"Mas? Kamu kenapa melihatku seperti itu?" tanya Qonita yang baru saja bergelar sebagai seorang istri.
Wanita muda bertubuh kurus tersebut tersenyum malu-malu sembari menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.
Ya. Dirinya baru beberapa menit yang lalu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Jadi wajar saja, kalau dia masih terlihat malu-malu karena masih belum terbiasa.
"Siapa yang sudah melakukannya sebelum aku?!"
Deghh
Pertanyaan yang terlontar dari mulut David membuat Qonita terhenyak. Dirinya tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh suaminya tersebut.
"Ma-maksud kamu apa, Mas?" tanya Qonita dengan tergugup.
Dada David terlihat naik turun dengan cepat. Sorot matanya kini menatap lurus, ke arah wanita yang baru saja mengabdikan dirinya sebagai seorang istri padanya.
"Kamu sudah tidak suci lagi, Qonita!" Suara David terdengar begitu lantang di telinga.
"I-iya, Mas. Kita baru saja melakukannya … dan sekarang aku sudah tidak suci lagi," sahut Qonita dengan tanpa rasa bersalah.
David mencebik saat mendengar jawaban dari istrinya tersebut. Senyuman sinis pun tersungging dari sudut bibir lelaki berperawakan tinggi itu.
"Dasar munafik! Selama ini kamu berpura-pura lugu dan seolah masih polos, tapi nyatanya?"
David kian mencibir istrinya. Bahkan sorot matanya kini terlihat seolah jijik untuk menatap Qonita.
"Nyatanya apa, Mas? Kamu mau menuduhku apa?" Qonita mulai merasa tidak nyaman akibat dari perkataan suaminya.
"Nyatanya kamu itu sudah tidak gadis lagi! Sudah berapa laki-laki yang tidur sama kamu?"
Duarrrr
Bagai mendengar gelegar petir di tengah hari. Begitu menyayat hati tuduhan dari mulut David, yang sudah memfitnah kalau Qonita sering tidur dengan lelaki lain.
"Jaga mulutmu, Mas!" Qonita setengah membentak suaminya.
Ia bergegas turun dari tempat tidur dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya, lalu memunguti pakaiannya yang tergeletak berserakan di atas lantai kamar pengantin itu dan kembali memakainya.
"Kamu boleh menyakiti tubuhku, Mas … asal jangan pernah menuduhku dengan keji seperti itu!" Emosi Qonita mulai meluap.
Hati wanita yang baru saja menjadi seorang istri tersebut merasa tercabik. Tudingan David yang menyebutnya sudah tidak gadis lagi dan sering tidur dengan lelaki lain, menorehkan luka dalam batin Qonita.
Tok tok tok
Suara ketukan dari arah luar pintu terdengar tanpa henti. David yang masih belum mengenakan baju, lekas mengambil kaos berwarna putih yang semula tergeletak di atas lantai dan kemudian kembali memakainya.
Sedangkan Qonita sendiri bergegas mengusap air mata di pipinya dengan punggung tangannya.
"David, ada apa? Ibu dengar suara ribut kalian berdua dari tadi." Kedua orangtua David dan juga orangtua Qonita, nampak menatap penuh tanya pada David.
"Ayah, Ibu. Gak ada apa-apa, kami berdua tadi cuma lagi becanda aja." Qonita bergegas menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya.
Dia berjalan dengan cepat menghampiri David yang berdiri di dekat pintu kamar pengantin.
"Becanda? Kamu bilang kita lagi becanda?" David tersenyum sinis ke arah istrinya.
"Mas!" Qonita berusaha memberi isyarat kepada suaminya, agar tidak mengatakan apapun kepada orangtua mereka berdua.
"Di sini aku ingin mengatakan pada kalian semua. Aku kecewa pada wanita yang baru menikah denganku ini, karena dia … dia sudah tidak suci lagi!" Dengan lantang David mengatakan tuduhannya di depan orangtua dan juga saudara-saudara mereka yang masih ada di rumah keluarga David.
Kontan saja semua yang mendengar tudingan David baru saja pun nampak tercengang. Tidak ada yang menyangka, kalau Qonita yang dikenal begitu taat beribadah dan juga lugu, ternyata tidak bisa menjaga Kehormatan dirinya.
"Enggak, Bu. Itu semua gak benar … Mas David keliru," elak Qonita seraya tersedu.
Dia bersimpuh di kaki ibu kandungnya, memohon agar wanita itu percaya padanya, kalau apa yang dituduhkan David itu tidak benar.
"Percuma kamu menangis … tangisan kamu itu palsu!" tudingan David benar-benar membuat sesak di dada.
Qonita kian meraung. Ia sudah dibuat malu oleh suaminya sendiri di malam pertama pernikahan mereka berdua.
Semua yang turut menyaksikan dan mendengar tuduhan David, terlihat mulai saling berbisik.
Sorot mata mereka seolah menatap Qonita dengan hina dan juga rendah. Hingga wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu pun merasa sudah tidak mempunyai harga diri lagi.
"Apa benar yang dikatakan oleh David?" Ibu mertua Qonita membantunya untuk bangun, lalu menatap mata menantu perempuannya itu dengan sangat lekat.
"Katakan padaku … apa perkataan David itu benar?" tanya wanita itu lagi seraya mengguncang bahu Qonita.
Merasa seperti dihakimi oleh keluarga suaminya, Qonita semakin terisak sembari menggelengkan kepalanya.
"Malam ini juga, aku jatuhkan talak padamu Qonita!"
Tanpa diduga David malam itu juga menjatuhkan talaknya pada Qonita. Dengan sorot mata yang terlihat angkuh, David menatap tajam pada istrinya yang berwajah manis tersebut.
"Mas, aku mohon. Percaya padaku … Aku belum pernah disentuh sama siapapun, kecuali kamu, Mas!"
Kini Qonita bersimpuh di kaki David. Ia menangis tersedu, merasakan sayatan luka yang begitu perih dalam hatinya.
Baru beberapa jam lalu dirinya menjadi seorang istri, kini Qonita harus menghadapi kenyataan kalau ia sudah ditalak oleh suaminya di malam pertama pernikahan mereka.
Sedih bercampur malu. Bahkan jika bisa, Qonita ingin nyawanya dicabut saat itu juga.
Wanita muda yang baru berusia dua puluh dua tahun tersebut tidak pernah menyangka, kalau takdir akan mempertemukannya dengan sebuah kenyataan yang menyakitkan.
"Bangun, Nak. Tidak pantas kamu memohon pada manusia!" Suara ayah Qonita yang sedari tadi terdiam, kini terdengar.
Lelaki berusia lebih dari empat puluh tahun tersebut menghela napas panjang. Ia berusaha untuk tetap bersabar, meski dalam hatinya merasa tidak tega melihat putri yang disayanginya difitnah seperti itu.
"Nak David, apa semuanya tidak bisa dibicarakan dengan baik-baik? Perceraian bukanlah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan sebuah masalah," ujar Pak Lukman, ayah kandung Qonita.
"Bapak dengar apa yang saya katakan tadi? Putri Bapak sudah tidak suci lagi … dan saya gak sudi menerima barang bekas seperti dia!" David kian lantang dalam berbicara.
Malam yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan dari sebuah pernikahan, kini berganti menjadi fitnah yang syarat dengan penuh luka sayatan dalam hati.
Keributan antar kedua belah pihak pun terjadi. Hingga dengan terpaksa orangtua Qonita harus membawa pulang kembali putrinya yang sudah dijatuhkan talak oleh David.
"Bapak, Ibu. Izinkan Qonita untuk bicara sebentar sama Mas David," pinta Qonita.
Setengah hati Pak Lukman pun mengizinkannya, karena ia tidak ingin membuat Qonita semakin terluka.
"Mas, kita masih bisa rujuk … bukankah kamu sudah tau, kalau aku ingin pernikahan itu hanya terjadi satu kali saja dalam hidup?" Qonita berharap David akan luluh, dan kemudian mau untuk kembali rujuk dengannya.
Cuihh!
"Kamu pikir ... Aku akan sudi punya istri yang sudah pernah tidur dengan lelaki lain?"
Kalimat menyakitkan tersebut kembali terlontar dari mulut David. Dia seolah tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh Qonita, saat setiap perkataannya itu ia tuduhkan pada wanita yang baru saja menikah dengannya.
"Aku berani bersumpah di depanmu, Mas ... Kamu orang yang pertama kali tidur dan menyentuhku!" Air mata Qonita kembali tumpah.
Wanita yang mengenakan baju gamis dan hijab berwarna biru muda senada itu pun terduduk lemas di atas lantai kamar. Wajahnya tertunduk, dengan kedua tangan yang diletakkan di atas lantai untuk menopang tubuhnya yang terguncang karena tangisan pilunya.
"Asal kamu tau saja. Aku terpaksa bersedia menikah sama kamu, itu gak lebih karena untuk menghargaimu!"
Jika ada rasa sakit yang melebihi rasa sakitnya hati Qonita saat ini, mungkin itu adalah hal yang tepat untuk menggambarkan seperti apa perasaan wanita yang baru menikah tersebut.
"Lihat dirimu ... kurus, gak ada yang bisa bikin aku tertarik!"
"Cukup, Mas!" Qonita mendongak demi melihat wajah suaminya yang arrogant itu.
"Kalau Mas David tidak tertarik padaku, lantas kenapa Mas David mau menikah denganku?" Dengan sisa tenaga yang ada, Qonita bangun dari duduknya.
Ia berjalan perlahan menghampiri David yang masih berdiri tidak jauh darinya. Ditatapnya dengan lekat kedua mata lelaki itu, seolah Qonita ingin mencari cinta yang mungkin saja masih ada dalam balasan sorot mata David.
"Dengar, Qonita. Aku menikah denganmu, itu semua karena permintaan dari keluargamu ... bukan atas kemauanku sendiri!" Lontaran demi lontaran kata yang di dengar oleh telinga Qonita, semuanya terasa menyakitkan.
"Tapi ... sebelumnya Mas David pun sering mengatakan, kalau Mas David begitu menginginkanku untuk menjadi pendamping hidup Mas David-"
"Kamu tau itu karena apa? Itu tidak lebih karena aku hanya penasaran dengan dirimu. Tidak lebih!"
Merasa semakin tidak dihargai oleh suaminya, Qonita pun beranjak meninggalkan David di kamar pengantin mereka berdua.
"Pak, Bu ... ayo kita pulang!" ajak Qonita pada kedua orangtuanya.
Melihat pada sekeliling, masih ada banyak tamu di kediaman keluarga besar David. Tepat saat Qonita mengalihkan sorot matanya ke arah sofa yang terletak di sudut ruang tamu, ia melihat kakak iparnya yang tengah menatap dirinya dengan sorot mata tajam.
Saat itu juga Qonita langsung tertunduk. Hatinya kian tercabik, manakala menyadari sikap dingin semua keluarga besar suaminya.
Sejurus kemudian ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, hingga Qonita pun lekas menoleh ke arah orang tersebut.
"Ini ambil! Buat ongkos pulang, sisanya bisa buat jajan," ketus terdengar suara kakak ipar perempuannya itu.
Dengan raut wajahnya yang datar dan tidak ada sedikitpun senyuman dari bibirnya, kakak perempuan David itu pun memberikan tiga lembar uang ratusan ribu ke tangan Qonita.
Sedangkan Qonita sendiri hanya bisa pasrah menerimanya. Dinding hatinya terasa seakan dicubit oleh beberapa tangan, hingga meninggalkan rasa sakit dan perih secara bersamaan.
"Terima kasih, Kak," ucap Qonita dengan suara bergetar menahan tangisnya yang hampir kembali pecah.
"Sabar, Nak. Allah tidak akan membebani hambanya dengan sebuah ujian, melebihi batas mampu hamba tersebut ... berdoa, minta diberikan kesabaran yang lebih oleh Allah." Pak Lukman berbisik, berusaha untuk menguatkan putri yang disayanginya itu.
Qonita menganggukkan kepalanya, lalu menghapus air mata dengan punggung tangannya sendiri.
Ia membenarkan apa yang sudah dikatakan oleh bapaknya tadi. Qonita tidak perlu berlebihan dalam meratapi apa yang sudah menimpa dirinya, dan ia hanya perlu mengadukan semua yang dirasakan olehnya pada maha penciptanya.
\*\*\*\*
Satu bulan setelah hari pernikahan menyakitkan itu, hingga saat ini Qonita masih mengurung diri di rumahnya.
Dia tidak sanggup mendengar cibiran dari mulut orang-orang yang termakan fitnah. Mereka ikut menuduh kalau Qonita sudah sering tidur dengan laki-laki, tanpa mereka tahu seperti apa kebenarannya.
Sepulang dari kediaman David sebulan lalu, Qonita mendapati bercak merah pada pakaian dalamnya. Ia meyakini, kalau bercak tersebut adalah darah dari selaput daranya yang robek.
Ingin sekali rasanya Qonita memberitahu David, namun ibunya melarang Qonita untuk menghubungi kembali lelaki itu.
"Sudah, biarkan saja mereka dengan fitnahannya. Sekarang kamu pikirkan saja kebahagiaan kamu sendiri, Nak."
Mendengar ibunya sudah berkata seperti itu, Qonita pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menuruti apa yang sudah dikatakan oleh ibunya tersebut, dan membiarkan David dengan tuduhan atas dirinya.
"Mau sampai kapan kamu mengurung diri di rumah terus, Nak? Jalani hidupmu seperti dulu ... jangan terus-terusan meratapi nasibmu," ujar Pak Lukman dengan tiba-tiba, hingga membuyarkan lamunan Qonita.
"Tapi, Pak-"
"Sudah, sudah. Allah gak suka pada hambanya yang terus menerus larut dalam kesedihan," cetus Pak Lukman lagi seraya mengusap pucuk kepala putrinya yang berbalut hijab.
Tidak ingin melihat orangtuanya ikut merasakan kesedihan lebih dalam, Qonita pun berusaha untuk menguatkan dirinya dan melupakan semua yang pernah terjadi.
Ia berniat untuk mengubur semua kenangan masa lalunya dengan David, yang ternyata tidak pernah mencintai dirinya dengan sungguh-sungguh.
Hari demi hari yang dilalui oleh Qonita, membuat wanita berpakaian syar'i itu mulai bisa menerima semua kenyataan. Bahkan ia pun mulai tutup telinga dengan cibiran orang-orang disekitarnya, meski terkadang luka dalam hatinya kembali menganga.
"Besok siang kita akan ke rumah keluarga David ... dan Bapak harap, kamu bisa lebih tegar lagi."
Mendengar perkataan Pak Lukman baru saja, membuat Qonita mengernyitkan dahinya.
"Mau apa kita ke sana, Pak? Bagaimana kalau kedatangan kita nanti ditolak sama mereka?" Qonita melayangkan pertanyaan pada ayahnya.
Wanita muda berkulit hitam manis itu merasa khawatir, kalau kedatangannya nanti akan ditolak secara mentah-mentah oleh David dan juga keluarganya.
"Kita ke sana untuk meminta David segera mengurus surat cerai kalian. Bagaimanapun juga, statusmu itu harus jelas."
Qonita kembali terdiam. Rasa perih dalam hatinya kembali terasa perlahan, namun dengan cepat ia menepisnya.
Meskipun dirinya harus ikut ke kediaman David, tapi Qonita tidak perlu banyak berkata saat berada di sana. Cukup Pak Lukman saja yang akan menyampaikan apa yang menjadi maksud kedatangan mereka saat itu.
"Kenapa gak diurus sendiri aja? 'kan David juga udah menjatuhkan talak pada putri Bapak," cetus kakak perempuan David yang terlihat judes.
"Sebagai pihak laki-laki dan juga yang menjatuhkan talak, harusnya David yang mengurus semuanya ... bukan putri saya!" tegas Pak Lukman yang berusaha untuk tetap bersabar dalam menghadapi manusia-manusia yang ada di depannya.
"Sudah punya aib, sekarang malah bikin susah." Terdengar kembali cetusan kakak David yang kemudian beranjak pergi dari ruang tamu.
Qonita menarik napas panjang. Ingin rasanya dia cepat-cepat pulang dan meninggalkan rumah yang terasa seperti neraka baginya itu.
"Aku mau bicara sebentar sama kamu," ucap David yang kemudian mengajak Qonita untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Bicara di sini aja, Mas ... kita bukan muhrim, gak pantas kalau harus di kamar berduaan," ujar Qonita yang merasa enggan untuk menuruti ajakan David.
David terlihat tidak terima, karena Qonita sudah menolaknya. Dengan kasar ia pun menarik paksa tangan wanita itu, lalu menyeretnya masuk ke dalam kamar.
"Lepas, Mas! Kamu gak bisa memperlakukan aku seperti ini!" Dengan sekali hentakan Qonita pun melepaskan tangannya dari cekalan David.
Ia menatap nyalang pada lelaki yang sudah menjatuhkan talak padanya di malam pernikahan mereka satu bulan yang lalu itu.
"Kamu mau bicara apa, Mas? Kita bisa bicara di luar ... dan kamu gak seharusnya berlaku kasar padaku," ujar Qonita mengulang kalimatnya.
Bukan menjawab pertanyaan dari wanita yang ada di depannya, David justru menjatuhkan tubuh Qonita ke atas tempat tidur dengan kasar.
Dada lelaki berperawakan tinggi tersebut nampak naik turun dengan cepat. Tatapan matanya terlihat penuh dengan hasrat, seperti seekor hewan yang baru saja menemukan mangsa untuk dijadikan santapan lezatnya.
"Kamu mau apa, Mas?" Qonita terlihat panik saat David berjalan perlahan menghampirinya yang masih berada di atas ranjang.
Lelaki itu melepas kaos berwarna putih yang dikenakannya, lalu melemparnya ke sembarang arah.
"Aku masih suamimu ... dan aku masih berhak atas dirimu!" Tanpa ada rasa malu David mengatakan hal tersebut.
Pada saat itu juga Qonita pun langsung mengernyitkan dahi dan kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kamu salah, Mas. Semenjak kamu menjatuhkan talak padaku ... pada saat itu juga aku sudah bukan lagi menjadi istrimu!"
Dengan bergegas Qonita pun bangun dan beranjak dari tempat tidur. Ia membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan, lalu berjalan menuju pintu kamar.
"Mau kemana kamu?!" David langsung mencekal pergelangan tangan wanita itu dan menariknya kembali dengan kasar.
"Aww, sakit, Mas!" Dengan sekuat tenaga Qonita berusaha untuk melepaskan diri dari cekalan lelaki yang sudah menjatuhkannya talak tersebut.
"Bukankah kamu pintar dalam hal agama? Seharusnya kamu tau, kalau pengadilan belum memutuskan kita bercerai ... maka kamu itu masih menjadi istriku!"
Qonita tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Bisa-bisanya David berkata demikian, tanpa dirinya memahami semua yang sudah dikatakannya itu.
"Kamu salah, Mas! Apa Mas David gak tau, kalau seorang suami sudah menjatuhkan talak pada istrinya, maka pada saat itu juga wanita itu bukan istrinya lagi!"
David mencibir. Ia meremehkan penjelasan dari Qonita, karena baginya itu hanyalah alasan bagi Qonita menolak untuk melayaninya.
"Banyak alasan! Masih untung aku mau menikah sama kamu. Laki-laki mana yang akan mau pada perempuan yang sudah tidak suci lagi sepertimu?!"
"Cukup, Mas! Terserah, kamu menuduhku seperti apa."
Tanpa menghiraukan David yang terus saja mengoceh, Qonita dengan cepat membuka pintu kamar dan keluar untuk menghampiri kembali ayahnya.
"Pak, ayo kita pulang!" ajak Qonita dengan setengah berbisik pada ayahnya.
Melihat raut wajah Qonita yang seperti tidak baik-baik saja, Pak Lukman akhirnya menuruti ajakan putrinya itu.
"Urus saja semuanya sama kalian. Jangan melibatkan keluarga kami ... pengeluaran kami sudah cukup banyak untuk biaya nikah bulan kemarin," cetus kakaknya David yang masih terdengar judes.
Qonita dan Pak Lukman tidak mempedulikan perkataan kakak David itu. Ayah dan anak tersebut langsung menuju motor yang mereka pinjam dari tetangga, dan bergegas meninggalkan kediaman keluarga David.
Sesampainya di rumah mereka yang sederhana, Qonita dan Pak Lukman disambut oleh Bu Fatmah.
"Bagaimana, Nak?" Bu Fatmah sudah tidak sabar untuk mendengar apa saja yang akan diceritakan oleh putri dan juga suaminya.
Qonita hanya menyunggingkan senyuman tipis pada ibunya. Ia terus melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah dengan cat berwarna putih itu.
Pak Lukman dan Bu Fatmah pun mengekor dari belakang. Keduanya saling terdiam, hanyut dengan pikirannya masing-masing.
Melihat putri kesayangan mereka berdua terduduk di atas sofa usang dengan sorot mata yang terlihat sendu, Pak Lukman dan Bu Fatmah hanya dapat menghela napas panjang.
"Maafkan Nita Pak, Bu. Nita sudah bikin Ibu sama Bapak kecewa dan juga malu," lirih Qonita dengan penuh penyesalan.
Bu Fatmah mengusap punggung putrinya, lalu merengkuh kepala Qonita yang tertutup oleh hijab.
"Sudahlah, Nak. Semua sudah jadi takdir hidup kamu ... dan kamu harus menerimanya dengan ikhlas. Jadikan Allah tempatmu satu-satunya untuk mengadu," ujar Bu Fatmah sembari memeluk tubuh putri semata wayangnya tersebut.
"Jangan terlalu memikirkan omongan mereka yang tidak tau apa-apa. Pikirkan saja kebahagiaanmu sendiri," timpal Pak Lukman.
Mendengar wejangan dari orangtuanya, tanpa terasa buliran air mata pun meluncur bebas secara perlahan dari kelopak mata Qonita.
Ia merasa sangat beruntung, karena mempunyai orangtua yang begitu teramat sangat menyayangi dirinya. Meski dia tidak mendapatkan cinta yang tulus dari lelaki yang hanya beberapa jam daja menjadi suaminya, paling tidak Qonita masih mempunyai cinta yang tulus dari Bu Fatmah dan Pak Lukman sebagai orangtuanya.
****
Tidak ingin berlarut dalam sebuah kesedihan, Qonita pun berusaha untuk bangkit dan menjalani kehidupannya lagi.
"Janda bukan, gadis bukan. Makanya lain kali jangan terlalu murah jadi perempuan," cibir salah seorang tetangga dekat rumahnya.
Qonita hanya mampu mengelus dada dan menarik napas panjang saat mendengarnya. Meskipun dirinya tidak bersalah, tapi mereka yang merasa tidak suka padanya menjadikan fitnahan itu sebagai bahan untuk mengolok-olok wanita muda tersebut.
Dengan tekadnya yang bulat, Qonita mulai belajar untuk mendesain baju. Semua itu ia lakukan sebagai langkah untuk mengisi hari-harinya.
"Assalamu'alaikum!"
Terdengar suara seorang perempuan yang berasal dari depan rumah Qonita.
"Waalaikumsalam," jawab Qonita seraya melangkah ke arah pintu.
Saat daun pintu sudah terbuka, Qonita tersentak ketika melihat siapa yang datang hari itu.
"Qonita," panggil tamu tersebut.
"I-ibu?" Dengan ragu Qonita mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Bu Tuti, ibu dari David.
Tanpa menunggu dipersilakan oleh pemilik rumah, Bu Tuti langsung nyelonong masuk melewati tubuh Qonita yang mematung.
"Nita, kenapa kamu malah diam di sana? Ada Ibu Mertua datang bukannya ditawarin mau minum apa ... ini malah diam saja," ceroscos Bu Tuti dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Mendengar mantan ibu mertuanya berkata seperti itu, Qonita pun bergegas menuju dapur untuk membuatkan es teh manis.
"Sabar, Qonita." Qonita bergumam pada dirinya sendiri.
"Ini Bu, tehnya, silakan diminum."
Mungkin karena sudah merasa kehausan, Bu Tuti pun langsung meneguk es teh buatan Qonita hingga tandas.
Melihat kelakuan Bu Tuti, Qonita hanya melongo.
"Nita. Ibu datang ke sini mau bicara sama kamu," ujar Bu Tuti mengawali pembicaraan.
"Iya, Bu. Apa yang mau Ibu bicarakan sama Nita?"
"David mau berangkat kerja ke luar kota ... tapi dia lagi gak punya duit buat bekalnya. Status kamu masih istrinya, jadi sebaiknya kamu bantu David. Kasih dia duit buat bekal selama di sana," cetus Bu Tuti yang seakan tidak tahu malu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!