Mister Kanzler. Panggilan pria berusia 45 tahun yang sedang meratapi perceraiannya dari istri yang 13 tahun lalu adalah wanita yang dicintainya dan diperjuangkannya mati-matian hingga menerjang restu kedua orang tuanya.
Namun apa daya, takdir jodoh berkata lain. Dia dan mantan istrinya harus bercerai karena masalah ekonomi yang mendera. Gaji bulanan yang dihasilkan dari bekerja di sebuah Perusahaan swasta seperti tak pernah dihargai. Membuat istrinya meradang dan selalu meminta untuk menceraikannya.
Alhasil perceraian terjadi, namun kata-kata yang menyakitkan yang keluar dari mulut istrinya masih terngiang jelas di telinganya.
" Pergi! Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau digantung. Cari! Silahkan cari wanita yang jauh lebih diatas segalanya dari aku!"
Kata-kata yang terus terngiang di telinganya. Membuat dendamnya membara bagai api unggun yang terus di siram bensin di atasnya.
Bahkan sedikit menggunakan mantra cinta entah dari dukun mana membuat seorang wanita lugu, polos bernama Freish timbul kasihan setelah Mister Kanzler menceritakan kisahnya.
Keduanya menikah singkat tanpa perkenalan lama. Bahkan Freish sama sekali tidak berpikir panjang dengan hidupnya. Menikah dengan seorang duda beranak dua. Padahal saat itu usianya yang masih diangka 23 tahun menginjak 24 tahun hitungan sekitar 3 bulan lagi. Membuatnya juga tanpa peduli restu yang menghalangi dari seorang ibu satu-satunya yang dia miliki.
Pernikahan mereka terbilang sederhana. Hanya digelar di sebuah KUA kecil di sebuah kota kelahiran Freish. Freish tidak berpikir panjang bahkan sama sekali tidak terlalu dalam mengenal Mister Kanzler. Maka dari itu, jika diperhatikan seperti terkena mantra guna-guna yang Freish sendiri bingung mengapa menerima pinangan duda beranak dua itu.
Hanya sekilas melihat kebaikan Mister Kanzler bak malaikat membuatnya jatuh klepek-klepek di tangannya. Padahal jangan ditanya, Freish bukanlah wanita yang mau ongkang-ongkang saja ingin hidup enak setelah dinikahi duda beranak dua.
Bagaimana bisa? menerima pinangan duda beranak dua, tidak mengenal dalam karakternya namun sudah memutuskan mengiyakan membina biduk rumah tangga. Jelas ini ada sesuatu hal yang aneh, namun begitulah kenyataannya berjalan. Freish bekerja di sebuah perusahaan swasta yang memilik gaji cukup untuk menghidupi dirinya sendiri bahkan memberikan sebagian gaji untuk ibu dan adik-adiknya.
Harusnya jika dia berpikir waras, mengapa dia harus menikah dengan duda beranak dua yang tidak jelas. Padahal banyak pria mengantri untuk mendapatkan cintanya namun banyak yang ditolaknya karena Freish memang wanita yang tak mudah untuk jatuh cinta.
Singkat cerita, Freish dikecewakan oleh pria yang katanya akan meminangnya. Namun seiring waktu berjalan, pria yang akan meminangnya memilih pergi mengejar impiannya yang ternyata itu adalah alasan belaka.
Orang yang ingin meminangnya malah menggoda wanita lain rekan sekerjanya melalui pesan singkat yang dikirimkan kepadanya. Membuat dadanya semakin sesak dengan kisah cintanya yang akhirnya memutuskan untuk berakhir dengan kata iya ketika Mister Kanzler datang tiba-tiba dengan membawa segala kegundahan nya akibat perceraian dan dikecewakan oleh seorang wanita pasca perceraian.
Hati yang sama-sama galau sebenarnya ketika Mister Kanzler dan Freish bertemu. Yang membuat merasa orang yang dekat saat itu adalah orang yang tepat menurut mereka.
Pernikahan sudah usai. Semua yang diundang juga sudah pulang kerumahnya masing-masing. Tidak ada hal spesial seperti resepsi pernikahan mewah pada umumnya.
Setelah menikah pun, mereka masih terlihat baik-baik saja. Belum kelihatan sifat dan karakter asli mereka berdua. Bagi Freish, Mister Kanzler adalah orang yang pintar, cerdas, pekerja keras dan baik dimatanya saat itu.
Semua masih terlihat adem ayem ketika Freish masih bekerja dan masih memiliki penghasilan sendiri. Mister Kanzler bahkan tidak berubah sikap sampai anak pertama mereka lahir dan melengkapi rumah tangga mereka.
Sampai dimana drama mulai bermunculan satu persatu.
" Aku tidak ingin kamu bekerja! Kamu banting tulang untuk keluarga dan adik-adikmu. Kamu sudah punya keluarga. Jangan bodoh mau diperas mereka." Nada keras dengan mata membulat sempurna memekik di telinga Freish saat Mister Kanzler melajukan mobilnya menuju ke sebuah kantor Freish yang memintanya untuk kembali bekerja.
Freish hanya diam. Tanpa sepatah kata pun.
" Aku tidak mau! kamu menjadi sibuk dan memikirkan mereka padahal kamu sudah memiliki rumah tangga." Nada tinggi itu keluar lagi dari mulutnya.
Freish tertunduk. Masih tidak bergeming. " Aku anak pertama, dari dulu aku selalu menyisihkan gajiku untuk mereka. Sudah hampir dua tahun lebih dari aku mengandung sampai lahiran dan anakku sudah 6 bulan, rasanya tidak menjadi masalah jika aku bekerja, toh itu juga bisa membantu perekonomian kita yang pas-pasan." Tandas Freish berusaha menjelaskan.
" Kamu itu istriku, istri harus nurut sama suami. Jangan membantah! Apalagi menjadi pembangkang! Saya paling tidak suka jika kamu selalu menjawab jika kita sedang bicara." Nada intonasi tinggi yang tak pernah berubah menjadi lebih pelan atau halus untuk terdengar di telinga.
Freish mengalihkan pandangannya dengan menoleh ke arah jendela kaca mobil yang melaju menembus padatnya jalanan kota.
" Mereka itu bukan tanggung jawab kamu lagi, nanti kamu bekerja, waktu yang seharusnya kamu pergunakan untuk melayani suami mu dan keluarga, malah menjadi sibuk dan tidak ada waktu. Belum lagi anakmu, kalau kamu menyerahkannya ke pembantu. Bagaimana kalau dia diculik? jaman sekarang banyak penculikan anak, penculikan bayi yang kemudian di jual ke luar negeri. Belum lagi kalau ketemu pembantu yang tidak pas. Malah akan menjadi masalah." Kata-kata dengan nada kasar itu selalu memekik ditelinga Freish.
Hingga akhirnya dia menimang-nimang dengan waktu yang sangat singkat sesingkat perjalanan mereka menuju kantor lama Freish.
Sesampainya Mister Kanzler memberhentikan di depan kantor lama Freish bekerja. Freish turun dengan langkah ragu karena merasa tidak enak dengan atasannya yang sudah memberi kesempatannya bekerja lagi. Yang sebenarnya itu sangat dibutuhkan oleh Freish kembali karena ekonominya saat itu benar-benar pas-pasan karena Mister Kanzler harus menanggung dua anaknya sekaligus. Biaya pendidikan yang tidak murah membuat Mister Kanzler mengesampingkan urusan rumah tangganya dengan Freish.
" Maaf Bu. Suami saya tidak mengizinkan saya bekerja. Harusnya saat anda menawari kembali pekerjaan untuk saya, saya harusnya berunding dulu dengan suami saya. Yang aku pikir, dia akan menyetujuinya. Namun ternyata aku salah, suamiku tidak mengizinkan saya bekerja kembali. Sekali lagi saya mohon maaf." Freish tertunduk malu karena dengan begitu, membuat orang sulit untuk mempercayainya kembali. Sudah mengecewakan atasannya yang sudah memberinya kesempatan bekerja kembali.
" Iya tidak papa. Saya bisa paham Freish." Jawab ramah atasan Freish.
Hingga percakapan kedua orang mantan atasan dan bawahan itu selesai. Freish yang kemudian keluar dari kantor lamanya untuk menuju ke mobil Mister Kanzler yang terparkir tidak jauh dari gedung membuat langkahnya tidak butuh waktu lama untuk masuk ke dalam mobil.
" Sudah, aku sudah ucapkan permintaan maaf kepada atasanku karena menolak pekerjaan yang diberikan diwaktu yang seharusnya aku menerima pekerjaan itu dan besok mulai bekerja kembali." sembari kepalanya bertanya. Masak iya, suami yang baik seperti itu. Bukankah harusnya dia tahu kondisi ekonomi keluarganya yang sedang pas-pasan seperti ini. Harusnya senang dong, dengan aku bekerja, malah akan membantu perkonomian keluarga. Tapi...gumam Freish dalam batinnya. Banyak pertanyaan menggantung di udara tanpa ia ketahui jawabannya.
Freish kemudian menoleh melihat pelipis duda beranak dua itu yang sedang mengemudi mobil untuk membawa kami pulang.
Mobil akhirnya melaju menembus jalanan kota hingga akhirnya kami sampai di rumah.
Rumah yang Mister Kanzler entah beli atau kontrak yang Freish sendiri juga tidak tahu menahu. Yang katanya beli, namun uangnya juga dari mana? yang katanya kontrak namun juga sedikit di renovasi bagian terasnya. Entahlah, toh juga kalau dia membelinya. Tanda tangan sebagai seorang istri yang sedikit banyak memiliki hak juga tak pernah dia bubuhkan di atas kertas bermaterai bernama sertifikat rumah.
Bukan waktunya memperdebatkan masalah rumah. Dua orang terlihat akur rukun tanpa bertengkar saja sudah Alhamdulillah. Entah mengapa? Freish masih tidak menyadari sosok Mister Kanzler suaminya. Masih patuh terhadap apapun yang dikatakan oleh suaminya yang jelas-jelas menyengsarakan hidupnya.
Bagaimana tidak menyengsarakan? Freish saja tidak tahu menahu gaji suaminya. Hanya diberi makan bergantung padanya. Diberi uang bulanan yang terbilang pas-pasan setiap harinya. Diberi tempat tinggal yang cukup sederhana. Namun juga diperlakukan semena-mena dan seenak jidat duda beranak dua itu.
BERSAMBUNG
Langkahnya lesu, menapaki teras depan rumah. Melihat dalam rumah yang kacau banyak barang-barang yang tidak memiliki tempat semestinya. Semuanya serba minim bahkan terbilang mengenaskan.
Sudah gaji suami yang tidak tahu berapanya? Pulang larut malam entah bekerja apa?
Dinas luar kota yang seenak jidatnya. Membuat kehidupan rumah tangga yang harus dijalaninya bagai bara yang dia genggam sendirian.
" Freish, sini!" Teriak Mister Kanzler pada istri yang dianggapnya bodoh.
Freish dengan cepat melangkahkan kaki menuju kamar yang dimana Mister Kanzler sudah duduk di ujung ranjang berukuran sedang itu. " Iya."
" Kamu bisa setrika nggak sih? Masak nyetrika kayak begini!" Mister Kanzler yang memberikan dengan kasar ke dada Freish kemeja yang akan dipakainya untuk bekerja.
Freish yang sepasang bola matanya sudah berkaca-kaca sembari memegang kemeja yang diberikan ke dadanya secara kasar oleh Mister Kanzler suaminya.
Merentangkan kemeja yang akan di pakai oleh suaminya, yang menurutnya hanya terdapat bekas lipatan saja dan tidak akan menjadi masalah jika di pakai, toh juga kemeja yang dikenakannya bagian bawah disembunyikan di balik celana kerja dan dikencangkan oleh ikat pinggang melingkar yang sudah pasti membuat kemeja bagian bawah berkerut juga.
Freish lantas menyetrika kembali kemeja yang diberikan Mister Kanzler secara kasar itu ke dadanya.
" Ini." Freish yang mengulurkan tangan beserta kemeja yang selesai disetrika ulang oleh Freish.
" Iya begini harusnya, kemeja kerja itu jangan dilipat tapi digantung." Nada kasarnya seolah membuat telinga Freish semakin tersiksa.
Kan bisa pelan menyuruhnya, ngasih tahunya. Kenapa harus pakai otot? sampai kelihatan urat-uratnya. gumam dalam hati Freish.
Freish lantas pergi ke dapur untuk mengambilkan sarapan pagi untuk Mister Kanzler. Mengambilkan sarapan pagi dengan potongan buah pepaya yang sengaja dia potong kotak-kotak dan juga membawakan nasi dengan tumis kacang tahu tempe dengan lauk tongkol goreng dan juga segelas teh hangat setiap paginya.
" Ini sarapannya." Freish yang meletakkan sarapan Mister Kanzler di meja bulat kecil, meja yang dia beli sendiri dengan menjual emas-emasan hasil dari tabungan uang sisa belanja yang pas-pasan.
Mister Kanzler yang kemudian menyeruput teh dalam gelas. " Tehnya kurang manis, tambahin gula!" Mister Kanzler dengan mengulurkan tangan ke arah Freish untuk menambah gula pada teh yang dia minum.
" Sengaja aku kurangi gula, usia mu sudah 45, takut saja kalau banyak gula malah nambah penyakit. Sengaja aku buat teh tawar." Ujar Freish.
" Tam ba hin gu la." Permintaan yang tidak bisa ditawar apalagi kalau sepasang matanya sudah mendelik mengarah melihat Freish.
Freish akhirnya menambahkan gula pada teh milik Mister Kanzler. Mengantar kan kembali gelas berisi teh ke teras depan untuk teman sarapan sebelum berangkat ke kantor.
" ini tehnya." Freish yang meletakkan gelas berisi teh yang sudah manis itu ke meja bulat teras. Sembari melihat piring di samping gelas yang masih tersisa nasi dan juga lauk yang tidak habis. " Ini kenapa nggak di habiskan?" tanya Freish pelan.
" Masakanmu asin semua, apalagi tumis nya, pedas ngalor ngidul gak genah rasanya." Jawab kesal Mister Kanzler tanpa tedeng aling-aling yang jelas melukai perasaan Freish yang memang diakuinya baru belajar menjadi istri dan masak baru-baru ini.
Tanpa berdosa, Mister Kanzler memasukkan potongan buah pepaya mendarat masuk ke dalam mulutnya dengan posisi duduk santai menyandarkan punggungnya di kursi dengan ekspresi wajah datar biasa saja. Rasanya hanya irisan potongan buah pepaya yang tanpa cela pagi ini.
Freish yang kemudian membawa makanan sisa ke belakang. Entah mengapa? hatinya begitu sensitif ketika celaan kasar keluar dari mulut Mister Kanzler tanpa memikirkan perasaannya.
Hari demi hari, hanya berdiam di rumah. Menunggu Mister Kanzler pulang ke rumah yang sudah tentu pulangnya hampir dini hari yang Freish sendiri tidak tahu apa yang dikerjakannya di luar.
Uang juga sampai di tangannya sangat pas-pasan. Bahkan cenderung kurang. Sudah pulang larut malam meninggalkan waktu bersama keluarga hanya untuk bekerja siang malam yang Freish sendiri tidak tahu hasilnya kemana, gajinya berapa yang Mister Kanzler tidak pernah terbuka kepadanya. Apakah ini namanya rumah tangga?
Sampai dimana tanggal 25 yang menjadi tanggal muda bagi kaum ibu-ibu rumah tangga seperti Freish. Mister Kanzler kemudian memberikan uang yang katanya untuk belanja selama satu bulan yang bisa dikatakan itu setara dengan uang makan siangnya Mister Kanzler saja selama satu bulan. Miris bukan?
Yang sudah tentu dengan lugu entah memang bodoh atau memang akal sehat Freish tidak bisa berpikir jernih. Dengan uang tersebut pun, Dia tetap menomor satukan Mister Kanzler ketimbang dirinya dan anaknya yang masih kecil.
Membelikan sayur, buah dan apa-apa yang menjadi kesukaan Mister Kanzler terlebih dulu. Baru diikuti dirinya dan anaknya itu pun jika masih ada sisa.
Sampai suatu ketika. Saking merasa jenuhnya ingin keluar rumah yang menurutnya bagaikan tahanan kota. Freish mengajak anaknya untuk pergi makan bakso di tengah kota.
" Mas, bakso campur satu mangkok dan bakso halus saja satu mangkok ya." Freish memesan bakso yang berada di tengah kota dengan dia naik sepeda motor miliknya.
" Iya Bu."
Tidak lama pesanan datang. Freish masih sibuk meniup kuah bakso yang panas. Membelah bakso bulat besar dalam mangkok itu menjadi dua bagian supaya anaknya makan tanpa kepanasan lidahnya. Masih menyuapi anaknya dan melupakan baksonya.
Dert...
Dert...
Ponsel murahnya berdering. Lagi-lagi hasil dari sisa-sisa uang belanja yang sebenarnya tidak ada sisa namun dia perjuangkan supaya tersisa.
S U A M I K U
nama Mister Kanzler dalam daftar kontak Freish. Seketika matanya membulat. Terkejut karena tidak biasanya Mister Kanzler menghubunginya siang-siang ini. Freish lantas memencet tombol hijau sebagai tanda panggilan diterima.
Baru menempelkan ponsel untuk lebih dekat dengan telinganya. Suara kencang bernada tinggi kasar itu sudah memecah gendang telinga.
" Kamu dimana?" Tanya pendek Mister Kanzler.
" A-aku lagi makan bakso, di tengah kota." Sedikit terbata Freish menjawab namun kemudian lancar jaya.
" Pulang!" Teriak Mister Kanzler dari balik ponsel.
Freish yang menjauhkan ponselnya dari telinga, karena terdengar amarah Mister Kanzler yang memekak.
" Sebentar ya, lagian cuma ingin makan enak. Aku bosan dengan masakan ku sendiri bertahun-tahun. Sesekali aku ingin makan enak di luar." Jawab Freish jelas singkat padat.
" Aku suruh pulang ya pulang!" Tut...Tut...
Kata terakhir perintah yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh Freish.
Freish kalang kabut menghabiskan semangkok bakso dengan tergesa. Yang inginnya menikmati makan bakso enak di tengah kota sambil menyeruput es teh manis saja tidak muluk-muluk sampai Es miliknya hotel bintang lima sudah kacau balau. Gagal total yang akhirnya makan tidak nyaman dan diperut juga tidak kenyang.
Alhasil dia pulang. Belum sampai tujuan rumah, dia sudah diikuti mobil milik Mister Kanzler yang memandunya di belakang sepeda motornya.
Raut wajah marah tergambar jelas dari balik kaca jendela mobil yang dibuka lebar olehnya.
Freish.
Entah akal sehatnya tertutup bongkahan segunduk tanah liat atau bagaimana. Dia lagi-lagi patuh dan tidak mengulanginya lagi.
Sesampainya di rumah, yang sudah pasti berjarak bekisar 5 menit sampai 10 menit mereka bersamaan datangnya dengan kendaraan masing-masing.
Mister Kanzler sudah memampang wajah serius dan ekspresi marah yang sudah pasti membuat Freish sedikit bergetar.
" Kamu kenapa keluar nggak pamit?" Bentak Mister Kanzler yang berdiri di ruang tamu karena tidak memiliki kursi.
Freish yang masih menunduk tanpa kata.
" Kenapa nggak dijawab?" nada tinggi datar yang masih sama keluar dari mulut Mister Kanzler.
" Ya kalau pamit, apa iya boleh? nggak boleh kan." Jawab pelan Freish.
" Trus ngapain? makan bakso jauh-jauh di tengah kota. Beli di depan kan bisa! Nanti siang juga banyak penjual bakso yang lewat." Ketus Mister Kanzler.
" Iya maaf, besok tidak mengulanginya lagi." Freish yang tidak bisa lepas dari sepasang mata yang berkaca-kaca. Bentakan nada kerasnya Mister Kanzler benar-benar merontokkan keberaniannya, kemandiriannya selama ini.
Selama ini dia bahkan bisa dikatakan wanita mandiri. Sejak memutuskan bekerja dan tidak ingin melanjutkan ke jenjang universitas. Menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri untuk membiayai segala kebutuhannya sendiri. Namun harus patuh memilih jalan yang sudah dia pilih anggaplah sebuah konsekuensi dari pilihan asal dan salahnya dalam memilih pasangan hidup. Namun sampai di detik itu, Freish masih juga belum menyadari orang sepert apa Mister Kanzler suaminya itu.
BERSAMBUNG
Nging...
Pagi-pagi, suara sanyo air yang memekik sampai gendang telinga. Berisik tidak karuan membangunkan semua penghuni rumah. Jika alat itu berbunyi, siap-siap saling berteriak untuk memanggil penghuni rumah satu sama lain.
Seperti biasa Mister Kanzler yang ingin aktivitas untuk persiapan kerja. " Ambilkan handukku!" Perintahnya kepada Freish istrinya yang masih sesekali mengucek mata.
Padahal handuk juga dijemur tidak jauh dari kamar mandi. Namun tetap saja Mister Kanzler tidak mau menyambarnya dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi.
Lagi-lagi yang dilakukannya adalah melepas ****** ***** di tempat dan meninggalkannya tergeletak di atas lantai begitu saja dimana dia melepas.
Membuat Freish terdiam, membuatnya terbiasa dengan semua hal aneh yang dilakukan Mister Kanzler selama menjalani rumah tangga dengannya. Mister Kanzler lantas pergi mandi dengan melingkarkan handuk menuju kamar mandi. Sementara ****** ********, Freish yang harus tabah dan sabar dalam mengahadapi sikapnya.
Lagi-lagi Freish bertanya?
" Apa rumah tanggaku normal?"
Tidak!
Bukannya aku tidak mau yang hanya sekedar mengambil ****** ******** untuk aku taruh ke tempat cucian kotor yang tempatnya juga tidak jauh dari kamar mandi. Aku mau. Tidak masalah. Toh pada akhirnya aku juga yang meletakkan benda ini di bak cucian kotor. Tapi...Mengapa dia tidak melakukan hal sepele itu sendiri? Mungkin, lagi-lagi Freish menganggap jika suaminya sedang memberi pahala besar untuknya di kemudian hari. Dengan melakukan pekerjaan baik kecil maupun besar sebagai ibu rumah tangga, tentulah Tuhan dan semesta akan mengganjarnya pahala berlipat.
" Jangan matikan keran dapur!" Teriak mister Kanzler dari dalam kamar mandi.
" Jangan matikan. Trus terbuang sia-sia gitu airnya?" lirihnya bermonolog.
Mister Kanzler keluar dari kamar mandi lalu berjalan menuju keran dapur dan membukanya. " Kan aku sudah bilang, jangan dimatikan. Kenapa tetap dimatikan?" Ucapnya dengan nada tinggi oktaf paling akhir.
Freish yang kasarnya tidak tahu menahu urusan seperti ini. " Ya kan air nya jadi terbuang sia-sia. Makanya aku tutup." jawab Freish pelan dengan berdiri di depan Mister Kanzler.
" Kamu itu dasar bodoh. Ini kalau dimatikan sanyo nya bisa jebol. Biarkan aja airnya mengalir terbuang setiap Sanyo menyala." Mister Kanzler yang kemudian berlalu meninggalkan Freish yang matanya sudah berkaca-kaca. Freish masih mematung. Pagi-pagi sudah dapat sarapan umpatan dari Mister Kanzler. Dikatai dirinya bodoh. Istrinya sendiri dikatai bodoh. Suami macam apa itu?
Mister Kanzler yang masih sibuk mengeringkan badannya dengan handuk merah tebal besar yang kemudian dia layangkan di udara dan terjatuh di atas tempat tidur miliknya.
" Freish, ambilkan kemejaku!" Perintah Mister Kanzler yang sama dengan hari-hari sebelumnya.
" Kemeja yang mana?" Tanya Freish balik memastikan warna kemeja yang akan dikenakan nya.
" Ya kemeja kerja, apa lagi emangnya?" Mister Kanzler yang pagi-pagi sudah memberi sarapan bentakan setiap saat dia rumah.
" Ya kemejanya kan motif warnanya banyak, ada lengan pendek dan lengan panjang juga. Jadi kemeja yang mana?" ujar Freish sembari menjelaskan.
" Terserah! pokok kemeja kerja. Jangan lupa sekalian celana jeans nya." Mister Kanzler yang sibuk menggunakan pewangi ketiak andalannya.
Freish yang bergegas memilihkan kemeja dan juga celana jeans di dalam lemari pakaian stainless steel. Mengambil kemeja kantor berlengan panjang dan celana jeans berwarna biru senada dengan kemeja kantornya. " Ini." Freish yang meletakkan kemeja tergantung hanger hitam dan juga celana lipat yang kemudian dia letakkan di atas ranjang sedang miliknya.
Mister Kanzler yang mengambil kemeja kantor. " Lho, kok lengan panjang. Yang lengan pendek ajalah. Ambilkan! Gerah soalnya kalau lengan panjang." Mister Kanzler yang tidak henti-hentinya menguji kesabaran seorang Freish.
Freish hanya geleng-geleng kepala. Tadi katanya terserah. Sekarang minta lengan yang pendek. Kenapa tadi nggak jawab aja kemeja lengan pendek. Selesai kan. Ya sudah lah. Turuti aja apa maunya.
Freish kembali membawa kemeja lengan panjang masuk ke dalam lemari stainless steel dan mengambil kemeja kantor pendek untuk dibawa ke Mister Kanzler.
Setelah memberikan kemeja lengan pendek, Freish lantas bergegas menyiapkan sarapan pagi yang kali ini adalah tumis kangkung dan lagi-lagi lauknya adalah tongkol goreng. Bukan tanpa alasan mengapa tongkol goreng menjadi lauk andalan. Memang Mister Kanzler menyukainya dan memang itu yang sanggup Freish beli dengan uang belanja yang sengaja di pas atau memang benar pas-pasan.
Mengapa over thingking menjadi sengaja di buat pas? karena kalau dipikir-pikir, Seorang karyawan seperti Mister Kanzler pasti memiliki gaji lebih dari cukup karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup memiliki nama di Jakarta.
Tapi sudahlah, lagi-lagi Freish hanya bisa gigit jari. Alih-alih bisa setiap Minggu family time, sekedar makan cilok di alun-alun kota atau menyeruput kopi di dekat bantaran saja, nyaris tak pernah dia lakukan. Apalagi sok ingin bergaya bagai superstar yang menghabiskan dana bulanan untuk perawatan ke salon impian. Please jangan mimpi! Itu terlalu ketinggian.
Freish yang menimpa nasi putih dalam piring dengan satu sendok sayur tumis kangkung dengan sedikit kuah dan juga dia timpa lagi dengan tongkol goreng. Berjalan memberikan piring nasi lengkap dengan lauknya di atas telapak tangan Mister Kanzler yang sudah menjadi kebiasaannya.
" Hah, tongkol lagi. Bisa-bisa wajahku seperti tongkol." Gerutu Mister Kanzler.
Freish terdiam. Memangnya kamu kasih aku uang belanja berapa? Sudah syukur ada sayur, tongkol, plus buah pepaya lagi. Apa dia tidak mikir, buah pepaya berapa? kangkung berapa? dan tongkol berapa? gumam Freish dalam hati yang lagi-lagi hanya menggerutu kesal dengan suaminya. Berjalan masuk ke dalam rumah dan hanya bisa diam tanpa bisa menjelaskan.
" Ini." Mister Kanzler dengan mengulurkan piring yang tak tersisa sedikitpun nasi dan tumis kangkung beserta tongkol goreng yang tadinya memenuhi piring.
Freish yang mengambil piring dari tangan Mister Kanzler dan menaruhnya ke dapur belakang sembari berucap Alhamdulillah di dalam hatinya. lega, karena ternyata masakannya pagi ini habis tak tersisa dan bisa dikatakan jika bumbunya pas di lidah Mister Kanzler.
" Aku berangkat. Sepatu!" Dengan telunjuk jari yang dia arahkan ke sepatu pantofel hitamnya yang berada tidak jauh dari posisi duduknya.
Freish kemudian mengambilkan sepatu kerja milik Mister Kanzler dan menaruhnya tepat di telapak kaki Mister Kanzler.
" Ambilkan sikat sepatu!"
" Aku lupa menaruhnya dimana?" jawab Freish.
" Lain kali jangan asal mindahin barang. Biar saja disitu. Kan tidak mengganggumu." Mister Kanzler yang entah begitu saja menuju mobil yang terparkir di luar pagar.
Sementara Freish hanya bisa menarik nafas panjang dan harus kuat menghadapi sifat mister Kanzler yang Freish sendiri tidak bisa menjelaskan. Bagaimana bisa? barang-barang akan dibiarkan tergeletak di sembarang tempat. Apakah harus begitu solusinya? Untuk jangan memindahkan barang yang biasa di pakainya dan terlihat di depan mata supaya bisa terlihat dan dengan cepat dia ambil ketika dia memerlukan.
" Jangan lupa di kunci pagarnya!" titah Mister Kanzler yang langsung bergegas Freish mengunci pagar rumahnya.
Freish kemudian kembali masuk ke dalam rumah. Pikirannya tak tenang. Ingin merubah nasibnya lebih baik. Ingin memiliki rumah tangga yang normal pada kebanyakan orang diluar sana. Namun entahlah. Angan nya hanya sebatas impian. Dia tidak benar-benar bisa sepenuhnya pergi dari kehidupan Mister Kanzler yang seperti membelenggunya.
Sulit sekali menerjemahkan apa maksud dari Mister Kanzler menikahinya. Terkadang dia hanya berpikir jika dia hanya sebagai tempat pelariannya dari kegagalan rumah tangga dari Mister Kanzler.
Freish tidak ingin berlarut lama-lama untuk urusan hati. Dia lantas menyambar handuk yang tergantung mandiri dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi, air matanya tumpah ruah. Sesak dadanya dengan rumah tangga yang entah bagaimana menyebutnya. Terlintas jika sosok Mister Kanzler bukanlah sosok suami yang tepat untuk dia jadikan panutan dengan kata suami yang mengayomi istrinya. Suami yang menghargai istrinya. Tentu karena usianya yang terpaut jauh, membuat Mister Kanzler menyepelekan dan berbuat semena-mena kepada dirinya. Lalu untuk apakah Freish dinikahi? Apa hanya untuk diperintah-perintah dan dijadikan bahan pelengkap saja. Ketimbang dia harus hidup sendiri tanpa ada yang mengurusi.
Entahlah.
Dert...
Dert...
Ponsel murahnya Freish bergetar. " Hallo." Kata pertama yang terlontar keluar dari mulut Freish.
" Hallo, bagaimana keadaanmu?" tanya ibu Freish.
" Syukurlah Bu, aku baik-baik saja. Hanya saja..." kata terakhir Freish yang menggantung di udara.
" Ada apa?" desak ibu Freish.
" Entahlah, Mister Kanzler berubah 360%. Dia sudah tidak sama dengan Mister Kanzler yang dulu aku kenal. Sepertinya aku akan bercerai Bu."
Duar...Telinga ibu Freish bagai tersambar petir. Mengingat kelihatan rumah tangga putrinya itu adem ayem baik-baik saja.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!