"Apa bukti yang menunjukkan pangeran Kenzie masih hidup?"
Joana tahu betul isi jalan cerita dalam novel. Pangeran kedua adalah second lead yang mencintai Ellia. Dan selama ini, keluarga Ellia lah yang menemukan Pangeran kedua. Namun karena keluarga Count Earlene tidak pernah mengetahui wajah keluarga kerajaan, hingga akhirnya ia menjadikan Kenzie sebagai pengawal untuk putrinya. Dan bagi pangeran kedua sekaligus sebagai tempat persembunyian dari kegilaan Putra Makota yang rakus akan kekuasaan.
Ellia sang protagonis juga memperlakukan Kenzie selayaknya teman sendiri, bukan hubungan atasan dan bawahan. Hal itu yang membuat Kenzie jatuh cinta pada Ellia Earlene. Sehingga Kenzie memilih tinggal bersama dengan keluarga Earlene dan melupakan dirinya yang sebagai pangeran Kerajaan Foresta Fredda.
"Pangeran bersembunyi di tempat di keluarga bangsawan jatuh. Keluarga Count Earlene."
Mata merah Killian membulat sempurna mendengar penjelasan Joana. Bagaimana mungkin, gadis kecil dan polos tahu keberadaan Kenzie sementara dirinya yang sudah berkeliling negeri tidak pernah menemukan jejeknya.
Killian terkekeh pelan. Betapa beraninya gadis ini. Mengucapkan lokasi keberadaan pangeran dengan gamblang.
"Saya tahu Anda tidak akan percaya. Tapi mengingat Saya mengetahui identitas Anda. Saya harap Anda menyelidikinya. Jika terlambat sedikit, sahabat Anda akan benar-benar mati." Sambung Joana dengan tatapan dingin menatap netra merah Killian.
Mendengar ancaman gadis berambut hitam didepannya, lantas Killian melepas topeng dengan sukarela. Menatap mata biru yang membalas tatapannya dengan berani tanpa rasa takut dimatanya. Selama hidupnya, tidak ada yang berani menatap langsung mata merah seperti darah ini.
Killian tertawa keras hingga menggema di ruangan sempit itu. Bagaimana ia tidak tertawa, ini pertama kalinya ada orang yang berani berhadapan langsung dengan iblis kejam dari utara yang terkenal dengan kegilaannya pada darah.
Gadis di depannya itu tidak takut sama sekali. Bahkan tubuhnya tidak bergetar sama sekali. Terlihat angkuh namun juga anggun. Apalagi gadis berani ini sama sekali tidak memiliki sihir. Tidak memiliki perlindungan sama sekali.
"Baiklah, Nona. Jadi apa yang kau inginkan sebagai timbal balik informasi ini?" Tanya Killian setelah menghentikan tawanya dan kembali menatap bola mata biru Joana.
"Saya ingin hidup." Jawab Joana dengan yakin.
Killian mendengar permintaannya pun menyerngit keheranan. Datang kemari seperti menghantarkan nyawa. Tapi apa dia bilang? Ingin hidup?
"Apapun yang terjadi. Kuharap Anda melindungi Saya, Tuan." Sambung Joana dengan tatapan yang masih tertuju pada Killian.
"Akan kupikirkan setelah menyelidiki informasimu."
"Terimakasih, Tuan." Joana kemudian berdiri membungkukkan badannya seolah memberi salam perpisahan pada Grand Duke.
"Tapi kau akan mendapat konsekuensi jika ucapanmu itu salah." Killian memberikan ancaman sebelum membiarkan Joana meninggalkan ruangan.
Namun Joana hanya diam tanpa ekspresi kemudian berjalan keluar dari tempat mengerikan itu.
Setelah Joana menghilang dari ruangan sempit minim cahaya itu, Killian memanggil bayangan di belakangnya.
"Temukan Kenzie dan cari tahu tentang gadis itu." Perintah Killian langsung dilaksanakan oleh prajurit bayaran yang menghilang seperti sekelebat angin.
Setelahnya, Killian tertawa dengan wajah yang menunjukkan ketertarikan.
Bagaimana seorang gadis polos mengetahui identitasnya, bagaimana seorang gadis polos tahu tentang persahabatannya dengan pangeran kedua, bagaiman gadis tanpa sihir dengan berani masuk ke dalam sarang iblis? Dia itu bodoh atau apa?
***
Joana keluar dari bar kemudian berjalan lemas menuju sembarang arah. Kakinya sudah lemas setelah diskusinya dengan Killian.
Ia lupa kalau Killian memiliki julukan iblis haus darah.
Jika saja ia menunjukkan ketakutannya sedikit, mungkin ia akan mati lebih cepat di tangan Killian.
"Nona." Suara familier menyentuh pundak Joana yang terasa kaku. Ia masih dalam posisinya tanpa menoleh ke sumber suara. Napasnya masih tercekat dan berusaha menstabilkan pernapasannya.
"Apa Anda terluka?" Tanya Rion panik menemukan nonanya dalam kondisi lemas berpegangan pada tembok bangunan.
"Ayo kita kembali." Joana mengabaikan pertanyaan Rion dan berniat menyudahi kegiatannya.
Sebelum beranjak, tiba-tiba tangan Joana di cekal oleh seorang gadis muda yang gemetar ketakutan.
Rion yang melihat ada pengganggu, menarik pedangnya dan mengarahkan ke leher gadis yang telah terduduk menarik lengan nonanya.
"Nona, Saya mohon bantu Saya. Hiks." Gadis itu ketakutan sambil menangis meminta pertolongan pada siapapun yang di temuinya.
Gadis itu masih memegang tangan Joana dengan erat. Mengindahkan ada pedang yang mengarah di lehernya.
"Bawa kembali pedangmu Rion." Perintah Joana pada pengawalnya.
"Tapi Nona..." Sebelum menyelesaikan ucapannya, Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh jumbo nan kekar menghampiri mereka bertiga. Gadis itu melihat pria jumbo itu dengan rasa takut setengah mati.
Rion lantas dengan sigap berdiri membelakangi nonanya dan gadis malang itu. Berdiri dalam posisi kuda-kuda menodongkan pedang sebagai perlindungan. "Siapa Kau?" Ujar Rion dengan suara baritonnya.
"Nona kumohon." Gadis itu menangis sesenggukan masih meminta pertolongan padanya.
'Aku sudah sangat pusing sekarang, lalu apa?' Batin Joana yang menatap gadis itu tanpa perasaan.
"Kembalikan gadis sialan itu, Nona. Tapi jika Nona mau ikut dengan Saya tentu Saya tidak keberatan." Ujar pria raksasa tak tahu malu.
Lihat wajah jeleknya semakin jelek ketika tersenyum seperti itu. Menjijikkan.
"Rion." Sahut Joana yang memandangi punggung pengawalnya yang sudah siap siaga berjaga di depan melindungi nonanya dari belakang. "Bunuh dia." Sambung Joana dengan dingin.
"Baik, Nona." Rion langsung menyerang pria jumbo itu dengan sadis.
Hingga tak menunggu waktu lama. Pria raksasa itu sudah tumbang di tangan Rion. Darah disekujur tubuh.
Lantas Rion memasukkan kembali pedanganya yang sudah berlumuran darah kedalam sarungnya.
Memang tidak salah, sesuai penggambarannya di novel, Rion adalah kesatria yang sihir dan kekuatannya setara dengan Jacob.
"Kita pulang sekarang, Rion." Rion menoleh kebelakang melihat nona yang menjadi pengawasannya.
Sementara gadis malang itu terkejut ketakutan melihat jasad penuh darah pada orang yang mengejarnya.
"Nona, kumohon bawa Saya. Saya akan melakukan apapun, Nona." Rengek gadis malang yang memakai gaun kotor dan terkoyak.
"Apa perlu Saya bunuh juga, Nona?" Rion menatap tajam pada gadis yang tidak lepas dart tarikannya menarik tangan nonanya dengan memohon.
Joana menghela napas panjang. Ia sudah lelah dan pusing.
"Biarkan dia ikut." Gumam Joana dengan wajah datar khas miliknya. Ia tidak mau membuat masalah semakin panjang. Ia yakin dengan intuisinya jika ia menolak, maka akan semakin gadis ini ngotot.
Dan sejak kedatangan Daisy di lantai tiga kediaman Duke Adalberto sedikit demi sedikit mengisi kekosongan rumah yang selalu tampak membosankan.
"Nona, ada surat dari Tuan Baron." Daisy datang memberikan sepucuk surat dari pemilik toko buku. Di surat tidak disebutkan siapa baron yang dimaksud, tapi Joana tahu, surat yang hanya ditujukan padanya dari tuan baron pasti membahas mengenai novelnya.
"Letakkan diatas meja." Jawab Joana yang masih santai merebahkan tubuhnya yang lelah diatas ranjang kesayangannya.
"Nona?" Lagi, Daisy memanggil nonanya yang dalam kondisi save batery mode.
"Apa?" Balas Joana dengan malas masih tengkurap diatas ranjang.
"Ada burung pembawa surat di balkon, Nona."
Mendengar hal itu, lantas Joana menarik tubuhnya dari kasur lembutnya.
Dengan rambut dan gaun yang berantakan, Joana berjalan membuka jendela balkon mempersilahkan burung itu masuk.
Ia berdiri dan kemudian membuka jendela balkonnya. Burung itu membawa surat di kakinya dengan di ikat pita yang melambangkan keluarga Grand Duke Edellyn. Pasti Killian yang mengirimnya.
Joana melepas pita yabg mengikat surat kemudian membiarkan burung merpati putih terbang ke pemiliknya lagi.
"Daisy. Aku ingin makan buah." Gumam Joana yang berusaha mengusir Daisy dari kamarnya.
Sejak kemarin setelah Joana memutuskan membawa ke kediaman Adalberto, ia selalu ada rasa curiga pada pelayan barunya itu. Dia selalu menempel kemanapun Joana pergi.
Merepotkan.
"Baik, Nona." Daisy kemudian pergi melaksanakan perintah dari nonanya.
Joana pun duduk di meja kerjanya membaca surat dari Grand Duke.
'Saya sudah mendapatkan hasil penyelidikan. Saya harap Anda besok bisa menemui Saya di gilda terkait kesepakatan kita. Tertanda Killian Edellyn'
Cepat sekali pria itu mendapatkan informasi. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana caranya keluar dari mansion sialan ini.
Baru kemarin ia keluar dari mansion dan sudah meminta pengawalnya membunuh seseorang.
Joana di kurung tidak boleh keluar rumah sampai tiga bulan. Dan Rion di jatuhi hukuman skors tidak boleh menampakkan diri di barak latihan selama seminggu.
Beberapa saat kemudian Daisy mengetuk pintu dan kemudian masuk membawa sepiring buah segar diatas meja.
"Ini, Nona." Daisy dengan senyum polosnya memberikan beberapa potong buah yang telah di kupas dan dipotong kecil.
Joana pun mencelupkan kertas berisi pesan dari Killian kedalam gelas yang ada disampingnya. Membuat kertasnya menjadi bubur.
Joana lantas bergerak menuju meja tempat biasa ia makan. Ia mengambil sepotong apel kemudian memakannya.
"Daisy." Ujarnya setelah diamnya Joana memakan habis buah yang di hidangkan. "Berikan ini pada bartender di bar di persimpangan pasar." Joana memberikan sebuah botol kecil yang didalamnya terdapat surat balasan untuk Killian. "Katakan pada bartender itu, terimakasih untuk kopinya spesialnya."
Daisy mengiyakan permintaan nonanya dan menerima botol tersebut. Dengan segera ia membawa botol tersebut ke alamat yang bersangkutan.
Selepas kepergian Daisy. Ia membuka surat yang dikirim oleh baron pemilik toko buku.
Disana dijelaskan kalau novelnya sudah di cetak dan akan di perjualkan besok.
Joana lantas membaringkan tubuhnya diatas kasur kemudian entah angin darimana, Joana langsung tertidur pulas.
***
Bagaimana part ini? Jangan lupa tulis di komentar ya:D
Malam pukul dua belas. Joana dibangunkan oleh hawa dingin menusuk. Jendela kamarnya tiba-tiba terbuka lebar. Joana bangkit dan menutupnya tanpa memikirkan hal aneh, mungkin angin yang sudah membukanya.
Ketika berbalik dan hendak menuju kasurnya lagi, ia dikejutkan dengan Killian yang sudah duduk santai di tepi ranjang.
"Apa yang Anda lakukan disini?" Tanya Joana tegas.
Pria itu hanya duduk diam dengan wajah datarnya.
"Apa kau mau menggoda seorang gadis polos dengan pakaiannmu itu?" Joana menatap tajam kemeja tipis berwana putih dan celana yang cukup tebal di tengah hawa dingin kerajaan Foresta Fredda.
Tanpa mempedulikan jawaban apa yang akan keluar dari mulut Killian. Joana merebahkan tubuhnya tidur tengkurap disamping pria itu. Seakan tidak mempedulikan bahwa ada laki-laki di kamarnya pada waktu tengah malam.
"Lalu apa kau sedang menggoda seorang pria dengan gaun tidurmu yang tipis itu?" Killian balik bertanya menatap punggung seorang gadis yang dengan santainya tidur meskipun ada iblis disampingnya.
"Jadi, ada apa kemari?" Tanya Joana pada akhirnya. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Killian di kamarnya. Apalagi mengingatkan kejadian kemarin yang mana ia hampir mati oleh Killian.
Joana masih dalam posisi tengkurap karena rasa kantuknya yang luar biasa.
"Darimana kau tahu tentang keberadaan pangeran kedua?" Tanya Killian dengan nada pelan. Mengingat sudah tengah malam. Jika berisik pasti orang akan menangkapnya.
"Aku membacanya." Jawab Joana yang mulai hilang kesadarannya.
Mendengar jawaban Joana. Membuat pria itu semakin bingung dengan jawaban yang diberikan. Membacanya?
"Apa yang kau baca?"
Killian tidak mendengarkan jawaban lagi. Kamar Joana yang sepi terasa lebih sunyi senyap.
Killian menatap gadis yang dengan santai tertidur meski ada iblis haus darah berada di dekatnya. Hingga sepersekian detik kemudian senyum terbit di bibir tebal pria tampan itu.
"Gadis aneh." Gumam Killian sambil terkekeh kemudian ikut membaringkan tubuhnya dengan terlentang disamping Joana yang tengkurap.
Lantas Ia menutup tubuh Joana dengan selimut menutupi sampai bawah leher.
Dan Joana hanya menggeliat, memeluk erat selimutnya.
Mereka pun menghabiskan malam dingin bersama.
***
"Nona, bangun. Tuan Duke meminta Anda sarapan bersama." Daisy mencoba membangunkan nonanya dengan menggoyang-goyangkan badan.
"Nona. Bangunlah."
Joana menggeliat diatas kasur, masih mendengar ucapan pelayannya. "Katakan pada Tuan Duke. Aku sedang tidak sudi menatap keluarga busuknya." Gumam Joana dengan suara serak khas pasca bangun tidur kemudian melanjutkan mimpinya.
"Tapi Nona?" Daisy seperti tidak mengerti dengan orang-orang yang ada di mansion Duke ini.
Tidak ada yang lewat atau lalu lalang di lantai atas. Dan Nonanya yang terlihat selalu sendirian tanpa interaksi dengan keluarga Duke lainnya.
"Baiklah, Nona. Saya akan memberitahukannya pada Kepala Pelayan. Tapi setidaknya Anda bangun dan mandi. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Anda mandi." Mau tidak mau Joana bangun dengan malas.
Gaun tidurnya terlihat lecek dan rambut panjang yang sudah amburadul serta wajah tak kalah jelek dengan sedikit iler di sudut bibirnya.
Joana duduk bersilang masih diatas ranjang, melakukan peregangan. Entah kenapa ia sangat kelelahan kemarin malam, seperti ada orang orang yang menindihnya.
Dan pelakunya adalah Killian. Dia memeluk erat tubuh Joana yang tertidur. Tahu-tahu Killian sudah menghilang saat pagi.
Dan dalam ingatan Joana menganggap kehadiran Killian semalam hanyalah sebuah mimpi.
***
Joana duduk dengan anggun menyantap roti isi sayur dan daging yang dibuat oleh Daisy pelayan barunya.
Tiba-tiba ia di kejutkan dengan kehadiran Duke yang masuk tanpa permisi.
"Apa hubunganmu dengan Grand Duke?" Tanya pria paruh baya itu tanpa basa basi.
Joana menoleh dengan jengah ke arah Ayahnya. Ia memutar bola mata birunya malas. "Aah, Jadi Anda mengajak Saya sarapan bersama untuk bertanya hal ini?" Jawab Joana memasang wajah datar.
Tak berselang lama, Marina sudah berdiri di belakang Duke Ferio.
Mata biru Joana tersentak melihat wajah Marina secara langsung. Tapi ia harus mempertahankan wajah datarnya meski ditatap tajam oleh gadis berambut pirang itu.
"Cukup katakan apa hubunganmu dengan Grand Duke!" Tanya Duke Ferio sekali lagi dengan nada tegas dari suara baritonnya.
"Saya bertemu dengan Grand Duke saat aku keluar dari mansion. Anda puas?"
"Waaah. Pagi-pagi sudah ada drama keluarga." Tiba-tiba sebuah suara milik Killian menggema di lantai tiga. Di ikuti Jacob dan Jeremy menatap acuh Joana yang belum bergeming dari tempat duduknya.
"Sekarang Saya sudah bertemu dengan Lady Joana. Jadi ijinkan Saya bicara dua mata dengannya, Tuan Duke Ferio." Suara berat Killian dengan nada dingin yang terasa menyeramkan akhirnya dengan curiga di setujui oleh Duke.
"Baiklah, Yang Mulia Grand Duke." Ujar Ferio yang harus bersikap sopan pada anak muda yang memiliki gelar lebih tinggi darinya.
Duke beserta anak-anaknya pergi meninggalkan lantai tiga. Sekilas Marina menatap Joana dengan senyuman culas.
Sepeninggal keluarga Adalberto, Grand Duke dengan santai duduk kemudian mengambil alih sarapan Joana.
Tangannya dengan santai mengambil kopi pagi milik Joana kemudian menyeruputnya dengan nikmat.
Di tengah cuaca dingin kerajaan hutan dingin, kopi panas memang pilihan terbaik.
Joana menatap Killian dengan jengah.
"Daisy!" Joana berteriak memanggil pelayannya yang sepertinya berada di pintu depan.
Dan benar, Daisy langsung masuk ketika namanya dipanggil.
"Buatkan aku sarapan lagi." Perintah Joana pada pelayannya.
"Dan juga buatkan aku kopi." Kali ini Killian yang meminta.
Daisy hanya pasrah mengangguk mengiyakan permintaan nona dan tamu nonanya.
"Untuk apa Anda kesini pagi-pagi?" Joana membuka suara setelah kepergian pelayannya. Tanpa embel-embel gelar kehormatan atau menjaga kesopanannya. "Bukankah disurat Saya sudah menjelaskan permintaan Saya sebagai timbal balik informasi?"
Killian kembali menyesap kopi milik Joana yang hampir habis. "Aku tidak datang pagi-pagi." Ujarnya santai.
"Aku datang tengah malam."
"Hah?" Joana tidak menyangka dengan elakan pria di depannya. "Datang tengah malam?" Sambungnya sembari menyerngitkan kedua alisnya menatap pria yang dikenal sebagai iblis haus darah itu.
"Jadi yang semalam bukan mimpi?" Joana terkejut mengingat ingatan semalam yang dikira mimpi. Wajah datar yang selalu ia pasang roboh karena keterkejutannya pada perilaku pria di depannya. Dalam novel Dia diceritakan sebagai sosok yang pelit bicara dan anti dengan ikut campur urusan orang lain. Tapi siapa yang dihadapannya sekarang?
"Apa kau gila? Datang di tengah malam ke kamar seorang gadis tanpa sihir dan perlindungan?" Kali Joana mengangkat sebelah alisnya memarahi dengan meninggalkan kesopanan Anda-Saya pada pria yang hanya tersenyum tanpa diketahui arti di depannya.
Joana menghela napas kasar. "Jadi apa yang mau kau katakan padaku?"
Killian hanya terkekeh pelan melihat reaksi Joana yang tidak lagi memasang wajah tanpa ekspresi. Apalagi dengan nada bicaranya yang terlalu santai yang diberikan pada orang sekelas Grand Duke di kerajaan. Meskipun ekspresi yang dia buat adalah marah. Tapi entah kenapa Killian berharap senyum yang akan ada di wajah gadis di depannya.
"Permintaan yang tertulis di suratmu hanya kalimat Jangan Bunuh Saya." Ujar Killian mengingat isi surat yang diberikan bartender padanya. "Apa menurutmu Aku ini tukang bunuh?"
Apa kau tidak sadar dengan julukan iblis haus darah itu hah? Batin Joana rasanya ingin merutukinya secara langsung.
"Bukankah kau Killian iblis haus darah?" Jawab Joana santai. "Kau bisa saja membunuhku kapan saja. Jadi aku meminta perlindunganmu."
Killian tersenyum sekilas. "Aku tidak akan mungkin membunuh barang milikku, Nona."
Barang milikku?
Mendengar jawaban itu, Joana teringat dialog yang seharusnya miliki Marina dan Killian. "Aku tidak akan mungkin membunuh barang milikku."
"Apa kau menyukaiku?" Tanya Joana cepat. Bodo amat jika dia bilang tidak. Karena dalam novel setelah dialog itu Killian mengatakam rasa ketertarikannya pada Marina.
Killian yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari bibir merah Joana yang terlihat lebih menggoda dari buah peach ranum.
Tunggu. Tapi di novel dialog itu masih sangat lama. Jika kuingat, ini masih di bab 5. Sedangkan dialog Marina dan Killian ada di bab 12 menjelang tamat. Kenapa berubah?
Killian menghentikan tawanya, kemudian menetap Joana yang sedang memikirkan sesuatu. Lantas Ia menahan tangan Joana yang sedari tadi melamun sambil menggigiti kukunya.
"Apa yang kau pikirkan sampai seperti itu?"
"Apa?" Joana tersadar dari lamunannya dan tangan besar yang memegangnya.
"Apa tidak boleh jika benar aku menyukakaimu?"
"Apa?" Joana membulatkan mata birunya dengan pertanyaan terkahir Killian. Terkejut? Pasti.
Seharusnya ucapan suka itu dia tujukan pada Marina. Bukan dirinya.
Tok tok!
Percakapan mereka terjeda dengan adanya Daisy membawa nampan yang diatasnya ada sandwich daging dan dua gelas kopi.
Seakan mengabaikan jawaban apa yang akan diberikan oleh Joana. Killian mengambil sepotong sandwich yang seharusnya untuk Joana.
"Yak." Joana berteriak tidak terima Killian mengambil sandwichnya lagi. Padahal sebelumnya ia mengambil dua potong sandwich miliknya.
Killian hanya terkekeh kemudian berdiri. "Makanlah. Besok aku akan menemuimu kembali." Ujarnya seraya mengacak-acak puncak kepala Joana.
"Sialan!" Hardik Joana pada Killian yang berjalan menuju pintu dengan senyum aneh dan tangan masih memegang sisa sandwich yang akan ia makan selama meninggalkan mansion Duke Adalberto.
***
Setelah kepergian Killian. Marina datang tanpa pemisi langsung menjambak rambut Joana yang sedang duduk di meja kerjanya.
"Apa hubunganmu dengan Grand Duke Killian?" Tanya Marina memperlihatkan otot di pelipisnya.
Rambut panjang Joana ditarik sekuat tenaga oleh gadis itu. "Kau semakin bertingkah saja akhir-akhir ini. Jangan harap merebut kasih sayang keluarga kandungmu yang diberikan padaku. Kau hanya anak buangan, Sialan!" Marina kemudian melempar tubuh Joana menghantam meja yang digunakannya.
Brak!
Joana berusaha berdiri namun punggung tangannya di injak oleh kaki beralaskan sepatu berhak yang sangat keras. "Aakkkk!" Teriak Joana menggeram kesakitan.
Beberapa bulan tidak menerima perlakuan Marina. Joana sempat lupa kalau Marina adalah antagonis yang brutal.
"Lepaskan!" Joana mencoba memberontak, meringis menahan rasa sakit ditangannya.
"Jangan sok cari perhatian di depan Grand Duke! Kau pikir kau pantas?!" Sahutnya dengan senyum culas dan semakin menekan kakinya menginjak tangan Joana. "Apa kubakar saja wajahmu agar semua orang lebih membencimu?"
Aaakkk! "Marina, kumohon lepaskan kakimu, sakit." Joana sudah tidak sanggup hingga menitikan air mata. "Marinaaaaa." Joana masih menangis memanggil nama Marina.
"Aaaaaakkkkkkk!!" Teriak Joana lebih keras karena sihir api kuning Marina yang diarahkan di pipi Joana. Sakit... Sakit seperti terbakar... Panas.
Joana merintih kesakitan sementara sang pelaku hanya tersenyum jahat menjambak dan membakar pipi Joana.
"Marina!" Tiba-tiba Jeremy datang setelah mendengar keributan di kamar Joana.
Melihat kedatangan Jeremy sang kakak, Marina langsung melepas tangannya yang manarik rambut Joana dan menghilangkan sihirnya.
"Apa yang kau lakukan?!" Jeremy berteriak meninggikan seuaranya pada Marina yang melakukan kekerasan pada Joana.
Marina kalang kabut mencari alasan agar tidak disalahkan.
Namun sesaat sebelum Marina memberikan argumen, Joana berjalan cepat dan duduk di depan meja rias, mengambil gunting dan memotong rambutnya asal.
Joana dalam ingatannya selalu dianiyaya oleh Marina, rambut panjangnya salalu menjadi bahan kekerasan Marina.
Pada awal kedatangannya di dunia ini Marina sudah melakukan kekerasan padanya. dua minggu lalu, di perpustakaan, disaat Joana membaca buku di perpustakaan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Marina dan langsung menjambak dan melemparnya hingga dinding perpustakaan retak terhantam tubuh lemah Joana. Hingga hal itu membuat Joana Alexandra takut setiap kali bertatapan dengan Marina.
"Joana!" Kali ini Jeremy panik dengan perilaku Joana yang tiba-tiba mengambil gunting.
Berhasil terpotong, rambut Joana kini pendek sebahu dengan potongan yang tidak rapi. Joana merasa sudah lepas dari beban jika ia akan dijambak lagi oleh Marina.
Jeremy membulatkan nertranya menatap sang Adik seperti hilang kendali setelah kekerasan yang ia terima dari Marina.
Sedetik kemudian, Joana meneteskan air mata yang selama ini tahan. Ia sudah lelah dengan keluarga Duke. Ia sudah lelah dengan kekerasan dari anak tak tahu diri menganggap keluarga Duke adalah keluarganya sendiri.
Jeremy kemudian menatap tajam Marina yang berdiri kaku.
Marina tentu tahu seberapa kuat kekuatan Jeremy kakak angkatnya.
Sedetik kemudian Marina langsung menjatuhkan dirinya bersujud meminta maaf pada kakaknya.
"Kak. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku diluar kendali." Alibi Marina yang ketakutan pada sang kakak setelah Jeremy mengeluarkan sihir api birunya.
Disisi lain, Joana yang sudah merasakan tekanan batin yang luar biasa meluapkan emosinya yang hampir meledak.
Tiba-tiba kabut putih memenuhi kamar Joana.
Sehingga hal itu mengalihkan tatapan Jeremy pada Marina beralih menatap adik kandungnya yang mengeluarkan kabut sihir sihir berwana putih yang sangat pekat.
Ada hawa dingin di kabut itu, seperti akan terjadi badai salju di ruangan mereka berada.
"Joana!" Teriak Jeremy terkejut melihat sang adik seperti hilang kendali atas tubuhnya. Jeremy menarik tangan Joana membawanya untuk berhadapan dengannya.
Deg!
Warna bola mata Joana berganti menjadi hitam pekat dengan tatapan kosong.
"Joana!" Jeremy seakan membangunkan Joana, Jeremy merasakan di tubuh Joana ada aliran sihir yang sebentar lagi akan meledak.
Jeremy berusaha memnggunakan api birunya mengurangi suhu dingin menusuk yang ada di kamar. Marina yang masih disana merasakan ketakutan yang luar biasa. Menatap punggung Joana dan Jeremy yang ada di sebelehnya.
Perlahan perapian yang ada di kamar Joana padam, sudah tidak ada kehangatan lagi disana.
Tangan Joana mengepal erat, ada kabut putih pekat disekitarnya.
Jeremy merasakan, detik ini juga, aliran sihir Joana akan meledak. Dengan langkah cepat ia menyusul Marina yang masih bersimpuh ketakutan. Memeluknya kemudian membuat pelindung sihir dari bayangan hitamnya.
Dan benar, tak beberapa.
Booommmmmm!
Seisi ruangan beterbangan, Jeremi dan Marina terpelanting membentur tembok dengan sangat keras. Sihir pelindung yang dibuat Jeremy tidak dapat menahan ledakan kekuatan Joana.
Mereka berdua seperti di lempar oleh angin dahsyat yang menerjang apapun di sekitarnya.
Di dalam kamar Joana dipenuh dengan es runcing raksasa dan siap untuk siap menusukkan pada siapapun yang memegangnya.
Joana dengan mata yang sudah berganti dengan warna hitam pekat mendekati mereka berdua yang terduduk lemas di depan tembok akibat terpelanting. Untung saja mereka tidak terkena es runcing yang tepat berada di sebelahnya. Jika terkena mungkin mereka berdua akan tamat.
Dengan langkah perlahan tapi pasti. Joana berjalan kearah wanita dengan rambut pirang, mengeluarkan sihir yang keluar dari tangannya.
Tangannya kemudian mengeluarkan es beberbentuk kerucut runcing siap untuk menghunus leher wanita berambut pirang itu.
Dengan ketakutan Marina menangis melihat kengerian sihir Joana yang telah bangkit.
Sementara di sisi lain Duke Ferio, Jacob, dan Grand Duke Killian segera berlari menuju sumber keributan.
Ketika sampai di kamar Joana, ketiganya terkejut dengan Joana yang bisa menggunakan sihir.
Dengan cepat Killian mendekati Joana yang sudah hilang kesadaran digantikan kekejaman pembalasan dendam Joana yang selama ini tertahan. Joana yang sekarang seperti alter ego yang meledak ingin keluar dari raga Joana.
Killian menahan kedua tangan Joana dari belakang, mencegah Joana bertindak agresif yang bukan inisiatifnya.
Namun kekuatan Killian kalah dan terpelanting terbang kebelakang menghantam es raksasa kemudian terpelanting hampir jatuh dari ketinggian lantai tiga. Tubuh Killian yang besar memecahkan es batu runcing yang menahannya.
Duke Ferio juga berusaha membuat pelindung kegelapan yang berwarna hitam pekat menutupi seluruh tubuh Joana.
Namun gagal, sihir yang dimiliki Joana lebih kuat dari Duke Ferio.
Joana berjalan kembali ke arah Marina, dan sekarang tepat berdiri di depan Marina yang terduduk lemas dan ketakutan.
Joana dengan enteng menarik tubuh Marina hingga dia berdiri dengan paksa. Joana langsung menusukkan es runcing itu. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, Joana semakin memperdalam tekanannya di bagian jantung Marina.
"Aaaakkkkkk!!!" Teriakan Marina setelah tubuhnya mengeluarkan darah. "Aaaakkkkk!" Teriakan Marina lagi.
Marina kini sudah menangis meneriman rasa sakit yang luar biasa. Darahnya seperti membeku ketika bersentuhan dengan es di pegang Joana.
"Joana!" Duke menarik tubuh Joana menjauh dari Marina. Namun sayang, tubuh Joana tak bergeming.
Satu tangan Joana menahan tubuh Marina agar tetap berdiri, sementara tangan lain memegang es menusuk tubuh Marina.
Dengan badan tertatih, Killian bangkit memeluk Joana dari belakang, menahan tangan Joana turun dari Marina.
Deg!
Killian terkejut melihat tatapan Joana yang hitam pekat.
Sekali lagi Killian terpelanting, namun berkat Killian, Marina sudah terjatuh karena sebelah tangan Joana digunakan untuk melempar tubuh Killian. Sekali lagi dengan kaki yang terluka, Killian membisikkan sebuah mantra dan sepersekian detik kemudian Joana jatuh pingsan di pelukan Killian dan Marina yang selamat dari kengerian Joana meski ia harus memiliki luka yang cukup dalam di bagian dada.
Joana tertidur lemah. Matanya yang sayup, kulitnya semakin pucat namun anehnya bibirnya berwarna merah pekat seperti merah darah.
"Saya akan membawa Joana ke mansion Saya." Sahut Killian yang langsung hilang seperti sekelabat bayangan.
Sedangkan Marina di bopong oleh Duke. Dan Jeremy dipapah oleh Jacob meninggalkan kamar Joana untuk mengobati luka.
Di sepanjang menuruni tangga, semua pemandangan yang biasa terlihat rapi kini berubah menjadi hutan es penuh duri es raksasa yang sangat banyak dan tajam.
Dengan langkah cepat Duke membawa Marina untuk diobati.
Sementara Jacob dan Jeremy berjalan pelan sembari menatap hasil kengerian yang Joana lakukan.
"Aku tidak pernah mendengar tentang sihir es, Kak." Ujar Jacob pelan.
"Mungkin karena ini, mengapa sihir Joana tidak terdeteksi pada bola sihir, karena sihir yang belum diketahui." Jawab Jeremy penuh asumsi.
Keduanya terpaku menatap es dimanapun berada yang hampir berada di seluruh mansion.
***
Sementara di tempat lain, Killian membaringkan tubuh Joana di ranjang big size miliknya.
Di susul oleh beberapa orang yang diantaranya Arhan penyihir agung dari menara sihir, Aarash yang memiliki kemampuan penyembuhan, dan pangeran kedua yang sudah dipanggil oleh pengawal bayangan oleh Killian.
"Sihir es kau bilang?" Kenzie, pangeran kedua membuka suara menanyakan kembali kepastian setelah di berikan sekilas informasi dari pengawal bayangan Killian. Dan dengan cepat ia meninggalkan urusannya bersama Ellia untuk menuju kemari.
"Tolong diperiksa." Ujar Killian pada Arhan. Meminta penyihir agung mengidentifikasi sihir di tubuh Joana.
Setelah beberapa menit mencoba, penyihir agung tetap tidak dapat merasakan energi sihir dari tubuh gadis yang berbaring lemah itu.
Killian menghela napas kasar. Padahal saat kejadian ia merasakan aura sihir yang begitu besar. Ia memijat pangkal hidungnya.
"Pada saat Joana hilang kendali, Aku merasakan aliran sihir di tubuhnya. Apa Kau yakin tidak merasakannya?"
"Bola matanya berubah menjadi hitam dan dia kehilangan kendali atas dirinya. Semua es yang dia keluarkan menyeruak tajam di kediaman Duke Adalberto. Bagaimana mungkin tidak terdeteksi?" Sambung Killian mencoba menjelaskan peristiwa pada semua yang ada disana.
"Aku juga tidak merasakan aura sihir di tubuhnya Killian." Kenzie kembali memberikan asumsinya. "Jika benar gadis itu memiliki sihir es, kita perlu menyelidikinya lebih lanjut, mengapa tiba-tiba aliran sihirnya hilang."
Killian memijat pelipisnya dan menghembuskan napasnya dengan kasar. "Aarash, sembuhkan luka yang ada ditubuhnya." Killian menyuruh Aarash.
Aarash pun dengan segera memeriksa tubuh Joana dan dengan kekuatan cahayanya, menyembuhkan luka yang ada tubuh gadis itu tanpa berbekas.
"Sepanjang sejarah tidak ada yang memiliki sihir es. Aku sudah membaca semua buku kuno di istana, tapi tidak pernah menemukan sihir es ini." Kenzie membuka suara setelah senyap menatap Joana yang tengah diobati Aarash.
Killian lantas menyibak rambutnya kebelakang.
Ia bingung dengan kondisi langka Joana.
"Bagaimana?" Tanya Killian setelah melihat Aarash selesai melakukan penyembuhan.
"Tidak ada keanehan atau kerusakan fatal di tubuh Nona Joana. Dia akan tertidur selama beberapa hari karena tenaganya yang terkuras."
***
Seorang gadis tergeletak penuh darah merintih kesakitan mencari pertolongan dijalan dengan lampu yang cukup terang di persimpangan sebuah gang. Tiba-tiba ia berada di tempat gelap tak berujung. Terus berjalan hingga berlari, gadis itu menemukan secercah cahaya putih. Ketika di dekati itu adalah gunung es yang sangat indah.
"Hallo, Joana." Sapa wanita yang sangat mirip dengannya. Yang membedakan adalah warna bola mata. Joana Alexandra memiliki warna mata hitam. Jadi... Gadis di depannya ini... Joana Adaberto?
"Saya minta maaf telah menarikmu ke duniaku." Ujar Joana dengan mata biru. "Saya yang menghalangi Marina berpindah jiwa." Sambungnya dengan suara lembut menenangkan jiwa. "Sebagai ganti menghalangi jiwa Marina. Saya mengorbankan jiwa saya sendiri."
"Kenapa?" Tanya Joana bermata hitam penasaran.
Joana bermata biru kemudian tersenyum penuh arti menatap Joana lain di depannya.
"Cerita itu sudah berantakan dan memiliki akhir tragis yang tidak dituliskan dalam novel. Marina memusnahkan semua yang ada di dunia. Dan tujuan Marina adalah balas dendam pada akhir tragis reinkarnasinya."
Joana bermata hitam mengernyitkan alisnya hingga saling bertautan. Ia masih tidak mengerti arah pembicaraan.
Joana bermata biru menghela napas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Lindungi Killian. Dia yang akan menuntunmu. Saya tidak bisa menahan Marina lebih lama lagi. Dia akan berganti jiwa sebentar lagi. Kuharap kamu bisa mengehentikan Marina dari penghancuran dunia. Untuk lebih jelasnya lihatlah sendiri Joana."
Pada detik berikutnya Joana menampilkan adegan peristiwa yang menampilkan Marina dengan sihir api merahnya membumi hanguskan seluruh daratan. Semua daratan nampak hitam, hutan yang semula hijau tertutupi salju putih, kini berubah menjadi hutan hitam dengan salju berwana hitam.
Joana tersentak ketika api merah menjalar menuju wajahnya. Wuushhhh!
Bagaimana part ini? Jangan lupa kasih komnetar:D
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!